Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 16 November 2013

Pahlawan Bertopeng Bukan Bertopeng Pahlawan

Tiap petang, Amir Keling, anak Suib Keriting, berteriak di depan pintu rumah Atah Roy. Anak lelaki berusia 9 tahun itu, beteleging badan alias tak pakai baju, namun menggunakan topeng di wajahnya. Topeng yang terbuat dari kertas karton itu, selalu berubah-ubah setiap petang pula. Atah Roy bertanya dalam hati, kenapa Amir Keling selalu muncul di depan pintu rumahnya pada petang hari.
“Pahlawan bertopeng!” teriak Amir Keling mengenakan topeng, sambil berdiri tegap dan bercekak pinggang di depan pintu rumah Atah Roy.
“Ape yang bisa saye bantu, Tah?” tanye Amir Keling pasti.
“Dikau ni ngape ngentam, Mir?” Atah Roy terkejut juge dengan kemunculan Amir Keling yang selalu mendadak.
“Saye bukan Amir. Saye adalah Pahlawan Bertopeng,” jawab Amir Keling yang mengakui dirinya Pahlawan Bertopeng.
“Baiklah Pahlawan Bertopeng. Pahlawan Bertopeng hendak ape?” Atah Roy lemah lembut.
“Pahlawan Bertopeng tidak mau ape-ape. Pahlawan Bertopeng hanye mau membantu orang. Ape yang dapat saye bantu untuk Atah?”
Atah Roy menarik nafas panjang melihat kelaku Amir Keling anak Suib Keriting ini. Nak marah, tak mungkin, anak ini masih kecil. Nak disuruh melakukan sesuatu, tak ada pula yang mesti dilakukan. Atah Roy pun menggelingkan kepala.
“Atah Roy jangan khawatir, Pahlawan Bertopeng tidak akan minta ape-ape dari Atah Roy. Pahlawan Bertopeng membantu dengan ikhlas tanpe mengharapkan imbalan ape pun juge,” kata Amir Keling.
“Petang ini, rasenye aku belum butuh bantuan Pahlawan Bertopeng. Nanti kalau ade, aku panggil engkau kembali wahai Pahlawan Bertopeng,” ujar Atah Roy.
“Kalau macam itu, Pahlawan Bertopeng mau undur diri dulu,” kata Amir Keling sambil berlari meninggalkan Atah Roy di pintu rumahnya.
Melihat Pahlawan Bertopeng alias Amir Keling berlari seperti mengendarai seekor kuda, Atah Roy kembali menggelengkan kepalanya.
“Apelah jadinye anak si Suid tu agaknye,” kesal Atah Roy sambil menarik nafas panjang kemabli.
Setelah tubuh Amir Keling alias Pahlawan Bertopeng menghilang di dalam semak, Atah Roy pun masuk ke dalam rumah. Baru saja 4 langkah Atah Roy menuju ke dalam kamar, tiba-tiba ada suara anak kecil memanggil dirinya.
“Atah Roy, mintak duit,” suara anak kecil itu melengking.
Atah Roy tahu persis, bahwa suara itu, suaranya anak Suid Keriting, Amir Keling alias Pahlawan Bertopeng. Atah Roy pun membalikkan tubuhnya, dan melihat Amir Keling berdiri di depan pintu rumahnya. Kali ini, Amir Keling tidak menggunakan topeng dan telah pula mengenakan baju menutup tubuhnya. Atah Roy mendekati Amir Keling.
“Ape yang engkau hendak ni, Pahlawan Bertopeng?” tanya Atah Roy.
“Pahlawan Bertopeng? Siape Pahlawan Bertopeng, Tah?” Amir Keling pula balik bertanya kepada Atah Roy dengan muka serius.
“Tadi engkau bercakap, engkau Pahlawan Bertopeng,” jelas Atah Roy agak geram.
“Atah, Atah,... Pahlawan Bertopeng, tentu pakai topeng. Amirkan tidak pakai topeng, tentu Amir bukan Pahlawan Bertopeng,” jelas Amir Keling seperti orang dewasa.
Mendengar penjelasan Amir Keling, Atah Roy terdiam sejenak. Atah Roy pun berpikir, apa yang harus dilakukannya untuk menghadapi Amir Keling ini. Atah Roy dapat akal, dan dia menyuruh Amir Keling duduk di sampingnya.
“Jadi yang Pahlawan Bertopeng itu, bukan engkau, Mir,” kata Atah Roy sambil merangkul pundak Amir Keling. Amir Keling pun menyeringai.
“Atah bisa menyimpan rahasie, kan?” Amir Keling mengajukan pertanyaan kepada Atah Roy.
“Tentu,” jawab Atah Roy singkat sambil menganggukkan kepalanya.
“Gini, Tah. Amir nak membantu orang di kampung ni, tapi Amir tak mau orang mengenal siape yang menolongnye. Sebab itulah Amir pakai topeng, biar orang tidak tahu siape Pahlawan Bertopeng itu. Amir kan selalu nonton tv, Tah, banyak orang menolong orang lain tapi orang-orang tu membanggakan diri dengan bantuan die. Mereke membantu tak pakai topeng, tapi mereke tu, Tah, punye banyak topeng. Mereke membantu orang lain untuk mendapat untung. Muke mereke tak pakai topeng, tapi hati mereka banyak pakai topeng, Tah,” jelas Amir Keling panjang lebar.
Mendengar ucapan Amir Keling yagg baru berusia 9 tahun ini, Atah Roy terganga. Atah Roy tidak menyangka, anak seusia Amir ini sudah pandai memilah; mane bantuan yang ikhlas, mana bantuan penuh makna. Lama Atah Roy menatap Amir Keling.
“Itu sebabnye, Tah, Amir nak jadi Pahlawan Bertopeng, bukan Bertopeng Pahlawan,” tambah Amir Keling.
“Darimane engkau tahu cerite ini, Mir?” Atah Roy masih mengangakan mulutnya, tanda kagum.
“Amir nonton di tv-tv, Tah. Amir mau negara yang kite cintai ini, Tah, orang membantu tanpe mengharapkan balasan dari orang yang dibantunye. Biolah Allah saje yang membalas bantuan kite itu. Atah setuju kan dengan apa yang Amir katekan ini?”
“Setuju, Mir. Atah paling setuju,” kata Atah Roy sambil memeluk Amir Keling anak Suid Keriting.
“Kalau Atah setuju, beri Amir duit 2 ribu, Amir nak beli kue,” ujar Amir Keling sambil mengulurkan tangannya meminta duit kepada Atah Roy.
“Kate Amir...”
Belum selesai Atah Roy berbicara, Amir Keling memotong pembicaraan Atah Roy.
“Kalau Amir pakai topeng, Amir tak perlu balasan, tapi karene Amir tak pakai topeng, Amir perlu duit 2 ibu,” kata Amir Keling sambil tersenyum.
Atah Roy pun dengan senyum mengeluarkan uang Rp 2.000 dan langsung membagikannya kepada Amir Keling. Amir Keling berdiri dan tersenyum senang.
“Terime kasih, Atah Roy,” kata Amir Keling sambil berlari meninggalkan Atah Roy seorang diri.
“Budak kecik saje tahu, mane Pahlawan Bertopeng, mane Bertopeng Pahlawan,” ujar Atah Roy dalam hati.
  





