Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 14 April 2012

Makan Sumpah


Setiap peristiwa adalah pelajaran bagi manusia. Seburuk apapun peristiwa, ianya tetaplah bentangan kesadaran yang dapat menuntun manusia melakukan hal yang lebih baik lagi. Peristiwa yang diciptakan oleh manusia, baik sadar maupun terjadi secara alamiah, akan menjadi pengalaman. Pengalaman mengajar manusia menjadi lebih dewasa. Atah Roy teringat lirik lagu yang dinyanyikan penyanyi Malaysia, Ramli Syarif, “Sejarah mengajar kita menjadi lebih dewasa.” Maka tidak salahlah apabila orang-orang terdahulu mengatakan “orang buta saja, tidak mau tersandung di tempat yang sama.” Begitulah berharganya peristiwa yang terwujud menjadi pengalaman.
Atah Roy tidak mengerti, mengapa ada juga orang yang terperangkap dalam peristiwa yang sama, tidak mampu keluar menjadi pemenang pada turnamen kehidupan. Hal inilah yang menyebabkan Atah Roy tidak habis pikir, ditambah lagi melihat keadaan atau peristiwa di negeri ini yang semakin jauh dari cita-cita bersama. Cita-cita ingin mewujudkan kesejahteraan orang banyak hanya pemanis di bibir saja. Orang-orang sibuk dengan dirinya sendiri dan pada akhirnya terpasung oleh diri sendiri. Sebenarnya, menurut Atah Roy, apabila orang mau berjalan pada garis kepentingan bersama, maka akan selamat dan keluar menjadi pemenang. Bukankah diciptakan manusia di bumi ini agar mereka saling bantu membantu sesamanya?
Entahlah, Atah Roy seperti kehilangan ketajaman daya pikirnya berhadapan dengan masalah ini. Ditambah lagi sms yang dikirimkan oleh Tamam Keluang, kawan lama Atah Roy, yang sukses menjadi tokoh panutan di kota. “Royab, aku betul-betul makan sumpah.” Tulis Tamam Keluang yang dikirim ke Atah Roy lewat sms.
Atah Roy bingung dan membalas sms itu dengan pertanyaan. “Mengapa dikau cakap macam itu, Mam?”
Lama Atah Roy menunggu balasan Tamam Keluang. Tiba-tiba saja, Atah Roy terkenang Tamam Keluang sebelum merantau ke kota. Dua puluh lima tahun lalu, Tamam Keluang tidak pernah menolak apapun kerja yang disodorkan kepadanya. Apalagi kalau pekerjaan menjadi penjaga rumah atau kebun pada malam hari. Karena Tamam sering bekerja pada malam hari, maka Tamam pun digelar keluang, maka itulah sejarah singkat orang memanggil Tamam dengan kata tambahan Keluang di belakang namanya.
Berbekal pengalaman hidup susah di kampung, Tamam Keluang berazam mengubah nasibnya dengan merantau ke kota. Ditambah lagi ada kesempatan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dengan biaya kuliah ditanggung oleh salah seorang tokoh masyarakat kampung ini yang terlebih dahulu sukses di kota. Tamam Keluang tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia pun langsung ke kota. Atah Roy ingat betul, bagaimana Tamam Keluang meminjam duit kepadanya  ketika mau berangkat ke kota. Itu sudah lama berlalu, Atah Roy sudah lupa, tapi sms Tamam Keluang membangkit kenangannya itu.
“Royab, aku seperti kacang lupe dengan kulitnye. Aku orang yang melupekan sejarah. Aku terlalu memikirkan kepentingan aku sendiri, sehingge aku tersesat dalam keinginan aku sendiri. Aku pun melupekan orang-orang yang telah berjase mengantarkan aku menjadi orang sukses di kota ini. Sampai-sampai aku pun tidak pernah menghubungi dikau lagi. Entahlah, entah ade gune atau tidak penyesalan aku ini, tapi paling tidak aku menyadari kesalahan aku, walaupun datangnya terlambat,” panjang lebar sms Tamam Keluang dibaca Atah Roy. Atah Roy belum dapat menangkap apa maksud sms Tamam Keluang ini.
