Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 21 Juli 2012

Puasa


Setiap tahun, bulan Ramadhan pasti datang, dan setiap tahun pula, pada bulan Ramdhan umat Islam diwajibkan berpuasa. Tidak tanggung-tanggung, kewajiban berpuasa ini langsung datang dari Sang Maha Pencipta, Allah SWT, dalam Al Quran, surat Al Baqarah ayat 183 yang berbunyi; Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.
Seperti tahun-tahun yang telah lewat, tahun ini juga Atah Roy telah menyiapkan diri untuk melaksanakan puasa. Tentu saja, persiapan yang dilakukan Atah Roy bukan menyediakan makanan yang banyak atau pun mengumpul duit sebanyak-banyaknya. Kesiapan Atah Roy adalah ‘membuka’ hati agar terjauh dari sifat-sifat tercela yang tidak direstui oleh Allah SWT. Atah Roy yakin dengan berpuasa, manusia akan mengenal diri lebih dekat lagi. Berpuasa itu, menurut Atah Roy, melatih diri menjauh dari perbuatan rakus, tamak, dengki, tidak menghargai orang lain, sombong dan menganggap dirinya yang paling benar.
Atah Roy selalu berpikir, bahwa kehancuran negeri ini disebabkan manusia yang mendiami negeri ini tidak pernah sadar akan arti pentingnya puasa. Puasa kadang kala dijadikan ajang memamerkan diri; kita lebih hebat dibandingkan dengan orang lain. Selain itu, pada bulan Ramadhan ini juga dikemas menjadi tempat menyebar populeritas dengan memanggakan diri membagi-bagi sedekah kepada orang atau pun kepada mesjid yang dikunjungi.
Menurut Atah Roy, sudah menjadi kewajiban manusia untuk saling berbagi, yang kaya menyedekahkan sebagian hartanya kepada yang miskin, tanpa dibesar-besarkan di media masa. Seharusnya, kata Atah Roy, kalau tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlulah tahu. Ini tidak, bersedekah macam ayam betina bertelor, heboh seantaro negeri.
Untuk terbebas dari perbuatan yang tidak direstui Allah, Atah Roy mencoba pada bulan Ramadhan tahun ini memaknai puasa dengan kesederhanaan. Pada tahun-tahun yang lewat, Atah Roy dengan bersusah payah, membanting tulang, mengumpul duit untuk menyambut puasa. Dulu Atah Roy berprinsip bahwa pada bulan Ramadhan, ketika berbuka puasa, segala makanan di hidangkan di atas meja. Hal asilnya, makanan tak habis, terbuang dalam tong sampah. Tahun ini tidak, Atah Roy menata diri, yang perlu diperbanyak itu adalah amal dan ibadah. Makanan tetap ada, tapi tidaklah semewah dulu.
Sikap Atah Roy yang berubah drastis ini, mendapat perlawanan dari Leman Lengkung. Leman Lengkung pun mengecap Atah Roy sebagai orang yang lokik. Dulu, menurut pengakuan Leman Lengkung, due hari nak puasa, Atah Roy telah menumpuk makanan, minuman dan pakaian baru untuk Sholat Tarawih. Pada Bulan Puasa, Leman Lengkung selalu mengajak kawan-kawannya berbuka puasa di rumah. Tahun ini, tak kesah nampaknye.
Merasa perubahan Atah Roy tidak sesuai dengan keinginannya, Leman Lengkung melakukan protes. Di setiap dinding rumah ditulis kalimat-kalimat menyudutkan Atah Roy. Salah satu tulisan yang sangat menusuk hati Atah Roy berada di dinding ruang tamu. Tulisan itu berbunyi “Sebagai Orang Muslim, Atah Roy Bertanggung Jawab Memberi Makan Orang yang Tidak Mampu!”
