Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Selasa, 31 Mei 2011

Kembali Ke Roh Melayu

“Apekah kite perlu mempertahankan Melayu pade hari ini? Ketike orang Melayu sudah tidak menjunjung persaudaraan dan tidak berani melawan kekalahan yang mendera di setiap tarikan nafas orang Melayu?” Atau, kite bunuh saje Melayu yang ade dalam tubuh kite ini, sehingge kite tidak susah memikirkan nasib Melayu lagi?” Kalimat panjang dari layar telepon genggam itu menerkam benak Atah Roy. Atah Roy terbayang wajah si penggirim shot masege service (sms), Jang Gagak. Jang Gagak adalah kawan Atah Roy waktu mude dan Jang Gagak sengat ditakuti oleh kawan atau pun lawan, karena bagi Jang Gagak siape saja yang tidak bisa diajak kompromi harus dihabisi. Disebabkan sikapnye itulah, Jang Gagak selalu berurusan dengan pihak penegak hukum.

Belum sempat Atah Roy membalas sms Jang Gagak, handphone (hp) Atah Roy berdering kembali. Atah Roy melihat layar hpnya, sms masuk. Kembali Jang Gagak mengirim pesan. “Roy, aku tahu bahwe aku bukanlah orang baik. Segale perbuatan jahat pernah aku lakukan, tapi aku tidak bisa terime Melayu hanye dijadikan ‘ladang’ orang bercocok tanam demi kepentingan pribadi. Orang Melayu itu mejage kehormatan demi kebersamaan. Dan seharusnye orang Melayu hari ini berani mengatekan ‘perang’ demi kemakmuran orang Melayu banyak,” sms Jang Gagak kembali menghujam jantung Atah Roy.

Lama Atah Roy menatap pesan Jang Gagak, sehabatnya itu. Atah Roy seakan kehilangan keberanian untuk membalas pesan tersebut. Atah Roy paham betul, seandainya ia membalas sms itu dan balasannya tidak bisa diterima akal Jang Gagak, maka semakin menjadilah kemarahan Jang Gagak, bisa-bisa sekejap mata Jang Gagak datang mengunjungi Atah Roy dengan membawa sebilah parang yang biasa digunakan Jang Gagak menebak orang yang berlawanan dengan dirinya. Atah Roy hanya mampu berdiam diri.

Leman Lengkung masuk ke rumah. Leman heran melihat Atah Roy duduk di kursi tamu sambil memandang hp lekat-lekat. Untuk menyapa Atah Roy dalam keadaan seperti itu, merupakan resiko besar; Atah Roy pasti marah. Namun membiarkan, hati Leman Lengkung memberontak untuk mengetahui apa yang sebenarnya melanda bapak saudaranya. Gelisah hati Leman Lengkung dapat mengalahkan rasa takutnya. Leman menghampiri dan duduk di sebelah Atah Roy.

“Ape yang sedang Atah pikirkan dengan memandang hp itu lekat-lekat?” Leman ragu, namun pertanyaan lancar keluar dari mulutnya.

Atah Roy terkejut dan meperhatikan Leman Lengkung. Leman Lengkung merasakan darahnya berhenti seketika disaat Atah Roy memandang, namun darahnya kembali normal ketika melihat Atah Roy melemparkan senyuman ke arahnya.

“Dikau Man. Tak perasaan pulak aku, upenye dikau dah duduk di samping aku,” Atah Roy kembali tersenyum.

Melihat Atah Roy tersenyum, Leman mendapat peluang besar untuk bertanya kembali. “Atah sedang memikirkan ape?” Leman mengulangi pertanyaannya.

“Leman, seharusnye kite berani mengatekan bahwa kite orang Melayu dan jangan pernah ragu lagi mengatekan orang Melayu yang paling hebat,” kate Atah Roy penuh semangat.

“Kenape macam itu pulak, Tah? Selame ini kite kan dah mengaku sebagai orang Melayu?” Leman tak mengerti.

“Kite belum sepenuhnye menjadi Melayu, Man. Memang kite mengaku orang Melayu, tapi baru setengah hati. Seandainya kite betul-betul mengikrarkan diri menjadi Melayu, make kite tidak akan pernah dikalah di negeri ini,” Atah Roy semakin semangat.

“Saye belum paham betul maksud Atah?” Leman penasaran.