“Ade masalah apa, Mam?” balas Atah Roy singkat.
Masuk kembali sms Tamam Keluang. “Royab, aku ni memang makan sumpah. Aku bukan saje mengingkari orang banyak, aku juge telah melanggar janji aku sendiri. Aku mengingkari diri sendiri dan sumpah jabatan yang aku ikrarkan di depan kitab suci, aku langgar. Aku betul-betul makan sumpah. Aku yakin, masalah berat yang sedang aku hadapai sekarang ini, merupakan buah dari sumpah yang aku ucapkan. Dulu aku paling takut untuk bersumpah, apelagi di depan kitab suci. Sumpah bagi aku dulu merupakan perjanjian suci dan aku tak mungkin mengabaikannye. Namun berjalan dengan waktu, aku menganggap sumpah itu hanye permainan. Sumpah hanye akal-akalan agar aku dianggap orang benar-benar bersih dan suci. Perjalanan waktu juge menyebabkan aku tidak peka lagi dengan kesusahan orang banyak. Aku hanye memikirkan diri sendiri, sehingge aku menganggap diri sendirilah yang perlu dikasihi. Untuk mengasihi diri sendiri, aku melakukan apapun untuk mewujudkan keinginan aku. Aku bunuh hati nurani. Aku langgar sumpah. Aku pun tidak pernah menepati janji yang aku buat sendiri. Menganggap kepentingan pribadi di atas segala-galanya inilah yang mencampakan aku ke lembah hina ini,” kembali sms panjang Tamam Keluang masuk ke hp Atah Roy.
Atah Roy belum tahu apa sebenarbnya yang sedang dihadapi Tamam Keluang. Samar-samar Atah Roy mulai paham, tapi belum mengetahui benar. “Masalah ape yang sedang dikau hadapi, Mam?”
Tamam Keluang tak membalas sms Atah Roy. Atah Roy bertambah bingung. Walaupun Tamam Keluang sudah lama tidak menghubungi dirinya, Atah Roy tidak kesah betul. Bagi Atah Roy orang yang sedang dalam keadaan susah perlu dibantu, walaupun orang tersebut pernah melukakannya. Atah Roy sadar, bahwa manusia tidak terlepas dari kesilapan dan kesalahan. Paling penting sekarang ini, Tamam Keluang menyadari kelupaannya, dan kewajiban Atah roy mencari jalan keluar untuk Tamam Keluang.
Sms balasan Tamam Keluang tidak juga masuk ke hp Atah Roy. Atah Roy pun membaca ulang sms dari Tamam Keluang. Setelah membaca ulang sms Tamam Keluang, Atah Roy membuat kesimpulan bahwa Tamam Keluang dapat masalah dengan kedudukannya.
Tiba-tiba Leman Lengkung masuk sambil membawa koran. Dengan semangat Leman Lengkung membuka halaman koran itu.
“Bace ini, Tah, Pak Cik Tamam jadi tersangka kasus korupsi,” Leman Lengkung menyodorkan koran itu ke Atah Roy. Atah Roy membaca dengan seksama. Air mata Atah Roy tiba-tiba keluar.
Leman Lengkung meperhatikan Atah Roy. “Ngape Atah menangis?”
“Rupenya Tamam betul-betul dalam keadaan susah,” kate Atah Roy sambil terisak.
“Bio tahu ngase die, Tah. Jadi orang beso di kota, tak ingat dengan kampung lagi. Inilah buktinye orang makan sumpah itu!” Leman Lenhgkung agak emosi.
Melihat Leman Lengkung emosi, Atah Roy naik geram. Atah Roy tak mau anak saudaranya hanya pandai marah kepada orang yang melakukan kesalahan. Bagi Atah Roy, bersikap tidak menyalahkan orang, dan dapat menenangkan orang dalam keadaan susah lebih bernilai.
“Man, kite manusie tidak akan pernah lepas dari kesilapan. Jangan kau marah membabi bute pulak, yang paling penting kite harus bersikap arif dan dapat mengurangi beban orang tersebut,” ujar Atah Roy lembut.
“Orang yang makan sumpah tak perlu dikasihani, Tah!” jawab Leman Lengkung dengan suara keras dan kemudian pergi meninggalkan Atah roy sendiri.
Atah Roy tidak dapat berbuat apa-apa, karena Atah Roy juga sependapat dengan Leman Lengkung. “Makan sumpah, aduh makan, makan sumpah,” ucap Atah Roy pelan.  

