Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 29 September 2012

Mengenang




Almarhum Ediruslan Pe Amanriza merupakan salah seorang tokoh penting perkembangan dunia seni di Riau ini. Semasa beliau hidup, selain berkarya menciptakan karya sastra, Ediruslan juga beraktivitas di organisasi kesenian. Pada tahun 2000, beliau duduk menjadi Ketua Dewan Kesenian Riau dan sekaligus menjadi anggota DPRD Provinsi Riau. Pada tahun 2000 tersebut, Ediruslan berserta budayawan dan seniman Riau mengalihkan pusat kesenian dari komplek Dang Merdu ke Purna MTQ. Pada tahun inilah nama Purna MTQ itu berubah menjadi Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai), sesuai dengan nama yayasan mengeloloa area tersebut; Yayasan Bandar Serai.
Sebagai penulis karya sastra, nama Ediruslan Pe Amanriza sangat dikenal. Karya-karya roman maupun cerpennya selalu menjadi yang terbaik pada sayembara nasional. Roman Panggil Aku Sakai, memenangi sayembara yang ditaja Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1986. Novel ini berkisah tentang perlawanan suku Sakai dalam mempertahankan tradisi mereka. Di Bawah Matahari, Taman, Jakarta di Manakah Sri, Ke Langit (1993), Jembatan (Kekasih Sampai Jauh), Perang Bagan, dan Stasiun di Kaki Bukit, merupakan karya-karya yang dihasilkan beliau. Dengan karya sastra, Ediruslan mengenalkan Riau ke nasional.
Sebagai seorang seniman, Ediruslan tidak pernah diam berkarya. Dan untuk menampung karya-karya seni pertunjukan, Ediruslan dan beberapa seniman lainnya mengagas pembangunan gedung seni pertunjukan bersekala internasional. Berdirilah gedung seni yang mewah bernama Anjung Seni Idrus Tintin di Bandar Serai.
Ediruslan menghembuskan nafasnya terakhir pada tanggal 3 Oktober 2001 di rumah Sakit Islam Asifah Sukabumi, Jawa Barat. Beliau wafat setelah tidak kuat melawan kanker paru-paru yang dideritanya selama empat bulan. Puisi terakhir beliau Berpisah Jua Kita Akhirnya Jakarta, merupakan suara hati beliau tetap melawan arogansi Jakarta terhadap daerah.
Untuk mengenang beliau, pengurus Akademi Kesenian Melayu Riau, Taufik Ikram Jamil, menamakan kampus AKMR, Kampus Eduruslan Pe Amanriza. Namun sayang gedung tersebut kini telah diroboh untuk kepentingan pembangunan mal dan hotel di Bandar Serai. Nama Ediruslan Pe Amanriza semakin lama semakin menghilang di benak kita. Tidak ada satu pun gedung yang berada di Bandar Serai diberinama dengan nama beliau. Kita pun seakan menghapus sejarah masa lalu, perjuangan yang dilakukan oleh pendahulu kita, tidak membekas. Mungkin inilah hidup zaman modern, selalu hendak melupakan masa lalu.
Bagi Atah Roy, mengenang masa lalu merupakan kekuatan untuk membangun masa kini. Itulah sebabnya, Atah Roy selalu membolak-balik catatannya untuk melihat peristiwa-peristiwa masa lalu yang berkesan dalam dirinya. Meninggalnya Ediruslan Pe Amanriza, merupakan peristiwa perih bagi Atah Roy. Atah Roy mengenal Ediruslan dari karya-karya sastranya. Bagi Atah Roy, almarhum Ediruslan sosok budayawan dan seniman yang memiliki daya juang menjunjung seni di Riau ini. Atas jasa-jasa almarhum, menurut Atah Roy, sepantasnyalah budayawan dan seniman Riau pada tanggal 3 Oktober nanti, mengenang almarhum dengan kegiatan kesenian di Bandar Serai tersebut.
“Kalau budayan dan seniman Riau tak mengenang Almarhum Ediruslan, orang lain apelagi,” ujar Atah Roy pade Leman Lengkung.
“Mungkin budayawan dan seniman Riau sibuk, Tah, sehingga terlupe dengan sosok orang yang telah berjase di dunie seni Riau ini,” ucap Leman Lengkung menenangkan Atah Roy.
“Inilah yang salah. Seharusnye sesibuk apepun harus ade yang mengingatkan. Tak mungkinlah semue budayawan dan seniman Riau tak mengingat sosok Ediruslan Pe Amanriza tu. Beliaulah sosok yang berpengaruh memindahkan pusat kesenian dari Dang Merdu ke Purna MTQ. Apelagi budayawan dan seniman beraktivitas di Bandar Serai. Tanah yang mereka pijak sekarang ini, tanah hasil dari perjuangan Almarhum,” tambah Atah Roy.
“Atah mane tahu budayawan dan seniman Riau tak mengenang Almarhum?” tanye Leman Langkung.
“Manelah tahu kalau mereka tak mengenang Almarhum Ediruslan, itu namenye melampau,” jawab Atah Roy.
“Atah berperasangka buruk, itu yang tak boleh, Tah,” tambah Leman Lengkung.
“Akukan hanye mengingatkan, bukan berburuk sangke. Dikau tu yang berburuk sanke pade aku, Man,” Atah Roy sedikit emosi.
“Atah tahu nak marah je, tak bolehlah saye bergurau siket,” ujar Leman Lengkung.
“Yelah, peristiwa mengenang itu wajib kite lakukan, karene dengan mengenang kita dapat menghargai kerje orang lain. Selain itu, dengan mengenang kite dapat menyusun kekuatan baru untuk memperlihatkan eksistensi kite sebagai manusia yang berjuang di bidang seni. Dan seharusnye, bukan saje di bidang seni, di bidang lain juge harus seperti itu. Soekarno presiden pertame Indoensia, pernah bercakap dengan nada berapi-api; jangan sesekali melupakan sejarah. Itu die, hal itu dilakukan agar kite dapat mengambil pelajaran dari mase lalu,” jelas Atah Roy.
“Pahamnye saye tu, Tah. Tapi mengape di negeri kite ini banyak tempat untuk dikenang dirobohkan, Tah?” tanye Leman Lengkung.
“Inilah masalah yang pelik negeri kite ini. Kite selalu menganggap diri kite yang paling beso, sehingge sesuke hati melantak peninggal bersejarah. Dan yakinlah, kalau kite tetap berperangai seperti itu, siap-siaplah negeri ini tak tentu arah,” tambah Atah Roy.
“Ngape pulak macam tu, Tah?”
“Kalau kite tak mengenang mase lalu, itu same saje kite tak mengenal diri sendiri. Kalau kita dah tak mengenal diri sendiri, apa yang nak kite perbuat untuk negeri ini? Kehancuran negeri ini disebabkan kite tak mengenal diri. Kite pakai bantai je membangun negeri, tanpe roh kesejatian. Mengenang merupekan upaya membongkar kesejatian yang terpendam,” ujar Atah Roy sambil mengisap rokoknya.
     