“Hitler dapat menguasai setengah dunie ini dengan mengatakan bahwa suku Arya-lah yang paling hebat di muke bumi ini. Begitu juge dengan orang Yahudi, mereka yakin bahwa orang Yahudilah orang pilihan, sehinge semangat mereka terus mengebu untuk tampil sebagai orang pilihan itu. Seharusnye orang Melayu seperti itu juga, mengatekan dengan yakin bahwa orang Melayulah yang paling hebat, sehingge kita tak pernah gentar berhadapan dengan siape pun juge,” kate-kate Atah Roy seperti membakar tubuhnya.

“Betul juge kate Atah tu. Macam Cine, mereka kembali kepade diri mereke, dan sekarang Cine menguasai ekonomi dunie,” tambah Leman Lengkung.

“Jadi, tidak salahlah, kalau Jang Gagak menganjurkan kite kembali menjadi Melayu sejati lewat sms kepade aku sekejap ini ye, Man?” suara Atah Roy datar.

“Ape? Jang Gagak, Tah?” tanye Leman terkejut.

“Ye, ngape dikau terkejut?” Atah Roy balik bertanye.

“Pak Cik Jang kan sudah setahun yang lalu meninggal dunie, Tah,” kate-kate Leman Lengkung seperti petir menghantam jantung Atah Roy. Mata Atah Roy terbuka lebar dan mulutnya menganga.

“Jadi sms ini…” Atah Roy tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Sabtu, 21 Mei 2011

Kepedulian Atah Roy

Atah Roy tak peduli sangatlah; apa yang telah diperbuat demi kebaikan seseorang akan dibalas kebaikan juge atau sebaliknye dibalas dengan kejahatan. Bagi Atah Roy, berbuat baik merupakan hakikat manusia. “Manusie dilahirkan di dunie ini dari unsur kebaikan,” pikir Atah Roy. Untuk itulah Atah Roy tak pernah mempermasalahkan orang yang dibantu akan berbuat baik pula kepada dirinya.

Lama juga Atah Roy duduk termenung di depan pintu rumahnya. Pintu rumah dengan tangga yang lumayan tinggi untuk masuk ke rumah Atah Roy, memang sedap untuk melepaskan imajinasi. Apalagi dengan matahari pas lurus di atas kepala alias tengah hari tepat. Atah Roy tak tahu, entah mengapa imajinasinya singgah ke sosok kawan lamanya, Man Tapak. Man Tapak merupakan kawan karib Atah Roy ketika muda dahulu. Dimana ada Atah Roy, maka ada Man Tapak. Begitu juga sebaliknya, ada Man Tapak, ada Atah Roy. Tapi kini semuanya sudah berubah. Man Tapak sudah jadi orang terpandang di kampung ini, sementara Atah Roy masih seperti dulu; tak kaye, tak juge miskin, yang sedang-sedang saja, seperti lagu dangdut Vety Fera.

Renungan Atah Roy terganggu dengan kedatangan Leman Lengkung, anak saudaranya. Leman Lengkung sedap betul bernyanyi, “Kamu pilih yang mana? Atas-atas. Kamu pilih yang mana? Bawah-bawah. Kalau saya punya usul, yang tengah-tengah saja, bagaimana? Ok,” walaupun kedengaran sumbang suaranya, tapi Leman Lengkung sangat percaya diri terus bernyanyi.

“Hoi dogol, suare macam kambing nak beranak, tak sadarkan diri, nak menyanyi!” bengis Arah Roy.

Leman Lengkung mendekat dan duduk di sebelah Atah Roy. “Tah, suare tak perlu merdu-merdu sangat, yang penting punye keberanian mengeluarkan suare dan bergoyang, beres masalahnye,” Lemang Lengkung pasti.

“Kalau dikau bernyanyi untuk dikau sendiri, lantaklah. Ini engkau bernyanyi aku dengo, itu sebab aku masalahkan. Telinge aku dah nak bebulu dengo suare dikau!” suara Atah Roy sedikit meninggi.

“Atah, Atah… Atah ni terlalu sensitif dan tak mengikuti perkembangan zaman. Zaman kenen Tah, yang dicari produser rekaman, suare sumbang itulah, kalau tak sumbang alias merdu, tak ade variasi alias monoton aliran musik Indonesia, Tah,” jelas Leman Lengkung, sementara muka Atah Roy memerah.

