Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 24 Desember 2011

Pembisik




“Kehancuran seuatu negeri, bukan hanya disebabkan satu orang, tapi banyak yang ikut andil mempercepat negeri ini hancur,” ucap Atah Roy sambil menghirup kopi panas di kedai kopi Nah Kadan. Orang-orang melihat ke Atah Roy. Mereka tidak mengerti, mengapa Atah Roy tiba-tiba berkata seperti itu. Sementara Yung Azam yang duduk tepat di depan Atah Roy, hanya tersenyum. Jang Tengkes pindah ke meja Atah Roy. Walaupun tidak tamat Sekolah Dasar, tapi masalah kecintaan terhadap negeri, Jang Tengkes tidak mau ketinggalan.
“Ini masalah marwah ni, Tah,” kata Jang Tengkes setelah duduk di samping Atah Roy dengan semangat yang mengebu-ngebu. “Kite perlu membicarekan masalah signifikan ini, Tah. Rase cinta kite terhadap negeri ini, makin hari, makin mengalami abrasi seperti tebing dilantak gelombang besar,” tambah Jang Tengkes.
Atah Roy menyedot rokoknya dalam-dalam. Seketika kemudian, asap rokok mengepul keluar dari mulut Atah Roy. Berat tampaknya masalah yang mendiami lubuk hati Atah Roy. Sebenarnya dan seharusnya, pikir Atah Roy, tidak ada lagi masalah melanda negeri ini. Semua kepala daerah di negeri ini dikuasai oleh putra-putra terbaik yang lahir dari “rahim” tanah Melayu. Atah Roy pun tak mau menyekat-nyekat tentang Melayu, yang lahir, besar dan menjaga marwah tanah ini adalah orang Melayu Riau.
“Kita juga yang salah, memilih pemimpin kita berdasarkan berapa kekayaan mereka. Seharusnya memilih pemimpin berdasarkan apa yang ia kerjakan sebelum menjadi pemimpin,” ujar Yung Azam seperti dapat membaca pikiran Atah Roy.
Jang Tengkes tergangga melihat Yung Azam berkata seperti itu. Lalu dengan wajah agak ragu berucap. “Yung, memang kite hidup di tanah yang kaye, tapi Yung bisa tenguk sendiri, bahwa banyak saudare kita yang hidup melarat. Siape yang tak butuh duit, Yung?”
Yung Azam menggelengkan kepalanya. Cangkir kopi diangkat ke bibirnya, dan air kopi pun dihirup dengan nikmat. Kemudian cangkir kopi itu ditaruk kembali ke atas meja. “Inilah masalahnya. Seharusnya kite hidup lebih sejahtera dibandingkan dengan warga dunia lainnya. Di tanah ini, apa yang tak ada? Semuanya tersedia; minyak bumi, hutan, gas, emas, batu bara, semuanya tersedia, tapi kenapa kita tak bisa membebaskan diri dari sengsara? Pasti ada yang salah pada diri kite?” tambah Yung Azam semakin serius.
“Kite tak punye pembisik yang handal,” celetuk Atah Roy.
Yung Azam dan Jang Tengkes saling pandang dan kemudian mereka memperhatikan Atah Roy. Mereka tak mengerti apa yang dikatakan oleh Atah Roy. Kedua wajah itu semakin mengerut.
“Ape maksud Atah ni?” tanye Jang Tengkes.
“Ape yang dikau cakapkan ni, Roy? Kite same-same tahukan, semua pimpinan punye bawahan dan staf berpendidikan tinggi. Paling rendah, mereka sekolah S1. Tak ade alasan engkau cakap pemimpin kite tak punye pembisik yang handal,” Yung Azam tidak puas dengan ucapan Atah Roy.
“Mereke bukan pembisik, tapi pelaksana dan pengusul kegiatan. Kuncinye ade pade tangan pemimpin. Seandainye pemimpin tak punye pembisik yang handal, make pemimpin akan memutuskan sesuatu itu tanpe pertimbangan yang masak,” ucap Atah Roy.
“Maksud Atah pembisik macam mane ni?” Jang Tengkes belum juga mengerti.