Sabtu, 07 April 2012

Sama Saja


Atah Roy tertegun ketika membaca raning teks di sebuah stasiun televisi, tentang dua peristiwa yang terjadi di Riau. Peristiwa pertama tentang penggrebekan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Pekanbaru oleh Wamenkumham. Tidak tanggung-tanggung, Lapas Pekanbaru jadi terkenal dengan pengedaran narkoba dalam lapas. Tiga tersangka langsung di bawa ke Jakarta. Peristiwa kedua, tertangkapnya 11 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Riau oleh KPK dengan kasus suap pembangunan fasilitas untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) 2012, dan akhirnya 2 anggota DPRD Riau yang ditahan, yang lain menjadi saksi. Tidak tertutup kemungkinan menjadi tersangka.
Dua peristiwa ini membuat uban Atah Roy bertambah. Atah Roy tak habis pikir, kenapa orang orang Riau tak dapat menciptakan peristiwa yang dapat membangka negeri ini. Atah Roy memang tak dapat bercakap ape lagi, Riau yang kaya tidak memiliki kekuatan memunculkan peristiwa yang dapat membusungkan dada. Semua peristiwa di Riau sepertinya mengarah pada hal yang negatif alias peristiwa mencorengkan muka orang Riau itu sendiri.
Atah Roy putus asa? Tidak. Segala peristiwa bagi Atah Roy adalah pelajaran yang paling berharga. Untuk itulah, Atah Roy berkeinginan mengumpul semua pemuda yang ada di Riau dan mengajak mereka bersatu padu untuk membangun negeri ini dengan hati. Atah Roy sadar, bahwa 2 peristiwa dan peristiwa-peristiwa yang merugikan Riau disebabkan orang yang mendiami negeri ini sudah kehilangan hati. Kalau hati sudah didustai, maka semua pekerjaan akan mendatangkan celaka.
Untuk mewujudkan niatnya, Atah Roy pun memanggil Leman Lengkung dan beberapa kawan Leman lainnya. Atah Roy mencoba memulai mengangkat marwah Riau melalui pikiran orang kampung. Orang kampung biasanya memiliki pikiran dan hati yang masih bersih. Maklum di kampung tidak banyak godaan seperti di kota. Orang kota banyak tergoda; melihat orang pakai mobil mewah, mau juga mobil mewah, padahal gaji tak cukup. Tentu saja untuk memenuhi keinginan itu, jalan pintas mendapatkan duit dilakukan. Maka tak jarang generasi muda Riau menjadi pengedar narkoba, dan tak tertutup kemungkinan generasi muda Riau yang memiliki daya dobrak kuat di masyarakat, menjadi sorang koruptor. Semuanya disebabkan keinginan mau lebih dibandingkan dengan orang lain.
Kali ini, Atah Roy bersungguh-sungguh mau melakukan perubahan. Perubahan hati murni yang datang dari kampung. Orang kota tidak dapat diharap lagi, semuanya sudah tercemar oleh keinginan memiliki kekayaan yang melimpah. Tak ada lagi rasa bersalah dan segan, semuanya nak disapu. Kini orang kampung yang mengambil alih.
Atah Roy sadar bahwa untuk mewujudkan keinginannya melakukan perubahan, tidak akan mampu dikerjakan senidiri. Untuk itulah Atah Roy mencari Leman Lengkung dan kawan-kawannya. Leman Lengkung ini pula, apabila diperlukan, tak muncul, kalau tak diperlukan tercongguk sebelah Atah Roy.
“Kemane pulak pegi budak Leman ni. Bebulu hati aku menunggu die,” ucap Atah Roy pelan. Di tangannya masih memegang surat kabar yang memberitakan 2 peristiwa besar yang terjadi di negeri ini.
Atah Roy gelisah. Atah Roy takut semangatnya yang sedang berkobar ini hilang disapu angin. Semangat yang mengebu-ngebu tidak boleh didiamkan, kalau didiamkan akan holang selamanya. Ada gagasan nak berbuat, langsung berbuat, jangan banyak cakap. Banyak cakap banyak pulak bengaknya.
“Ape kesah budak-budak ni?” Atah Roy bertanya sendiri. “Budak kampung macam ini pulak, tak boleh diharap sedikit pun,” sungut Atah Roy.
Menunggu merupakan pekerjaan yang paling menjemukan. Untuk mengatasi kejemuan ini, Atah Roy pun mengambil alternatif mencari Leman Lengkung dan kawan-kawan ke pasar Biasanya, Leman Lengkung dan kawan-kawan selalu duduk di kedai kopi Alang Atan sampai petang.
Atah Roy tergesa-gesa menuju kedai kopi Alang Atan. Atah Roy tak dapat lagi membendung keinginannya untuk mengubah negeri ini dengan semangat kampung. Orang kampung harus ambil bagian dalam perubahan negeri ini. Nasib negeri ini berada di pundak orang kampung yang masih memelihara hati nurani. Setiap langkah Atah Roy adalah harapan. Otak Atah Roy pun terbayangkan lagu Iwan Fals tentang kekuatan yang dimiliki oleh orang kampung.
Di tengah jalan, Atah Roy berjumpe Razak Condung. Kenapa condung, karena Razak berjalan macam pohon kelapa ditiup angin, miring. Dengan ramah Razak menyapa Atah Roy.
“Nak kemane, Tah? Saye nak ke rumah Atah ni,” ucap Razak.
“Aku nak cari Leman dan kawan-kawannye,” balas Atah Roy.
“Saye pun nak mencari Leman, Tah.”
“Ape pasal dikau nak mencari Leman? Dikau nak melakukan perubahan juge?” Atah Roy semangat.
“Perubahan ape, Tah?” Razak Condung heran.
“Di tangan orang kampunglah negeri ini bisa berubah. Kita harus bersatu padu membuktikan bahwa orang kampung tidak tergile harte bende,” Atah Roy semakin semangat.
“Maksud Atah?” Razak masih heran.
“Dikau tak bace koran, bahwe generasi kita yang di kota banyak yang menyalahkan kepercayaan orang banyak,” Atah Roy sedikit ketus.
“Same juge Tah, generasi kampung kite ini pun dah kacau,” ujar Razak.
“Maksud dikau?” Atah Roy pula yang bingung.
“ Leman Lengkung dan kawan-kawannye tertangkap basah sedang mencuri getah Haji Yusuf pagi tadi. Sekarang Leman Lengkung dan kawan-kawannye ditahan di kantor polisi.”
“Astaqfirullahalazim. Kalau pemuda kampung juge same dengan pemuda kota, pade siape lagi nak diharapkan perubahan itu muncul?” tanye Atah Roy sedih.
“Kota, kampung, same aje, Tah. Duit punye pasal,” kata Razak Condung.
Atah Roy tidak dapat berkata apa-apa lagi. Keinginannya terbang bersama tiupan angin. “Nasiblah negeri ini,” Atah Roy membelalakan matanya.  
    

