Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Minggu, 31 Juli 2011

Kopiah Haji

Tiap tahunnya, mau memasuki bulan Ramdhan, Atah Roy lebih suka menyendiri di masjid. Beritiqaf dan lalu membersihkan masjid. Atah Roy menyadari bahwa seharusnya bukan saja pada bulan Ramadhan ia berbuat seperti ini, setiap waktu adalah ruang untuk mendekati diri kepada Sang Maha Pencipta. Tak ada pengecualian; waktu kan kepunyaan Allah. Tapi entah mengapa pada bulan Ramadhan, Atah Roy semakin mengebu datang ke masjid. “Apekah aku hanya ngikut orang, atau memang hati aku yang terpanggil untuk menambah ibadah?” Atah Roy berbisik dalam hati. “Tapi sudahlah, yang penting aku beribadah,” Atah Roy menjawab sendiri keraguannya.

Pada petang menjelang puasa besok harinya alias petang megang, Leman Lengkung sibuk mencari Atah Roy di tepi sungai. Atah Roy telah berjanji kepada Leman Lengkung akan menenguk orang merayakan petang megang dengan mandi-mandi di sungai. Setiap orang yang ditanya oleh Leman Lengkung tentang keberadaan Atah Roy, selalu dijawab dengan tidak tahu. Dan akhirnya Leman Lengkung berjumpa dengan Man Tapak.

“Pak Cik nampak Atah Roy?”

“Dikau macam tak tahu aje atah dikau tu, die kan tak suke berkumpul ramai macam ini,” jawab Man Tapak menyiramkan tubuhnya dengan air yang penuh dengan bunga.

“Tapi Atah Roy dah berjanji dengan saye akan datang,” Leman Lengkung tak puas hati.

“Ooo... Mustahak betul nampaknye dikau nak jumpe Roy. Ape hal?” Man Tapak kembali menyiramkan tubuhnya dengan air.

“Ini kesempatan mencari keuntungan beso, Pak Cik,” Leman Lengkung yakin.

“Keuntungan beso? Maksud dikau?” Man Tapak berhenti menyiram tubuhnya. Matanya tak berkedip.

“Orang kan ramai Pak Cik, besokan puase, kalau kite jualan kopiah haji, tasbih atau barang-barang lainnya untuk beribadah, orang pasti beli. Awal-awal puase ini kan, banyak orang tobat,” Leman Lengkung menjelaskan dengan matan.

“Auk ye, ngape dikau baru cakap saat ini?” Man Tapak agak kesal.

“Saye dah cakap hal ini kepada Atah Roy due bulan yang lalu. Atah Roy berjanji nak kasi modal pagi tadi, tapi sampai jam ini, saye tak berjumpe Atah Roy,” Leman Lengkung menjelaskan.

“Tak canlah kalau macam ini. Yuk kite cari Roy di Masjid,” Man Tapak membersihkan perlengkapan mandinya, dan mereka berdua bergegas pergi ke masjid.

Di Masjid, Atah Roy sedang sibuk menyapu sambil mengucapkan ayat-ayat pendek Al Quran. Air matanya jatuh ke pipi. Sambil menyapu, Atah Roy mengelap air matanya. “Sesungguhnya manusia itu hidup dalam kerugian, kecuali orang yang beriman kepada Allah,” suara Atah Roy lirih.

Beberapa saat kemudian, Leman Lengkung dan Man Tapak sampai ke Masjid. Man Tapak memanggil Atah Roy dengan suara yang keras.

“Roy...O Roy!”

Mendengar suara memanggilnya, Atah Roy keluar dari dalam masjid. Atah Roy terpana melihat Man Tapak mengenakan pakaian basah.

“Ape hal ni, Man?”

“Dikau ni betullah Roy, tak ade jiwa dagang siket pun,” Man Tapak to do point.

“Maksud dikau ape, Man?” Atah Roy tak ngerti.