Sabtu, 26 Oktober 2013

Duitnye Berape?




Lama Atah Roy termenung setelah menyaksikan iklan suatu produk rokok yang menghadirkan sosok jin minta disogok ketika seorang pemuda meminta dihapuskan sogok menyogok di negara ini. Atah Roy pun menyakini bahwa nampaknya semua makhluk yang mendiami di negara ini sudah terkena ‘virus’ sogok menyogok. Tiada harapan agar negara ini menjadi lebih baik.
Semua lini telah dirasuki seberapa duit yang dimiliki. Semua masalah nampaknya di negeri ini diselesaikan dengan duit, dan beberapa masalah pun ditimbulkan oleh duit. Tak henti-hentinya negara yang kita cintai ini dihadapkan masalah duit. Lebih parah lagi tempat menggantungkan nasib dan penegakkan hukum juga dihantui kasus yang sama. Duit menjadi kekuatan baru zaman modern ini. Tiada duit, tiada masalah yang dapat diselesaikan. Ada duit, ada juga masalahnya.
Atah Roy juga bertambah bingung, banyak sekali institusi yang dipercayai dapat menyelesaikan masalah tanpa  duit selama ini, sudah ikut-ikut pula menegadahkan tangan dan bertanya “duitnya berape?” Bertambah bingungnya Atah Roy, banyak pula fasilitas yang dibangun negara untuk rakyat, bukan menambah kenyamanan rakyat, malahan rakyat dihantui keraguan.
Contohnya Jambatan Siak III dan Jalan Yos Sudarso Rumbai. Jambatan dan jalan yang diperuntukan untuk kepentingan rakyat, kini rusaknya semakin parah, namun tiada satu pun lembaga, baik itu perguruan tinggi dan lembaga masyarakat yang berhubungan masalah ini, melakukan kajian; apakah fasilitas tersebut layak atau tidak dipergunakan. Atah Roy pun bertanya-tanya, apakah perlu juga lembaga-lembaga seperti itu menanyakan “duitnye berape?”
“Saye tenguk, semenjak balik dari Pekanbaru ni, Atah murung aje. Ade masalah ape, Tah?” tanye Leman Lengkung.
“Entahlah. Waktu aku lewat di Jalan Yos Sudarso dan Jambatan Siak III Pekanbaru, muncul ketakutan dalam diri aku ini,” jelas Atah Roy.
“Ketakutan seperti ape tu, Tah?” Leman Lengkung penasaran.
“Kite kehilangan hati nurani dan kehilangan rase kepedulian sesame kite,” tambah Atah Roy.
“Maksud Atah seperti ape ni? Atah kalau dah risau selalu mengeluarkan kata-kata yang sukar dimengerti,” Leman Lengkung tambah penasaran.
“Aku orang kampung ni saje tahu, bahwa Jambatan Siak III dan Jalan Yos Sudarso di Rumbai itu bermasalah. Bisa mendatangkan azab bagi penggune jalan dan jambatan tersebut, tetapi tak satu pun lembaga, baik itu perguruan tinggi, maupun lembaga lainnye, memberhentikan mengguna fasilitas tersebut. Aku takut dah banyak jatuh korban, baru muncul penelitian. Untuk ape gune penelitian kalau telah banyak jatuh korban? Selain itu, ade ketakutan yang luar biase dalam hati aku ini, Man,” wajah Atah Roy memerah.
“Ketakutan ape tu, Tah?” tanya Leman Lengkung.
“Aku takut semue orang yang ade di negara kite cintai ini, telah menuhankan duit. Kalau hal ini sempat terjadi, make semakin hancou-leboulah negara kite ini,” ujar Atah Roy sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Untuk ape kite risau, Tah, semuenye terjadi di kota, sementare di kampung-kampungkan masih memegang rasa kebersamaan yang tinggi,” Leman Lengkung menenangkan Atah Roy.
“Masalah kota, Man, akan menjadi masalah orang kampung di belakang harinya. Sebab orang kampung berkiblat kepade orang kota. Bukankah orang kota itu banyak orang terpelajar, sekolah tinggi-tinggi, banyak bace buku ini-itu, tentu menjadi sumber kite orang kampung,” Atah Roy semakin khawatir.
“Untuk mengatasi semue itu, Tah, kite harus mampu menampakkan wujud kite sebagai orang kampung yang berakhlak mulia. Kite lihatkan kepade orang kota, bahwa duit bukanlah segale-galenye,” Leman Lengkung optimis.
“Kecik harapan, Man,” Atah Roy macam putus asa.
“Itulah salah Atah ni, cepat menyerah kepade keadaan. Sebagai orang kampung, Tah, kite harus tegap menghadapi segale macam masalah. Selame ini, kite orang kampung tak pernah mempermasalahkan duit. Atah tahukan due hari yang lalu, kite dapat menyelesaikan pertikaian Ucu Seman dengan Cik Jalal tanpe mengeluarkan duit se-sen pun. Kite selesaikan masalah tersebut dengan musyawarah dan mufakat kan?” ujar Leman Lengkung panjang lebar.
“Betul kate dikau tu, Man, tahu betul aku. Masalah Seman dan Jalal tu, masalah adik beradik; masalah siape yang berhak mengurus kebun durian, tapi masalah jambatan dan masalah jalan di Pekanbaru tu, masalah orang banyak, tentu berbede,” jelas Atah Roy dengan menggigit giginya tanda geram kepada Leman Lengkung.
“Usah Atah pikirkan, Tah, itu masalah orang kota. Bio dilantak ape yang hendak mereke buat, yang penting kampung kite tidak macam itu,” tambah Leman Lengkung pula.
“Masalah kota, tetap jadi masalah kite, Man. Sedang permasalahan di depan mate penguasa, tidak teratasi, apelagi masalah yang ade di kampung kite ni. Dikau tenguk kampung sebelah, jalan utamenye saje dah tinggal sejengkal masuk ke laut, sampai sekarang tidak ade kebijakan orang kota. Semuenye orang bertanye “berape duit?” membawak masalah rakyat ke pemerintah. Sementare pemerintah sibuk juge dengan masalah “berape duit?” untuk menyelesaikan masalah. Lagi-lagi duit, lagi-lagi duit masalahnye,” Atah Roy mulai geram dengan Leman Lengkung.
Menenguk Atah Roy sudah emosi, Leman Lengkung pun berkeinginan meninggalkan Atah Roy. Leman Lengkung tahu betul, kalau percakapan ini dilanjutkan, tentu semakin menjadi-jadi emosi Atah Roy. Leman Lengkung pun berdiri hendak pergi, namun ditahan Atah Roy.
“Engkau mau kemane, Man?”
“Nak ke paso kejap, Tah.”
“Tolong belikan aku sebungkus okok, ye.”
“Aman tu, Tah.”
“Ini duitnye,” Atah Roy menyodorkan duit pas-pasan.
“Untuk saye tak adekah, Tah?” tanya Leman Lengkung.
“Kan, dikau aje bertanye untuk dikau, padahal okok ini same-same kita isap.”
“Hehehehe... tak ade duit, tak dikerje, Tah,” ujar Leman Lengkung sambil tersenyum.
“Nasib,... Nasib,” kata Atah Roy sambil menambahkan duit kepade Leman Lengkung.   
     
