Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Jumat, 29 April 2011

Tanah Air Dan Karya Sastra

Atah Roy sedang serius membaca novel berjudul Dikalahkan Sang Sapurba karya almarhum Ediruslan Pe Amanriza. Sesekali Atah Roy menganggukkan atau menggelengkan kepalanya, menandakan ada sesuatu yang mengena di hatinya. Sangkin seriusnya Atah Roy membaca novel tersebut, Atah Roy tak sadar Leman Lengkung, anak saudaranye, sudah duduk tercangguk di sebelahnya. Leman Lengkung serba salah; mau menyapa, Atah Roy sedang serius betul. Terpaksalah Leman Lengkung berdiam diri, dan memandang atahnya dengan seribu kebisuan.

Atah Roy menarik nafas panjang, dan disaat itulah Atah Roy terpandang Leman Lengkung yang sedang melihat dirinya. Atah Roy sedikit terkejut, lalu menyapa Leman Lengkung.

“Ngape dikau macam hantu kelembai, tibe-tibe tercongguk sebelah aku ni?” Atah Roy bertanya.

“Tah, saye bingung nenguk Atah ni, kalau dah membace karya sastra, Atah macam tak dapat diajak berunding lagi,” kate Leman Lengkung sedikit ketakutan.

“Man, dikau harus tahu bahwe membace karya sastra tu perlu serius, kalau tidak kite tak dapat menangkap pesan yang ade dalam cerite ini,” kate Atah Roy sambil mengangkat buku yang sedang dibaca.

“Ape faedah membace karya sastra tu, Tah. Karya sastra cume rekaan pengarang aje, dan cume berfungsi sebagai hiburan bagi pembacenye, tak ade sumbangan untuk tanah air kite ni,” Leman Lengkung mulai berani bicara.

“Leman Lengkung yang terhormat, dikau dengar cakap aku ini baik-baik, ye. Memang karya sastra itu merupekan rekayasa pengarangnye, tapi rekayasa pengarang karya sastra itu datang dari keadaan negeri ini. Pengarang karya sastra semacam memotrer seuatu peristiwa yang terjadi di negeri, yang kadang peristiwa itu dilupekan orang. Dalam mengisahkan kembali peristiwa itulah, pengarang memasukan imajinasinya agar karya itu terasa indah. Kenapa harus indah? Karena manusia itu suke yang indah, dengan demikian, karya sastra tidak mengurui dalam meninali baik dan buruk. Karya sastra seperti senter ketike kite berade dalam gelap; die berfungsi sebagai penyuluh untuk melangkah,” Atah Roy bercakap panjang lebar.

“Ape faedah untuk tanah air kite ni, Tah?” tanye Leman Lengkung masih tak paham.

“Inilah yang aku takutkan, Man,” Atah Roy menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Takut ngape pulak, Tah?” Leman tambah tak paham.

“Sastrawan itu berkarya berakar dari tanah air yang die pijak.”

“Maksudnye, Tah?” tanye Leman lagi.

“Maksudnye Man, semue yang ade dalam karya sastra yang ditulis oleh sastrawan merupekan kecintaan mereke terhadap tanah ini. Contohnye, kesewenang-wenangan yang dihadapi oleh rakyat kecil, seperti kehilangan tanah mereke disebabkan pengusuran oleh pemilik kekuasaan, padahal kite tahu bahwa rakyat kecil merupekan tanggung jawan pemerintah. Sastrawan mengingatkan bahwa masih banyak rakyat kecil di tanah ini mengalami nasib buruk hanya untuk kepentingan sang pemilik modal besar,” Atah Roy agak emosi.

“Jadi sastrawan itu pemberontak ye, Tah?”

“Memberontak untuk sesuatu kebenaran, bukanlah salah!” Atah Roy berdiri. “Kalau aku lame-lame dekat dikau ni, semakin emosi aku, tangan aku juge yang melayang,” Artah Roy pergi meninggalkan Leman Lengkung sendiri.

“Emosi terus Atah ni. Awak bertanye, awak pulak nak ditempeleng. Nasib jadi orang tak tahu ni,” kata Leman Lengkung sambil termenung.