   


Sabtu, 22 September 2012

The Power of Tradition


Sudah lama Atah Roy menyakini bahwa tradisi punya kekuatan. Kekuatan magis yang dapat menggetarkan jiwa. Kekuatan yang mengobarkan semangat untuk tetap mencintai negeri ini. Kekuatan untuk tetap berdiridi atas kaki sendiri, lalu membusungkan dada sambil mengepalkan tangan dan dari mulut melompat kalimat “inilah kami dengan segala kekuatannya!” Tradisi menyediakan semangat itu.
Tradisi bagi Atah Roy seperti roh yang tidak mungkin lepas dari jasatnya. Untuk mempertahankan tradisi inilah, Atah Roy rela ‘berkelahi’ dengan siapa saja, terutama orang-orang yang menganggap tradisi sebagai sampah. Atah Roy juga berpikir bahwa pada zaman kenen alias zaman kini, orang-orang banyak yang sok kemodern-modernan, sehingga tradisi mau dicampakkan begitu saja. Padahal, zaman kenen hadir dari masa lalu. Orang kenen, menurut Atah Roy, asik nak membanggakan diri dengan menyerap kebudayaan asing. Kebudayaan asing yang mereka telan, kata Atah Roy, sebenarnya berasal dari tradisi juga. Untuk itulah Atah Roy berpesan, tradisi tempatan harus tetap dipertahankan, walaupun ada penambahan kekinian, namun tradisi harus tetap jaya.
Atah Roy teringat dengan tulisan Rendra, Sang Burung Merak itu; Sebagaimana seseorang tak mungkin hidup tanpa alam, maka demikian seseorang tak mungkin hidup tanpa tradisi. Sepotong tanah harus ada, agar seseorang dapat berdiri atau duduk. Demikian halnya, suatu tradisi adalah suatu kesadaran kolektif, yaitu kesadaran suatu masyarkat tentang dirinya. Akan tetapi dalam kesadaran kebudayaan, tradisi tak diperlakukan sebagai benda mati, melainkan sesuatu yang hidup dan bertumbuh terus mengukuti perkembangan kebutuhan dari orang-orang yang hidup di dalamnya.
Atah Roy menyadari, bahwa kebudayaan itu tidak statis, kebudayaan itu dinamis, bergerak mengikuti zamannya. Nilai-nilai tradisi, menurut Atah Roy, mengajak manusia mengarifi kehidupan ini. Memang diperlukan sentuhan kreatif, sehingga tradisi bukan sesuatu yang memuakkan. Sentuhan kreatif inilah yang menghidupkan tradisi, tak lepas dari nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi.
Bukan mengada-ada ataupun nak membesar-besarkan diri, Melayu memiliki tradisi yang kuat, sehingga sangat layak dimunculkan pada hari ini. Tentu saja, tidak salah apabila tradisi Melayu itu dipoles dengan kekinian. Tidak salah juga, dan itu harus, orang yang menjaga tradisi ‘murni’ tidak tersentuh ‘tangan’ kekinian. Hal ini, menurut Atah Roy, untuk menjaga kelestarian nilai yang terkandung dalam tradisi. “Bagaimana orang nak memoles tradisi, kalau tradisi dikubur dalam-dalam?” tanya Atah Roy dalam hati.
Bagi Atah Roy, orang-orang yang memusuhi tradisi adalah orang-orang yang memusuhi diri sendiri. Manusia kenen, tambah Atah Roy, ada karena masa lalu dan masa lalu membuka jalan untuk orang masa kenen. “Janganlah nak belagak menjadi orang modern, dan mengagungkan pemikiran asing, lalu mencampakkan tradisi. Tradisi telah menyediakan pemikiran-pemikiran hebat, tinggal kita lagi mengokahnye menjadi kekuatan hari ini,” tutur Atah Roy masih dalam hati.
Leman Lengkung menghampiri Atah Roy, dan Leman Lengkung heran melihat Atah Roy tersenyum sambil mengerutkan keningnya. Dalam hati Leman Lengkung menduga, kalau Atah Roy seperti ini, pasti ada sesuatu yang berkelahi di benaknya. Leman Lengkung memberanikan diri bertanya.
“Ape yang Atah pikirkan?”
“Aku bangga jadi orang Riau, Man,” jawab Atah Roy.
“Saye dah lame bangga, Tah. Kenape pulak baru sekarang Atah bercakap macam tu?” Leman Lengkung bertanya lagi.
“Kite punye kekuatan, Man,” selambe Atah Roy menjawab.
“Maksud Atah?”
“Tradisi mempertahankan kite mencitai negeri ini, Man,” jawaban Atah Roy masih belum dipahami Leman Lengkung.
“Maksud Atah, ape ni?”
“Dikau nenguk pembukaan dan penutupan PON XVIII 2012 di negeri kite ini kan?” Atah Roy balik bertanya.
“Nenguklah Tah, ape pulak teng nenguk. Ape istimewanya?”
Mata Atah Roy terbuka lebar. Kemarahan naik ke kepalanya. Melihat mata Atah Roy terpendel, Leman Lengkung mulai ketakutan.
“Ngape, Tah?” suara Leman Lengkung bergetar karena ketakutan.
“Dikau ni betul-betullah tak memiliki otak yang cerdas sedikit pun!” suara Atah Roy mulai meninggi.
“Ape istimewanye, Tah?” Leman Lengkung bertambah kecut, namun masih sempat bertanya.
“Tak lah dikau merasekan bahwa kite dipersatukan oleh pertunjukan ‘Dalam Kasih Sayang Air’ tu? Bagaimana Riau daratan dan Riau pesisir disatupadukan menjadi kekuatan, dan memunculkan rasa kebanggaan menjadi orang Riau. Tradisi Riau pade malam itu menjadi perekat, bahwe kite adalah satu. Inilah kekuatan Riau itu, darat maupun laut. Dalam pegelaran itu, kite seakan ditampar bahwa negeri ini punye marwah. Tak lah dikau menenguk semue itu?” suara Atah Roy terdengar parau, tersebab marah yang memuncak.
“Kalau itu, saye sado, Tah,” Leman Lengkung bertambah takut.
“Kenape dikau bertanye ‘ape istimewanye’?” sergah Atah Roy.
“Saye gurau je, Tah. Saye tahu kalau Atah marah, otak Atah bertambah tajam alias cerdas. Itu sebabnye, saye pura-pura bertanye,” ujar Leman Lengkung menggigil.
“Hehehehe...” Atah Roy bangga dan langsung meninggalkan Leman Lengkung sendiri.
“Paling geli neguk Atah Roy, macam die aje Melayu,” ucap Leman Lengkung pelan.     
   

