Seandainya di
dunia ini ada kedai menjual kejujuran, maka Atah Roy berazam akan mendatangi
kedai itu, lalu memborong semua kejujuran yang dijual di kedai tersebut. Kejujuran
itu akan dibagi percuma kepada semua orang di negeri ini, agar negeri ini
kembali kepada kesucian. Apa mau dikata, seluruh kawan Atah Roy yang tersebar
di tengah, maupun di sudut-sudut dunia, tidak menemukan kedai menjual
kejujuran. Atah Roy ingin menyesal, tapi menyesal tiada gunanya (macam lagu
pula).
Kehancuran
negeri ini, menurut Atah Roy, disebabkan kejujuran telah lenyap dari sanubari
manusia yang mendiami negeri ini. Semua orang menggadaikan kejujuran kepada
kepentingan pribadi yang bersifat sesaat. Tiada suatu lembaga pun yang dapat
untuk menggantungkan harapan agar negeri ini benar-benar bersih. Semuanya ingin
menipu; semuanya mau membengak. Tak tanggung-tanggung, pembengak sudah menjadi
kebiasaan; kalau tak membengak, tak kren. Maka di negeri ini, orang yang
tersenyum pun dicurigai sedang bengak.
Tersebab kejujuran
inilah, Atah Roy siang-malam tidak tidur, berpikir untuk mendapatkan formula menciptakan
kejujuran. Atah Roy membaca semua buku, lalu membaca alam, kemudian dipadankan
dengan tingkah laku dirinya sendiri sehari-hari. Hampir dapat, namun hilang
lagi, karena Atah Roy terlalu asik dengan dirinya, tidak peduli dengan Leman
Lengkung, jiran, apalagi dengan orang sekampung. Keasikan pada diri sendiri
rupanya melenyapkan otak jernih.
Atah Roy
terpikir bahwa Yang Maha Kuasa menciptakan manusia di dunia ini untuk saling
mengenal satu dengan yang lainnya. Setelah mengenal, manusia akan melakukan hal
yang terbaik agar kehidupan mereka harmonis. Namun keharmonisan itu tidak
bertahan lama, hal ini disebabkan rasa ingin berkuasa, menguasai orang lain
menjadi virus menelan kejujuran. Atah Roy coba menyimpulkan, bahwa ingin
menguasai orang lain merupakan penyebab lenyapnya kejujuran.
Atah Roy mencoba
menguraikan kenapa orang ingin menguasai orang lain. Lama Atah Roy menyulam
imajinasinya, lalu mengaitkan imajinasinya pada realitas yang terjadi di negeri
ini. Atah Roy tercengang, lalu menyimpulkan bahwa menguasai orang lain itu
sangat mengasikan, menyenangkan, menggembirakan, walapun hanya bersifat sesaat.
Pantas sajalah,
pikir Atah Roy, kebohongan atau bengak yang selama ini dilakukan, hanya untuk
menguasai Leman Lengkung, dan itu sangat menyenangkan. Atah Roy terbayang wajah
lugu Leman Lengkung dengan menganggukkan kepalanya tanda setuju apa yang
dikatakan Atah Roy.
“Man, aku ni
dulu, sebelum dikau lahir, termasuk pemuda yang aktif membangun kampung ni.
Semua aku kerjekan demi kampung ni, sehingge aku pernah dicalonkan jadi ketue
pemuda, tapo aku tolak. Bagi aku, bekerje untuk kampung, tidak mengharapkan
apepun juge. Jadi Man, dikau tak usahlah sombong kepade aku, walaupun dikau itu
sekretaris organisasi pemuda kampung ni,” ucap Atah Roy beberapa tahun yang
lalu. Leman Lengkung mengangguk.