Teater dan Teknologi; Merekonstruksi Tubuh Teater Riau Yang Renta

Berbicara sejarah teater, maka sama saja kita bicara tentang sejarah manusia. Manusia pertama yang diciptakan oleh Sang Maha Sutradara, sekaligus Sang Maha Penulis, telah ‘memerankan’ perannya sebagai manusia yang berhadapan dengan konflik-konflik diri. Adam tidak kuat ‘bermonolog’ sehingga Sang Maha Sutradara, sekaligus Sang Maha Penulis menambah tokoh lain, yaitu Hawa. Kehadiran Hawa, menandakan konflik mulai dibangun, dan klimaksnya, tokoh antagonis bernama Iblis, dapat membujuk Adam dan Hawa terjerumus dalam permasalahan yang lebih rumit, sehingga dilemparkan ke dunia ini. Di dunia ini, cerita yang diperanan Adam dan Hawa, terus berlanjut sampai akhir ayatnya. Babak berikutnya, cerita diperankan oleh anak, cucu, cicit dan entah apalagi sebutannya, dari keturunan Adam dan Hawa.

Melalui inbox facebook, Atah Roy teman saya di Teluk Belitung, Kecamatam Merbau, Kabupaten Meranti, mengirim pesan kepada saya, tentang kekhawatirannya terhadap perkembangan teater di Riau. Atah Roy menulis; Aku tak habis pikir, pertunjukan teater di Riau terasa minim. Bukan itu saja, keberadaan teater Riau seperti berjarak dengan masyarakat. Teater Riau mengeksklusifkan diri. Pementasan Teater di Riau hanya ditonton oleh segelintir orang, itu pun dari kalangan masyarakat teater, bahkan orang yang katanya hidup di dunia teater, tak pernah mau menyaksikan pementasan teater. Ironis ya?

Pada alinea berikutnya, Atah Roy menuliskan solusi yang harus dilakukan oleh pekerja teater di Riau. Kata Atah Roy dalam tulisannya; Di tengah perkembangan zaman yang serba berbau teknologi ini, apakah pekerja teater berdiam diri dan menjaga jarak dari teknologi? Seharusnya perkembangan teknologi menjadi patner pekerja teater menuangkan gagasan mereka. Saya pernah melihat dua gadis belia memanfaatkan teknologi internet dengan memanfaatkan jejaring sosial youtube. Pada awalnya dua gadis belia itu iseng menyanyikan lagu Keong Racun, namun kemudian lagu tersebut dibicarakan seluruh negeri ini. Tak plak lagi, kedua gadis tersebut tiba-tiba menjadi buah bibir manusia yang mendiami negeri kita tercinta ini.

Latah? Tanya Atah Roy dalam tulisannya, kemudian Atah Roy menjawab pertanyaannya yang dilontarkannya sendiri. Aku kira tidak latah apabila pekerja teater Riau memanfaarkan teknologi seperti internet tersebut. Yang latah, tulis Atah Roy, apabila pekerja teater Riau hanya mengulang-ulang cerita masa lalu pada hari ini. Aku ambil contoh, jelas Atah Roy, cerita Hikayat Hang Tuah atau cerita lainnya yang berangkat dari masa lalu, tanpa ada sentuhan hari ini, itu baru dinamakan latah. Manusia pada hari ini berhadapan dengan masalah teknologi yang serba canggih, masak pekerja teater harus mengelap cerita masa lalu menjadi hidangan pada hari ini. Cerita masa lalu biar menjadi ladang untuk kita tanamkan sentuhan kreativitas hari ini, Bung. Hikayat Hang Tuah biar saja hidup dengan hikayatnya, kita harus bongkar esensi ceritanya dan kita tukangi dengan pahat bermata masa kini. Hang Tuah dan Hang Jebat hari ini sudah menggunakan internet membongkar kebobrokan suatu negara, tidak guna lagi keris yang diselipkan di pinggang. Keris yang diselipkan di pinggang akan berkarat dan bisa menikam diri sendiri.