“Atah tak usah purak-purak, saye dah belangau mencari atah di tepi sungai tadi,” Leman Lengkung langsung memotong.

“Betul, aku belum paham maksud mike berdue ni?”

“Atah dah berjanji nak beri saye modal beli kopiah haji, tasbih dan barang-barang ibadah lainnye,” Leman Lengkung menjelaskan.

“Eeeee... duit modal tu kan dah kite gunekan membantu Pak Cik Tapa dikau di kampung. Dikau yang ngirim lewat kawan dikau yang balek ke kampung due hari yang lalu, Man,” Atah Roy menggelengkan kepale.

“Tapi ngape Atah Roy berjanji nak jumpe aku di tepi sungai malam tadi?”

“Aku nak nenguk orang nyambut puase pade acara petang megang tu, tapi aku tak bisa datang, sebab aku teringat masjid tak ade yang membersihkan. Itu sebabnya aku tak datang,” Atah Roy menjelaskan.

“Payah mike berdue ni. Padahal ini kesempatan mencari untung beso. Nak dekat puase ni, banyak orang menggunekan kopiah haji, bawak tasbih kemane-mane, tande mereke tu dah tobat. Kesempatan ini setahun sekali datangnye!” Man Tapak geram.

“Dahlah Man, ini namenye tak rezeki kite,” Atah Roy tenang.

“Ah malas aku nak bercakap dengan mike berdue ni, tak jelas!” Man Tapak pergi meninggalkan Atah Roy dan Leman Lengkung. Atah Roy dan Leman Tapak saling berpandangan.

“Ape betul, tobat itu dengan menggunekan kopiah haji, Tah?”

“Entah, mane kutahe,” kata Atah Roy sambil masuk ke masjid kembali.

Leman Lengkung bingung seorang diri.

Sabtu, 23 Juli 2011

Bolehkah Kami Berkisah Tentang Melayu?

Berbicara tentang Melayu tak akan pernah habisnya, tapi entah mau dimulai dari mana memperbincangkan Melayu itu. Atah Roy menyadari bahwa sebagai keturunan Melayu alias Melayu tulen alias Melayu asli, dia tak bisa berbuat banyak kepada Melayu hari ini. Melayu terasa asing di telinganya, namun begitu dekat rasanya di hati.

Bingung. Itulah kata yang menikam benak Atah Roy ketika Leman Lengkung bertanya tentang Melayu. Pernah satu kali Atah Roy membicarakan kebesaran Melayu masa lalu, tapi Lemang Lengkung dengan ketusnya memotong kalimat Atah Roy. “Mase lalu memang terlalu indah untuk diceritekan pade hari ini, Tah.” Ucapan Leman Lengkung itu memang tak bisa dihapus oleh Atah Roy dari benaknya. Mau bicarakan Melayu pada hari ini, Atah Roy tak punya keberanian, karena Melayu pada hari ini, menurut pantauan Atah Roy, Melayu tak dapat dihandalkan. Melayu pada hari ini, memang hidup setara dengan bangsa lainnya, tapi Melayu pada hari ini, selalu diperbudak oleh keinginan. “Melayu same Melayu, bercekau juge, Tah,” ucap Leman Lengkung, mematah selera Atah Roy bicara tentang Melayu.

Mengatasnamakan bangsa Melayu, namum banyak masyarakat Melayu yang tak berdaya. Mengatasnamakan pimpinan Melayu, masyarakat Melayu juga tak memiliki tawaran yang kuat. Melayu hanya menjadi tonkang lapuk yang siapa mau membawa berlayar; dihantam gelombang, dihantam musim, lalu setelah mendapat tempat berlabuh, Melayu dibiarkan berlapuk tanpa ada yang mengurus.

Melayu seperti apa yang diinginkan oleh Leman Lengkung. “Saye ingin orang Melayu hebat macam Superman. Bukan aje die membantu orang Melayu, tapi die membantu semue orang di atas dunie ini. Ade orang Melayu macam gitu, Tah?”