“Nabi Adam tergelincir disebabkan ade pembisik bernama setan. Sultan Mahmud dalam Hikayat Hang Tuah, terjerumus oleh pembisik bernama Patih Karmawijaya. Napaleon punya pembisik ibunya yang senantiasa membangkitkan semangat untuk mengubah Perancis. Dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa besar disebabkan ‘suara’ yang datang dari pembisik. Seharusnya, pada hari ini muncul pembisik-pembisik yang handal, yang tidak memikirkan dirinya sendiri, tepi memikirkan orang banyak,” jelas Atah Roy panjang lebar.
“Roy, zaman sudah berubah. Pada hari ini, orang berbuat bukan untuk orang banyak, tapi untuk dirinya sendiri. Keadaanlah yang membuat seperti itu. Orang yang jujur pada hari ini, bisa bersalah, dan sebaliknya, orang pembengak bisa menjadi benar,” Yung Azam menangkis kata-kata Atah Roy.
“Ini yang aku tak suai. Kejujuran tetaplah kebenaran, jangan diotak-atik lagi. Kalau semuenye dipolitisir demi kepentingan sesaat, make negeri ini akan menuju kehancuran. Kite bertanggung jawab untuk mengibarkan kebenaran pada hari ini, kalau tidak semakin sesatlah generasi mude yang hidup setelah kite,” Atah Roy mulai agak emosi.
“Ape yang harus kite lakukan, Tah?” Jang Tengkes mencoba menetralkan keadaan dengan bertanya.
“Kalau tak dapat bertemu dengan pimpinan, kite harus cepat-cepat bertemu dengan pembisik pimpinan dan kite harus sampaikan kebenaran itu benar. Itulah care satu-satunye yang dapat kite lakukan sekarang ini,” tambah Atah Roy.
“Tapi masalahnye, apekah pimpinan kite hari ini, punye pembisik?” Yung Azam ragu.
Atah Roy menggaruk kepalanya yang tak gatal. Atah Roy pun ragu, apakah hari ini para pemimpin kita punya pembisik. Seandainya para pemimpin punye pembisik, paling tidak keadaan yang tidak tentu arah ini dapat diminimalisir.
“Aku pun ragu ni,” jawab Atah Roy.
“Kalau macam ini, tak ade carelah, Tah?” Jang Tengkes masih tetap bertanya.
“Aku usul, kite bentuk tim pencari pembisik yang dapat dipercaye. Setelah name-name pembisik kite dapatkan, make kite berikan kepade para pemimpin kite. Macam mane?” ujar Yung Azam sambil mengangguk kepalanya.
“Kategori pembisik yang baik tu, seperti ape?” Jang Tengkes bertanya lagi.
“Percaye pada Allah,” kate Atah Roy singkat.
“Cume itu, Roy?” Yung Azam bertanya.
“Kalau kite dah percaye kepada Allah, make perbuatan kite semue akan mengarah kepada kebaikan untuk semue makhluk yang ade di muke bumi ini,” Atah Roy yakin seyakinnye.    
“Walaupun berat mencari orang macam ni, kite harus usahakan sekuat mungkin, agar negeri ini tidak hancur,” tambah Yung Azam dan dibenarkan oleh Jang Tengkes.   

Minggu, 18 Desember 2011

Bini Dulu


“Saye menyadari betul, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Setiap manusia akan melakukan kesalahan, tapi saye yakin, kesalahan akan menjadi pengalaman yang paling berharga. Pengalaman inilah menjadikan manusia lebih dewasa untuk memaknai hidup ini, Tah,” tulisan ini terpampang jelas di layar hp Atah Roy. Atah Roy belum dapat menyimpulkan permasalahan yang sedang dihadapi Man Tapak, si pengirim pesan lewat sms ke hp Atah Roy.
Lama Atah Roy menatap tulisan itu. Untuk menyimpulkan makna pesan Man Tapak itu, Atah Roy mengulangi membaca. Belum juga Atah dapat menyimpulkannya. Atah Roy tahu bahwa di balik tulisan Man Tapak ini, pasti ada maksud lain. Ini bukan sms biasa. Atah Roy menonggakkan kepalanya, lalu merangkai percikan-percikan peristiwa yang selalu dihadapi oleh Man Tapak. Tak juga Atah Roy dapat menyimpulkannya.