   

Kamis, 19 September 2013

Menunggu Hang Jebat


Mungkin disebabkan kezaliman yang semakin menjadi-jadi di negeri ini, orang-orang selalu menunggu sosok yang dapat membawa perubahan memihak kepada nasib rakyat. Tentu saja di masing-masing daerah memiliki sosok tokoh masa lalu untuk dijadikan panutan. Tidak terkecuali di Riau yang notabene sebagai tanah Melayu. Banyak sekali tokoh-tokoh masa lalu Melayu yang dapat dijadikan panutan untuk hari ini, dan yang paling populer adalah Hang Jebat. Hang Jebat-lah tokoh masa lalu yang pertama menantang keputusan Sultan Mahmud yang zalim itu. Sayang, Hang Jebat harus tewas di tangan yang menyebabkan dia melakukan perlawanan. Kesia-siaanlah yang menjelma seandainya orang yang dibela menantang orang yang membelanya. Namun harapan munculnya sosok Hang Jebat pada hari ini harus dipelihara.
Bagi Atah Roy berharap kemunculan sosok seperti Hang Jebat pada hari ini merupakan kewajiban. Atah Roy menyadari bahwa pada hari ini pemimpin tidak lagi menjadi perpanjangan tangan Tuhan di muka bumi, malahan sebaliknya, selalu menentang kehendak Ilahi. Akibatnya pemimpin bukan sebagai pohon besar tempat berteduh rakyat, tetapi sebagai parasit menghisap darah rakyat. Pemimpin senang, rakyat terbungkang.
Tersebab sangat negeri ini berubah menjadi lebih baik, Atah Roy pun seperti kehilangan akal. Setiap hari Atah Roy menjerit memanggil nama Hang Jebat. Tiba-tiba, pada suatu pagi, hp Atah Roy berdering. Di layar hp itu hanya tercantum nomor, tidak ada nama si penelpon. Dengan berat hati Atah Roy pun melayani penelpon tersebut.
“Ini Roy? Orang selalu memanggil Atah Roy?” tanya penelpon.
“Betul. Ini siape?”
“Perlukah aku menyebut siape name aku?”
“Sangat perlu. Kate orang tue-tue dahulu, tak kenal, maka tak sayang. Kalau dah tak sayang tentu tak cinta, kalau dah tak cinta, percakapan ini, kita akhiri saja,” jawab Atah Roy.
“Aku Hang Jebat,”
“Hang Jebat mane?”
“Hang Jebat yang dianggap oleh penguasa sebagai pendurhaka.”
Darah Atah Roy mendidih geram. Hatinya yang sedang risau membuat Atah Roy tak mampu menahan emosi disebabkan gurauan si penelpon.
“Jangan dikau bergara dengan aku,ye! Terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepade dikau, aku tak bertanggung jawab!” ujar Atah Roy dengan penuh emosi.
“Aku tidak bergurau, Roy. Aku memang Hang Jebat,” ujar si penelpon.
“Sekali lagi dikau mempermainkan aku, make akan aku cari dikau sampai ke lubang cacing!” sergah Atah Roy.
“Betul Roy, aku Hang Jebat. Akmu tidak pernah bergurau dalam keadaan yang tidak menentu. Aku rela mati untuk menengak kebenaran, dan bukan sifat aku bermain di atas kelukaan orang lain. Memang engkau tidak aka percaya bahwa aku ini Hang Jebat. Aku tahu itu. Engkau harus sadar, Roy, sesuatu yang selalu diseru dipanggil datang setiap saat, tidak mustahil akan terwujud. Aku mendengar keluh-resah engkau pada negeri ini. setiap detik engkau resah, dan setiap detik aku mendengar resah engkau. Makenya aku menlpon engkau,” si penelpon menjelaskan panjang lebar kepada Atah Roy.
“Mustahil! Aku tak percaye! Dikau jangan merepek!” suara Atah Roy besar.
“Itu hak engkau tidak mempercayai aku. Begitu jugelah Hang Tuah, die merase aku ini seorang pendurhake, padahal bagi aku, aku membela kebenaran. Sultan Mahmud-lah yang tidak memiliki hati nurani, dan takut kepopuleran Hang Tuah akan melebihi diri sultan. Selain itu. Sultan selalu percaye kepada orang luar dibandingkan anak watan sendiri. mempercayai orang luar, harus hati-hati, tersebab mereka mau hidup di negeri orang. Seburuk apepun anak watan, tak akan ingin negerinye binase. Tapi bagi orang luar, kesenangan diri sendiri merupakan tujuan mereka, tanpa memikirkan nasib negeri ini kelak. Mereka akan angkat kaki dari negeri ini ketika kesenangan sudah mereka dapatkan. Mereka akan bangun negeri mereka dari kepercayaan kita. Aku tahu, Roy, engkau sangat gelisah, tersebab di negeri Melayu engkau ini belum muncul tokoh yang dapat jadi panutan. Kalian pade hari ini terperangkap oleh kesenangan sesaat,” ujar si penelpon yang mengaku Hang Jebat panjang lebar.
Atah Roy tersandar di dinding rumahnya. Tangan kanannya masih memegang hp yang dilekapkan di telinganya. Atah Roy seakan habis kata-kata hendak melayani si penelpon. Namun demikian, Atah Roy tetap tidak percaya bahwa yang menelponnya adalah Hang Jebat.
“Dikau jangan mempermainkan aku,” suara Atah Roy melemah. “Aku bisa berbuat apepun dalam keadaan seperti ini,” ucap Atah Roy lagi.
“Roy, aku tahu dikau tidak mempercayai aku yang sedang menelpon engkau ini. Aku pun tidak berharap engkau mempercayai aku. Sedangkan Hang Tuah yang aku bela saja, tidak mempercayai aku. Sangat memedihkan ketika Hang Tuah mengatakan bahwa aku ini tergila-gila hendak berkuasa. Aku mengamuk untuk menjunjung marwah. Aku ini orang Melayu, Roy. Bagi aku harga diri lebih penting dibandingkan berkuasa. Tapi dimasa engkau sekarang ini, Roy, kalian yang mengaku orang Melayu harus bangkit menjadi penguasa. Di masa kalian ini, marwah Melayu ditegakan dengan kekuasaan. Perlu diingat Roy, carilah pemimpin yang sangat peduli pade rakyatnye, yang peduli pade Melayu,” tambah penelpon yang mengaku Hang Jebat.
“Aku...,”
“Engkau tidak perlu percaye yang menelpon engkau sekarang ini adalah aku, Hang Jebat. Paling penting sekarang ini, jangan ke-Melayu-an engkau hari ini terkikis. Bukan engkau saje, Roy, semue orang Melayu, jangan sesekali menjual Melayu untuk kepentingan kekuasaan. Orang lain mengintai terus, Roy. Mereka tahu kelemahan orang Melayu tak kuat disanjung. Untuk itu, aku berharap kalian tidak termakan sanjungan orang-orang di luar orang Melayu,” tambah penelpon yang mengaku Hang Jebat. Setelah mengucapkan kalimat itu, hubungan telpon pun terputus.
Atah Roy tak puas. Dia pun kembali menelpon nomor yang barusan menghubunginya. Namun Atah Roy tidak menemukan nomor tersebut. Tidak ada nomor masuk pagi hari ini di hpnya. Detak jantung Atah Roy semakin kencang, seiring berdiri bulu romanya. Atah Roy tidak berbuat apa-apa. Di hatinya berucap “Aku harus menunggu Hang Jebat.” 