Tidak puas dengan pernyataan di atas dalam tulisannya, Atah Roy melanjutkan tulisannya. Aku tidak puas dengan kehidupan teater di Riau. Apakah yang dicari oleh pekerja teater Riau? Sebagai perbandingan, tulis Atah Roy, aku menonton film Mr. Smit and Mrs. Smit yang dimainkan oleh atris seksi Anggelina Jolie dan aktor serba bisa Break Pett. Ceritanya berkisah tentang kesetiaan dan kedurhakaan seorang perempuan terhadap kekasihnya dan kesetiaan dan kedurhakaan lelaki terhadap kekasihnya. Adalah Mr. dan Mrs. Smit sepasang suami istri yang bekerja sebagai pembunuh bayaran. Di tengah kepopuleran keduanya, mereka dijebak dalam suatu misi yang harus saling menghabisi nyawa satu dengan yang lainnya. Pada satu sisi, mereka harus bertanggung jawab dengan pekerjaan, di satu sisi mereka teringat nilai cinta yang mendalam. Dan pada akhirnya, rasa cinta mengalahkan ego mereka tentang diri mereka yang menganggap lebih perkasa satu dengan yang lainnya. Cerita Mr. Smit and Mrs. Smit digarap menggunakan teknologi canggih. Selain itu, ceritanya juga relefan dengan keadaan hari ini.

Apa yang dicari pekerja teater di Riau, Bro? Atah Roy kembali bertanya dalam tulisannya yang ia kirim ke inbox facebook saya. Pekerja teater tidak akan musnah selagi manusia masih mendiami bumi ini, jelas Atah Roy. Pekerja teater Riau, tulis Atah Roy, harus memanfaatkan teknologi seperti yang dilakukan kedua gadis pembawa lagu Keong Racun, dan pekerja teater Riau harus juga menuangkan gagasannya ke dalam film. Buat film seperti Mr. And Mrs. Smit, Bung! Kami di kampung tak dapat menenguk pementasan teater yang hanya dipentaskan di Anjung Idrus Tintin yang megah itu. Selain itu, orang lebih suka menonton sinetron Cinta Fitri ketimbang menonton pementasan Nyanyian Angsa. Cobalah bung dan kawan-kawan melakukan penelitian, mana yang banyak menonton teater dibandingkan menonton film atau sinetron di rumah? Novel Laskar Pelangi, tidak akan dibaca orang kalau film Laskar Pelangi tidak ada.

Pada hari ini, tulis Atah Roy lagi, orang dapat menyaksikan pergelaran teater yang nyata di negeri ini. Segala peristiwa kehidupan negeri ini, semuanya seperti pementasan teater. Penonton pada hari ini, ingin melihat diri mereka bermain di atas bulan atau matahari dengan cerita super baru. Sekali lagi, manfaatkan teknologi, cari cerita baru, garap spetakuler dengan teknologi agar cerita yang dipentaskan dengan menggunakan media teater terasa menyegarkan, bukan malah sebaliknya, sehabis menonton teater wajah berkerut, tidak tahu apa yang dapat diambil dari pementasan itu. Dunia tidak statis, dunia dinamis, teater adalah bagian dari dunia yang terus bergerak mengikuti zaman. Masihkan kita menjulang Hang Tuah dan Hang Jebat dengan tanjak dan keris Tamingsarinya? Sementara perampokan bank, orang-orang telah menggunakan basoka, seperti Rambo. Selamat berpikir, Bung. Atah Roy menutup tulisannya yang dikirimkan lewat inbox di facebook saya.

Selesai saya membaca tulisan Atah Roy, alih-alih seorang anak muda menghampiri saya dan menyerahkan sebuah tiket pementasan teater berjudul; Adam dan Hawa Batal Ke Bumi.

Atah Roy Ke Negeri Kayangan

Atah Roy tahu, sebagai seorang tokoh masyarakat di negeri ini, dia harus memiliki sifat rendah diri dan menghargai setiap undangan dari siapa pun juga. Tak peduli itu dari pengusaha, dari orang menengah, maupun dari orang bawah. Tak itu saja, Atah Roy juga menghargai undangan dari negeri mana pun, termasuk Negeri Kayangan.

Dua hari yang lalu, Atah Roy mendapat undangan dari Negeri Kayangan. Isi suratnya seperti ini. “Atah Roy yang terhormat. Tanpa mengurangi rasa hormat kami, melalui surat ini, kami Pimpinan Negeri Kayangan mengundang Atah untuk berkunjung ke negeri kami. Kami berharap kepada Atah Roy, tidak menggunakan duit APBN atau pun APBD. Menurut hemat kami, duit APBN atau pun duit APBD, lebih baik digunakan untuk rakyat Atah Roy yang banyak papa kedana itu. Kami mohon maaf, bukan kami mau mengajari Atah Roy, tapi kami cuma mengingatkan Atah Roy. Mudah-mudahan Atah dapat mencari dana lain, sehingga Atah Roy tidak disumpah oleh rakyat Atah Roy. Itu lebih berkah lagi. Bukan begitu, Arah? Sekian surat kami ini, dan kami menunggu kedatangan Atah Roy tanpa menggunakan dana APBN atau pun APBD. Terime kasih.”