“Betul tu, Man. Manusia tidak akan pernah terlepas melakukan kesalahan, tapi yang memeningkan kepala aku, sms dikau tadi, pasti ade peristiwa lain di belakannye. Ape permasalahan dikau, Man?” Atah Roy membalas sms Man Tapak.
Beberapa saat kemudian, Man Tapak membalas sms Atah Roy. Singkat. Cuma satu kata. “Bini.” Kata itulah yang muncul di layar hp Atah Roy. Atah Roy merespon kata itu dengan mengerutkan keningnya. Permasalahan yang sedang di hadapai Man Tapak terbuka sedikit, tapi Atah Roy tidak berani menyimpulkan hal yang tidak-tidak mengenai bini Man Tapak.
Setahu Atah Roy, Jimah bini Man Tapak, merupakan perempuan yang paling tabah menghadapi apa pun masalah yang sedang melanda keluarga mereka. Waktu Man Tapak belum menjadi orang sukses alias orang kaya, Jimah dengan ketabahannya, terjun langsung membantu ekonomi keluarganya. Jimah tidak segan mencari kayu bakau di pinggir pantai dan menjualnya ke orang kampung untuk dijadikan kayu bakar. Jimah juga tidak pernah ragu menoreh karet milik Samad pada subuh harinya. Jimah selalu setia, walau himpitan ekonomi semakin berat melanda keluarga mereka.
Man Tapak selalu bercerita kepada Atah Roy, ia bersyukur memiliki bini yang paling setia dan memahami keadaan lakinya. “Jimah merupakan karunia Sang Pencipta kepada aku, Tah,” ujar Man Tapak kepada Atah Roy beberapa tahun yang lalu.
“Apekah Jimah dah berubah ketike keluarge mereke hidup serba berkecukupan?” pikir Atah Roy. Atah Roy betul-betul tidak paham, kenapa manusia selalu gagal ketika mereka diuji dengan kekayaan? Padahal, ketika mengarungi lautan kemiskinan, segala cobaan dapat diatasi. Atah Roy tak percaya, kalau Jimah sudah berubah. Tapi kenapa Man Tapak risau dengan bininya? “Atau Man Tapak be…” Atah Roy tidak berani berspekulasi lebih jauh lagi mengenai keluarga Man Tapak.
Tidak mungkin pula Man Tapak membuat kelaku yang tidak-tidak. Atah Roy tahu betul bahwa Man Tapak merupakan seorang lelaki yang bertanggung jawab. Waktu belum kaya dulu, Man Tapak telah membuktikan bahwa dia adalah laki yang tidak pernah menyerah untuk membahagiakan keluarganya. Apa pun pekerjaan akan dilakukan oleh Man Tapak demi keluarganya. Man Tapak pernah menyeludupkan rokok ke negeri seberang, dan disebabkan pekerjaannya itu, dia pun dipenjara selama beberapa tahun. Tidak itu saja, pekerjaan lebih gila lagi, menurut kabar dari orang-orang, Man Tapak pernah menjadi pengantar obat-obat terlarang (narkoba) dari negeri semberang. Namun, kabar burung itu tidak terbukti.
Sampailah nasib Man Tapak dan keluarga berubah total, dari orang melarat, kini menjadi orang kaya. Perubahan yang didapatkan oleh Man Tapak bukan tanpa perjuangan. Ketika Man Tapak telah membulatkan tekatnya pindah dan menjadi buruh pemotong rumput di negeri seberang, Man Tapak berkenalan dengan tokeh besar negeri seberang itu. Tokeh itu memanfaatkan Man Tapak sebagai orang negeri ini membuka kebun sawit. Man Tapaklah yang mengurus semue izin perkebunan itu. Kebun itu berhasil dan kehidupan Man Tapak dan keluarga kini telah berubah. Menurut orang kampung yang pernah singgah ke rumah Man Tapak di kota, Man Tapak benar-benar sudah sukses. Rumahnya besar, memiliki beberapa mobil mewah keluaran terbaru. Walaupun sudah jadi orang kaya, Man Tapak dan keluarga tetap ramah dan selalu membantu orang-orang kampung. Hp yang sedang dipegang Atah Roy ini juga hasil pemberian Man Tapak.