Mengingat ucapan
itu pada hari ini, apelagi melihat raut muka Leman Lengkung pada waktu itu, Atah
Roy tersenyum. Ucapan Atah Roy itu bengak semata, yang benarnya, Atah Roy kalah
dalam pemilihan untuk duduk menjadi Ketua Pemuda. Agar Atah Roy tidak
diremehkan oleh Leman Lengkung, terpaksalah Atah Roy membengak.
Rupanya, pikir
Atah Roy, kerja membengak ini mengasikkan. Bagimana tidak mengasikkan, orang
yang terkena bengak, menganggap orang sedang membengak itu hebat, muncullah
rasa kagum. Rasa kagum inilah menjadi pemicu untuk melakukan bengak berikutnya.
“Maka, waspadalah!” pikir Atah Roy.
Leman Lengkung
datang. Atah Roy bersikap wibawa. Semua pikiran mau membeli kejujuran hilang
dibenak Atah Roy. Di depan Leman Lengkung, Atah Roy harus berpenampilan segak
dan berwibawa, kalau berpenampilan kusut, maka Leman Lengkung pun tidak akan
menghargai dirinya.
“Ade ape, Man?
Nampak aku kusut masai je muke dikau? Adekah sesuatu yang dapat aku bantu?”
tanya Atah Roy dengan nada suara dibuat-buat wibawa.
“Gawat Tah,
semue orang dah mengaku jujur, sehingge payah nak membedekan mana orang yang
betul-betul jujur dengan orang pembengak,” ujar Leman Lengkung sambil mengelap
keringat di dahinya.
“Jujur itu, Man,
tidak diucapkan, tapi dilakukan. Kalau ade orang yang banyak bercakap die
jujur, make orang tu paling pembengak,” jelas Atah Roy.
“Banyak di
spanduk, baleho maupun di poster-poster terpampang, dan mereka mengatakan
mereke jujur, Tah,” ucap Leman Lengkung penasaran.
“Oooo...,
tulisan orang-orang nak nuju kursi I tu?”
“Agaknye, Tah.
Saye tak kenal betul orang-orang tu.”
“Senang aje nak
memastikan mereke jujur atau tidaknye.”
“Macam mane
carenye, Tah?”
“Tenguk latar
belakangnye sebelum nak duduk di kursi I tu,” jelas Atah Roy.
“Tapi ape ade
orang jujur sekarang ni, Tah?”
“Tentulah ade.
Ngape dikau tanye macam itu?” balik Atah Roy bertanya.
“Saye ragu, Tah.
Kebutuhan sekarang ni, tak tanggung-tanggung mahalnye. Atah yang duduk di
kampung ni aje, kalau tak pandai bengak, dah lame tak dipandang orang,” jelas
Leman Lengkung.
Atah Roy
tercengang dengan kata-kata Leman Lengkung.
“Maksud dikau
ni, ape Man? Jangan membangkitkan harimau yang sedang tidur ni,” Atah Roy
tersinggung.
“Alah, Tah,
bukan saye tak tahu.”
“Maksudmu?”
karena geram Atah Roy menggunakan bahasa Indonesia.
“Besi tue di
belakang rumah kite tu, Atah yang jualkan?”
“Konteks dengan
pembicaraa kita?” kembali Atah Roy menggunakan bahasa Indonesia.
“Pade orang
terdekat saje, kite sanggup bengak, apalagi pade orang lain. Atah tahu tak,
besi tue tu, lame saye kumpul untuk
menambah beli sepeda. Atah sedap-sedap je menjual tanpe sepengetahuan saye.
Atah pun bercakap, besi tue tu dicuri orang. Kalau ade di dunie ni orang
menjual kejujuran, saye orang pertame yang membeli kejujuran itu untuk Atah,” jelas
Leman Lengkung panjang lebar, dan Leman Lengkung langsung pergi.
“Eeee..., awak
pulak nak kene beli kejujuran tu, padahal awak yang menghayal pertame. Memang,
kejujuran itu pahit, tapi harus kite lakukan, agar kite tidak dipandang rendah
dan dihina di kemudian hari,” ucap Atah Roy.