Sabtu, 15 September 2012

Menunggu Presiden


Kedatangan Presiden Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudoyono (SBY), ke Riau dalam rangka membuka perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII pada tanggal 11 September 2012, meninggalkan kisah di hati Atah Roy. Kisah ini menyebabkan Atah Roy sewel alias hampir gila. Selama 24 jam Atah Roy berdiri di ujung jambat kampungnya. Atah Roy berdiri tegap, sambil memandang ke laut lepas. Atah Roy menunggu, tapi tidak Orang-orang kampung tidak tahu apa yang ditunggu Atah Roy.
Menenguk bapak saudaranya seperti itu, Leman Lengkung risau, namun Leman Lengkung tidak berani bertanya. Leman Lengkung tahu betul, kalau Atah Roy dah tercongguk seperti itu di jambatan, pastilah ada sesuatu yang diharapkan Atah Roy. Laut bagi Atah Roy, yang diketahui Leman Lengkung, adalah tempat menyandarkan segala keinginan. Dengan menatap laut, Atah Roy dapat menuangkan gagasan, melukis keinginan, lalu menatah cemas jadi senyum.
Pada laut, Atah Roy percaya penuh ada jiwa manusia, ada kehidupan manuisa. Luat sebagai cermin untuk melihat diri manusia. Untuk itulah, kalau Atah Roy sedang berhadapan dengan masalah berat, maka Atah Roy pun ‘mengadukan’ permasalahannya ke laut. Tapi kenapa di waktu Riau ingin mencatat sejarah melaksanakan perhelatan PON? Adakah perhelatan PON XVIII di Riau ini menyimpan misteri yang luar biasa di hati Atah Roy? Leman Lengkung tak berani pula bertanya kepada Atah Roy.
Melihat Atah Roy sudah dua hari berdiri di jambatan, sejak dari tanggal 10 sampai hari ini tanggal 11 September 2012. Orang-orang kampung mulai berdatangan dan bertanya apa yang terjadi kepada Atah Roy. Satu orang pun tak tahu apa yang sedang dilakukan Atah Roy. Spekulasi jawaban pun ‘berterbangan’ di jambatan itu. Ada yang mengatakan bahwa Atah Roy mau memecah rekor MURI sebagai orang yang berdiri paling lama di jambatan. Ada juga yang berkata Atah Roy membongkar masa lalunya sebagai atlit dayung yang gagal. Paling sadis ada yang mengatakan bahwa Atah Roy mau bunuh diri, karena tidak diundang pada perhelatan pembukaan PON XVIII.
Orang boleh mereka-reka dengan apa yang dibuat oleh orang lain, tapi yang paling tahu dengan tindakan yang diperbuat adalah orang yang melakukan perbuatan itu. Namun kepastian jawaban dari tindakan Atah Roy, belum juga ditemukan. Orang-orang bertanya kepada Leman Lengkung, namun Leman Lengkung menjawab dengan menggelengkan kepala.
“Man, kite harus bertanye langsung kepade Atah Roy, kalau tidak memunculkan dugaan yang tidak-tidak terhadap bapak saudare dikau ni,” ujar Kahar Sulah.
“Kalau Atah dah macam ini, aku tak berani bertanye. Biasenya, kalau die dah macam ini, semue kekuatan dalam dirinya berkumpul jadi satu. Jangan sembarang bertanye, mampus kite kene sepak,” jelas Leman Lengkung.
“Tapi kite tak bisa berdiam macam ni aje, Man. Orang-orang makin ramai datang ke jambatan ni, dan makin banyak pulak dugaan-dugaan yang muncul,” Tapa Tengkes mengeluarkan pendapat.
