Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 23 Februari 2013

Hampa



                  
Akhir-akhir ini Atah Roy dilanda kerisauan yang luar biasa; makan tak enak, tidur tak nyenyak, mandi pun ia malas. Buku klasik Melayu, Hikayat Hang Tuah, sudah beberapa hari berada di tangannya. Buku itu sebenarnya sudah beberapa kali pula selesai dibaca oleh Atah Roy, namun Atah Roy seakan tidak bisa melepaskan buku itu dari tangannya. Peristiwa dalam buku itu terus menusuk-tusuk otaknya.
“Raja Alim, raja disebah. Raja zalim, raja disanggah,” kalimat yang melompat dari tokoh Hang Jebat, terus saja mengusik pikiran Atah Roy. Kalimat itu bagi Atah Roy saat ini seperti harapan menuju hamparan cahaya. Namun Atah Roy ragu, kalimat itu akan menjelma menjadi bumerang yang akan menghantam diri orang yang mengucapkan. Bukankah Hang Jebat harus mati di tangan Hang Tuah setelah mengucap dan sekaligus melaksanakan kalimat itu. Hang Jebat dicap sebagai pedurhaka. Apakah pendurhaka namanya ketika kerajaan tidak memberi tempat lagi untuk rakyatnya menghirup udara kemakmuran dan keadilan?
Kekhawatiran Atah Roy bertambah-tambah ketika menyaksikan berita yang terjadi di negeri ini. Semua tokoh yang diharapkan mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, tersandung permasalahan yang tidak untuk rakyatnya. Bahakan tokoh-tokoh yang diharapkan itu seperti benalu menusuk ke tubuh rakyat. Mereka seakan memang tidak memperhatikan rakyat. Kepentingan pribadi menghanguskan kepentingan orang banyak.
Atah Roy menggelengkan kepalanya berkali-kali. Tokoh Hang Jebat dalam hikayat itu, menjelma di benaknya. Perubahan yang dibawa Hang Jebat untuk menyadarkan sultan menjadi petaka bagi dirinya. Hang Tuah, orang yang menyebabkan Hang Jebat melakukan perlawanan terhadap sultan, memaksa Hang Jebat untuk mengalah atas kezaliman yang dilakukan sultan.
Atah Roy semakin takut; takut dengan tidak akan muncul orang-orang seperti Hang Jebat di negeri ini. Di negeri ini, pada hari ini, bermunculan orang-orang bermuka seribu; Orang-orang yang menunggu keadaan tidak menentu, dan muncul sebagai pahlawan. Orang-orang yang tidak memiliki rasa malu menjulurkan lidahnnya sepanjang mungkin, demi untuk menjilat orang yang sedang berkuasa. Melompat dari kelompok satu, ke kelompok yang lain untuk meraup keuntungan diri sendiri.
“Sudahlah Tah, tak usah dipikirkan sangat tentang negeri ini. Seperti kapal, negeri ini akan tenggelam. Ini bukan disebabkan nahoda kurang paham Tah, tapi nahoda banyak kehendak. Tujuan perahu dan penumpangnya sederhana saje, perahu sampai pade pelabuhan, penumpangnya bahagia. Sekarang tidak Tah, nahoda asik nak membeluk-beluk perahu ni, agar lame menjadi nahoda di tengah laut bergelombang. Kalau tak ade gelombang, die buat gelombang sendiri, Tah,” ujar Leman Lengkung disaat melihat Atah Roy termenung di kursi tamu rumahnya. Leman Lengkung pun duduk dekat Atah Roy.
“Ape nak dipikirkan lagi Tah, kalau dah semuenye tak dapat diharap,” tambah Leman Lengkung.
Atah Roy menatap Leman Lengkung dengan tatapan penuh makna. Atah Roy tak menyangka, Leman Lengkung yang mewakili generasi muda, kehilangan harapan. Atah Roy pun teringat kisah Hang Nadim, disaat orang dewasa kehilangan akal membendung serangan todak, Hang Nadim muncul dengan pikiran yang berlian menyelesaikan masalah.
