Pada zaman kenen
alias zaman modern ini, ruang-ruang persahabatan, persaudaraan selalu dijadikan
lahan untuk membangun kepentingan sesaat. Orang-orang berdiri atas nama
kepentingan. Orang-orang berteriak, atas nama kepentingan. Segala perbuatan
yang dilakukan orang-orang modern selalu mengarah kepada kepentingan. Jadilah
orang-orang hari ini saling memanfaatkan. Orang yang ingin jadi pimpinan
memanfaatkan rakyat, dan rakyat juga memanfaatkan orang yang mau jadi pimpinan.
Keuntungan menjadi target utama.
Untuk
mengantisipasi inilah, Atah Roy menjaga jarak dengan Leman Lengkung. Atah Roy
takut keikhlasan yang selama ini dilakukan membantu Leman Lengkung, berubah
menjadi alat memanfaatkan Leman Lengkung. Walaupun Leman Lengkung itu anak
saudaranya, namun Atah Roy tidak mau ternoda oleh umpatan. Mengutamakan
kepentingan akan menghasilkan umpatan, dan umpatan inilah yang akan berbuah
ketidakharmonisan. Kalau sudah tidak harmonis, maka tersumbatlah lorong
menunuju kesejahteraan. Balas dendam pun akan terjadi.
Atah Roy sudah
merasakan bahwa tingkah laku Leman Lengkung sudah mulai menyalah, tidak seperti
biasanya. Pastilah ada sesuatu di balik tingkahlaku Leman Lengkung yang tidak
biasa itu. Selalu saja, tingkahlaku yang tidak biasa dari seseorang ada
keinginan di baliknya. Atah Roy paham betul dengan Leman Lengkung. Keseharian
Leman Lengkung itu jarang sekali memuji apa yang dilakukan oleh Atah Roy. Setiap
Atah Roy berbuat, Leman Lengkung selalu membantah pada awalnya. Setelah terjadi
adu argumentasi, berdebat mempertahan pendapat, dan apabila masuk akalnya,
barulah Leman Lengkung sependapat dengan Atah Roy. Ini tidak, Leman Lengkung tau
setuju apa yang dilakukan Atah Roy.
Kebiasaan Leman
Lengkung yang berubah 180 drajat ini, menyebabkan Atah Roy berhati-hati
mengeluarkan kebijakan. Atah Roy teringat lirik Gurindam 12 karya Raja Ali Haji
yang kira-kira berbunyi seperti ini; mengumpat dan memuji hendaklah pikir, di
situ banyak orang jatuh tergelincir. Atah Roy selalu menjaga agar orang-orang
disekelilingnya tidak memuji berkelebihan. Sebab menurut Atah Roy, orang yang
dipuji sering lupa diri, dan lupa diri inilah yang menyebabkan dia jatuh. Atah
Roy juga teringat lirik Gurindam 12 lagi; barang siapa mengenal diri, maka ia
tahu Tuhan yang bahari.
Orang yang mabuk
akan pujian, menurut Atah Roy, pasti akan kehilangan akal sehatnya. Kehilangan
akal sehat menyebabkan orang tidak rasional lagi mengatasi masalah ataupun
sewenang-wenang melakukan sesuatu. Atah Roy tidak ingin dijungjung di atas
pujian, biarlah ia melakukan sesuatu itu dikritik, sehingga dengan kritik itu,
menurut Atah Roy, terbuka segala kelemahan. Pujian, kata Atah Roy, lebih dalam
menusuk hati dibandingkan kritik.
Di tengah Atah
Roy berpikir mengenai Leman Lengkung yang berubah dalam sekejap mata saja,
tiba-tiba Leman Lengkung sudah berada di sampingnya dengan senyum menghias
bibirnya. Atah Roy agak terkejut melihat Leman Lengkung datang tiba-tiba.
“Dikau ni macam
semut, Man, tecium je bau gule, dah tercongguk dekat gule,” ujar Atah Roy.