“Betul tu, Man. Lagi pule sikap Atah Roy yang aneh ni, bertepatan pulak dengan perhelatan PON. Pastilah orang menganggap Atah Roy mencari sensasi aje, memanfaatkan PON untuk populeritas,” tambah Jang Gagak.
“Kalau aku sendiri yang bertanye, aku tak berani, tapi kalau kite same-same bertanye, itu lain pulak ceritenye,” jelas Leman Lengkung.
“Tak masalah, kite same-same bertanye,” Yusup Cacing menyakinkan.
Dengan langkah agak ragu, beberapa orang mendekati Atah Roy. Mereka saling berpandangan dan menggoyangkan kepala menandakan untuk memulai bertanya. Namun belum juga ada yang berani bertanya. Mereka saling berpandangan lagi, dan dari mata mereka sepekat menunjuk Leman Lengkung yang harus bertanya dulu. Leman Lengkung menarik nafas panjang. Dia benar-benar terbebani dengan kesepakatan mata kawan-kawannya. Tidak ada pilihan lagi, Leman Lengkung harus bertanya.
“Maaf, Tah, sudah due hari Atah berdiri di sini, ade ape sebetulnye, Tah?” Leman Lengkung dengan suara agak ketakutan memberanikan diri bertanya.
Atah Roy diam saja. Dia masih menatap lautan luat lekat-lekat. Mata Atah Roy memang penuh harap, tapi entah harapan apa yang ada di mata itu.
“Tah, kalau bisa kami bantu, kami dengan sekuat tenage dan pikiran membantu Atah,” tambah Kahar Sulah.
“Betul, Tah, sebagai generasi mude kami tak ingin Atah menanggung beban sendiri. Kami bertanggung jawab dengan apepun permasalahan yang sedang Atah hadapi,” Yusup Cacing yakin.
Perlahan-lahan Atah Roy mengalihkan pandangannya dari laut ke kawan-kawan Leman Lengkung. Satu persatu kawan-kawan Leman Lengkung ditatap Atah Roy. Atah Roy tersenyum, kawan-kawan Leman Lengkung ikut tersenyum.
“Aku menunggu harapan agar kampung kite tidak ketinggalan,” suara Atah Roy berat.
Kawan-kawan leman Lengkung saling berpandangan. Mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan Atah Roy.
“Maksud Atah, ape?” Kahar Sulah berni bertanya.
“Aku menunggu presiden datang ke kampung kite,” jelas Atah Roy.
“Ngape pulak macam tu, Tah?” Tapa Tengkes menyela.
“Tak mungkin presiden datang ke kampung kite, Tah?” tanya Kahar Sulah pula.
“Itulah, kalau presiden datang ke kampung kite, pasti jalan kampung kite ni tak rusak lagi. Sekolah kite tak macam kandang kambing, parit kite kene beton, pelabuhan kite tak condung lagi, pokoknye kampung kite berubah total,” jelas Atah Roy.
“Tapi tak mungkin presiden datang ke kampung kite, Tah,” ujar Kahar Sulah mengulangi pernyataannya.
“Itu sebabnye, aku berdiri di jambatan ini, nak menyeru kepade kekuatan laut, agar presiden datang ke kampung kite,” Atah Roy yakin.
Kawan-kawan Leman Lengkung saling berpandangan kembali, dan tanpa aba-aba, mereka berdiri seperti Atah Roy untuk menyeru kekuatan laut nak memanggil presiden.
Orang-orang kampung di belakang mereka heran, dan menduga-duga, kawan-kawan Leman Lengkung kemasukan seperti Atah Roy juga. Mereka kembali menduga-duga.
         

