Akhir-akhir
ini Atah Roy dilanda kerisauan yang luar biasa; makan tak enak, tidur tak
nyenyak, mandi pun ia malas. Buku klasik Melayu, Hikayat Hang Tuah, sudah beberapa hari berada di tangannya. Buku
itu sebenarnya sudah beberapa kali pula selesai dibaca oleh Atah Roy, namun
Atah Roy seakan tidak bisa melepaskan buku itu dari tangannya. Peristiwa dalam
buku itu terus menusuk-tusuk otaknya.
“Raja
Alim, raja disebah. Raja zalim, raja disanggah,” kalimat yang melompat dari
tokoh Hang Jebat, terus saja mengusik pikiran Atah Roy. Kalimat itu bagi Atah
Roy saat ini seperti harapan menuju hamparan cahaya. Namun Atah Roy ragu,
kalimat itu akan menjelma menjadi bumerang yang akan menghantam diri orang yang
mengucapkan. Bukankah Hang Jebat harus mati di tangan Hang Tuah setelah
mengucap dan sekaligus melaksanakan kalimat itu. Hang Jebat dicap sebagai
pedurhaka. Apakah pendurhaka namanya ketika kerajaan tidak memberi tempat lagi untuk
rakyatnya menghirup udara kemakmuran dan keadilan?
Kekhawatiran
Atah Roy bertambah-tambah ketika menyaksikan berita yang terjadi di negeri ini.
Semua tokoh yang diharapkan mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,
tersandung permasalahan yang tidak untuk rakyatnya. Bahakan tokoh-tokoh yang
diharapkan itu seperti benalu menusuk ke tubuh rakyat. Mereka seakan memang
tidak memperhatikan rakyat. Kepentingan pribadi menghanguskan kepentingan orang
banyak.
Atah Roy
menggelengkan kepalanya berkali-kali. Tokoh Hang Jebat dalam hikayat itu,
menjelma di benaknya. Perubahan yang dibawa Hang Jebat untuk menyadarkan sultan
menjadi petaka bagi dirinya. Hang Tuah, orang yang menyebabkan Hang Jebat
melakukan perlawanan terhadap sultan, memaksa Hang Jebat untuk mengalah atas
kezaliman yang dilakukan sultan.
Atah Roy
semakin takut; takut dengan tidak akan muncul orang-orang seperti Hang Jebat di
negeri ini. Di negeri ini, pada hari ini, bermunculan orang-orang bermuka
seribu; Orang-orang yang menunggu keadaan tidak menentu, dan muncul sebagai
pahlawan. Orang-orang yang tidak memiliki rasa malu menjulurkan lidahnnya
sepanjang mungkin, demi untuk menjilat orang yang sedang berkuasa. Melompat
dari kelompok satu, ke kelompok yang lain untuk meraup keuntungan diri sendiri.
“Sudahlah
Tah, tak usah dipikirkan sangat tentang negeri ini. Seperti kapal, negeri ini
akan tenggelam. Ini bukan disebabkan nahoda kurang paham Tah, tapi nahoda
banyak kehendak. Tujuan perahu dan penumpangnya sederhana saje, perahu sampai
pade pelabuhan, penumpangnya bahagia. Sekarang tidak Tah, nahoda asik nak
membeluk-beluk perahu ni, agar lame menjadi nahoda di tengah laut bergelombang.
Kalau tak ade gelombang, die buat gelombang sendiri, Tah,” ujar Leman Lengkung
disaat melihat Atah Roy termenung di kursi tamu rumahnya. Leman Lengkung pun
duduk dekat Atah Roy.
“Ape nak
dipikirkan lagi Tah, kalau dah semuenye tak dapat diharap,” tambah Leman
Lengkung.
Atah Roy
menatap Leman Lengkung dengan tatapan penuh makna. Atah Roy tak menyangka,
Leman Lengkung yang mewakili generasi muda, kehilangan harapan. Atah Roy pun
teringat kisah Hang Nadim, disaat orang dewasa kehilangan akal membendung
serangan todak, Hang Nadim muncul dengan pikiran yang berlian menyelesaikan
masalah.