Setelah Atah Roy membaca surat itu, Atah Roy memanggil Leman Lengkung, anak saudaranya. “Man, aku dapat undangan dari Negeri Kayangan, tapi aku tak boleh menggunekan duit APBN atau pun APBD. Dikau punye ide?” tanye Atah Roy kepada Leman Lengkung.

“Tah, menurut saye undangan ini penting bagi Atah. Atah dapat menenguk kemajuan Negeri Kayangan dan kemudian Atah dapat menerapkan di negeri ini,” kate Leman Lengkung.

“Aku tahu kalau hal itu, tapi yang aku tanye kan kepade dikau, macam mane nak cari duit pergi ke Negeri Kayangan tu, bahlol,” Atah Roy mulai meradang.

“Atah kan banyak kebun getah, apelagi, juallah separuh kebun tu.” kate Leman Lengkung.

“Cakap memang mudah. Kalau aku dah jual separuh kebun aku, lepas tu aku nak makan ape?” tanye Arah Roy lagi.

“Makan nasilah, tak mungkin Atah makan angin,” Leman Lengkung menjawab dengan selambe.

“Kepale hotak engkau tu bejambol,” Atah Roy bertambah marah.

“Kalau Atah macam ni terus, eloknye atah tak usah pegi,” kate Leman Lengkung meninggalkan Atah Roy sendiri.

“Tenguk budak kenen, orang tue dilawannye,” Atah Roy menggeleng-ngelengkan kepalanya.

Tiba-tiba selembar surat berada di tangan Atah Roy. Arah Roy terkejut. Atah Roy menenguk surat itu, lalu menenguk ke kiri, ke kanan, ke atas dan ke bawah. Tak ada orang satu pun. Tiba-tiba surat itu berbicara.

“Atah Roy, saye ni surat berasal dari Negeri Kayangan. Jangan Atah terkejut, karena makhluk kayangan mengetahui kegelisahan Atah Roy. Kalau Atah Roy berkeinginan pergi ke Negeri Kayangan, Atah cukup membuka aku dan Atah pasti sampai ke Negeri Kayangan,” kata surat itu.

“Dikau jangan bengak ye, sekali aku bako, baru dikau tau!” Atah Roy mengancam.

“Atah, kami berasal dari negeri yang tidak terbiasa berbohong. Di negeri kami, makhluk yang berbohong akan disumpah jadi manusia,” suara surat itu serius.

“Baik, aku akan buka,” tangan Atah Roy membuka surat itu, tiba-tiba…

***

“Selamat datang di Negeri Kayangan, Atah Roy,” suara lelaki tampan yang duduk di singgasana kerajaan berukirkan intan dan permata membuyarkan pikiran Atah Roy.

“Siape engkau?” tanye Atah Roy.

“Aku raja Negeri Kayangan,” kata lelaki tampan itu.

“Aku tak yakin. Muke engkau ni same betul dengan anak saudare aku, Leman Lengkung. Dikau jangan nak main-main dengan aku, Man!” Atah Roy marah dan Atah Roy berdiri mau menampar lelaki tersebut. Baru satu langkah Atah Roy mengerakkan kakinya, lelaki tampan itu bertepuk sebanyak dua kali. Tiba-tiba saja segerombolan pasukan ular bermata empat, gajah berkaki delapan dan ulat bulu sebasar gajah menghadang Arah Roy.

“Atah di Negeri Kayangan, kemarahan tiada berguna. Disini semua makhluk bisa diajak berteman asalkan kita tidak sombong,” kata lelaki tampan mirip Leman Lengkung itu.

Atah Roy terdiam. Ketakutan mulai merayap seluruh tubuh Atah Roy.

“Atah Roy, aku tahu apa yang ade di benak Atah Roy sekarang ini. Atah Roy pasti menganggap aku Leman Lengkung, anak saudare Atah Roy, kan?” tanye lelaki tampan itu.

“Aku pasti sedang bermimpi,” kate Atah Roy sambil menampar pipinya. Atah Roy merasakan kesakitan.