Atah Roy tak dapat menjawab. Atah Roy hanya menggelengkan kepalanya. “Tak usahlah Atah nak membanggakan Melayu pade hari ini. Ape yang Atah dapat sebagai orang Melayu pade hari ini? Kate Atah, ini tanah Melayu, tapi hidup kite tetap saje melarat kan, Tah?” pertanyaan Leman Lengkung kembali menikam benk Atah Roy.

“Leman, jangan kau pancing ikan paus yang sedang tenang, nanti padah akibatnye!” Atah Roy mulai emosi.

“Inilah ciri khas orang Melayu. Berani bengis hanya pade orang terdekat saje, pade orang lain, diam macam batu,” Leman Lengkung seperti tidak peduli dengan emosi Atah Roy.

“Leman, aku ni punye marwah, sekali lagi, jangan kau memompa darah aku!” suara Atah Roy bertambah berat menahan emosi.

“Atah, Atah... Saye penat jadi Melayu ni, Tah. Atah harus tahu, di tanah Melayu ini, di tanah Riau ini; yang kate orang kaye, yang kate orang penyumbang terbesar di negara ini, yang kate orang kekayaannye penutup utang negara ini; tak bisa banyak berkehendak nak memajukan tanah ini,” Leman Lengkung menguraikan kekesalannya.

Atah Roy kembali menggelengkan kepalanya, kali ini gelengan kepala Atah Roy diiringi dengan tarikan nafas dalam-dalam. Setelah menarik nafas dalam-dalam, Atah Roy mengurut dadanya.

“Tak dapat selesai dengan mengurut dade de, Tah. Kite ni orang kecik, ape yang menjadi keinginan kite, payah nak terkabulkan, sebab keinginan kite hanye dianggap keluhan belake. Sudah berape banyak profesor dari orang Melayu? Dah berape banyak politikus hebat dari orang Melayu? Melayu tetap saje macam ini, tak bergaret langsung,” Leman Lengkung semakin menjadi-jadi.

“Sebetulnye, ape yang engkau inginkan dari Melayu ini?” kini Atah Roy pula yang bertanya.

“Subsidi sekolah-sekolah, lembaga-lembaga yang menjunjung nilai-nilai Melayu. Dan jangan pernah lagi, kite same kite bercekau. Berbede memahami Melayu adalah suatu kewajaran, tapi jangan pernah menganggap kite lebih habat dari orang lain yang juge menjunjung Melayu,” Leman Lengkung pasti.

“Maksud engkau ape, Man?” Atah Roy bukan tak mengerti apa yang disampaikan Leman, tapi Atah Roy tak mengerti apa yang diinginkan Leman. Sebab selame ini, Atah Roy selalu mendapat kabar bahwa di tanah Melayu ini, orang-orang Melayu utamanya, dan orang-orang yang bukan Melayu, menjunjung Melayu seperti mengenakan mahkota.

“Tah, apekah kite perlu memperbincangkan Melayu pade hari ini?”

“Kenape engkau bertanye seperti itu?” emosi Atah Roy sedikit menurun.

“Sebab orang Melayu hari ini terlalu pandai,” ucapan Leman datar.

“Baguslah orang Melayu pandai,” Atah Roy membeliakkan matanya.

“Karene terlalu pandai itulah Melayu tergadai.”

“Maksud engkau?”

“Karene semue sudah pandai, kite pun membesar-besarkan diri kite masing-masing, sehingge kite tak pernah lagi mendengar pendapat orang lain, asik nak mengepal diri kite yang paling pandai,” kate Leman Lengkung sambil pergi dengan menundukkan kepalanya.

“Engkau hendak kemane, Man?”

“Saye Melayu, tapi saye tak pandai, make saye nak pergi menggali lubang kubur saye sendiri,” Leman Lengkung terus pergi.

Atah Roy menatap kepergian Leman. Kalimat terakhir Leman Lengkung seperti harimau yang sedang menerkam mangsanya. Kuat, tajam, menusuk, lalu darah pun menyembur.