“Loyar tekak aku dengo dikau bercakap Man, macam ahli betul!” tambah Atah Roy semakin geram.

“Tenang dulu, Tah. Hati panas jangan dipeturut, nanti hilang akal patut. Saye bernyanyi cume nak menghibur Atah yang termenung tak terarah. Dari tadi saye nenguk Atah termenung. Ape yang Atah fikirkan?” Leman Lengkung mencoba mencairkan suasana.

“Tak ade yang aku pikirkan,” kate Atah Roy menyembunyikan pikirannya yang terkenang Man Tapak, kawan dekatnya.

“Saye dah lame tinggal bersame Atah, jadi saye tahu betul sifat Atah. Pasti Atah sedang memikirkan Pak Cik Man Tapak kan?” sidik Leman Lengkung.

“Tak, aku tak memikirkan Man Tapak. Aku tahu diri,” kate Atah Roy agak pelan.

“Tah, saye tahu, keberhasilan Pak Cik Man Tapak disebabkan pengorbanan Atah. Atah menjual sebagian tanah pusake untuk mendukung Pak Cik Man duduk sebagai pimpinan di kampung ini. Setelah Pak Cik Man Tapak berhasil, Atah tak dipedulikan, datang ke rumah ini pun, Pak Cik Man Tapak tak pernah lagi. Itu yang Atah pikirkan?” Leman Lengkung yakin.

“Hoi mengkarung hitam! Jangan dikau mengaitkan persahabatan aku dengan hal yang tidak-tidak. Aku berkorban untuk Man Tapak, karena aku tahu Man Tapak memang layak jadi pimpinan di kampung ini, dan aku tak pernah berharap Man Tapak membalas pengorbanan aku. Aku peduli terhadap kesejahteraan orang kampung ini dan dengan keyakinan itu aku menjual sebagian tanah aku. Man Tapak memang orang yang layak menyejahterakan orang kampung. Bukan karena Man Tapak itu kawan dekat aku. Cam kan itu, Man!” suare Atah Roy meninggi, dan langsung meninggalkan Leman Lengkung. Leman Lengkung menggaru kepalanya yang tak gatal.

“Aku juge yang salah,” kate Leman Lengkung pasrah.

Rabu, 04 Mei 2011

Dari Osama bin Laden Ke Sungai Siak

Berita kematian tokoh yang ditakuti Negara Amerika (entah ye, entah tidak), Osama bin Laden, tak pernah putus ‘mengalir’ di setiap halaman koran dan juga melompat dari mulut pembaca berita baik televisi maupun radio. Pokoknye kematian tokoh itu seperti ‘tsunami’ menerjang manusia seantero dunia. Osama bin Laden tokoh sentral yang menggelegar.

Peristiwa kematian tokoh sentral terorisme ini (entah ye, entah tidak) menyebar sangat dahsyat, maklum Osama selalu ‘dikebat’ dalam setiap peristiwa yang diyakini teroris. Sebenarnya Osama kemak alias risau juge dengan pemberitaan mengenai dirinya. Seperti Dedap Durhake atau Maling Kundang yang dituduh tidak patuh kepade orang tuanya, padahal Dedap dan Maling Kundang paling menyanyangi ibunya, orang-orang yang tidak senang melihat mereka sukses saja menuduh mereka mendurhaka kepada ibu mereka.

Dari peritiwa Osama inilah Atah Roy sadar, bahwa media masa merupakan alat terpenting untuk membangun sebuah citra di tengah masyarakat modern ini. Atah Roy pun teringat Sungai Siak yang mengalir lebam, memikul sejarah maupun memikul beban limbah yang setiap saat ditumpahkan ke tubuh Sungai Jantan itu.

Atah Roy terkesima ‘rekayasa’ kematian Osama dan Atah Roy juga terpana ketika sebuah helat seni yang ditaja oleh sebuah stasiun radio swasta, SmartFM, di pingiran sungai yang ‘melintang’ di perut Sumatera itu. Helat seni yang diberi nama Symphony Sungai Siak itu mendedahkan identitas keseharian orang-orang sungai. Bermacam pergelaran ditampilkan pada helat itu; karnaval pompong hias, sampai perlombaan baca puisi tentang kecintaan terhadap sungai tingkat pelajar SMP.