Jumat, 14 September 2012

Hantu Duit


“Masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada penanganan khusus untuk menyelesaikannya!” ujar Ketua Hantu Duit geram.
“Tapi…,”
“Siapa nama manusia itu?” Ketua Hantu Duit memotong kalimat anak buahnya. Ia tidak mau dipusingkan dengan laporan kegagalan. Ketidak becusan anak buahnya membuat dirinya terhina.
Sebenarnya, Ketua Hantu Duit heran juga, ketika mendapat laporan dari anak buahnya tentang seseorang menolak bujuk rayu Hantu Duit untuk memanfaatkan duit sebagai senjata paling ampuh. Selama ia menjabat sebagai ketua perkumpulan Hantu Duit, itu kira-kara 100 abad yang lalu, belum pernah manusia menolak duit sebagai keperkasaan.
“Manusia seperti apa itu?” tanya Ketua Hantu Duit dalam hati. Keheranannya tidak pernah disampaikan kepada anak buahnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan perkumpulan yang ia ketuai.
“Orang memanggilnya Atah Roy, Pak Ketua,” ucap salah satu anak buah.
“Atah Roy? Di negara mana Atah Roy itu hidup?” Ketua Hantu Duit mencoba menelusuri manusia aneh itu.
“Indonesia, Pak Ketua,” tambah salah satu anak buahnya yang lain.
Mendengar kata Indonesia, Ketua Hantu Duit ketawa sejadi-jadinya, bahkan sampai berguling-guling. Ia merasakan dadanya mau pecah karena tertawa terbahak-bahak. Baru kali ini ia mendapat laporan orang Indonesia tidak suka dengan duit. Padahal sebelumnya di Indonesia itulah para Hantu Duit sangat perkasa. Para Hantu Duit yang bertugas di Indonesia selalu mendapat penghargaan tertinggi dari perkumpulan ini. Bahkan menurut pembesar-pembesar yang pernah bertugas di Indoensia, di sanalah pekerjaan Hantu Duit sangat mudah. 
Tentu saja laporan anak buahnya tidak masuk akal di benak Ketua Hantu Duit. Namun demikian, Ketua Hantu Duit mencoba menenangkan diri. Ia betul-betul merasa aneh. Dengan sekuat tenaga, Ketua Hantu Duit meredam tawanya, walaupun di bibirnya senyum masih meregah, tanda menahan tawa.
“Ini laporan yang sangat menarik…,” ujar Ketua Hantu Duit menahan tawa. “Aku benar-benar ingin tahu sosok Atah Roy itu. Siapa yang bisa menceritakan kepada aku?” pinta Ketua Hantu Duit masih menahan tawa.
Seluruh Hantu Duit yang berada di aula pertemuan itu, kira-kira berjumlah 150 hantu, menunjukkan tangan mereka. Mereka sangat antusias sekali ingin menceritakan kepada ketua mereka tentang sosok Atah Roy ini. Ada yang sampai berdiri ke atas meja pertemuan, ada pula yang maju ke depan mendekati Ketua Hantu Duit.
Melihat antusias yang luar biasa dari anak buahnya untuk menceritakan sosok Atah Roy, muka Ketua Hantu Duit berubah. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa sosok Atah Roy meninggalkan bekas di hati anak buahnya. Ia dengan kewibawaan sebagai ketua, menenangkan anak buahnya.
“Tenang, tenang dan harap tenang. Aku minta, kalian duduk kembali,” Ketua Hantu Duit serius. “Aku akan menunjuk langsung siapa yang akan menceritakan kepada aku mengenai Atah Roy ini,” kata Ketua Hantu Duit dengan mata menyapu semua anak buahnya yang ada di aula itu.
Mata Ketua Hantu terbuka lebar. Ia betul-betul tidak menyangka bahwa seluruh anak buah terbaik yang dimiliki perkumpulan, berada di pertemuan ini. Senyum yang tadi menghiasi mulutnya, kini berubah menjadi cemas. Ia berpikir, tidak mungkin anak buahnya yang terhebat dan selalu berpretasi bagus ini, tidak mampu membujuk seorang Atah Roy. “Siapa kali Atah Roy itu?” pikir Ketua Hantu Duit dalam hati.
Anak buahnya semakin ribut, karena terlalu lama ia memutuskan siapa yang dipersilakan untuk menceritakan tentang Atah Roy. Mereka semua ingin berbagi cerita kepada ketua, bagaimana pengalaman mereka berhadapan dengan manusia satu itu. Mereka sudah tidak tahan lagi memeram kisah-kisah selama bertugas menghasut Atah Roy.
“Putuskan sekarang Pak Ketua, kami sudah tak tahan menyimpannya di dalam dada kami ini,” teriak salah satu anak buah. Anak buah yang lain ikut berteriak.