“Dikau
tak same dengan Hang Nadim, Man,” ucap Atah Roy lirih.
“Tah,
negeri ini dah tak menghargai pemikiran berlian untuk menyelamatkan negeri ini
de. Orang-orang hanye sibuk mengurus dirinya sendiri. Kalau ade pemikiran untuk
menyelamatkan negeri ini dari kehancuran, selalu pemikiran itu dianggap
suversif alias kualat alias mendurhaka,” jelas Leman Lengkung yakin.
“Tapi
kite tidak boleh menyerah dan menguburkan harapan, Man. Apelagi generasi mude
macam dikau ni!” Atah Roy sedikit emosi.
“Di mane
harapan nak disangkutkan lagi, Tah? Atah membace dan menyaksikan bagaimane
tokoh-tokoh yang katenye nak melakukan perubahan tersangkut masalah diri
sendiri. Belum lagi kehendak-kehendak penguasa untuk mempertahankan
kekuasaannya, selalu menggunakan care menekan. Kite-kite juga yang jadi
korbannye, Tah,” Leman Lengkung bertambah yakin.
“Dikau
tidak boleh bercakap macam tu, Man. Hang Nadim tidak pernah gentar mengeluarkan
pendapatnye, walaupn akhirnya ia dihukum bunuh,” kata Atah Roy mencoba
membangkitkan semangat Leman Lengkung.
“Inilah
gambarannye Tah. Hang Nadim harus mati, hal ini disebabkan orang-orang yang
memiliki kekuasaan takut Hang Nadim menjadi raksasa dapat mengalahkan mereka.
Penguasa di zaman itu juge tidak melihat bahwe ape yang dedahkan Hang Nadim
untuk kebaikan orang banyak, mereka hanye melihat Hang Nadim sebagai pengacau
sistem yang mereke bangun,” Leman Lengkung teguh pendirian.
“Kalau
pemikiran generasi mude macam ni, memang tak ade harapan negeri ini berbenah
diri. Aku tak ingin negeri kite ini hancur disebabkan kepentingan-kepentingan
sesaat, Man,” suara Atah Roy mulai melemah. Keibaan terasa mendera Atah Roy.
“Kemane
kita nak menuangkan gagasan lagi, Tah? Pusat sibuk dengan dirinye sendiri,
daerah dah tak tentu arah. Orang-orang hanye bangga dengan dirinye. Setiap kali
ade gagasan baru untuk kepentingan orang banyak dianggap nak melawan
pemerintahan,” tambah Leman Lengkung lagi.
“Aku
teringat Hang Jebat, Man,” ujar Atah Roy seperti mengiba.
“Payah
Tah, zaman kenen ni banyak musang berbulu ayam. Bahkan ayam pun dah berbulu
musang, kalau tidak memang tak bisa hidup de,” Leman Lengkung tetap yakin
dengan pendiriannye.
“Kalau
macam ini, ape nak kite buat?” Atah Roy macam frustasi.
“Entahlah
Tah, semuenye dah tak dapat diharap lagi,” tutur Leman Lengkung ikut tak
bersemangat.
Atah Roy
kembali menggelengkan kepalanya. Ia sudah kehilangan akal untuk menyadarkan
Leman Lengkung. Buku Hikayat Hang Tuah
yang berada di tangannnya beberapa hari ini, diletakkan di atas meja. Atah Roy
pun meninggalkan Leman Lengkung sendiri.
“Harapanku
yang hampa,” ucap Atah Roy sambil melangkah menuju ke kamarnya.
Leman
Lengkung menenguk Atah Roy pergi, kemudian Leman Lengkung berucap,
“Betulkan
di negeri ini tidak ade harapan lagi?” tiba-tiba angin membalik halaman buku Hikayat Hang Tuah, Leman Lengkung
membaca ucapan Hang Jebat “Raja zalim, raja disanggah. Raja alim, raja
disembah.” Leman Lengkung berpikir lalu dari mulutnya bertanya, “Siapa berani?”