“Betul juge yang dicakapkan Leman. Kami yang kecik ni, bolehkah berkisah tentang Melayu? Tapi, siape yang nak mendengo kami?” Atah Roy bertanya pada dirinya sendiri, lalu Atah Roy teringat cerita Robin Hood. “Sepatotnye, orang Melayu kuat, pandai, membantu orang Melayu yang lemah dan bodoh. Tapi... ah... Malas aku!” kata Atah Roy dengan geram.

Sabtu, 16 Juli 2011

Zaman Lagak

Leman Lengkung tahu bahwa di zaman modern (kenen) ini telah terbangun ‘budaya imej’. Leman Lengkung mendefenisikan ‘budaya imej’ dengan berpenampilan serba mewah, maka supaya tidak ketinggalan zaman Leman Lengkung harus berpenampilan seperti bintang sinetron. Dan Leman Lengkung pun tidak segan-segan menjual semua karet alias ojol dari hasil menoreh alias menakik di kebun karet Atah Roy. Biasanya karet hasil menoreh yang dilakukan Leman Lengkung diserahkan kepada Atah Roy, namun karena tuntutan zaman, Leman Lengkung dengan berani menjual sendiri karet Atah Roy ke Akiong. Duit hasil menjual karet Atah Roy inilah yang digunakan Leman Lengkung membeli pakaian baru, sepatu baru, jam tangan baru, dan asesoris lainnya yang ‘berbau modern’. Muncullah sosok Leman Lengkung modernis tulen; celana jeans baru, baju, jam tangan sepatu, topi dan parfum merk luar negeri.

Agar penampilannya diketahui oleh orang banyak, Leman Lengkung berkeliling kampung dengan menggunakan motor sewa miliki Amzah. Setiap berjumpa dengan orang kampung di jalan, Leman Lengkung melambaikan tangannya dan kadang kala Leman Lengkung berhenti dekat orang tersebut. Basabasi sedikit dengan menanyakan kabar atau sambil mengipas-ngipas badannya dengan tangan, Leman Lengkung berkomentar tentang cuaca yang semakin panas. Padahal tujuan Leman adalah memamerkan penampilannya kepada orang yang ia jumpai di sepanjang jalan.

“Tuntutan zaman selalu membuat kite panas, ye Rim?” ucap Leman Lengkung ketika berjumpa dengan Karim di simpang empat jalan kampung.

“Bukan main segak dikau hari ini Man, macam nak pegi berangkat,” komentar Karim.

“Zaman selalu memakse mengubah orang untuk tidak menjadi dirinye sendiri,” kata Leman sambil merapikan kerah bajunya.

“Dikau nak pegi kemane, Man?” Karim penasaran.

“Setiap saat adalah kesempatan untuk ditenguk orang,” ucap Leman. Karim menggaruk kepalanya yang tak gatal. Karim tak mengerti apa yang dikatakan Leman Lengkung. “Jangan bingung, orang bingung selalu didatangi kemelaratan,” tambah Leman Lengkung.

“Makin tak paham ape yang dikau cakapkan, Man,” Karim semakin kuat menggaruk kepalanya.

“Tak perlu paham, yang paling penting, nikmati aje,” kate Leman Lengkung sambil mengengkol motor buruk yang ia sewa dari Amzah. “Santai bro, jangan masuk hati. Bergayalah selagi kau bisa bergaya, sebelum kau dipandang hina,” kate Leman Lengkung sambil mengas motor sewaannya meninggalkan Karim sendiri dengan penuh pertanyaan di benak.

“Leman ni dah gile atau... Ah, ngape pulak aku yang risau? Penampilan Leman mantap juge,” Karim bicara sendiri, kemudian melanjutkan perjalanan menuju sungai untuk menangkap ikan.