Menurut orang kampung yang pernah berkunung ke rumah Man Tapak, Jimah, bini Man Tapak, juga tidak berubah. Jimah dengan senyumnya, selalu menyapa orang kampung. Malahan, ketika berpamitan dari rumahnya, Jimah selalu menyelipkan uang kepada orang kampung. Tidak itu saja, Jimah selalu mengirimkan uang untuk keluarganya yang berada di kampung.
“Jadi apa yang salah dari Jimah,” Atah Roy terus berpikir mencari jawaban.
“Manusia rupanya tak kuat dicoba dengan kekayaan, Tah,” Sms Man Tapak masuk lagi ke hp Atah Roy. Atah Roy betul-betul tak mengerti.
“Ape masalah engkau, Man?” Atah Roy memberanikan diri membalas sms Man Tapak dengan pertanyaan to do point.
Lama Atah Roy menunggu jawaban Man Tapak. “Berat masalah Man Tapak nampaknye ni,” pikir Atah Roy.
“Aku macam kacang lupe kulit, Tah,” sms Man Tapak belum menyelesaikan pertanyaan Atah Roy.
Tiba-tiba Leman Lengkung datang. Dengan terengah-engah, Leman Lengkung menghampiri Atah Roy. Melihat Leman Lengkung macam dikejar hantu, Atah Roy jadi geram.
“Ngape engkau ni, Man?”
“Bang Man Tapak, Tah,” Leman Lengkung masih terengah-engah.
“Ngape Man Tapak?” Atah Roy semakin serius.
“Keluarge Bang Man hancur, Tah. Kak Jimah tak tahan dikhianati terus. Kate orang kampung, Bang Man Tapak selingkuh, bahkan dah pula nikah dengan perempuan lain,” Leman Lengkung menjelaskan.
“Ape kesah lelaki ni. Ketike senang tak ingat mase susah. Bini dulu yang sangat tabah menemani dalam kesusahan dikesampingkan. Padahal bini yang dinikahi sekarang, mencintai karena duit, bukan cinta sejati seperti bini dulu. Nasiblah dikau bini dulu,” kata Atah Roy menggelengkan kepalanya.
 
     

Sabtu, 10 Desember 2011

Pembengak

Sebagai masyarakat kecil, Atah Roy menjaga betul supaya dirinya tidak dicap sebagai pembengak alias pembohong. Untuk menghidari hal itu, Atah Roy pun tidak pernah membuat janji. Sekecil apa pun janji, Atah Roy selalu menghindarinya. Namun kali ini Atah Roy terperangkap oleh janji yang dibuat oleh Atan Kedel, sepupunya, yang sudah menjadi orang besar di kota.
Atan Kedel, sepupu Atah Roy itu, berjanji akan memperbaiki jalan di kampungnya yang sudah rusak parah. Atah Roy tidak tahu mengapa Atan Kedel berjanji untuk memperbaiki jalan di kampung mereka. Padahal selama ini, Atan Kedel tidak pernah memikirkan kampung. Alih-alih saja, Atan Kedel membuat janji. Niat Atan Kedel itu disampaikan kepada Atah Roy, dan Atah Roy diminta oleh Atan Kedel untuk menyampaikan janjinya kepada masyarakat.
Berat hati Atah Roy menanggung amanah ini. Mau dikhabarkan kepada masyarakat, Atah Roy tak pernah membuat janji. Tak dikatakan, Atan Kedel berharap betul agar Atah Roy memberitahukan kepada orang kampung. Agar Atan Kedel sadar bahwa berjanji kepada orang itu tidak baik, Atah Roy pun bercakap kepada Atan Kedel. Atah Roy berharap, Atan Kedel menyimpan niatnya untuk memperbaiki jalan kampung, disimpan di dalam hati yang paling dalam. Atah Roy menesehati Atan Kedel dengan mengatakan bahwa niat yang baik, tak perlu digembor-gemborkan kepada orang lain. “Niat baik, walaupun tak diucap, tetap pahalenye dicatat,” ujar Atah Roy kepada Atan Kedel.