“Cepat Ketua, kami sudah tidak tahan lagi.”
“Betul Pak Ketua,” teriak yang lain serentak.
Ketua Hantu Duit betul-betul dibuat bingung. Matanya masih memandang semua anak buah di aula itu. Ia betul-betul tidak percaya, tidak mungkin anak buahnya merekayasa cerita tentang Atah Roy untuk menurunkan pamor dirinya sebagai Ketua Hantu Duit. Dan dengan turun pamornya, maka dengan mudah lawan politiknya menjatuhkannya dari jabatan ketua. “Ini bukan rekayasa. Tidak mungkin mereka mau mengkudeta aku,” ucap Ketua Hantu Duit dalam hati.
Semakin anak buahnya berteriak, semakin lincah pula bula mata Ketua Hantu Duit bergerak menyapu seluruh anak buahnya di aula itu. Tiba-tiba mata Ketua Hantu Duit berhenti ke salah satu anak buahnya yang selama ini memiliki prestasi sungguh menganggumkan. Anak buahnya ini pernah meluluhkan hati seorang guru yang berpegang teguh pada kejujuran, harus menghambakan diri kepada duit. Sekarang guru itu kaya raya, tapi kejujurannya semakin miskin. Prestasi besar lainnya adalah menghasut seorang presiden untuk berpihak kepada yang berduit saja, sehingga di negara itu rakyatnya miskin, sementra pejabat-pejabat dan orang yang dekat dengan penguasa hidup serba mewah.
“Kamu, saya percayakan untuk menceritakan tentang Atah Roy itu,” Ketua Hantu Duit menunjuk anak buahnya yang beprestasi menganggumkan itu.
“Bapak Ketua tidak akan percaya dengan apa yang saya ceritakan. Semuanya di luar jangkauan kita selama ini,” ujar anak buah yang berprestasi itu.
“Maksud kamu?”
“Betul-betul tidak masuk akal, Pak.”
“Cerikan sedikit saja,” pinta Ketua Hantu Duit.
“Ketika anak saudaranya sakit, dan Atah Roy sangat butuh duit untuk pengobatan anak saudaranya. Dia ditawari mengatasi masalah duit dengan mengatakan bahwa tokoh si anu, tokoh politik yang ingin jadi gubernur Pak, adalah tokoh yang telah berjasa di kampungnya. Atah Roy menolak dengan tegas, Pak,” anak buah yang berprestasi itu mulai bercerita.
“Siapa betul Atah Roy itu, sehingga orang berharap dia bicara?” tanya Ketua Hantu Duit penasaran.
“Atah Roy itu di kampungnya terkenal sebagai tokoh yang jujur, Pak. Apapun yang dikatakan Atah Roy, orang kampung pasti mengikutinya. Dia juga terkenal taat beribadah, tidak pernah berbuat kesalahan yang merugikan orang kampung, Pak. Pokoknya Atah Roy itu seperti dewa,” tambah anak buah berprestasi itu lagi.
“Bagaimana kehidupan Atah Roy itu?” Ketua Hantu Duit menyelidiki.
“Biasa Pak, seperti kebanyakan manusia lainnya.”
“Maksudku kerjanya.”
“Subuh sudah bangun. Setelah sholat Subuh berjemaah di mesjid, dia langsung ke kebun karet…,”
“Maksudku kekayaannya?” potong Ketua Hantu Duit agak emosi.
“Tidak kaya, dan tidak juga miskin, Pak. Tapi dia berkeyakinan bahwa duit bukanlah segala-galanya,” anak buah berprestasi itu menambah.
“Aku jadi bingung. Maksudmu seperti apa?”
“Pernah perusahaan besar bergerak di bidang hutan, mau menyogok dia agar menandatangani persetujuan hutan di kampungnya dikelola perusahaan itu, namun Atah Roy menolaknya Pak, padahal kalau Atah Roy menandatangani persetujuan tersebut Pak, pasti orang kampung juga ikut menandatangani. Berbagai usaha dilakukan oleh perusahaan itu, termasuk memberikan dia duit yang berlimpah, tapi Atah Roy tetap menolak. Pada saat itu Pak, Atah Roy sangat butuh duit untuk membiayai operasi adik kandungnya,” panjang lebar anak buah yang berprestasi itu bercerita kepada Ketua Hantu Duit.
“Kenapa Atah Roy menolak?” Ketua Hantu Duit semakin penasaran.
“Itu saya tidak tahu, Pak. Bukankah kerja saya cuma menghasut manusia menerima duit. Kalau masalah itu Bapak tanyakan kepada saya, tidak tepat Pak, karena ada hantu lain yang bertugas masalah itu,” jelas hantu berprestasi dengan polos.
“Baik, aku yang akan turun langsung mengatasi Atah Roy itu,” ujar Ketua Hantu Duit yakin.
***