Atah Roy menyadari bahwa Leman Lengkung pasti mengubah gaya hidupnya. Pendapat ini diperkuat dengan tidak adanya ojol terkumpul di belakang rumah. “Untuk memenuhi segale kebutuhan hari ini, orang akan melakukan apepun, termasuk menjual milik orang. Halal dan haram terlalu tipis bedenye pade hari ini,” sungut Atah Roy.

Leman Lengkung dengan motor buruk sewaannya, balek ke rumah. Suara bising dari knalpot motor itu, menyadarkan Atah Roy bahwa Leman Lengkung sudah balek. Atah Roy bergegas mendekati asal suara motor. Atah Roy melihat Leman Lengkung dengan stel berbeda, bercermin di kaca spion motor.

“Bukan main dikau ye Man?” Atah Roy menggelengkan kepalanya.

“Tah, zaman menuntut kite untuk melakukan perubahan,” Leman Lengkung yakin.

“Aku sepakat itu, tapi perubahan yang harus dilakukan tidak dengan memakse diri”, suara Atah Roy sedikit meninggi.

“Atah kuno. Atah terlalu banyak pertimbangan, padahal hari ini, pertimbangan membuat orang tidak kreatif. Pertimbangan menyebab orang akan jadi penakut. Atah harus tahu, orang yang tidak mampu mengikut rentak zaman akan tertinggal terus,” kate Leman Lengkung sambil menarik bitelnya.

“Oooo... macam itu ye?”

“Ye, macam itu Tah. Saye kasi tahu lagi ye Tah, zaman sekarang ini, supaya kite mendapat tempat, kite harus berupaye bergaya. Macam saye ni,” Leman Lengkung melihatkan pakaian yang ia kenakan kepada Atah Roy dengan memutar diri seperti seorang model. “Saye berbuat seperti ini, agar saye diperhatikan orang. Orang yang dihargai pade hari ini adalah orang yang bergaya, walaupun kerjenye menipu,” tambah Leman Lengkung.

“Ooo... gitu. Jadi penampilan pisik lebih diutamekan dibandingkan kejujuran?” Atah Roy menggigit bibirnya petanda geram.

“Paham Atah tu,” Leman Lengkung sombong.

“Jadi untuk mengikuti zaman, kite boleh melakukan ape saje ye? Menjual barang yang bukan milik kite dibolehkan. Mencuri harte orang lain dibolehkan. Menipu orang dibolehkan. Memanfaatkan orang lain untuk kepentingan kite, dibolehkan. Pokonye di zaman modern ni, antara dose dan pahale tak ade bedenye ye?” Atah Roy pura-pura bertanya.

Leman Lengkung merasa di atas angin. Dengan wibawa yang dibuat-buat, Leman Lengkung menganggukkan kepala. “Atah dah paham nampaknye dengan tuntutan zaman.”

“Kalau macam itu, tunggu kejap ye Man,” kate Atah Roy sambil masuk ke dalam rumah.

Leman Lengkung kembali menganggukkan kepalanya. Dengan gaya dibuat-buat Leman Lengkung berjalan mondar-mandir, seperti seorang model sedang beraksi di atas panggung. Beberapa saat kemudian Atah Roy datang sambil mengacungkan parang panjang mau menebak Leman Lengkung. Melihat Atah Roy seperti itu, Leman Lengkung terkejut. Leman Lengkung terpana sebentar, namun cepat sadar, kalau ia menunggu Atah Roy dekat, pastilah kepalanya pecah diparang Atah Roy. Leman pun mengambil langkah dua juta, lari.

“Jangan lari Man! Ini zaman modern, orang berhak mengamuk disebabkan hak miliknye dicuri! Jangan lari Man!” Atah Roy berteriak. Leman Lengkung, tanpa melihat ke belakang terus berlari.

“Zaman sekarang ni, zaman lagak! Bergaya, bio ditenguk orang, melakukan segala cara!” Sok!” Atah Roy terus bersungut masih memegang parang panjang. Sementara Leman Lengkung sudah tak nampak lagi.