Atah Roy tidak sakit hati. Protes Leman Lengkung memang tepat sasaran. Namun cara Leman Lengkun itu yang membuat hati Atah Roy sedih. Sebaiknya, menurut Atah Roy, Leman Lengkung melakukan pendekatan persaudaraan, berdiskusi, bermufakat sebelum mengambil suatu tindakan. Kalau sudah seperti ini, jiran banyak yang tahu, sama saja membuka aib saudara sendiri. Untuk sebuah kebaikan, lebih baik pecah di perut, dibandingkan pecah di mulut.
“Man, saharunye, puase ini yang diperbanyak itu amal ibadah, bukan makanan atau pakaian,” tegur Atah Roy.
“Tah, usah Atah nak bedalih lagi. Atah tahukan, selame ini saye ngajak kawan-kawan berbuke di rumah kite. Kalau Atah dah membatasi pengeluaran untuk berbuke puase, macam mane saye nak mengajak kawan-kawan berbuke puase di rumah kite ni. Cube Atah pikirkan,” jawab Leman Lengkung agak emosi.
“Man, inti dari puase itu bukan berbuke dengan makanan yang sedap, tapi bagaimane kita bisa bersyukur dengan ape yang kite punye. itu lebih beso pahalenye,” jelas Atah Roy.
“Cakap Atah itu tidak salah, tapi bagi orang lain, Atah salah,” ujar Leman Lengkung.
“Ape salah aku?” Atah roy penasaran.
“Selame ini, setiap puase Ramadhan, saye mengumpul kawan-kawan berbuke bersame. Sekarang? Tak can Tah. Padahal misi saye jelas, dengan mengumpulkan kawan-kawan di rumah kite ni, make name kite akan terkenal. Hasilnye, ketike kite ade kepentingan dengan kawan-kawan saye tu, kite tinggal suruh aje,” Leman Lengkung yakin dengan ucapannya.
“Ooo, itu maksud dikau ye?” suara Atah Roy agak berat.
“Macam tulah, Tah. Di bulan puase inilah waktu yang sangat tepat untuk menyebarkan pesona. Pahale kite dapat, kepentingan kite juge terjamin,” Leman Lengkung senyum-senyum.
“Cukup, Man. Tak usah dikau bercakap lagi!” Atah Roy naik geram.
“Tah, zaman sekarang ni, berbuat baik pasti ade kepentingan lain. Apelagi…”
“Cukup Man! Tidak semue orang melakukan kebaikan untuk mengharapkan balasan dari orang yang dibantunye! Di negeri ini, masih banyak orang yang berhatinurani membantu tanpe ade iming-iming lain! Jangan dikau mengecikan orang lain. Aku yakin, seyakinnye bahwa di negeri ini masih banyak Islam sejati. Orang Islam yang selalu ikhlas menjalankan kebaikan dengan membantu orang lain!” suara Atah Roy semakin meninggi.
“Tah, tak baik sedang puase ini marah-marah, sumbing puase,” Leman Lengkung membujuk Atah Roy.
“Untung aku puase, kalau tidak, entah ape jadi dengan dikau ni, Man,” suara Atah Roy melemah.
“Seharusnye, Tah, puase tak puase, kita harus mampu mengontrol diri. Bukankah puase melatih diri untuk kite bersabar? Kalau di bulan puase saje besebo, di bulan lain tidak, same aje puase yang kite kerjekan tak berfaedah. Bukan begitu, Tah?”
“Dikau nak mengajo aku rupenye ye, Man!” Atah Roy langsung ke dapur mengambil parang.
Melihat di tangan Atah Roy ada parang, Leman Lengkung pun langsung cabut. “Jangan ditunggu, puase tak puase, selesai aku ni kang.”
“Lari pula, padahal aku gertak aje,” ujar Atah Roy menggelengkan kepale. “Kadang kale, kite lupe bahwe puase tu menahan diri,” tambah Atah Roy sambil tersenyum.     



