Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 30 Maret 2013

“Dimana Kan Kucari Ganti”*



Mengenang Satu Tahun Meninggalnya Hasan Junus

Hasan Junus, di kalangan seniman nama beliau disingkat HJ. HJ menghembus nafas terakhirnya pada tanggal 30 Maret 2012. Sastra adalah hidupnya, maka bicara tentang sastra Riau, tidak dapat tidak nama HJ merupakan nama terdepan dalam kesusastraan Riau. Hari-harinya adalah puisi, pergantian waktu adalah prosa. HJ tidak pernah merasa jemu berhadapan dengan karya sastra dan tidak pernah pula letih menciptakan karya sastra. Dari bacaan dan pikiran beliau, karya-karya sastra asing dapat dinikmati di kolom Rampai yang terbit di Riau Pos setiap hari Ahad. Namun semuanya hanya jadi kenangan setelah beliau tiada.
Hasan Junus merupakan ‘Biksu’ sastra Riau yang tidak pernah pelit membentangkan ilmu-ilmu yang ia miliki kepada siapapun juga. Bagi HJ, semakin banyak orang menimba ilmu sastra darinya, semakin membuat dia bergairah. Beliau pun selalu berpesan bahwa untuk menjadi seorang penulis karya sastra, membaca, membaca dan membaca merupakan modal utama. Dia juga selalu berharap bahwa karya sastra haruslah menjadi pohon besar yang akarnya menghujam ke tanah, daunnya dapat tempat berteduh dan bermusim di sembarang musim.
Karya-karya yang dihasilkan Hasan Junus, selalu meletakkan kekuatan lokalitas Melayu Riau menjadi identitas dalam karyanya. Walaupun beliau memamah bermacam karya sastra asing, namun tetap pada karya yang ia hasilkan ‘bau’ kemelayuannya tercium. Begitu juga dengan karya-karya asing yang beliau terjemahkan, padanan kata yang dipilih sangat dekat dengan hati orang Melayu.
Salah satu contoh karya HJ yang kental nuangsa Melayu, namun tidak kalah dengan pikiran barat adalah naskah drama Burung Tiung Seri Gading. Membaca dan melihat naskah ini dipentaskan, maka konsep-konsep teater atau drama atau sandiwara Bangsawan sangat terasa. Apabila diteliti secara mendalam, naskah Burung Tiung Seri Gading ini penuh makna filosofi baik Timur maupun Barat. Dalam naskah ini, selain disuguhkan cerita yang menawan, bahasa yang digunakan juga memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Bahasanya ‘bersayap’ alias tidak tertuju apa yang diucap, tetapi pada makna di balik yang diucapkan itu.
Inilah salah satu contoh kekuatan naskah drama yang dihasilkan oleh orang Melayu, terutama orang Melayu Riau (baik Provinsi Kepulauan Riau maupun Provinsi Riau). Hasan Junus menyadarai benar, bahwa kesusastraan merupakan kekuatan orang Melayu, sehingga beliau tidak pernah frustasi terus menggali karya-karya Melayu lama dan dibancuhkan dengan karya-karya sastra Barat.
Spirit menyakini bahwa kesusastraan merupakan jalan hidupnya, menjadi kekuatan sastra Riau. HJ pun tidak pernah berhenti ‘mendengung-dengungkan’ karya sastra dimanapun dan kapanpun. Dengan telaahnya yang mendalam, dan juga kehebatannya mencpitakan karya sastra, HJ dengan lantang pada tahun 90-an mengikrarkan Mazhab Sastra Riau. Keunikkan dan kekuatan bahasa dalam karya sastra Riau merupakan roh mazhab sastra Riau tersebut. HJ semakin genjar membandingkan karya-karya sastra Riau dengan karya-karya sastra asing. Perbandingan yang dilakukan HJ menjadi kekuatan baru pula bagi sastrawan-sastrawan Riau lainnya.
Kini sudah satu tahun HJ mendahului kita. Tiada lagi kita dapat menyaksikan gaya bicara HJ yang penuh semangat. Bicara tentang kesusastraan, HJ tidak akan pernah kehabisan bahan, semua yang ada pada dirinya dituangkan untuk membangkitkan semangat penulis-penulis muda. Gaya bicara yang penuh ekspresi ditambah gerakan-gerakan tubuh adalah ciri khas HJ. Setiap kali berjumpa dengan dia, terlambat kita menegurnya, HJ yang terlebih dahulu mendengur, Seperti seorang prajurit, HJ selalu mengangkat tangan kanannya dan memberi hormat kepada siapa saja yang ditemuinya. Hasan Junus tidak membedakan antara usia, siapa saja yang berminat dengan sastra, bagi HJ adalah kawannya, tak peduli muda atau pun tua.
Seperti burung api, HJ telah ‘membakar’ dirinya dengan menekuni dunia sastra. Apa yang ia dapat dari dunia sastra sudah pula menjelma di setiap penulis yang pernah berjumpa dan bicara dengan-nya. Sudah setahun dia pergi, kita rindu gaya bicaranya, kita rindu pemikirannya yang dituangkan dalam tulisan, namun Rampai itu telah usai, kitalah yang harus melanjutkan. Hidup ini tidak pernah mengenal kata akhir. Patah satu, tumbuh seribu. Mengenangmu Ayahanda HJ, kami memang terasa sunyi.