Kamis, 07 Juli 2011

Betul…

Kalimat yang melompat dari mulut Leman Lengkung, memang meluluhlantakan kepercayaan diri Atah Roy. Atah Roy tak habis pikir, bahwa Leman Lengkung, anak saudaranya yang telah lama hidup bersamanya, mengeluarkan kalimat yang membuat Atah Roy tak berkutik. Kalimat Leman Lengkung, terus berkembang di otak Atah Roy, memakan logika-logika yang selama ini berumah di benak Atah Roy. Mungkinkah ini yang dinamakan perkembangan zaman, sehingga tiada lagi sopan santun generasi muda kepada orang tua? Atau memang generasi muda pada zaman ini sudah semakin kritis, sehingga sesuatu yang bertolak belakang dengan pemikiran mereka, mereka tolak mentah-mentah? Atau orang tua, seperti Atah Roy, yang tidak sadarkan diri ingin dianggap ‘selalu betul’ sehingga genarasi muda mengambil sikap melawan?
Atah Roy masih belum mampu menerjemahkan kalimat Leman Lengkung secara normal. Otak Atah Roy seperti diserang petir di siang bolong; hangus. “Atah selalu saje menganggap diri Atah yang paling betul!” kalimat itulah yang melompat dari mulut Leman Lengkung dan menerkam benak Atah Roy, sehingga Atah Roy tak mampu lagi berpikiran jernih. Rasa telah berbuat banyak kepada Leman Lengkung, menghantui perasaan Atah Roy. Menanam budi, namun api yang dituai; Daun selasih, bukan daun talas. Menyebar kasih, benci yang dibalas. Atah Roy memendam geram, namun sekaligus bertanya-tanya. “Apakah Leman yang betul, aku yang salah? Atau aku yang betul, Leman yang salah? Aaahhh… aku yang betul,” Atah Roy membuat kesimpulan dalam hati.
Betul alias benar versus salah, merupakan dua kata memiliki makna bertolak belakang yang jelas. Betul selalu lekat pada perbuatan yang disetujui, dan salah merupakan lawan dari disetujui alias tidak disetujui. Namun demikian, tidaklah mudah menjatuhkan mana perbuatan yang betul, dan mana perbuatan nyang salah. Apalagi perbuatan itu berada dalam wilayah politik dan perselisihan antara Atah Roy dan Leman Lengkung, bolehlah dikatakan berada dalam wilayah politik.
Al kisah, perdebatan Atah Roy dan Leman Lengkung terjadi tengah malam tadi, disaat bulan purnama mengambang di atas angkasa. Suara hewan malam, bersahut-sahutan meningkahan kesunyian. Embon mulai menghiasi daun-daun. Di dalam rumah yang sederhana, berdindingkan papan semberan, dengan wajah yang tegang, Atah Roy bercekak pinggang di depan Leman Lengkung yang duduk tertunduk di kursi tamu.
“Kau pikir, aku tidak punye alasan mengape aku menyuruh dikau memilih Kotel untuk jadi Penghulu?” suara Atah Roy meninggi.
“Saye juge punye alasan mengape tidak memilih Pak Cik Kotel jadi penghulu, Tah,” Leman Lengkung menjawab sambil menundukan wajahnya.
“Ok, aku tahu bahwe negera kite ini negara menjunjung tinggi demokrasi, tapi aku ingin tahu mengape dikau menolak Kotel jadi penghulu?” Atah Roy memburu pendapat Leman Lengkung.
“Kita punye alasan masing-masing, Tah.”
“Betul, tapi tolong jelaskan kepade aku alasan dikau!”
“Janji Atah tak marah?” ada ketakutan dalam diri Leman.
“Aku janji, aku tak marah,” Atah Roy mencoba menenangkan dirinya.