Sabtu, 14 September 2013

Pemimpin


Atah Roy masih ingat betul ketika negeri ini belum menerapkan otonomi daerah. Riau sebagai derah yang kaya, selalu saja dipercundangi. Orang Riau tidak dapat menjadi pemimpin dinegerinya sendiri, selalu saja orang pusat (Jakarta) ikut campur dalam menentukan pemimpin di Riau. Pada tahun 1985, tepatnya tanggal 2 September, Ismail Suko (alm.) terpilih menjadi Gubernur Riau. Terpilihnya Ismail Suko rupanya tidak dikehendaki oleh orang pusat, dan dengan dipaksa Ismail Suko harus mundur.
Reformasi pada tahun 1998, mengantarkan rakyat Indonesia, terutama orang daerah, dapat bernafas lega, walau tidak seratus persen. ‘Kran’ keterbukaan ini mendorong orang-orang berani untuk bersuara, maka tercetuslah otonomi daerah. Orang daerah pun dapat mengusung pemimpin berasal dari daerah (anak tempatan) menjadi pemimpin.
Atah Roy pernah berdebad dengan kawannya yang berasal dari daerah lain. Kawan Atah Roy itu dengan semangat, katanya semangat nasionalisme, berapi-api mengutarakan bahwa seharusnya otonomi tidak menutup daerah dipimpin siapa saja, selagi orang itu berwarga negera Indonesia.
“Kita ini bangsa yang besar dengan berbagai macam suku, jadi orang Riau seharusnya tidak ngotot menjadikan orang Melayu pemimpin di Riau ini,” ujar kawan Atah Roy.
Mendengar ucapan kawannya itu, Atah Roy naik pitam. Mukanya memerah seketika.
“Apelagi yang hendak diberikan Riau ini kepada tanah air kita yang tercinta ini? jadi pemimpin di tanah sendiri pun kami tak boleh?” Atah Roy agak geram.
“Betul, Riau telah banyak menyumbang untuk negera kita ini, tapi tidak usah memaksa orang Riau atau orang Melayu jadi pemimpin di negeri ini,” tambah kawan Atah Roy.
“Kau pikir, kami tidak mampu jadi pemimpin? Kami bukan tidak mampu, selama ini kami tidak dipercayakan memimpin tanah kami sendiri. Orang-orang pusat takut, kalau kami yang memimpin, maka kami akan membangkang. Kami ini bangsa yang taat mencintai negeri ini. Jangan takutlah kami akan jadi pemberontak!” ucap Atah Roy dengan suara agak meninggi.
“Bukan begitu maksudku, Roy. Di negera kita ini bebas untuk jadi pemimpin, bukan orang Melayu saja yang berhak jadi pemimpin di tanah ini,” teman Atah Roy terus berujar tanpa peduli kemarahab Atah Roy.
“Engkau harus tahu ye, selame ini orang Melayu di Riau selalu saja dianggap orang Malaysia. Berbahasa Melayu di negeri ini, dianggap orang Malaysia, padahal engkau tahukan bahwa Riau itu banyak orang Melayu? Kau pernah mendengar orang Melayu tergile-gile nak menjadi di tanah orang lain? Tak pernahkan. Kami selalu dianggap tak ade di negara ini. Sekarang kesempatan itu terbuka lebar, dan kami tidak akan menyia-nyiakannya. Kami berhak ataj tanah kami ini!” ujar Atah Roy sambil meninju meja yang ada dihadapannya.
Peristiwa percakap itu terjadi 15 tahun  yang lalu, ketika reformasi didengungkan. Kini percakapan itu mengiang-mgiang di telinga dan benak Atah Roy. Atah Roy menyadari, bahwa seburuk apapun orang kita, sedikit banyaknya akan memperhatikan nasib orang-orang yang ada di daerah ini. Seandainya orang lain yang menjadi pemimpin di negeri ini, tanggung jawab mereka atas tanah ini tidak sekuat orang tempatan.
Untuk itulah Atah Roy berpesan kepada Leman Lengkung agar memilih orang Melayu menjadi pemimpin di tanah ini. Bagi Atah Roy memilih orang Melayu sebagai pemimpin di tanah ini merupakan keharusan. Bukan tidak nasionalisme namanya, tapi karena menjunjung nasionalisme itulah, Atah Roy berpikir bahwa mencintai daerah ini dengan pemimpin orang daerah ini kekuatan untuk berbuat untuk kemajuan bersama.
Atah Roy pun membuka kitab lama dan menyampaikan kepada Leman Lengkung, bahwa orang Melayu itu sudah sejak lama memiliki kekuatan demokrasi di benak dan di hati. Atah juga menyampaikan bahwa pemimpin harus tahu membedakan yang baik dengan yang buruk. Tentu saja calon memimpin itu haruslah berilmu, dekat dengan rakyat, tidak buruk pekertinya dan pemurah.
“Jadi, Man, kau harus pilih orang kite. Tak akan ade orang lain yang memperhatikan nasib kite ini de, selain orang kite itu sendiri. Jangan pernah memilih orang yang mengaku diri kite, padahal jelas-jelas die orang lain. Pade dirinye sendiri saje die bengak, apelagi pade orang lain. Banyak orang kita yang mampu menjadi pemimpin dan telah menunjukkan keberhasilan mereke,” kata Atah Roy kepada Leman Lengkung.
“Betul Tah, saye sepakat dengan apa yang Atah katekan. Saye juge ade membace bahwa jadi pemimpin itu haruslah orang pemurah, kalau orang pelokik memang tak perlu kite pilih,” tambah Leman Lengkung.
“Aku tambahkan ye, Man. Selain pemurah, pemimpin yang baik itu mengenang jasa orang atau tahu balas budi. Tidak itu saje, Man, orang tersebut juge haruslah orang yang berani, jika pemimpinnye pemberani, make pengikutnye pun akan berani. Kalau orang penakut, mengikut aje kate orang pusat dan suke menghitung-hitung dengan duit, make orang itulah yang menghancurkan tanah ini,” ujar Atah Roy bersemangat.  
“Sangat suai, Tah. Kitelah yang harus membesarkan dan memilih orang kite yang mempunyai kemampun jadi pemimpin,” Leman Lengkung mengangguk-anggukan kepalanya.
“Aku pernah berdebat dengan kawan aku 15 tahun yang lalu, Man. Die menganggap orang kite tidak mampu jadi pemimpin, dan harus berbesar hati membuka diri untuk dipimpin orang lain. Aku cakap pade die, Man, bangsa Melayu itu sudah besar sejak dulu. Dah katam tentang mengelola negeri ini, jangan diajo lagi,” ujar Atah Roy sambil menarik nafas panjang.
“Sepekat Tah,” Leman Lengkung semangat.
“Jangan sepakat-sepakat aje, Man, kite harus bergerak menyusun kekuatan untuk mendukung orang kite,” ujar Atah Roy lagi.
“Sip, Tah,” jawab Leman Lengkung langsung bergerak.       