“Atah tidak bermimpi. Atah memang berada di Negeri Kayangan. Atah harus tahu siape saja yang kami undang ke negeri kami, pastilah orang itu sampai ke negeri kami. Dan orang yang kami undang akan bertemu dengan orang yang paling dekat dengan dirinya dan selalu mendapat siksa. Seperti Leman Lengkung, dan aku berubah wajah jadi Leman Lengkung yang selalu Atah marahkan itu,” kata lelaki mirip Leman Lengkung.

“Mengape awak tak undang orang-orang yang selalu mengatasnamekan rakyat kecil dan lalu menganiaye rakyak kecil ke negeri ini?” tanye Atah Roy penasaran.

“Semue manusie yang membuat aniaye kepade manusie lain di bumi Atah Roy akan kami undang,” kata lelaki mirip Leman Lengkung.

“Ooo… gitu.”

“Ye, gitu.”

Tiba-tiba gelap. Atah Roy tak tahu nak buat ape lagi. Leman Lengkung menyape Atah Roy.

“Tah, dah subuh. Atah tak sembahyang,” kate Leman Lengkung.

Atah Roy terbangun lalu memeluk Leman Lengkung. “Maafkan atah selame ini ye, Man.”

Leman Lengkung bingung. “Ape kehe, Atah ni,” kate Leman Lengkung dalam hati.

Atah Roy Jadi Pemberontak

Atah Roy sudah lama besabar, tapi kali ini kesabarannya telah raib dimakan keadaan. Keadaanlah yang membuat Atah Roy harus mengambil sikap menjadi pemberontak. “Aku bukan takut dengan mike semue, kematian pun tak aku takutkan. Semue kite akan mati bile sang ajal datang menjemput. Tapi mike semue tak pernah menghargai aku sebagai penduduk kampung ni,” kate Atah Roy dengan suara lantang di depan kantor perusahaan minyak yang beroperasi di kampungnya.

Leman Lengkung, anak saudara Atah Roy, mencoba menenangkan Atah Roy. “Sudahlah, Tah, kite tak kuat berhadapan dengan orang ni,” kata Leman Lengkung.

“Leman, pantang bagi aku menyerah kalah kalau belum mencube! Jadi, tolong jangan menghalangi aku!” mata Atah Roy terpendel, matanya lebih besar dari sebelumnya.

Para petinggi perusahaan minyak yang beroperasi di kampung Atah Roy, yang sedang berhadapan dengan Atah Roy, hanya tersenyum. Salah seorang dari mereka menghampiri Atah Roy. “Tenang, Tah. Apa yang bisa kami bantu?” tanyanya.

“Jangan dikau mendekat! Selangkah lagi dikau bergerak, make parang ini akan naik di atas kepale dikau!” Atah Roy semakin emosi.

“Ya, Tah. Kami tidak tahu apa yang menjadi masalah Atah sekarang ini,” salah seorang petinggi lainnya menyela perkataan Atah Roy dari jauh.

“Mike semue ni pura-pura bodoh atau memang bodoh! Mike tak nampak, belambak budak-budak kampung ni tak besekolah? Dan mike tak tampak juge, banyak bayi-bayi kampung ini diserang busung lapar? Ape mike tak juga nampak, penduduk kampung ini miskin melarat? Mike tak nampak juge, banyak pemuda kampung ni tak bekerje, padahal perusahaan ini menguras habis kekayaan alam kami? Atau mike ni memang bute!” kata Atah Roy berapi-api.

“Atah, kami bekerja sesuai dengan peraturan perusahaan. Kami sudah memplot biaya untuk masyarakat disini, itu dinamaknan CD. Jadi tidak ada lasan Atah memarahi kami,” kata seorang lagi petinggi perusahaan itu.

“Ikut peraturan perusahaan kepale bapak engkau!” Atah Roy semakin emosi. Leman Lengkung kembali menenangkan Atah Roy.

“Sudahlah, Tah, kang kite juge yang dipersalahkan. Kite orang kecik, Tah,” kata Leman Lengkung menyabarkan Atah Roy.

“Leman, tolong jangan larang aku, kang kepale dikau yang bersepai!” Atah Roy mengangkat parangnya. Leman Lengkung melepaskan pegangnya dari tangan Atah Roy.

“Atah Roy, perusahaan ini bukan hanya memikirkan satu daerah, tapi seluruh wilayah negara ini juga menjadi tanggung jawab kami,” tambah petinggi perusahaan tersebut.