Sabtu, 14 Juli 2012

Idrus Tintin (1932-2003)


Tanggal 14 Juli, ada sesuatu peristiwa kehilangan bagi Atah Roy. 9 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 14 Juli 2003, Sang Burung Waktu tak mampu mengepak sayapnya lagi. Penyakit yang menderanya mengantarkan pada akhir kisah. Dia menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Tabrani Rab di usia 71 tahun. Si Burung Waktu, Sang Fenomenal, Si Pemberani itu, semasa hidupnya, kesenian merupakan mahkota yang dipakai dimana saja. Demi kesenian, dia sanggup mengadaikan kekayaannya yang tak seberapa. Denyut nadinya adalah puisi, tarikan nafasnya adalah teater, langkah kakinya adalah tarian, suaranya adalah musik, renungannya adalah lukisan, maka siapa saja’menganggu’ kesenian, dia berada di garis terdepan membela kesenian. Itulah gaya Almarhum Idrus Tintin, tokoh seniman Riau yang tidak pernah mengenal kata menyerah membela kesenian. Terkenang beliau, Atah Roy pun menulis sesuatu yang entah ditujukan kepada siapa. Inilah tulisan Atah Roy itu:     
“Waktu terus bergerak meninggalkan sekaligus menciptakan peristiwa. Patah satu, tumbuh seribu; merupakan kalimat pembangkit semangat agar manusia tidak terlindas oleh gerakan waktu. Namun pada hari ini, ‘tumbuh seribu’ tidak beridentitas; tumbuh seperti parasit, membunuh tempat tumbuhnya. Tiada yang peduli asal-muasal atau sejarah yang telah membesarkan mereka. Jadilah masa lalu ‘rumah’ sunyi tanpa ada yang sudi mengunjungi. Orang-orang hari ini sibuk berkemas untuk dirinya sendiri. Menyingkirkan siapa saja yang dianggap tidak sepaham atau melawan. Hidup hari ini berdasarkan kepentingan pribadi, bukan berdasarkan kepentingan orang banyak.
Aku teringat kepada Idrus Tintin dan peristiwa berkesenian yang dilaluinya. Untuk berkesenian, Almarhum Idrus Tintin pernah menggadaikan cincin istrinya. Hasil dari menggadaikan cincin itu, dipergunakan untuk pementasan teaternya. Jangankan mendapat keuntungan dari pementasan itu, balik modal saja tidak. Tapi itulah Idrus Tintin, ia berbuat untuk kesenian, tanpa memikirkan kepentingan pribadinya. Kesenian harus tetap hidup, walaupun harus berkorban.
Idrus Tintin juga terkenal sebagai seorang tokoh seniman yang mampu merangkul semua golongan seniman. Generasi tua atau sebaya dengan dirinya adalah kawan, usia di bawahnya sedikit adalah adik, dan seniman yang baru tumbuh dijadikan anaknya. Bersama-sama seniman tua, muda, Idrus Tintin menggerakan roda kesenian di Riau. Bertempat di Kompleks Dang Merdu, sekarang tercacak gedung Bank Riau yang megah, Idrus Tintin bergerak menjalankan aktivitas keseniannya. Setiap malam Ahad di Teater Arena Dang Merdu itu, pementasan seni tidak pernah putus. Padahal biaya produksi yang disediakan tidaklah besar. Rp 300.000 saja, namun geliat kesenian Riau terasa. Dari berbagai daerah yang ada di Provinsi Riau ini, dan dari luar Provinsi Riau, bersemangat mementaskan kreativitas mereka. Mengeluh adalah sesuatu yang wajar, tetapi kreativitas berkesenian terus menyala.
Idrus Tintin juga mampu menjadikan kesenian sebagai kekuatan yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun juga. Kesenian membangun jiwa manusia tidak perlu dibumbui dengan kepentingan-kepetingan pribadi. Idrus Tintin berdiri tegak sambil menghunus semangat heroik berkesenian apabila ada lembaga baik pemerintah maupun swasta menyalah. Beliau pernah mengumpulkan para seniman melakukan unjuk rasa terkait masalah asap yang melanda Riau ini. Sensitivitas membela masyarakat banyak bukan saja ditunjukan dalam karya, tetapi ditunjukan dengan melakukan protes langsung ke instansi terkait.