Sabtu, 27 Juli 2013

Jalu


“Orang-orang tidak sadar apa yang sedang dilakukan. Harus ada yang menyadarkan mereka, namun sayang, tiada seorang pun yang mau menyadarkan. Tersebab tidak ada menyadarkan, semakin tidak beraturanlah negeri ini. Orang-orang yang memiliki kekuasaan di negeri ini, Roy, seperti orang jalu. Mereka sepertinya tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan, sementara rakyat hanya melihat kejaluan mereka.
Engkau pasti tahu arti jalu, Roy? Aku yakin kau tidak melupakan kata itu. Kau juga pernah mengatakan aku mengalami jalu itu. Ketika kita tidur di rumah Ali Sangap, aku berjalan ketika sedang tidur. Tanpa sadar, kau yang menceritakan kepada aku, aku langsung ke daput mencari makanan. Waktu itu di dapur rumah Ali Sangap, jangankan nasi, kerak nasi pun tidak ada. Aku, katamu, mengambil periuk, panci, lalu aku jadikan panci dan periuk itu seperti drum, aku terus memukul sampai panci dan periuk itu tembuk. Aku masih ingat apa yang kau cerita ketika aku jalu di rumah Ali itu. Seandainya engkau tidak menyadarkan aku, mungkin semua peralatan yang ada di dapur rumah Ali Sangap, binasa disebabkan aku.
Seperti orang jalu inilah yang melanda pembesar-pembesar negeri kita, Roy. Mereka melakukan sesuatu, namun mereka tidak sadar. Engkau bisa melihat semuanya di televisi atau pun koran, para pemimpin asik dengan manuver atau pun berbuat untuk pribadi dan juga golongan. Sementara rakyat tidak pernah diperhatikan. Sibuklah mereka membangun citra di tengah masyarakat agar mereka atau pun golongan mereka terpilih menjadi pemenang pada pilkada atau pun pemilu nantinya.
Aku tak habis pikir, Roy, dalam kejaluan mereka, mereka bertambah kuat. Hal ini disebabkan kita hanya diam, tidak menyadarkan mereka. Para profesor semua bidang, sibuk dengan urusan mereka, dan terkadang ikut jalu, mendukung apa yang dilakukan pemimpin yang jalu. Agamawan juga seperti itu, jalu menggunakan sepenggal ayat untuk membenarkan jalan yang tidak sadar itu. Seniman dan budayaan juga ikut jalu, sibuk memekirkan nilai estetika dan kemudia mencocokkan dengan kebijakkan yang tidak pro orang ramai.
Tiada yang tidak jalu di negeri kita ini, Roy. Aku, kau dan kita semua terbabit dalam masalah kejaluan yang melupakan esensi hidup ini. Seandainya kita sadar dengan apa yang kita lakukan, mungkin saja kesejahteraan dan kebahagiaan bukan hal mustahil untuk diwujudkan. Karena kita semua dalam keadaan jalu, kebohongan, keserakahan, kerakusan hidup subur tanpa dapat dihentikan.
Lama-kelamaan kejaluan kita semakin menjadi. Kita yang berdiri dengan kejaluan ini, terus berbuat tanpa sadar. Menomen-menomen hasil kerja kejaluan kita semakin tegar berdiri. Kita pun menganggap diri kita yang paling benar, paling betul, sehingga apa yang dilakukan orang lain adalah salah dan harus dibumi hanguskan. Kita pun mencari celah untuk menumbangkan setiap lawan, bahkan akalu ada kawan yang berpikiran berlawanan dengan pikiran kita, kita pun harus membinasakannya. Tiada kawan sejati dalam kejaluan kita, Roy. Kita sudah diasikan dengan kepongahan diri kita sendiri.
Di negeri ini, orang pintar itu banyak Roy, namun mereka juga ikut-ikutan jalu. Mereka tanpa sadar juga, masuk dalam kejaluan yang telah diciptakan dengan kehilangan kesadaran. Kebenaran yang dibangun dari kejaluan kita, kini sudah semakin susah dikendalikan Roy.
Mungkin saja Roy, surat yang aku tuliskan kepada dirimu ini, aku dalam keadaan jalu. Aku tidak tahu lagi kepada siapa hendak aku tuangkan rasa jalu ini. Seandainya engkau tidak jalu, akau berharap, engkaulah yang dapat membangunkan orang yang sedang jalu di negeri kita ini. Bagaimanapun caranya, kita harus disadarkan, kalau tidak negeri kita ini akan semakin terpuruk dalam ketidaksadaran.”
Atah Roy menggisal matanya yang tidak pedih, setelah membaca surat Ilham Sulah, teman Atah Roy waktu sekolah dasar dahulu. Ilham Sulah kini berada di Jakarta, menjadi orang terpandang di Ibu Kota Indonesia itu. Perjuangan Ilham Sulah menjadi orang terpandang di Jakarta, memang penuh rintangan. Ia terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya dan masuk kelompok yang sedang berkuasa. Sebelum Ilham Sulah ke Jakarta, ia pernah mengatakan kepada Atah Roy, bahwa untuk dihargai dan di segani di kampung kita ini, maka kita harus menakluk dan berkuasa di Jakarta. Orang daerah lebih percaya orang Jakarta dibandingkan dengan orang tempatan itu sendiri.
Kini cita-cita Ilham Sulah sudah terwujud, namun kenapa Ilham Sulah baru menyurati Atah Roy dan membicarakan masalah ini? Hal inilah yang memeningkan Atah Roy. Padahal sebelumnya, Atah Roy tidak pernah menerima sepucuk surat pun dari Ilham Sulah. Sudah hampir 20 tahun Ilham Sulah mendapat tempat sedap di Ibu Kota itu, tapi kenapa baru sekarang.
“Mungkin Ilham sedang jalu menuliskan surat die ni tak?” oikir Atah Roy.
Tiba-tiba Leman Lengkung berjalan dalam tidurnya. Kemudian Leman Lengkung duduk di sebelah Atah Roy. Lama Atah Roy menatap Leman Lengkung. Mata Leman Lengkung tertutup rapat.
“Hei, Roy. Hari raye dah dekat. Apekah dikau tak membeli baju aku?” Leman Lengkung berkata dalam tidurnya.
“Aku dipanggil Roy aje? Aku ni bapak saudare die,” ucap Atah Roy geram.
“Roy, kalau dikau hendak beli baju aku besok, tolong belikan baju terbaru ye, kalau tidak, aku penggal kepale dikau,” kata Leman Lengkung sambil berdiri dan masuk ke kamar kembali.
“Alamak, kalau orang dah jalu ini, memang tak kenal lagi dengan orang lain. Dielah yang paling hebat dan paling berkuase. Padahal die mintak beli baju dengan awak, tapi bukan main kaso langgo bahasenye,” ujar Atah Roy sambil melihat Leman Lengkung masuk ke kamar.
“Betuk juge cakap Ilham Sulah dalam surat ini. Tersebab kite ini semue dalam keadaan jalu, make kite pun tidak pernah menyadari ape yang kite buat. Kalau sudah macam ini, alamat terlungkuplah negeri kite ini,” ucap Atah Roy lagi, sambil berjalan menuju ke kamar Leman Lengkung. “Untung dikau tidur, Man, kalau tidak, aku lempang dikau dah!” ujar Atah Roy geram.       

