Almarhum
Ediruslan Pe Amanriza merupakan salah seorang tokoh penting perkembangan dunia
seni di Riau ini. Semasa beliau hidup, selain berkarya menciptakan karya
sastra, Ediruslan juga beraktivitas di organisasi kesenian. Pada tahun 2000,
beliau duduk menjadi Ketua Dewan Kesenian Riau dan sekaligus menjadi anggota
DPRD Provinsi Riau. Pada tahun 2000 tersebut, Ediruslan berserta budayawan dan
seniman Riau mengalihkan pusat kesenian dari komplek Dang Merdu ke Purna MTQ.
Pada tahun inilah nama Purna MTQ itu berubah menjadi Bandar Seni Raja Ali Haji
(Bandar Serai), sesuai dengan nama yayasan mengeloloa area tersebut; Yayasan
Bandar Serai.
Sebagai penulis
karya sastra, nama Ediruslan Pe Amanriza sangat dikenal. Karya-karya roman
maupun cerpennya selalu menjadi yang terbaik pada sayembara nasional. Roman Panggil
Aku Sakai, memenangi sayembara yang ditaja Dewan Kesenian Jakarta pada tahun
1986. Novel ini berkisah tentang perlawanan suku Sakai dalam mempertahankan
tradisi mereka. Di Bawah Matahari, Taman, Jakarta di Manakah Sri, Ke Langit
(1993), Jembatan (Kekasih Sampai Jauh), Perang Bagan, dan Stasiun di Kaki
Bukit, merupakan karya-karya yang dihasilkan beliau. Dengan karya sastra,
Ediruslan mengenalkan Riau ke nasional.
Sebagai seorang
seniman, Ediruslan tidak pernah diam berkarya. Dan untuk menampung karya-karya
seni pertunjukan, Ediruslan dan beberapa seniman lainnya mengagas pembangunan
gedung seni pertunjukan bersekala internasional. Berdirilah gedung seni yang
mewah bernama Anjung Seni Idrus Tintin di Bandar Serai.
Ediruslan
menghembuskan nafasnya terakhir pada tanggal 3 Oktober 2001 di rumah Sakit
Islam Asifah Sukabumi, Jawa Barat. Beliau wafat setelah tidak kuat melawan
kanker paru-paru yang dideritanya selama empat bulan. Puisi terakhir beliau
Berpisah Jua Kita Akhirnya Jakarta, merupakan suara hati beliau tetap melawan
arogansi Jakarta terhadap daerah.
Untuk mengenang
beliau, pengurus Akademi Kesenian Melayu Riau, Taufik Ikram Jamil, menamakan
kampus AKMR, Kampus Eduruslan Pe Amanriza. Namun sayang gedung tersebut kini telah
diroboh untuk kepentingan pembangunan mal dan hotel di Bandar Serai. Nama
Ediruslan Pe Amanriza semakin lama semakin menghilang di benak kita. Tidak ada
satu pun gedung yang berada di Bandar Serai diberinama dengan nama beliau. Kita
pun seakan menghapus sejarah masa lalu, perjuangan yang dilakukan oleh
pendahulu kita, tidak membekas. Mungkin inilah hidup zaman modern, selalu
hendak melupakan masa lalu.
Bagi Atah Roy,
mengenang masa lalu merupakan kekuatan untuk membangun masa kini. Itulah
sebabnya, Atah Roy selalu membolak-balik catatannya untuk melihat peristiwa-peristiwa
masa lalu yang berkesan dalam dirinya. Meninggalnya Ediruslan Pe Amanriza,
merupakan peristiwa perih bagi Atah Roy. Atah Roy mengenal Ediruslan dari
karya-karya sastranya. Bagi Atah Roy, almarhum Ediruslan sosok budayawan dan
seniman yang memiliki daya juang menjunjung seni di Riau ini. Atas jasa-jasa
almarhum, menurut Atah Roy, sepantasnyalah budayawan dan seniman Riau pada
tanggal 3 Oktober nanti, mengenang almarhum dengan kegiatan kesenian di Bandar
Serai tersebut.
“Kalau budayan
dan seniman Riau tak mengenang Almarhum Ediruslan, orang lain apelagi,” ujar
Atah Roy pade Leman Lengkung.
“Mungkin
budayawan dan seniman Riau sibuk, Tah, sehingga terlupe dengan sosok orang yang
telah berjase di dunie seni Riau ini,” ucap Leman Lengkung menenangkan Atah
Roy.
“Inilah yang
salah. Seharusnye sesibuk apepun harus ade yang mengingatkan. Tak mungkinlah
semue budayawan dan seniman Riau tak mengingat sosok Ediruslan Pe Amanriza tu. Beliaulah
sosok yang berpengaruh memindahkan pusat kesenian dari Dang Merdu ke Purna MTQ.
Apelagi budayawan dan seniman beraktivitas di Bandar Serai. Tanah yang mereka
pijak sekarang ini, tanah hasil dari perjuangan Almarhum,” tambah Atah Roy.
“Atah mane tahu budayawan
dan seniman Riau tak mengenang Almarhum?” tanye Leman Langkung.
“Manelah tahu
kalau mereka tak mengenang Almarhum Ediruslan, itu namenye melampau,” jawab
Atah Roy.
“Atah
berperasangka buruk, itu yang tak boleh, Tah,” tambah Leman Lengkung.
“Akukan hanye
mengingatkan, bukan berburuk sangke. Dikau tu yang berburuk sanke pade aku,
Man,” Atah Roy sedikit emosi.
“Atah tahu nak
marah je, tak bolehlah saye bergurau siket,” ujar Leman Lengkung.
“Yelah,
peristiwa mengenang itu wajib kite lakukan, karene dengan mengenang kita dapat
menghargai kerje orang lain. Selain itu, dengan mengenang kite dapat menyusun
kekuatan baru untuk memperlihatkan eksistensi kite sebagai manusia yang
berjuang di bidang seni. Dan seharusnye, bukan saje di bidang seni, di bidang
lain juge harus seperti itu. Soekarno presiden pertame Indoensia, pernah
bercakap dengan nada berapi-api; jangan sesekali melupakan sejarah. Itu die,
hal itu dilakukan agar kite dapat mengambil pelajaran dari mase lalu,” jelas
Atah Roy.
“Pahamnye saye
tu, Tah. Tapi mengape di negeri kite ini banyak tempat untuk dikenang
dirobohkan, Tah?” tanye Leman Lengkung.
“Inilah masalah
yang pelik negeri kite ini. Kite selalu menganggap diri kite yang paling beso,
sehingge sesuke hati melantak peninggal bersejarah. Dan yakinlah, kalau kite
tetap berperangai seperti itu, siap-siaplah negeri ini tak tentu arah,” tambah
Atah Roy.
“Ngape pulak
macam tu, Tah?”
“Kalau kite tak
mengenang mase lalu, itu same saje kite tak mengenal diri sendiri. Kalau kita
dah tak mengenal diri sendiri, apa yang nak kite perbuat untuk negeri ini? Kehancuran
negeri ini disebabkan kite tak mengenal diri. Kite pakai bantai je membangun
negeri, tanpe roh kesejatian. Mengenang merupekan upaya membongkar kesejatian
yang terpendam,” ujar Atah Roy sambil mengisap rokoknya.