“Tah, kami berharap Atah menerima duit ini,” ucap lelaki tampan dengan pakaian necis di ruang tamu rumah Atah Roy, sambil menyodorkan duit hampir satu koper.
“Aku ini memang orang miskin, tapi aku tidak akan mengadaikan tanah aku ini disebabkan duit,” tegas Atah Roy menolak pemberian lelaki tersebut.
“Tapi Tah, dengan duit ini, Atah bisa melakukan kebaikan yang lebih banyak lagi untuk orang kampung,” tambah kawan lelaki berpakaian necis itu. Lelaki itu juga berpakaian necis, bahkan lengkap pakai dasi.
“Sudah aku cakap, tidak mungkin aku ini menggadaikan tanah kelahiran aku gara-gara duit. Aku memang perlu duit, tapi tidak begini caranya aku mendapatkan duit. Tanah kami ini harus ada sampai kiamat, kami tak ingin tanah kami hilang disebabkan kerakusan,” jawab Atah Roy tegas.
Ketua Hantu Duit keluar dari duit di koper itu. Dengan memasang tampang ramah, Hantu Duit mulai berbisik di telinga Atah Roy.
“Roy, duit ini bukan hanya untuk kepentingan engkau seorang. Engkau harus membuka diri sedikit saja untuk membantu keluarga engkau dan orang kampung. Dengan duit sebanyak itu, dapat engkau gunakan menyelamatkan orang kampung, sekaligus diri engkau dan keluarga,” bujuk Ketua Hantu Duit.
“Astaqfirullahalazim,” Atah Roy mengucap.
“Sesekali Roy, bukan sering engkau berbuat seperti ini. Aku yakin, orang-orang tidak akan memandang rendah kepada engkau, sebab duit ini akan engkau gunakan untuk membantu orang-orang kampung. Orang kampung memerlukan pertolongan engkau, Roy. Tenguklah Usup Lebam, anaknya sudah 4 bulan sakit dan terbaring di rumah, tanpa dibawa ke rumah sakit, karena tidak memiliki biaya. Begitu juga Siti Kasmah, suaminya sudah bertahun-tahun tak balik, sehingga ke 5 anaknya tidak terurus. Banyak lagi orang kampung engkau terbantu dengan duit yang engkau terima itu. Jangan tunggu lagi Roy, inilah kesempatan engkau menolong mereka,” Ketua Hantu Duit semakin genjar merayu Atah Roy.
Air mata Atah Roy mengalir di pipinya. Atah Roy benar-benar tak mampu membuang bayangan orang-orang terdekatnya yang sedang dilanda kesusahan di benaknya. Atah Roy pun terkenang kepada Syuib Lebah yang kakinya digiling mesin sagu 7 bulan lalu dan sampai sekarang tidak diobati. Pikiran Atah Roy juga berjalan ke masalah Kasmah dan anak-anaknya, karena suaminya Gani Engkang menghilang ketika pergi menjaring. Atah Roy betul-betul berada dalam keadaan yang sangat membingungkan.
Berkali-kali Atah Roy menatap duit di dalam koper itu. Berkali-kali pula ia membuang muka. Kalau diterima duit ini, maka tanah kelahirannya dikuasai orang lain dan orang kampung akan teraniaya sampai ke anak cucu mereka. Kalau tidak diterima, orang kampung memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah yang sedang mereka hadapi. Atah Roy berada di dua masalah yang sangat membingungkannya, namun ia harus membuat keputusan, walaupun keputusan itu nantinya menyakitkan.
Atah Roy memandang kedua orang yang berada di depannya dengan berlinang air mata. Ia menarik nafas panjang.
“Dengan berat hati, aku harus…,” air mata terus membasahi pipi Atah Roy.
“Tunggu apa lagi Roy, ini kesempatan membantu orang-orang kampung engkau, duit ini bukan untuk engkau sediri,” bujuk Ketua Hantu Duit.
“Aku tak mau menggadai tanah ini, bawak balik duit kalian ini!” ujar Atah Roy tegas.
Ketua Hantu Duit pun terkejut, dan langsung menghilang dalam tumpukan duit di koper itu.
“Masih adakah manusia seperti ini? Ah, mati aku,” suara Ketua Hantu Duit terdengar lirih.       

 .