Sabtu, 20 Juli 2013

Curiga


Negeri ini sepertinya kehilangan kepercayaan. Setiap kali seseorang tokoh atau kelompok berbuat baik, selalu dicurigai ada maksud tertentu. Kata orang-orang dahulu mengatakan “ada udang di balik batu.” “Wabah” kecurigaan ini semakin bertambah menjadi-jadinya ketika “musim” Pemilu, Pilkada sampai merebak pada pemilihan Ketu RT, untung tidak sampai pemilihan suami atau istri.
Kecurigaan terus hidup di benak orang-orang negeri ini, walaupun musim “pemilihan” sudah usai. Tiada lagi saling percaya, semuanya aktivitas yang dilakukan selalu dicap punya kepentingan pribadi atau kelompok. Berbuat baik terasa sumbang; orang-orang was-was untuk melakukan kebiakan. Gejala ini menciptakan masyarakat saling terpecah belah dan individualisme hidup subur. Ketika individualisme “merajalela” maka bersiap-siaplah perselisihan, perkelahian menjadi sesuatu cara “menyelesaikan” masalah.
Sebagai orang tua, Atah Roy sangat kecewa melihat negeri ini tidak menghargai orang lain lagi. Semuanya hendak dibawa pada kepentingan pribadi atau golongan. Masyarakat terabaikan. Atah Roy tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Orang tua kadang kala juga terperangkap hal-hal pribadi, sehingga nasehatnya menjadi basi. Anak muda beranggapan lebih pintar, sehingga dengan sesuka hati melakukan apapun juga.
Atah Roy tidak mengerti, mengapa di negeri ini diserang virus “curiga” yang berkelebihan. Kadang kala Atah Roy berpikir bahwa ada baiknya zaman Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Orang-orang dibungkam, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang menyebar kecurigaan. Zaman Reformasi ini, semua orang saling curiga dan saling punya kesempatan menohok, bahkan membunuh orang lain. Muncullah raja-raja bermulut manis, namun memiliki hati yang pahit. Paling parah lagi, orang-orang bermuka seribu pun bermunculan, memanfaatkan kesempatan.
Atah Roy terkenang, baru-baru ini, Gubernur Jakarta, Joko Widodo (Jokowi), dihadiahkan gitar bass milik personil Metellica. Pemberian hadiah yang dilakukan oleh bassis kelompok Metellica ini sebagai rasa terima kasih, karena Jokowi merupakan peminat berat kelompok ini. Walaupun sudah menjadi gubernur, Jokowi tetap hadir melihat konsert kelompok ini. Malangnya, pemberian gitar bass ini dicurigai memiliki kepentingan politis, sehingga gitar bass tersebut diserahkan kepada Komisi Pemberantas Korupsi. Alasannya, EO yang menghendel konser Metallica itu akan memanfaatkan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta.
Sementara itu, di negeri Langcang Kuning ini, kecurigaan bertambah subur, maklum pemilihan kepala daerah tidak lama lagi digelar. 4 September 2013 merupakan waktu untuk menentukan siapa yang menjadi Gubernur Riau ke depan. Menyebar pesona pun harus dilakukan, dan tentu saja untuk meyakinkan masyaralat banyak, penyebaran pesona dilakukan oleh tim-tim yang sudah dibentuk oleh calon gubernur. Bermunculanlah tokoh-tokoh yang masuk tim sukses.
Para tim pun bekerja dan masalah pun muncul. Atah Roy mencoba menetralkan diri tidak memihak sisapapun calon yang bertarung. Bagi Atah Roy, siapapun Gubernur Riau berikutnya, harus mampu menciptakan Riau ini lebih sejahtera. Sudah lama propinsi yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah ini, dizalimi. Untuk itulah Atah Roy berharap kepada semua calon berkomitmen membangu Riau. Jangan ada lagi kepentingan kelompoak atau perorangan. Setelah menjadi gubernur, calon tersebut miliki masyarakat Riau, bukan miliki partai atau kelompok yang memenangkan dirinya.