“Celake dikau!” Atah Roy menyerang petinggi perusahaan minyak yang sudah berpuluh tahun mengeksplotasi kekayaan alam kampung Atah Roy.

Tibe-tibe gelap.

“Bang, kayu untuk masak, dah habis. Tolong cari kayu di hutan kejap, bang.” Suare Wan Ziah membuyarkan lamunan Atah Roy.

“Alah mak, lupe aku,” kata Atah Roy dan dia cepat-cepat mengambil parang dan pergi ke hutan yang tinggal cuil je.

Kamis, 28 April 2011

Puisi Atah Roy Kepada Leman Lengkung

Man, jangan pernah kau panjat pokok hari!

Jangan, aku tak ingin petir pecah ke telingamu

Siapa yang akan mendengar sumpah serapahku?

Kau pelita dalam gelap yang mengelayut di pundakku


Man, perahu yang kau tambat di pelabuhan itu, kini hampir tembuk dimakan gelombang

Cepat berlayar, jangan kau tunggu aku melempar sauh marahku

Tinggalkanlah segala dendammu di tebing yang semakin meranggas

Lawan itu arus, kau harus jadi lanun di hatimu sendiri

Punggah segala cahaya sebelum meredup


Man, jangan kau tatap mataku dengan air mata

Terbanglah dengan sayap api yang baru aku beli

Mahal harganya, tapi kerelaan adalah busur cinta

Aku tak akan pernah menyesal demi pengorbanan


Man, sungai tempat kau menyemai mimpi

Telah menyempit tersebab kita terlena

Musim bermusim seperti pisau mengiris pelipis

Kebutaan juga menutup mata kita


Man, kemarau ini tidaka akan pernah berhenti

Tanah kita merekah

Aku ingin kau jadi hujan sekaligus badai

Agar mereka tahu, kau anak melayu

Rabu, 27 April 2011

Aisyah Sulaiman Di Hati Atah Roy

Setiap kali melewati tanggal 21 April, Atah Roy selalu mengurungkan diri di biliknya. Satu hari satu malam Atah Toy tak keluar. Terpaksalah Leman Lengkung, anak suadara Atah Roy yang tak pernah muak melayani Atah Roy, walaupun dimarah, dimaki, dihina oleh Atah Roy, Leman Lengkung tak pernah ambil pusing. Bagi Leman Lengkung, mengabdi kepada Atah Roy merupakan kebanggaan yang tak dapat dikatakan. “Atah Roy tu, seperti hujan. Die membawa kesuburan di tanah yang gersang,” kate Leman Lengkung ketika stasiun televisi Aljazira memwancarainya beberapa tahun yang lalu.

Balik ke kisah Atah Roy yang sedang mengurung diri. Leman Lengkunglah yang menyediakan kebutuhan Atah Roy selama mengurung diri. Beberapa tahun belakangan ini, memang Leman Lengkung mau tahu, kenape Atah Roy selalu mengurung diri setiap tanggal 22 April, tapi keberanian Leman selalu saja dikalahkan oleh ketakutannya. Pada tahun ini, Leman dah mengambil keputusan. “Apepun yang akan terjadi, aku akan bertanye kepade Atah, ngape die mengurung diri,” Laman Lengkung berazam.

Tepat pukul 12 malam, tgl 23 April, Atah Roy keluar dari bilinya. Leman Lengkung dengan mata sayu, menahan kantuk, mengikuti langkah Atah Roy. Atah Roy membuka daun tingkap alias daun jendela, lalu duduk dikursi yang menghadap keluar. Mata atah Roy sembab, tapi tajam menghujam gelapnya malam. Leman Lengkung duduk di kursi sebelah Atah Roy. Hati Leman berdebar. Leman ragu, tapi Leman tak mau disiksa penasaran. Leman mengurut dadanya, lalu mulutnya komat-kamit membaca mantra.

“Puah sisih. Labu aie bukan labu batu. Perie pahit bukan perie masam. Semut beriring, itik tekedek. Datanglah...,” belum selesai Leman Lengkung membaca mantra, Atah Roy menenguk ke arah Leman.

“Ngape ngentam dikau ni, Man?” tanye Atah Roy dengan suara agak keras.

Leman Lengkung salah tingkah, lalu memijit bahu Atah Roy.