Begitu juge ketika pembiayaan kesenian disunat, Idrus Tintin kembali mengajak seniman turun berunjuk rasa. Bagi Idrus Tintin, kesenian bukanlah sekadar hiburan belaka. Kesenian adalah ladang untuk menyemai semangat hidup sekaligus sebagai tempat memperkokoh identitas untuk negeri ini. Maka siapa saja mengusik kesenian dengan masalah-masalah pribadi yang bersifat temporer, Idrus Tintin maju ke depan.
Idrus Tintin itu orangnya pemberani. Dia tidak akan pernah segan menyuarakan kepentingan kesenian dimana saja. Di seminar-seminar, Idrus Tintin tetap menongkah kesenian sebagai kekuatannya. Begitu juga dipertemuan-pertemuan tidak formal, suaranya tetap mengarah pada kepentingan kesenian di Riau.
Nasionalisme? Jangan ditanya. Idrus Tintin merupakan seorang nasinolis sejati. Pernah pada acara pembacaan puisi di Teater Arena Dang Merdu, Idrus Tintin memarahi seorang penyair muda Riau. Ketika membaca puisi, penyair muda Riau itu mengoyak bendera Merah Putih sebagai wujud ekspresi kegeraman terhadap negara yang kita cintai ini. Setelah membaca puisi, penyiar muda itu didatangi Idrus Tintin. Dengan suara lantang Idrus Tintin mengatakan bahwa untuk Merah putih ini, sudah tidak terhitung lagi nyawa melayang.
Aku juga berpikir bahwa rasa cinta terhadap kesenian, merupakan wujud nasionalisme Idrus Tintin. Dengan mencintai kesenian, Idrus Tintin dapat mencurahkan gagasan mencintai negeri ini tanpa mengurui, tanpa menyakiti, tanpa menyinggung perasaan orang lain. Bukankah kewajiban kita mencintai negeri ini tanpa melukai manusia yang mendiami negara ini?
Energi yang dimunculkan oleh karya seni seperti gelombang kesadaran yang tidak memporakperandakan bangunan yang sudah ada. Kesenian bertugas membangkitkan kesadaran saling menghargai, saling mencintai yang tersuruk di lubuk hati. Pada hakikatnya manusia yang lahir di dunia ini adalah sama, namun pada perjalanan hidupnya, kadang kala manusia mengubah arah. Jadilah manusia dengan segenap perangainya.
 Idrus Tintin juga dikenal sebagai seorang darmawan. Dia tidak pelit memberikan uang yang dia dapat kepada seniman muda. Pernah satu kali, seniman muda menyerahkan uang sagu hati sebagai narasumber pelatihan pemeranan di Taman Budaya Riau. Uangnya tidaklah seberapa, sekitar Rp 150.000. Dengan keikhlasan, Idrus Tintin menyodorkan uang Rp 50.000 kepada seniman muda itu. Seniman muda itu menolak pemberian Idrus Tintin. Idrus Tintin dengan suara lembut mengatakan, “Ambillah. Aku tahu kau pasti tak punya duit.” Dengan rasa sedih seniman muda itu mengambil uang yang disodorkan Idrus Tintin. Rupanya Idrus Tintin paham betul, bahwa menjadi seniman tidak akan kaya raya oleh harta. Kekayaan seniman adalah kekayaan kasih sayang.”
Inilah tulisan Atah Roy untuk mengenang Idrus Tintin. Idrus Tintin lahir pada tanggal 10 November 1932 , di Rengat. Tutup usia tanggal 14 Juli 2003, di Pekanbaru. Apa yang telah diperbuat Idrus Tintin untuk kesenian Riau, mudah-mudahan akan tetap terjaga oleh seniman muda Riau. Amin.              
          