Sabtu, 01 September 2012

Selamat Datang


Sebagai tuan rumah, Atah Roy dan Leman Lengkung harus bersikap ramah, murah senyum dan yang paling penting, menyembunyikan permasalahan yang sedang mereka hadapi. Tamu, bagi Atah Roy dan Leman Lengkung adalah orang yang mesti dilayani dengan sebaik-sebaiknya. Untuk itulah, Atah Roy dan Leman Lengkung bersikap seperti tidak ada masalah di depan tamu-tamu mereka. Padahal sebelum para tamu datang ke rumah mereka, terjadi perselihan yang sangat hebat antara Atah Roy dengan Leman Lengkung. Ape pasal?
Setahun yang lalu, tepatnya di rumah Yusup Galah diadakan pertemuan, dan hasil pertemuan itu menetapkan Atah Roy menjadi tuan rumah pertandingan domino. Atah Roy menyanggupi. Semenjak itulah Atah Roy berusaha sekuat tenaga mengumpulkan uang untuk persiapan pertandingan domino tersebut. Efek dari semangat Atah Roy itu, semua keperluan rumah dikurangi. Akibatnya, jatah makan Leman Lengkung pun berkurang. Dari uang ‘sunat’ keperluan rumah tersebut, Atah Roy membeli meja baru, kursi baru yang akan digunakan untuk pertandingan domino.
Selain pengadaan meja dan kursi baru, Atah Roy menata halaman rumahnya agar lebih luas. Batang mempelam alias pohong mangga di tebang. Padahal batang mempelam itu sangat produksif berbuah. Begitu juga batang kuini, ikut menjadi sasaran perluasan halaman rumah.
Sebagai anak saudara, dan tinggal di rumah Atah Roy, Leman Lengkung memprotes apa yang dilakukan Atah Roy. Leman Lengkung mencoba mengumpul saudara-mara untuk ikut memprotes Atah Roy. Beberapa saudara setuju dengan ajakan Leman Lengkung, sebagian lagi diam-diam saja; tidak pro ke Leman Lengkung dan tidak juga pro ke Atah Roy. Mereka seakan tidak mau terlibat dengan perselisihan dua beranak itu.
Atah Roy dengan keyakinan bahwa pertandingan ini akan menguntungkannya di kemudian hari. Atah Roy terus mengumpul duit dan bekerja menambah fasilitas rumah agar lebih baik lagi. Dulu, sebelum ditunjuk menjadi tuan rumah, panerangan rumah Atah Roy apa adanya. Namun sekarang, setiap sudut halaman rumahnya telah dipasang lampu. Pokonya rumah Atah Roy yang paling terang apabila malam berkunjung. Orang-orang kampung banyak yang berkunjung ke rumah Atah Roy pada malam hari, walaupun perlombaan belum dimulai.
Leman Lengkung bertambah marah, karena semakin dekat hari ‘H’ perlombaan itu dimulai, semakin banyak saja kebutuhan rumah disisihkan untuk perlombaan tersebut. Biasanya satu hari Leman Lengkung diberi jatah sebungkus rokok, namun kali ini cuma setengah bungkus.
“Tah, kalau Atah mau dipandang orang sebagai orang yang hebat dan sukses menjalankan pertandingan domino, jangan saye Atah korbangkan!” protes Leman Lengkung dengan nada tinggi.
“Maksud dikau ape, Man?” Atah Roy pura-pura tidak tahu.
“Tah, pertandingan yang akan dilaksanakan di rumah ini, yang menjadi korban itu saye, Tah!” Leman Lengkung semakin geram. “Makan saye dikurangi, jatah rokok saye juge kene pangkas,” tambah Leman Lengkung.
“Man, untuk menjadi yang terbaik, kite harus bersedie berkorban apapun juga, harta ataupun nyawa. Ini kesempatan kite berbakti kepade kampung kite, dan selain itu, rumah kite akan ramai dikunjungi orang. Manfaatnye, kite bisa buka kedai makan kecik pade pertandingan berlangsung. Memang kite harus mengeluarkan modal untuk meraup keuntungan yang besar,” jelas Atah Roy panjang lebar.
“Kalau kite tak mampu, jangan sok hebat pulak nak berkorban, itu namenye bunuh diri!” ucap Leman Lengkung.
“Man, jangan dikau nak mengajar itik berenang. Aku makan asam garam kehidupan ini dah tak terhitung lagi. Aku tahu betul, mane yang salah, mane yang betul!” Atah Roy mulai meninggikan suaranya.
“Atah memang tak dapat dicakap, jangan rekak Atah aje yang ditonjolkan. Atah harus memikirkan juge kelangsungan hidup saye. Saye ini anak saudare Atah, dan Atah berkewajiban menyejahterakan saye!” balas Leman Lengkung.
“Tersebab aku nak menyejahterakan dikau inilah, aku rela rumah aku dijadikan tempat pertandingan, kalau tak ingin aku bersusah-payah, bertungkus-lumus siang-malam!” suara Atah Roy semakin tinggi.
Semenjak pertengkaran itulah, Atah Roy dan Leman Lengkung tidak bertegur sapa. Atah Roy terus sibuk mengurus keperluan pertandingan domino, sementara Leman Lengkung sibuk pula bekerja agar makan dan belanja rokonya terpenuhi.
Tibalah saat pertandingan domino itu diselengarakan. Leman Lengkung berniat mengungsi ke rumah temannya untuk sementara waktu. Namun ketika melihat Atah Roy bertungkus-lumus melayani para tamu, hati Leman Lengkung ditusuk rasa iba. Leman Lengkung tidak tega melihat bapak saudaranya tunggang-langgang memberi yang terbaik untuk para tamu. Leman Lengkung menyadari, bahwa dia juga termasuk tuan rumah. Seandainya dia ‘melarikan diri’ dari keadaan ini, maka dia dicap sebagai tuan rumah yang tidak bertanggung jawab.
Bertanggung jawab terhadap rumah inilah, Leman Lengkung dengan semangat menulis di atas kain putih dengan kalimat “SELAMAT DATANG”. Tulisan itu di letakan di depan rumah. Melihat Leman Lengkung memasang tulisan di atas kain putih itu, air mata Atah Roy mengalir ke pipi.
“Terime kasih, Man,” ucap Atah Roy dalam hati sambil tersenyum, sementara air matanya terus mengalir ke pipi.