“Tak ade, Tah. Saye cume nak memijit Atah, mane tahulah Atah penat,” Leman Lengkung belum berani bertanya.

“Aku tahu, Man. Dikau pasti heran nenguk tingkah laku aku, kan?” Leman Lengkung cepat-cepat mengangguk ketike Atah Roy bertanya kepada dirinya. Keberanian kembali membara dalam diri Leman Lengkung, dan dia langsung merespon Atah Roy.

“Betul, Tah. Saye bingung betullah nenguk Atah ni. Setiap tanggal 22 April, Atah tau mengurung diri je. Ape pasal ni, Tah?” Leman menarik nafas lega.

“Panjang citenye, Man?”

“Kalau panjang, pendekan aje, Tah.”

“Setiap tanggal 21 April, orang-orang negeri ni mengingat R.A. Kartini.”

“Betul tu, Tah.”

“Setiap kali orang mengingat Kartini, tiap kali pulak aku terkenang Aisyah Sulaiman.”

“Aisyah tu cewek Atah?”

“Kepale hotak dikau tu!” suara Atah Roy meninggi. Leman Lengkung terkesop.

“Ja...ja...jadi... siape Aisyah tu, Tah,” Leman Lengkung gugup.

“Makenye, jadi generasi mude, jangan pandai mengangguk aje. Bace buku sejarah, terutame sejarah kite dulu, baru sejarah yang lain. Macam mane mike nak menjage tanah ni, kalau pade diri mike je, mike tak kenal!” sungut Atah Roy semakin panjang.

“Ye...ye...yelah, Tah,” Leman bertambah gugup.

“Ye, apenye?”

“Ba...ba...bace sejarah ki... ki... kite,” jawab Leman masih gugup.

“Jadi aku cite tentang Aisyah Sulaiman ni?”

“Ja...ja... jadilah, Tah. Kang kami di...di...dicakap bu...bu...bute sejarah pulak,” kate Leman Lengkung.

“Aisyah Suliman tu, same macam R.A. Kartini. Beliau seorang penulis perempuan tanah ini. Beliau hidup, tak jauh berbede dengan R.A. Kartini. Karya-karyanye juge mengangkat masalah perempuan. Perempuan di mate Aisyah Sulaiman , same dengan lelaki, tak ade beda. Aisyah Sulaiman juge mangajak perempuan berbuat lebih untuk negeri ini. Cube dikau bace karya-karya Aisyah Sulaiman tu,” Atah Roy berapi-api.

“A...a... ape judul bukunye, Tah,” Leman Lengkung masih gugup.

Syair Khadamuddin, Hikayat Syamsul Anuar, Syair Seligi Tajam Bertimbal. Dikau bace tu!”

“ Mane nak cari buku tu, Tah?” tanye Leman.

“ Dikau ni banyak tanye. Cari ajelah kat perpustakaan. Malas aku melayani dikau ni,” kate Atah Roy dan Atah Roy masuk ke biliknye kembali.

Leman Lengkung terganga. “Kate die cari buku sejarah senang agaknye. Kalau pun ade dicetak, paling-paling 200 eksamplar, itu entah ye, entah tidak,” sungut Leman Lengkung sambil menutup daun tingkap.

Kunjungan Atah Roy Ke Penyengat

Sudah 5 kali Atah Roy menjejakkan kakinya di pulau mungil bernama Penyengat. Aura sejarah langsung menusuk jantung; jantung Atah Roy semakin kuat dan cepat berdetak. Tubuh Atah Roy seperti daun kelapa ditiup angin, bergerak ke kiri dan ke kanan. Melihat Atah Roy teroyong, Leman Lengkung, anak saudara Atah Roy, cepat-cepat memegang tubuh Atah Roy.

"Kenape, Tah?" tanye Leman Lengkung cemas.

“Beban,” kate Atah Roy singkat.

“Beban? Beban ape, Tah?” Leman bertanye lagi.

“Sebagai orang yang dilahirkan dari keturunan Melayu, aku tak sanggup memikul beban ini,” kata-kata dari mulut Atah Roy belum jelas bagi Leman Lengkung.

“Saye betul-betul bingung ni, Tah. Kalau Atah terus macam ini, bercakap tak jelas, saye tinggalkan Atah kat sini, baru tahu,” Leman Lengkung mulai geram.