Atah Roy termenung, seharusnya perhelatan seni di Sungai Jantan itu memang harus dilaksanakan setiap saat, sehingga sungai yang menjadi denyut nadi daerah yang ada di pinggir sungai terdalam di Indonesia itu mendapat tempat di seantero dunia sebagai identitas tanah ini. Atah cuma rakyat kecil dan tak punya pengikut yang banyak. Atah sadar diri di negeri ini kalau tidak punya pengikut yang banyak, maka apa pun usalannya hanya jadi nasi basi.

Ketika Atah Roy termenung mengenang Osama dan Sungai Siak, tiba-tiba Lemang Lungkung datang sambil membawa beberapa koran. Leman Lengkung heran melihat Atah Roy termenung, dan dengan keberanian memegang informasi dari koran yang ada di tangannya, Leman menyapa Atah Roy.

“Tak zamannye lagi kite bermenung, Tah. Sekarang ini orang-orang sudah mengetahui informasi melalui media masa. Kalau Atah bermenung macam ini, ape yang Atah dapatkan?” Leman Lengkung lagak alias sombong sedikit.

Atah Roy memandang Leman Lengkung. Leman Lengkung menganggukan kepalanya dan duduk di sampin Atah Roy.

“Ape yang Atah nak tanyekan kepade saye tentang peristiwa terbaru? Tentang Osama bin Laden? Tentang pembangunan gedung DPRD Kota Pekanbaru? Atau ape sajelah, Atah boleh bertanye sekarang,” Leman kembali lagak.

Atah Roy tetap memandang Leman Lengkung dengan mata sayu alias Atah Roy sedih menenguk Leman tahu sedikit, tapi sudah macam orang ahli betul. Atah Roy menggelengkan kepalanya, dan membuang muka dari wajah Leman Lengkung.

“Atah jangan ragu dengan saye, Tah. Anak Saudare Atah ni, dah banyak tahu perkembangan dunia ini. Cepat Tah, Atah mau menanyekan ape kepade saye, sebelum saye berangkat ke Hongkong ni,” tambah Leman Lengkung.

Atah Roy panas. Dia pun menatap Leman Lengkung lekat-lekat.

“Enkau tau, mengape Sultan Siak memindahkan pusat kerajaan ke Pekanbaru? Engkau tau, berape ikan mati di Sungai Siak setiap bulannye? Engkau tau, berape jumlah orang tak mampu di pinggiran Sungai Siak itu? Engkau tau, berape perusahaan yang membuang limbah ke Sungai Siak? Engkau tau, name Sungai Siak itu sebelumnye? Engkau tau berape susah orang di pinggir Sungai Siak menjalani hidup? Engkau tau, ade beberape kampung di pinggir Sungai Siak itu belum masuk listrik? Engkau tau?” pertanyaan Atah Roy menggalir seperti Sungai Siak yang tak pernah diam.

Leman tercengang, dan hanye mampu terdiam.

Selasa, 03 Mei 2011

Air Mata Atah Roy

Rusydiah Klub mening­galkan pusaka kreativitas be­rupa buku-buku sastra, agama, sejarah, dan ilmu bahasa yang amat berharga. Jika Riau pada masa lalu sanggup menyediakan fa­silitas bagi kegiatan seni dan sastra, seharusnya Riau pada masa kini mampu menyediakan fasilitas yang lebih baik lagi.(dari makalah Idrus Tintin dan B.M. Syamsuddin berjudul Kesenian Riau dan Perkembangannya).

Setelah membaca tulisan tersebut, Atah Roy termenung. Atah Roy tak dapat bercakap sepatah kata pun untuk mengomentar kalimat tersebut. Tanpa dia sadari, air mata berlinang di matanya. Atah Roy kesal pada dirinya, karena tidak mampu menjadi masa lalu yang terlalu indah untuk dikenang.

Beberapa saat kemudian, Leman Lengkung datang sambil membawa 3 bungkus rokok untuk Atah Roy. Menenguk Atah Roy termenung di kursi goyang dengan mata berlinang, Leman jadi heran. Mau menyapa Atah Roy, Leman takut, tapi hati Leman sudah tak tahan untuk menanyakan masalah yang sedang menimpa bapak saudaranya.