        

Sabtu, 07 Juli 2012

Gelombang Riau


Menurut Atah Roy, mencintai tanah kelahiran bukanlah dosa, bahkan merupakan suatu keharusan. Bukan berarti Atah Roy tidak nasionalis, karena sifat nasionalisme yang mengebu-ngebulah Atah Roy harus mencintai tanah kelahirannya dengan segenap jiwa dan raga. Menurut pikiran Atah Roy, tak mungkin disebabkan hendak menjunjung nilai nasionalis, memaksa dirinya mencintai negara ini secara menyeluruh. Manusia memiliki keterbatasan, dan keterbatasan ini bukan menjadi kelemahan, sebaliknya keterbatasan merupakan kekuatan untuk mengenal diri lebih dekat lagi.
Tersebab Atah Roy menyadari keterbatasan manusia untuk mewujudkan nilai nasionalis, maka Atah Roy harus bersungguh-sungguh mencintai tanah kelahirannya. Dengan mencintai tanah kelahirannya, Atah Roy dapat menuangkan segala gagasan dan tenaga untuk memajukan tanah kelahiran. Ujung-ujungnya tanah kelahiran maju dan masyarakatnya sejahtrea, Bukankah kesejahteraan masyarakat dan negara ini maju merupakan mimpi nasionalisme itu.
Tidak mungkin berharap pada orang lain mencintai tanah kelahiran kita, kalau bukan kita sendiri. Orang lain juga punya tanah kelahiran yang harus dicintai dengan segenap jiwa dan tenaga. Maka Atah Roy pun berpesan kepada seluruh masyarakat Riau, terutama orang-orang Riau yang memiliki kekuatan politi, ekonomi dan yang mengatasnamakan Riau kepentingan mereka, berjalanlah atas nama cinta untuk tanah kelahiran. Tanah Riau ini telah berjasa membesarkan kita, dan sepantasnyalah kita juga memberikan yang terbaik untuk tanah Riau ini.
Tanah Riau merupakan tanah diberkati. Kekayaan alamnya melimpah, tak usah dicakap lagi kekayaannya seperti apa, semue orang sudah tahu. Sudah banyak perguruan tinggi melakukan penelitian tentang kekayaan alam di Riau, cuma belum ada lembaga baik dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian lainnya, meneliti berapa kadar rasa cinta orang Riau terhadap tanah kelahirannya.
Atah Roy berpandangan bahwa mencintai tanah kelahiran merupakan modal yang sangat penting untuk membangun Riau. Tentu saja, pembangunan bukan diartikan sempit, pembangunan fisik saja, tetapi pembangunan jiwa merupakan hal yang sangat penting. Atah Roy tidak menafikan bahwa pembangunan di Riau ini, terutama di Pekanbaru, sangatlah pesat. Pekanbaru disulap menjadi kota metropolis yang menyediakan apa saja, tapi cuma dijengah ke kampung, masyarakat hidup dalam kesulitan. Transpotasi tak mendukung, apelagi serana lainnya, semuanya hancur.
Atah Roy pun berandai-andai, seandainya orang-orang Riau yang memiliki posisi penting di republik ini bersatu dan bermufakat membangun Riau, maka tidak mustahil, bukan saja Kota Pekanbaru, tapi Provinsi Riau ini akan menjadi provinsi yang paling makmur. Seharusnya orang-orang yang mengatasnamakan masyarakat Riau, memiliki rasa cinta terhadap tanah ini lebih lagi dibandingkan orang yang tidak mengatasnamakan tanah Riau ini. Mereka, menurut Atah Roy, punya kekuatan, memiliki posisi tawar menawar yang kuat untuk membangun Riau ini. Seandainya mereka mau mewujudkan cinta mereka pada tanah Riau ini dengan tindakan, maka Riau akan muncul seperti gelombang, menghempas karang, beting dan pantai Indonesia, dan serta merta Riau akan dilirik.
Sebenarnya, kata Atah Roy, setiap orang memiliki rasa cinta terhadap tanah kelahirannya, namun rasa cinta itu terkikis disebabkan kepentingan sesaat, ego hendak muncul sendiri, hendak kaya sendiri. Padahal seandainya orang yang mengatasnamakan masyarakat Riau itu mau menuangkan kepentingan bersama, pasti mereka akan dapat lebih dari semua itu, asalkan cinta kepada tanah kelahiran ini dijunjung tinggi-tinggi. “Ini tidak, dah dekat pemilihan gubernur, pemeilihan DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten atau dah dekat pemilihan Kepala Desa, baru sibuk menganggap dirinye putra pilihan mewujudkan Riau makmur. Hehaaiiii…” bisik Atah Roy dalam hati.      
“Tanah Riau ini sudah ditakdirkan memberi demi kemajuan republik ini agaknya. Atau kite saje yang tak bisa kompak,” pikir Atah Roy. Menjunjung nasionalisme, menurut Atah Roy, tidaklah harus menggadai kemakmuran Riau. “Riau ini harus mendapat tempat di republik yang kita cintai ini. Tentu saje, orang-orang Riau memperjuangkannye. Kalau kite diam saje, menerime ape yang dikatekan orang pusat, make siap-siaplah Riau ni gulung tikar,” ujar Atah Roy sambil termenung.
Tak habis pikir Atah Roy adalah mengapa orang Riau tidak berani menekan. Padahal kalau diturut-turut, Riau ini punya segala-galanya. Mulai dari sejarah yang gemilang, sampai saat ini, Riau selalu dilirik orang lain. Lebih parah lagi, orang Riau selalu tidak percaya dengan orang Riau lainnya. Inilah punca permasalahan; orang Riau tidak mau berembuk, duduk semeja, bersepakat untuk Riau ke depan. Orang Riau, menurut Atah Roy, nak berkelahi sesamanya, padahal cita-cita sama, cuma pandangan saja yang berbeda. “Kalau dah berbede pandangan, maka sampai tujuh keturunan tak bertegur. Orang pandai pun disingkirkan, kalau dah berbede pandangan. Jadilah nak membangun Riau dengan orang-orang bermuke seribu dan pandai menjilat,” Atah Roy geram.
Sebagai rakyat kecil, Atah Roy cuma bisa memberi semangat kepada orang-orang terdekatnya. Kalau mau diterima, alhamdulillah, kalau tidak diterima, tak jadi masalah. Keikhlasan mencintai ini harus dimulai dari sendiri. Kalau cinta itu sudah muncul pada diri, maka orang terdekat pun terhimbas. Orang terdekat akan membawa pula kepada teman terdekatnya, kalau hal ini sudah terwujud, maka tidak mustahil Riau ini akan jadi gelombang besar yang selalu dipandang orang.