“Siape lagi yang
melindungi bapak saudare, Tah, kalau bukan anak saudarenye. Bukan begitu,
Atahku tersayang?” Leman Lengkung dengan basabasinya.
“Tak salahlah
tu, memang betullah tu. Kate orang-orang dulu, air dicincang tidak akan putus,”
tambah Atah Roy hati-hati. Atah Roy menjaga agar jarum pujian Leman Lengkung
tidak menusuk ke jantungnya.
“Tah, saye
sangat salut dengan Atah ni, apa yang Atah kerjekan, semuenye jadi. Ape yang
Atah pikirkan terwujud. Sebenonye Tah, ape yang Atah pakai ni?” Leman Lengkung
mulai mengasah pujian.
“Aku pakai
celana, pakai baju, itu aje,” jawab Atah Roy hendak tendak saja.
“Atah jangan
berguraulah,” ujar Leman Lengkung agak kecewa.
“Kan betul apa
yang aku cakap tu, Man?”
“Kalau itu,
budak kecik pun tahu, Tah. Maksud saye tu, Atah ade pakai barang gaib, sehingge
ape yang Atah buat tau menjadi je. Dan paling saye salut dengan Atah ni, semue
orang kampung percaye cakap Atah. Saye betul-betul bangga menjadi anak saudare
Atah, betul-betul bangga,” ucap Leman Lengkung berapi-api.
“Man, sebenonye
dikau hendak ape dari aku?” Atah Roy mencoba mencongkel keinginan Leman
Lengkung.
“Ngape Atah
bertanye macam itu? Saye bercakap macam tu, sesuai dengan kenyataan. Semue yang
Atah kerjekan berdampak positif. Pemikiran Atah menjadi laluan orang untuk
berbuat lebih baik lagi. Tingkah laku Atah menjadi cermin orang kampung ini.
Semue yang Atah buat, semue gagasan Atah, macam suluh di malam gulita,” Leman
Lengkung meyakinkan Atah Roy.
“Man, perubahan
yang tibe-tibe di diri dikau, menyebabkan aku khawatir. Aku khawatir pujian
dikau ada terselubung kepentingan untuk menguntungkan diri enkau sendiri. Aku
lebih senang dikau mengeritik aku dibandingkan dikau memuji aku. Kalau dikau
punye kepentingan, cakap. Jangan dikau memuji-memuji tidak tentu arah. Pujian
membuat kepale aku bertambah beso, kalau kepale aku dah beso, make aku nenguk
orang kecik semue. Semue orang tak bergune di mate aku. Sebagai seorang yang
terpelajar, dikau seharus memilah mane yang harus dipuji dan mane yang harus
dikau kritik,” Atah Roy sudah mulai geram dengan Leman Lengkung.
Kalau Atah Roy
dah bercakap panjang lebar ini, Leman Lengkung selalu kehilangan akal.
“Anu, Tah....,
Anu....,”
“Anu kebende,
Man?” Atah Roy memotong Leman Lengkung.
“Anu, Tah, saye
nak minjam duit pade Atah, nak beli beli motor baru. Atah kan baru dapat duit
dari hasil menjual ojol,” kata Leman Lengkung jujur, sambil mengaru kepalanya
yang tidak gatal.
“Allah, Man. Dah
aku telah dah, pasti dikau ade kepentingan memuji aku,” Atah Roy menarik nafas
panjang, sambil menggelengkan kepalanya.
“Boleh saye
pinjam duit Atah?” mata Leman Lengkung terkebel-kebel memandang Atah Roy.
“Minta maaf,
Man, karene dikau memuji aku ada kepentingan lain, jangankan nak minjam beli
motor, nak minjam beli jarum pun, aku tak kasi,” ujar Atah Roy geram sambil
meninggalkan Leman Lengkung seorang diri.
“Teganye Atah,”
suara Leman Lengkung iba.
“Pujian
mengandung kepentingan, membuat orang jatuh tak berharge, Man!” ucap Atah Roy
dari jauh. Leman Lengkung tertunduk lesu.