Dasar ungkal alias keras kepala, Atan Kedel tidak mau menerima. Apa yang diucapkan Atah Roy, tidak menjadi ‘air’meredakan kobaran semangat Atan Kedel untuk meminta tolong, agar niatnya disampaikan kepada orang kampung. Dengan terpaksa Atah Roy menyebarkan niat Atan Kedel ke seluruh pelosok, ke seluruh keramaian dan ke seluruh-seluruh kampung. Orang kampung akhirnya mengetahui jalan mereka yang sudah rusak parah akan diperbaiki. 
Inilah yang ditakutkan oleh Atah Roy. Sudah dua tahun janji itu didengungkan dan sudah dua tahun pula masyarakat menunggu; jalan bertambah buruk, hati semakin panas. Janji itu terbengkalai, sama seperti jalan yang rusak itu, dibiarkan tanpa kepastian. Belum ada tanda-tanda janji yang disampaikan Atah Roy yang didapat dari Atan Kedel terealisasi. Orang-orang kampung sudah pula menganggap Atah Roy pembengak kelas kakap. Atah Roy selalu tersudut, apabila ada musyawarah di kampungnya. Usul Atah selalu dipangkah alias selalu dipotong sebelum Atah Roy sempat menyelesaikan ucapannya.
“Lidah tak bertulang; buat janji memang mudah, tapi menepatinya perlu keberanian,” ujar salah seorang penduduk kampung.
“Atah usah bercakap lagi, jalan yang rusak tu, sampai sekarang tak diperbaiki. Hati kami dah meluat betul mendengar suare Atah,” timpal penduduk kampung yang lain pula.
Hati Atah Roy seperti disayat dengan silet, pedihnya sungguh tidak terkatakan. Selama ini, Atah Roy tidak pernah merasakan hal seperti ini. Bagi Atah Roy, kesedihan yang paling terdalam adalah ketika apa yang dikatanya tidak pernah didengar orang, alias diabaikan karena dicap sebagai pembengak.
“Cakapkanlah kepade sepupu Atah itu, kalau nak jadi pahlawan, jangan hanye pandai bercakap. Jadi pahlawan tu, Tah, berani menunaikan janji yang telah dibuat,” Ali Kenkang menyepelekan Atah Roy.
Atah Roy tak berkutik, tak dapat berbuat apa-apa untuk membentengi anggapan orang kampung kepada dirinya. Diam merupakan jalan terbaik untuk meredam ceme’ehan orang kampung terhadap Atah Roy. Disebabkan janji itu jugalah, pamor Atah Roy menurun drastis. Hasil survey LSM kampung, nama Atah Roy tidak termasuk dalam sepuluh besar nama-nama orang kampung yang dapat dipercayai. Malahan, nama Atah Roy berada di puncak untuk kategori pembengak, menggeser nama Bedu Bengang yang selama ini terkenal sebagai raja pembengak.
Leman Lengkung tidak terima bapak saudaranya disepelekan di kampungnya sendiri. Leman Lengkung pun mengikrarkan diri membela Atah Roy mati-matian. Dengan segala upaya, Leman Lengkung melakukan gerakan untuk memulihkan nama baik Atah Roy. Salah satu Leman Lengkung memperbaiki nama baik Atah Roy adalah dengan membuat poster yang dituliskan dengan menggunakan spidol.
Poster-poster yang ditulis Leman Lengkung dengan menggunakan spidol dan dengan biayanya sendiri itu, ditempelkan dimana-mana. Rumah warga, kebun warga, pasar, sekolah, masjid, mushola dan tempat keramaian lainnya yang berada di kampung itu, pasti ada poster tentang Atah Roy.
“Atah Roy bukan pembengak. Die dimanfaatkan orang lain untuk kepentingan pribadi orang lain! Nama Atah Roy harus dibersihkan semula dalam waktu yang sesingkat-singkatnya!” tulis Leman Lengkung di posternya.
Orang-orang kampung hanya membaca tulisan di poster itu, tanpa menarik anggapan mereka terhadap Atah Roy sebagai pembengak kelas kakap di kampung itu. Orang kampung sedikit pun tidak percaya apa yang dikatakan Leman Lengkung dengan posternya. Bagi orang kampung, kalau dah bengak sekali, sampai mati payah mau dipercayai.