“Dikau tak same dengan Hang Nadim, Man,” ucap Atah Roy lirih.
“Tah, negeri ini dah tak menghargai pemikiran berlian untuk menyelamatkan negeri ini de. Orang-orang hanye sibuk mengurus dirinya sendiri. Kalau ade pemikiran untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran, selalu pemikiran itu dianggap suversif alias kualat alias mendurhaka,” jelas Leman Lengkung yakin.
“Tapi kite tidak boleh menyerah dan menguburkan harapan, Man. Apelagi generasi mude macam dikau ni!” Atah Roy sedikit emosi.
“Di mane harapan nak disangkutkan lagi, Tah? Atah membace dan menyaksikan bagaimane tokoh-tokoh yang katenye nak melakukan perubahan tersangkut masalah diri sendiri. Belum lagi kehendak-kehendak penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya, selalu menggunakan care menekan. Kite-kite juga yang jadi korbannye, Tah,” Leman Lengkung bertambah yakin.
“Dikau tidak boleh bercakap macam tu, Man. Hang Nadim tidak pernah gentar mengeluarkan pendapatnye, walaupn akhirnya ia dihukum bunuh,” kata Atah Roy mencoba membangkitkan semangat Leman Lengkung.
“Inilah gambarannye Tah. Hang Nadim harus mati, hal ini disebabkan orang-orang yang memiliki kekuasaan takut Hang Nadim menjadi raksasa dapat mengalahkan mereka. Penguasa di zaman itu juge tidak melihat bahwe ape yang dedahkan Hang Nadim untuk kebaikan orang banyak, mereka hanye melihat Hang Nadim sebagai pengacau sistem yang mereke bangun,” Leman Lengkung teguh pendirian.
“Kalau pemikiran generasi mude macam ni, memang tak ade harapan negeri ini berbenah diri. Aku tak ingin negeri kite ini hancur disebabkan kepentingan-kepentingan sesaat, Man,” suara Atah Roy mulai melemah. Keibaan terasa mendera Atah Roy.
“Kemane kita nak menuangkan gagasan lagi, Tah? Pusat sibuk dengan dirinye sendiri, daerah dah tak tentu arah. Orang-orang hanye bangga dengan dirinye. Setiap kali ade gagasan baru untuk kepentingan orang banyak dianggap nak melawan pemerintahan,” tambah Leman Lengkung lagi.
“Aku teringat Hang Jebat, Man,” ujar Atah Roy seperti mengiba.
“Payah Tah, zaman kenen ni banyak musang berbulu ayam. Bahkan ayam pun dah berbulu musang, kalau tidak memang tak bisa hidup de,” Leman Lengkung tetap yakin dengan pendiriannye.
“Kalau macam ini, ape nak kite buat?” Atah Roy macam frustasi.
“Entahlah Tah, semuenye dah tak dapat diharap lagi,” tutur Leman Lengkung ikut tak bersemangat.
Atah Roy kembali menggelengkan kepalanya. Ia sudah kehilangan akal untuk menyadarkan Leman Lengkung. Buku Hikayat Hang Tuah yang berada di tangannnya beberapa hari ini, diletakkan di atas meja. Atah Roy pun meninggalkan Leman Lengkung sendiri.
“Harapanku yang hampa,” ucap Atah Roy sambil melangkah menuju ke kamarnya.
Leman Lengkung menenguk Atah Roy pergi, kemudian Leman Lengkung berucap,
“Betulkan di negeri ini tidak ade harapan lagi?” tiba-tiba angin membalik halaman buku Hikayat Hang Tuah, Leman Lengkung membaca ucapan Hang Jebat “Raja zalim, raja disanggah. Raja alim, raja disembah.” Leman Lengkung berpikir lalu dari mulutnya bertanya, “Siapa berani?”