Mendengar kata-kata Leman Lengkung agak ketus, Atah Roy berdiri. Mata Atah Roy menatap tajam ke mata Leman Lengkung. Leman Lengkung tak mau kalah, matanya juga menatap tajam mata Atah Roy, jadilah mata bertatap mata.

“Dikau tak tahu sejarah! Tanah yang kite pijak sekarang ini adalah tanah penuh sejarah!” kata Atah Roy penuh emosi.

“Siape yang tak tahu, Tah? Atah jangan sembarang cakap je, jangan menuduh tak ade bukti. Saye juge tahu pulau Penyengat ini, tanah penuh sejarah. Pulau ini merupekan mas kawin untuk Engku Putri oleh Sultan Mahmud. Selain itu, di tanah ini juge, lahir penulis-penulis handal, sebut saje salah satunye Raja Ali Haji yang menciptakan Gurindam 12 itu. Selain itu, di tanah ini juge berdiri organisasi pertame cendikiawan Melayu bernama Rusydiah Klab. Tidak itu saja, di pulau mungil ini, berdirinya percetakan yang mencetak karya-karya tulis cendikiawan tanah Melayu. Atah jangan anggap enteng generasi mude sekarang, Tah,” jelas Leman Lengkung berapi-api, sampai merah mukanya.

Atah Roy terganga, walapun demikian, Atah Roy tak kehabisan akal. Atah Roy pun menepuk-nepuk bahu Leman Lengkung. “Hebat dikau, Man. Tak sangke aku, dikau punye pegangan sejarah yang kuat, tapi sejarah hanye tinggal sejarah, Man, kalau pade hari ini, dikau tidak berbuat sesuatu,” kate Atah Roy mencebirkan bibirnya.

“Saye paling geram dengan Atah ni, Atah tak pernah bace karya-karya sastra saye berbentuk puisi tu?” tanye Leman Lengkun bertambah geram.

“Bace, ape pula aku tak bace. Puisi dikau terlalu cengeng, siket-siket, aie mate, siket-siket mengeritik orang, macam dikau aje yang betul. Seharusnye dikau bace berulang-ulang Gurindam 12 karya Raja Ali Haji tu; dapat orang berteduh di bawahnye, dapat juge orang berjalan berdasarkan tuntunannye. Puisi dikau tidak,” Atah Roy di atas angin.

Leman Lengkung tak mau diam. “Tah, zaman dah berbeze. Dulu karya sastra tu memang dibace orang, pade hari ini sastra cume jadi pekerje sampingan, karene tak banyak yang membace karya sastra. Lepas itu, honor karya yang ditulis pun tak dapat dihandalkan, nak beli rokok je susah. Terpakselah penulis karya sastra macam pengemis, mintak sane, mintak sini, kalau punye jaringan yang kuat, dapatlah, kalau tak ade, sampai mampus buku-buku tak terbit,” muke Leman Lengkung bertambah merah.

“Alasan yang dibuat-buat. Orang dulu tetap berkarya, walau duit tak ade,” Atah Roy kembali memancing amarah Leman Lengkung.

“Bapak saudare aku yang paling hebat, karya sastra mase lalu dijadikan jalan oleh pemimpin pade zaman itu, jadi tak kesah sangat nak berkarya,” kate Leman Lengkung mulai lembut, tapi di hatinye, gelombang marah berdentum di jantungnye.

“Memang, orang masa kini lemah, tidak seperti Raja Haji Fisabilillah, mengusir penjajah sampai jauh,” kate Atah Roy bangga.

“Sebagai orang tue, ape yang Atah buat? Pandai menyalahkan aje? Lepas tu merajuk kalau tak dibawak?” sindir Leman Lengkung.

Atah Roy menelan air liurnya. Agar Leman Lengkung tak menyindir lagi, Atah Roy pun mengajak Leman Lengkun berjalan menuju makam Raja Ali Haji di Pulau Penyengat penuh sejarah itu.

“Ngape Atah macam orang kene serangan jantung aje tadi?” tanye Leman Lengkung masih penasaran.

“Tak ade, cume akting je, bio dikau bedebar. Dahlah, jangan banyak tanye lagi,” kate Atah Roy sambil berjalan dan mengganding tangan Leman Lengkung. Atah Roy senyum sendiri. “Rupenye, Leman Lengkung bace sejarah pulau ni,” kate Atah Roy dalam hati.