Sementara itu, Leman Lengkung, anak saudara Atah Roy, masuk tim salah satu calon gubernur. Dengan giat Leman Lengkung menyosialisasikan jaguannya tersebut. Setiap pohon di kampung, dipasang gambar-gambar calon gubernur yang ia dukung. Sampai di rumah Atah Roy, Leman Lengkung tinggal di rumah Atah Roy, gambar-gambar calon geburnur Leman Lengkung dipasang. Pokonya semua dinding rumah Atah Roy ditempel gambar.
Melihat Leman Lengkung sudah melampau, Atah Roy pun menegur Leman Lengkung.
“Ape pasal di setiap diding rumah aku, dikau pasang gambo die ni, Man?” tanya Atah Roy.
“Ini Tah, calon gubernur masa depan Riau. Dia memiliki visi dan misi mantap untuk membangun Riau ke depan,” jawab Leman Lengkung seperti seorang diplomat ulung.
“Tapi kenape pulak dikau pasang di semue dinding rumah ni?” Atah Roy menarik nafas panjang.
“Atah tak suke saye memasang gambo-gambo ini semue ye? Atau Atah mendukung calon lain?” Leman Lengkung curiga.
“Bagi aku, siape pun jadi gubernur semue pilihan kite. Tapi dikau menempel semue gambo ini ke seluruh dinding rumah aku, memang aku tak suke,” jawab Atah Roy.
“Alah, Atah tu memang menghambat orang lain. Saye bukan tidak tahu, semalam Atah berkunjung ke rumah Tami Senget,” ujar Leman Lengkung agak keras.
“Ape salahnye aku berkunjung ke rumah Tami Senget,” balas Atah Roy.
“Alah, Tah. Tami Senget tu tim sukses calon lain. Atah mendukung calon yang dijagokan Tami Senget tu, bukan saye tak tahu,” Leman Lengkung semakin geram.
“Man, aku ke rumah Tami tu, mintak hutang. Sudah due bulan die belum bayo utangnya, sementare hari raye dah dekat. Dengan ape kite nak buat kue?” Atah Roy juga meninggikan nada suaranya.
“Usahlah Tah, saye tahu semuenye. Atah dan Tami Senget ade buat perjanjian kalau calon Tami tu jadi,” Leman Lengkung ketus.
“Perjanjian ape?” Atah Roy agak geram.
“Atah akan diangkat menjadi Ketue Koperasi di kampung ini, dan kalau Atah ketue, Tami Senget jadi bendaharanye, senang mike membagikan duit,” Leman Lengkung semakin emosi.
“Man, bercakap tu bio betul siket,” muka Atah Roy memerah.
“Memang ye, Tah, tidak usah disenbunyikan lagi,” ujar Leman Lengkung.
“Aku bercakap betul ye, Man, jangan dikau membangunkan harimau yang sedang tidur ini,” gigi Atah Roy rapat menahan amarah.
“Tak gune kite bercakap lagi, Tah. Pasti Atah membela Tami tu, sebab Tami sudah menjanjikan kepade Atah,” Leman Lengkung semakin menjadi-jadi.
Tiba-tiba tangan kanan Atah Roy mendarat ke pipi Leman Lengkung. Atah Roy tersengal-sengal, amarahnya tertumpah ke pipi Leman Lengkung. Tidak terima perbuatan Atah Roy, bapak saudaranya, Leman Lengkung berdiri, dan mengepal tinjunya. Namun Leman Lengkung menghentikan tinjunya tepat di hidung Atah Roy.
“Pakakal dikau bapak saudare aku, kalau orang lain, dah bonyuk muke dikau ni!” ujar Leman Lengkung penuh emosi.
Leman Lengkung meninggalkan Atah sendiri. Atah Roy termenung melihat Leman Lengkung berani mau meninjunya.
“Inikah kehendak reformasi itu? Orang-orang penuh kecurigaan, sehingga menghilangkan akal sehat,” ujar Atah Rpy lirih.  
      