*Lirik lagu P. Ramlee    

Minggu, 24 Maret 2013

Masih Berkesenian


Konsep berkesenian orang Melayu adalah memberi manfaat dan berfaedah untuk orang yang menikmati kesenian itu. Sebagai orang Melayu, Atah Roy berpegang teguh kepada konsep tersebut. Tanpa ada pikiran lain, yang penting penikmat kesenian tanah ini terpuaskan, Atah Roy pun rela menyediakan waktu, pikiran, tenaga dan juga duit untuk tetap berkesenian. Atah Roy dengan semangat berapi-api mengumpulkan beberapa pemuda-pemudi untuk menaja perhelatan kesenian.
Semangat mengebu-ngebu Atah Roy tidak direspon Leman Lengkung. Di benak pikiran Leman Lengkung terbayang dua tahun yang lalu, bagaimana peningnya Atah Roy setelah menaja hajatan yang sama pada hari. Waktu itu Atah Roy juga menaja pementasan teater alias drama alias sandiwara. Setelah perhelatan selesai Atah Roy pening untuk membayar utang akibat perhelatan kesenian tersebut. Leman Lengkung tidak mau kejadian itu terulang kembali pada Atah Roy saat ini.
Leman Lengkung berusaha menghasut pemuda-pemudi di kampung tidak mendukung keinginan Atah Roy menaja perhelatan yang sama. Hasutan Leman Lengkung akhirnya singgah juga ke telinga Atah Roy. Atah Roy naik pitam alias geram setengah mati pad Leman Lengkung. Dengan emosi meluap-luap, Atah Roy pun mendatangi Leman Lengkung yang sedang sibuk mengumpulkan getah di kebun.
“Ape maksud dikau menghalang-halang aku untuk berkesenian, Man?” pertanyaan Atah Roy bernada geram.
“Saye tak menghalang Atah, tapi saye takut Atah gile disebabkan berkesenian,” jawab Leman Lengkung dengan tenang.
“Maksud dikau ape?” Atah Roy semakin geram.
“Ape yang Atah dapat dari berkesenian?” balik Leman Lengkung bertanya.
“Kepuasan bathin itu melebihi segale-galenye, Man. Dan dengan berkesenian, bathin aku terpuaskan!” Atah Roy menjawab masih dengan nada emosi.
“Kepuasan bathin seperti ape, Tah? Setelah mengadekan pementasan drama, lepas itu Atah dikejo-kejo orang untuk menagih utang, apekah itu yang dinamekan kepuasan bathin, Tah?” Leman Lengkung mulai berani.
“Dikau jangan mengaju itik berenang, Man. Aku ini dah banyak makan asam garam berkesenian. Kawan-kawan aku kan banyak, dan perusahaan di kampung kite ini mau membantu perhelatan ini semue!” sergah Atah Roy.
“Dulu Atah bercakap macam itu juge, tapi nyatenye tak satu pun kawan Atah dan juge perusahaan itu tak membantu Atah. Atah sorang yang menanggung semuenye, sampai-sampai hasil penjualan getah kite semuenye terpakai untuk membayo utang Atah itu,” Leman Lengkung juga meninggikan suaranya.
“Ini menyangkut marwah kite sebagai orang Melayu, Man. Kalau tak kite yang menjage marwah kite melalui seni, siape lagi? Kesenianlah yang masih dapat diharapkan mejage marwah orang Melayu pade hari ini. Dikau jangan lupe Man, dengan seni identitas diri orang Melayu dipertahankan!” ujar Atah Roy panjang lebar.
“Itu menurut Atah, tapi tidak orang Melayu lainnye. Atah bisa tenguk, bagaimane kesenian pade hari ini hanye untuk kepentingan politis, kalau ade pejabat atau tokoh masyarakat nak sesuatu, baghu kesenian dijulang-julang. Begitu juge orang berkesenian hari ini disebabkan faktor kedekatan dengan orang-orang penting. Sementare Atah, jangankan dekat dengan orang penting, dengan Pek RT aje tak dekat Atah menjauh. Dari mane Atah nak nutup biaya pementasan drama Atah tu? Terpakse juge hasil getah kite ini jadi sasarannye,” jelas Leman Lengkung panjang lebar.
“Dikau jangan menghina aku, Man. Kalau dikau tak ikhlas membantu aku, tak usah dikau bantu aku lagi, lebih baik kite putus persaudaraan anak-beranak!” Atah Roy bertambah emosi, dan langsung meninggalkan Leman Lengkung sendiri.
“Kalau aku bercakap, tahu salah je. Payah jadi anak saudare ni,” Leman Lengkung besungut.
Atah Roy dengan geram melangkahkan kakinya. Sambil melangkah, Atah Roy berpikir apa yang dikatakan Leman Lengkung tadi. Dalam hati Atah Roy membenarkan apa yang dikatakan Leman Lengkung. Pengalaman sudah banyak, setiap kali mengadakan pertunjukan seni, pasti utang berkeliling pinggang.
“Kadang ade betul juge ape yang dikatekan Leman tu, tapi kalau tak berbuat, lain pulak perasaan ini,” bisik Atah Roy dalam hati.
Atah Roy pun terbayang masa lampau, dimana dia pernah mau membunuh diri dengan terjun ke laut, gara-gara utang setelah perhelatan seni. Kepuasan bathin setelah pementasan hanya sekejap, tapi kelukaan bathin disebabkan utang pementasan lama. Atah Roy jadi ragu untuk tetap berkesenian.
“Aku harus ambil sikap, aku harus tetap berkesenian. Utang atau pun rugi, itu bisa diselesaikan, tapi rugi atau utang hati, tidak bisa terganti!” Atah Roy menjawab keraguannya sendiri. Dengan semangat tetap berapi-api, Atah Roy akan mengadakan perhelatan atau pementasan drama dengan melibatkan lebih banyak orang lagi.
“Pantang Melayu surut ke belakang!” ujar Atah Roy yakin.         