“Sudahlah Man, aku terime ape yang dilakukan orang kampung kepade aku. Inilah nasib orang yang tak punye kekuatan,” ucap Atah Roy.
“Tak bisa, Tah. Kite memang orang kecik, tapi jangan orang memandang rendah kepade kite. Ini marwah!” balas Leman Lengkung.
“Tak perlu, Man. Kite jalankan aje hidup ini, biar Sang Pencipta yang menilainye,” Atah Roy sabar.
“Mane bisa, Tah! Orang lain yang berjanji, ngape Atah pulak yang nanggung? Ini tidak adil. Ngape kalau orang besar di negeri ini buat janji dan tidak pernah ditepati, orang kampung diam saje? Apekah mereke takut?” Leman Lengkung bertambah emosi.
Atah Roy tak dapat berbuat apa-apa, kecuali mengurur dadanya yang terasa sesak. “Mungking orang takut tak dapat jatah,” kate Atah Roy tertunduk lemas.   

Sabtu, 03 Desember 2011

Berkesenian


Orang kampung heboh, setelah acara kesenian yang dilaksanakan oleh Atah Roy 3 minggu lalu, Atah Roy menghilang tanpa tahu ujung rimbanya. Spekulasi pun bermunculan di tengah masyarakat. Ada yang mengatakan menghilangnya Atah Roy disebabkan pementasan kesenian Atah Roy terlalu ‘pedas’ mengeritik Kepala Kampung, sehingga Atah Roy diculik. Ada juga yang berpendapat bahwa Atah Roy sengaja menghilang untuk mendapat kepopuleran. Ada yang beranggapan,  kehilangan Atah Roy dari kampung karena dikontrak produser besar yang berasal dari kota. Dari sekian banyak anggapan orang kampung tentang hilangnya Atah Roy, yang paling menyakitkan hati Leman Lengkung adalah Atah Roy pergi meninggalkan kampung disebabkan melarikan uang produksi. Anggapan ini diperkuat dengan belum dibayarnya seluruh pendukung pementasan seni yang digagas Atah Roy.
Leman Lengkung bersetegang urat membela Atah Roy dari tuduhan itu. Leman Lengkung yakin betul bahwa Atah Roy tidak mungkin melakukan tindakan tidak terpuji itu. Leman Lengkung tahu betul, untuk kesenian, bapak saudaranya rela mengorbankan apa saja. 2 tahun yang lalu, Atah Roy sampai menjual sepeda motor buruknya untuk membiayai pementasan kesenian dalam rangka memperingati hari kemerdekaan republik ini. Setelah menjual sepeda motor buruknya, Atah Roy tidak pernah mengeluh, bahkan kepada Leman Lengkung, Atah Roy mencerita kepuasannya karena telah berbuat untuk kampung dengan kesenian.
“Kepuasan berkesenian itu, Man, tak dapat diukur dengan duit,” ujar Atah Roy 2 tahun yang lalu, setelah motor buruknya terjual.
“Ape sebabnya, Tah?” Leman Lengkung belum mengerti.
“Man, bagi seorang seniman, karyanya adalah suara hati nurani yang didapat berdasarkan pengamatannye terhadap keadaan hidup ini,” jelas Atah Roy.
“Maksudnye, Tah?” Leman masih belum paham.
“Karya seni itu dakwah, Man. Untuk menyampaikan kebenaran, kita tidak butuh dibayar berapa pun juga, cukup karya kita diapresiasi oleh masyarakat, itu sudah cukup,” tambah Atah Roy.
“Tapi zaman sudah berubah, Tah, ditambah lagi, pada hari ini untuk mementaskan karya seni perlu biaya. Para seniman kan butuh makan dan hidup,” Leman Lengkung mencoba membuka ruang diskusi lebih luas lagi.