    
  
     

Sabtu, 06 Juli 2013

Bulan Ramadhan



Bulan Ramdhan datang kembali. Harapan untuk mengubah dan memperbaiki diri masih terbentang bagi kita yang masih hidup. Bagi Atah Roy kedatangan bulan Ramdhan merupakan kesempatan untuk mengubah diri lebih baik lagi dari bulan-bulan yang sudah lewat. Untuk mengingatkan arti penting bulan Ramdhan ini, Atah Roy pun menulis surat yang ditujukan kepada dirinya sendiri. 


Atah Roy menjadi bahwa perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri. “Mengenal diri, maka akan mengenal Tuhan yang bahari”, bisik Atah Roy dengan mengenang kembali kata-kata yang disusun oleh sastrawan besar Riau abad 19, Raja Ali Haji. Dengan menggunakan seagala pikirannya, Atah Roy pun menuyusun kata demi kata, dan inilah kata-kata yang disusun Atah Roy itu.      
“Waktu terus bergerak meninggalkan peristiwa-peristiwa, maka sesungguhnya manusia itu merugi, kecuali manusia yang beriman. Pada peristiwa-peristiwa yang ditinggalkan oleh waktu, ada ‘wajah’ kita sebagai manusia. Wajah dengan penuh duka, wajah dengan penuh keceriaan ataupun wajah yang sedang-sedang saja merupakan hasil usaha dan kerja kita dalam mengisi waktu yang terus berlalu. Tentu saja keredhoaan Allah menjadi hal yang paling penting dari segala usaha dan kerja kita selama ini.
Bulan Ramadhan datang kembali. Kita pun kembali diberi kesempatan untuk melakukan hal yang lebih bermafaat dan berfaedah sesuai dengan keinginan Sang Maha Pencipta. Pada bentangan waktu yang sudah berlalu, terkadang manusia lupa, terkadang manusia lalai, terkadang manusia sombong, bulan Ramadhan menjadi tempat merangkai kebaikan untuk menutupi kesalahan kita.
Memang perjalanan waktu tidak terasa, yang kecil tumbuh dewasa, yang muda bergerak menjadi tua, yang hidup sampai pada kematian. Begitulah perjalanan waktu; tidak terasa namun pada titik-titik tertentu, manusia tersentak disadarkan. Kesadaran manusia muncul ketika manusia menghadapi masalah yang rumit. Manusia pun membongkar daya ingatnya dan merangkai segala peristiwa yang mereka buat dengan peristiwa sulit yang sedang mereka hadapi. Mempertanyakan kesalahan apa yang sudah mereka lakukan.
Kita tidak mungkin menyalahkan waktu, sebab waktu itu adalah diri kita. Apapun peristiwa yang ‘tumbuh’ di bentangan waktu merupakan hasil pikiran dan perasaan manusia. Baik dan benar, dosa dan pahala adalah hasil dari usaha dan kerja manusia. Lupa akan hakikat sebagai manusia, menghasilkan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri. Memang hidup ini mengasikkan. Dengan keasikan kehidupan menyebabkan manusia lupa akan kebenaran yang sesungguhnya. Asik mengumpulkan harta benda, asik ingin berkuasa, asik mau dihormati, menyebabkan manusia selalu terjerumus dalam perbuatan lupa akan dirinya.  
Manusia yang hadir di muka bumi adalalah pemenang. Kemenangan menyanggupi menjalankan segala perintah Sang Maha Pencipta, maka kita pun dilahirkan. Sebagai pemenang manusia dituntut untuk mempertahankan kemenangannya dengan melakukan dan menyebarkan kebenaran hakiki itu. Namun dalam perjalanan waktu, manusia pun bisa berubah. Lalai dan keasikan akan keduniawian inilah penyebab manusia berubah.     
Bulan Ramadhan datang kembali. Kesempatan manusia menyulam hakikat sebagai manusia masih terbuka. Kahadiran bulan Ramadhan menandakan Sang Maha Pencipta menyanyangi manusia. Kita sebagai manusia, diberi kesempatan untuk melakukan intropeksi diri, agar mampu mengubah nasib dan jalan hidup kita berdasarkan keredhoaan Allah. Tiada yang abadi di dunia ini selain amal dan ibadah, dan Allah senantiasa membukakesempatan itu bagi kita semua.
Setiap kali bulan Ramadhan datang, kita diberi kebebasan untuk memperbaiki diri berdasarkan perintaah Allah. Sebulan penuh ini, kita ditempa menjadi manusia yang benar-benar mengenal hakikat diciptakan di muka bumi ini. Menjalin kekeluargaan sesama manusia, tidak berburuk sangka, menghilangkan rasa denki. Bagaimanapun juga manusia yang dilahirkan pada hakikatnya sama, sama-sama menghambakan diri kepada Allah, dan peluang kita tetap menjadi pemenang di sisi Allah masih tetap sama. Hanya manusia yang benar-benar mengenal diri, menjadi pemenang yang sesungguhnya.
Pada bulan Ramadhan tahun ini (1434 Hijrah), di negeri kita, Riau yang kita cintai ini, setelah Ramadhan usai, akan dilangsungkan pemilihan gubernur. Maka banyak kesempatan bagi orang-orang memanfaatkan Ramadhan untuk kepentingan sesaat. Mudah-mudahan Ramadhan tahun ini membuka pikiran dan hati kita untuk tidak berburuk sangka dengan manuver politik yang dilakukan oleh saudara-saudara kita. Pilihlah mereka sesuai dengan pekerjaan mereka selama ini.
Bulan Ramadhan mengajar kita untuk mengarifi kehidupan ini dengan keikhlasan. Mudah-mudahan keberkahan tetap melimpah di negeri kita. Dan kita benar-benar menjadi pemenang di mata Allah SWT.”
Setelah menulis kalimat ini, air mata Atah Roy bercucuran berjatuhan. Atah Roy merasakan bahwa ia belum berbuat banyak untuk kehidupan ini. Bentangan peristiwa masa lalu hadir di benaknya. Kesombongan, kerakusan, yang pernah ia buat bukanlah jalan yang benar untuk mendapatkan keredhoaan Allah. Atah Roy berazam bahwa Ramadhan tahun ini ia akan bersungguh-sungguh berbuat sesuatu berharap keredhoaan Allah. Ketika segala kerja kita diredhoi oleh Allah, maka dijamin akan dapat menyenangi manusia lainnya.