Sabtu, 16 Maret 2013

Drama Politik


Dunia politik di negeri ini, memang sangat mengkhawatirkan. Para petinggi kelompok yang mengatasnamakan untuk kesejahteraan, ketentraman dan kedamaian rakyat ini, terbabet masalah. Rakyat kehilangan kepercayaan kepada figur-figur yang dibesar-besarkan oleh partai politik. Partai politik seperti sarang untuk menetaskan para ‘penjahat’. Tokoh-tokoh muda, sebelum masuk partai politik, terkenal dengan ‘kebengisan’ ideologi tinggi, menjadi seperti seekor kerbau. Tiada bersuara untuk kebenaran orang ramai, yang ada hanya kebenaran golongan, Maka rekayasa menjadi senjata untuk menumbangkan, menguburkan, dan juga menjadi propaganda membangun citra.
Sebagai seorang aktivis drama dulunya, Atah Roy selalu tampil sebagai sutradara. Kerja seorang sutradara ‘mengakali’ peristiwa, ruang, dan waktu sehingga menghasilkan drama berkualitas tinggi. Para aktor atau pemain drama, memang dipersiapkan menjadi tokoh-tokoh dalam lakonan. ‘Mengakali’ dalam drama yang sesungguhnya merupakan upaya menarik rasa simpatik penonton, sehingga penonton betah menonton drama itu sampai selesai.
Rekayasa dalam drama merupakan keharusan. Ianya bukan bertujuan untuk menipu penonton, tetapi ingin penonton masuk dalam peristiwa, ruang dan waktu yang didedahkan pada pementasan drama itu. Bukankah drama yang baik dapat mengajak penonton merasakan apa yang terjadi di atas panggung? Bagaimana dengan drama politik?
Atah Roy menggaru-garukan kepalanya yang tidak gatal. Dua kata ini, drama politik, mengusik pikiran Atah Roy akhir-akhir ini. Dua kata itu menjadi perbincangan hangat di kedai kopi Nah Me’un. Orang-orang menjadi pintar menganalisis peristiwa di negeri ini. Mereka seperti penonton yang memang masuk dalam peristiwa itu, dan memang ada benarnya. Sebab para ‘pelakon’ yang sedang berperan di panggung drama politik itu adalah orang-orang yang menentukan nasib rakyat kecil.
“Drama politik di negeri kite ini, bertambah gawat. Semue aktor utamanya terlibat saling menyerang, semue nak jadi protagonis,” ujar Sidik Cengkung sambil meneguk kopinya.
“Parahnya lagi, pengikut-pngikut atau kalau dalam drama tokoh-tokoh pigurannye, membela membabi bute mendukung siape yang punye banyak duit dan kekuasaan,” tambah Ijal Pelo.