“Itulah masalahnye, Man. Dulu, untuk mementaskan atau mempegelarkan karya seni, semua masyarakat bergotong royong membantu. Orang tak berduit, membantu dengan tenaga, sementara orang yang berduit, membantu membiayai, sementara seniman bekerja keras memikirkan karya apa yang harus dipegelarkan. Seniman mati-matian mencari sumber karyanya, sehingga karya yang dipegelarkan itu menjadi spirit untuk membangkitkan rasa kasih sayang antar orang kampung. Dengan demikian, karya seni menjadi wadah mengenal diri lebih dekat lagi. Menurut Aristoteles, filsuf Yunani itu, karya seni sebagai cermin kehidupan,” Atah Roy menjelaskan panjang lebar.
“Tapi hari ini, seni bukan sekadar hoby, Tah, tapi sudah menjadi lahan pekerjaan,” Leman Lengkung masih belum puas dengan pernyataan Atah Roy.
“Tidak salah. Tiap zaman itu berubah, pastilah gaya hidup juge berubah. Walaupun demikian, seharusnye seni tidak kehilangan keluhurannya sebagai corong pencerahan. Letakan seni di barisan terdepan, biarkan seni ‘bercakap’ berdasarkan hati nurani, karena hati nurani tidak akan pernah menjatuhkan orang lain. Hati nurani pasti berbicara tentang kedamaian untuk membangun negeri ini. Untuk itu, biayai pekerja seni berdasarkan kerjanya bukan berdasarkan kedekatan dengan penguasa. Seandainya pekerja seni dibayar berdasarkan pesanan, maka karya seni tidak ‘bersih’ lagi mengabarkan kebenaran,” Atah Roy semakin semangat. Leman Lengkung juga semakin bersemangat.
“Kebenaran seni sangat bersifat pribadi dan hanya pandangan senimannya saja, Tah,” Leman Lengkung tak mau kalah.
“Jangan politisasi seniman, maka ianya akan tetap bersih,” jawab Atah Roy singkat.
Percakapan 2 tahun lalu itu, menyakinkan Leman Lengkung, bahwa Atah Roy menghilang bukan disebabkan melarikan uang pementasan seni. Pasti ada hal lain yang menyebabkan Atah Roy menghilang dari kampung. Leman Lengkung mengingat-ingat kejadian sebelum Atah Roy lesap. Kabur. Leman Lengkung tidak menemukan punca masalahnya. Biasanya apabila ada masalah, Atah Roy pasti membicarakan masalah yang sedang dihadapinya. Kali ini, Leman Lengkung memang tidak dapat mendeteksi peristiwa menghilangnya Atah Roy dari kampung.
Memang sehari sebelum Atah Roy menghilang, Leman Lengkung melihat Atah Roy dan beberapa orang, pendukung pementasan seni, sedang bebual di depan rumah. Leman Lengkung tidak mendengarkan, apa yang mereka percakapkan. Waktu itu, Leman Lengkung melihat Atah Roy lebih banyak memegang kepalanya dan beberapa kali menarik nafas panjang. Kalau keadaan seperti itu diperlihatkan oleh Atah Roy, pastilah masalahnya sangat berat. Sematara orang-orang yang bercakap dengan Atah Roy, kelihatan marah dan kecewa. Leman Lengkung tidak dapat mengambil kesimpulan dari penglihatannya.
“Astagfirullahalazim…,” Leman Lengkung sadar, dia cepat-cepat berlari ke kebun getah. “Maafkan saye, Tah. Saye betul-betul lupe,” ucap Leman Lengkung dalam hati sambil terus berlari ke kebun getah.
Di tengah kebun getah, Leman Lengkung berhenti di pondok buruk. Sebelum mendorong pintu pondok itu, Leman Lengkung menatap lekat-lekat ke arah pondok. Beberapa saat kemudian, Leman Lengkung melangkah ke arah pintu pondok. Dengan hati-hati, Leman Lengkung mendorong daun pintu pondok itu. Pintu terbuka, mata Leman Lengkung mengarah ke salah satu sudut pondok. Sosok yang sangat dikenal Leman Lengkung, sedang duduk ketakutan. Badannya menggigil.
“Atah. Ngape Atah macam gini?” Leman Lengkung mendekati Atah Roy yang sedang ketakutan.
“Maafkan aku, Man. Aku terpakse lari, sebab orang menagih utang kepade aku, gara-gara pementasan seni itu,” ujar Atah Roy dengan bibir yang menggigil.