“Kene marah, lantaklah, yang penting aku tahu mengape Atah Roy berdiam diri dan ditemani air mata. Pasti ini bukan air mata buaye,” kate Leman Lengkung dalam hati. Leman Lengkung pun duduk di samping Atah Roy. Leman ragu, ia namun bertanya juga.

“Ade masalah ape, Tah?” Leman Lengkung memecah kesunyian.

Atah Roy masih diam dan membiarkan air mata mengalir ke pipinya.

“Tah, saye ni anak saudare Atah, seharusnye Atah ceritekan semua ape permasalahan Atah kepade saye. Kalau dapat saye bantu, saye akan bantu dan kalau saye tak dapat membantu, saye akan berusahe tetap membantu,” Leman Lengkung berusaha membujuk Atah Roy.

Perlahan-lahan kepala Atah Roy bergerak menghadap ke Leman Lengkung. Leman Lengkung berdebar, Leman takut Atah Roy akan membentaknya. Namun apa yang dipikirkan Leman tidak terbukti, Atah Roy cuma menatap kemudian kembali termenung dan air mata mengalir ke pipi.

“Alhamdulillah,” Leman bersyukur dalam hati.

“Man,” suara Atah Roy berat. “Aku sedih kalau teringat orang-orang dulu. Mereke ikhlas berkesenian. Dan perjuangan mereke untuk kesenian luar biase. Mereke rela berkorban ape saje, termasuk harus tidak memiliki ape-ape. Aku teringat Almarhum B.M. Syamsuddin penulis handal itu, sampai akhir ayatnye, die masih mengontrak rumah. Begitu juge Almarhum Idrus Tintin, die sanggup menjual cincin istrinya untuk mementaskan karya seni. Pengorbanan mereke memang payah nak diikut zaman ini,” kate Atah Roy dengan suara beratnya menahan kesedihan.

“Dari kawan-kawan, saye dapat cerite macam ini juge, Tah. Tapi mungkin zaman dulu dengan zaman kenen ni jauh berbede, Tah,” kate Leman Lengkung mau menghibur Atah Roy.

Atah Roy menatap Leman Lengkung dalam-dalam. Wajah Atah Roy berubah memerah.

“Ape, kau pikir orang dulu tak butuh makan? Orang dulu tak butuh anak die sekolah? Kalau dikau tak mengalaminye jangan dikau nak mengajo aku! Aku ni dah lame kenal dengan seniman-seniman dulu tu. Kemane mereke pergi, yang mereke pikul karya mereke. Mereke berkelahi dalam karya; siape berkarya banyak, siape yang tidak!” suara Atah Roy meninggi, kemudian dia berdiri sambil bercekak pingang.

Leman Lengkung terdiam sambil menundukkan mukanya.

“Perlu dikau ingat, Man, karya seni itu bukan asal buat aje! Buat karya seni itu pakai otak, memeras segale kekuatan yang ade pade diri. Tak mudah nak menciptakan karya seni tu de!” suara Atah Roy semakin meninggi.

Leman Lengkung semakin menyurukkan wajahnye dengan memandang lantai lekat-lekat.

“Maaf Tah, saye cu....”

“Tak usah dikau bercakap lagi!” potong Atah Roy. “Dikau tahu tak, ape yang mereke buat dimase lalu, dan apekah mereka dikenang pade hari ini? Buku mereke yang pernah dicetak dulu, hari ini tak pernah dicetak ulang! Macam mane budak-budak sekolah di Riau tahu dengan mereke? Buat muatan lokal, tapi entah ape-ape yang diajo! Bolehkah patut? Tak patut kan?”Kalau betul-betul nak meletakkan Riau sebagai pusat kebudayaan, tiru Kerajaan Riau Lingga dulu, sangat memberi tempat kepade pekerje seni, ini tidak! Bercakap je pandai, budak kecik pun bisa bercakap!" Atah Roy semakin marah.

Leman Lengkung terdiam, dan tak bergerak sedikit pun.

“Dahlah, malas aku bercakap dengan dikau ni!” kate Atah Roy sambil pergi meninggalkan Leman seorang diri.

“Awak pulak yang kene marah. Naseb jadi orang kecik ni,” kate Leman Lengkung, air mata mengalir dari mata Leman Lengkung.