“Kite memang dibuat bingung dengan permasalahan negeri kite ini, tokoh-tokoh utama sibuk membangun konflik, sementara kebutuhan keseharian hargenye melambung tinggi. Belum lagi duit untuk kebutuhan rakyat dipelupuh ramai-ramai. Tukang pelupuh tu pulak dah kehilangan rasa keibaannye; baik yang macam ustazd sampai macam preman dah tak ade bede lagi, belantak melupuh duit rakyat,” tambah Tamam Tengkes geram.
“Yang menyakitkan hati, mereke semue tidak pulak merase bersalah. Bahkan menganggap diri mereke itu sang pembela kehidupan rakyat,” kata Yusup Cacing pula.
Atah Roy menggeleng-geleng kepala. Dengan seksama Atah Roy mendengar percakapan orang-orang di sebelah mejanya.
“Atah Roy, ape Atah tak ade komen kedaan negeri kite sekarang ni?” tiba-tiba Tamam Tengkese bertanya kepada Atah Roy.
Atah Roy menarik nafas panjang, lalu Atah Roy menatap satu persatu orang-orang itu, kemudian Atah Roy tersenyum.
“Usah senyum-senyum je Tah, masalah negeri ini tidak selesai dengan senyum de,” ujar Ijal Pelo.
“Aku tersenyum mendengo mike-mike bebual ni, macam ye betul, padahal ape ke tidak aje,” jawab Atah Roy.
“Atah, tak sedap betul bunyi kate-kate Atah tu, bebulu telinge saye mendengonye,” sindir Yusup Cacing.
“Makan boleh sembaarang makan Tah, tapi cakap jangan sembarang cakap!” tambah Tamam Cengkung geram.
“Kalau hanye sekadar mengomentar ape yang terjadi di negeri kite ni, tak ade gunenye de. Kalau betul kite mencintai negeri ini dengan setulus hati, mari kite bergerak dengan melakukan perlawanan. Kalau perlu sabutase semue kebijakkan yang telah mereka buat. Jangan bercakap aje, yang kite butuhkan sekarang ini aksi, bukan bebual di kedai kopi. Dan aku berharap pade aksi itu tidak ade tawar-menawar lagi,” jawab Atah Roy panjang lebar.
“ Ape maksud Atah dengan  ucapan ‘tak ade tawar-menawar’ tu?” tanya Tamam Cengkung.
“Maksudnye, orang atau kite nantinye melakukan perlawanan terhadap aktor-aktor utama negeri kite ni, tak gentar dan tak melunak dengan ape pun bujukan. Selame ini para aktor-aktor yang berteriak dengan aksi melawan kebijakan ini, lemah apebile dikasi duit setumpuk. Mereke berpaling arah, lalu memuto luan mereke, bahkan lebih geram lagi, mereke masuk pulak dalam sistem yang hendak mereke runtuhkan itu. Kalau dah macam ini, jangan harap negeri ini akan berubah!” ujar Atah Roy geram.
“Jadi, kite harus mecam mane?” tanye Usup Cacing.
“Diam je?” Tamam Cengkung ragu.
“Kite sehrusnye aksi, protes terus sampai perubahan itu memang datang dari hati orang-orang mendiami negeri kite ini,” tambah Atah Roy dengan yakin.