Leman Lengkung menarik nafas panjang. Ia mencoba mengumpulkan kekuatan. Udara dingin masuk ke hidung lalu bersarang di dada bersamaan tarikan nafas Leman. Keraguan berangsur-aangsur menghilang, tidak seratus persen, tapi membuat Leman agak lega untuk menyampaikan alasannya tidak memilih Kotel kepada Atah Roy. Memang diperlukan ketenangan untuk mengembalikan keberanian yang sempat hilang. Apalagi, oarang yang menghilangkan keberanian itu berada di depan kita, seperti Leman Lengkung saat ini. Atah Roy menatap tajam, tidak sabar lagi mendengarkan alasan melompat dari mulut Atah Roy.
“Nunggu ape lagi, cepatlah!” suara Atah Roy agak meninggi.
Leman sadar, bahwa untuk mengembalikan keberanian di dalam dirinya, tidak cukup dengan menundukan wajah. Leman Lengkung teringat Make Tyson, selalu menatap tajam lawan bertinjunya agar tetap berada di atas keyakinan diri untuk menang. Leman Lengkung mengangkat wajahnya, dan mata Leman Lengkung menatap wajah Atah Roy, namun tatapannya tidak setajam mata silet.
“Tah, tak cukupkah kekayaan yang dimiliki oleh Pak Cik Kotel, sehingge die mau jadi penghulu lagi di kampung ini?” suara Lemang Lengkung yakin.
“Ape maksud dikau ni, Man?” Atah Roy belum paham apa yang dikatakan Leman Lengkung.
“Tak ade yang berubah di kampung ini kan Tah, semenjak Pak Cik Kotel jadi penghulu kan? Yang berubah cuma Pak Cik Kotel bertambah kaye,” Leman Lengkung semakin percaya diri. “Wajarkan saye mendukung Pak Cik Ramlan untuk menjadi penghulu,” tambah Leman.
“Ape hebatnye Ramlan itu? Tak ade yang diperbuat Ramlan di kampung ini de! Ramlan itu orangnye tak punye pendirian, selalu menyampuk pendapat orang. Dia selalu menganggap diri die yang paling hebat,” Atah Roy bercakap panjang lebar.
“Same juge dengan Pak Cik Kotel, tak pernah mendengar cakap kami dari generasi mude. Pak Cik Kotel berjalan sendiri. Berape bantuan untuk kampung kite, sampai sekarang ini kite tak pernah tau. Jambatan di sungai Pelepah tak pernah diperbaiki. Itu yang dinamekan pimpinan yang baik?” Leman Lengkung tidak mau kalah.
“Ramlan lebih lagi, waktu die menjabat sebagai Ketue Pemuda kampung ni, banyak duit bantuan pemuda entah kemane perginye. Padahal tiap tahun, waktu Ramli jadi Ketue Pemuda, selalu ada pertandingan bola kaki antar pemuda kampung. Semenjak Ramlan menjadi ketue, satu haram kegiatan pemuda ada dilakukan. Cume gotong royong membersihkan jalan kampung. Semue orang bisa melakukan itu,” Atah Roy semakin menjadi-jadi.
“Ape ubahnye Pak Cik Kotel, Tah? Pak Cik…”
“Ah, Kotel lain. Die tu punye visi dan misi yang jelas nak membangun kampung ni!” Atah Roy memotong percakapan Leman.
“Visi dan misi bukan un….”
“Tak ade tu. Ramlan memang dari dulu tak punye niat siket pun untuk membangun kampung ini!” Atah Roy kembali memotong percakapan Leman Lengkung.
“Lantak Atah lah! Atah selalu saje menganggap diri Atah yang paling betul!” kate Leman Lengkung meninggalkan Atah Roy sendiri.
Atah Roy terdiam. Atah Roy seakan disembar petir di siang bolong, Atah Roy tak sangka Leman Lengkung berani berkata keras kepada dirinya. Tapi apekah Leman salah, atau betul? Atau Atah Roy yang salah, atau Atah Roy yang betul? Atau… ah betul… betul… betul… kate Ipin. Betul, selalu membingungkan.