Hasan Junus


Memang kematian selalu mengetuk pintu ruang kenangan, lalu menyemburkan segala kisah yang pernah kita rajut bersama. Kita tersentak, terhenyak, dan rasa sedih membangun puing-puing peristiwa yang pernah dilalui. Dari puing-puing peristiwa ini, kita merasakan sangat beratnya perpisahan yang disebabkan kematian. Kita pun merangkai setiap serpihan tawa, sedih yang pernah bersebati ketika kematian belum menjelma. Maka setiap kenangan menjadi sesuatu yang sangat berarti untuk mendekati diri dengan orang yang telah ‘pergi’.
Innalillahiwainahirojiun. Dia sudah pergi, tak akan kembali lagi. Sungguh terasa berat, namun manusia tidak akan pernah dapat menghindar dari kematian. Kita menyadari, sungguh  menyadari, perjalanan hidup akan berhenti di terminal kematian. Kita pun hanya mampu menjawab dengan air mata. Air mata yang hadir dari peristiwa yang pernah dilalui bersama. Begitulah, kematian selalu menyediakan suatu ruang untuk kita mengingat perjumpaan.
Pada tanggal 31 Maret 2012, pukul 23.45 WIB, dia telah meninggalkan kisahnya kepada kita semua. Tiada rampai lagi yang dapat kita teguk dari pemikiran berliannya. Tiada lagi kelincahan Murai Malam mengajak kita berkicau di sembarang musim. Tiada Pengantin Boneka membujuk kita untuk tetap setia pada keriangan berkarya, dan tiada juga nantinya Burung Tiung Seri Gading terbang dengan sayap mengeliling dunia. Kita hanya mampu mengenangnya. Kenanganlah nantinya memperjumpakan kita.
            Jalan yang terbentang yang kita lalui bersama Hasan Junus, kini tak akan berulang lagi, namun kenangan bersamanya, rasanya tidak mungkin terlupakan. Sosok Hasan Junus bukan saja menjadi guru, dia juga menjelma sebagai kawan. Hasan Junus tidak pernah menutup diri, apabila ada orang lain ‘meminta’ ilmunya. Hasan Junus seperti hujan di musim kemarau, tidak pernah berhenti menyirami kesegaran di ‘tanah’ sastra Riau. Dimanapun berjumpa Hasan Junus, dia akan terus becerita dan bercerita tenang keperkasaan karya sastra. Segala karya sastra yang terbentang di dunia ini, dengan petah disampaikan kepada lawan ceritanya. Dia tidak lokik (pelit) untuk membagi ilmu. Panjang lebar dia bentang, sampai pendengarnya yang lelah, namun dia tetap bercerita.
            Dari mulut Hasan Junus banyak sastrawan-sastrawan muda Riau termotivasi untuk berkarya. Hasan Junus bukan ‘pandai bercakap’ saja, kehidupannya diserahkan kepada dunia sastra. Dia hidup dari sastra, dia besardari sastra, dia ‘terbang’ menggunakan sastra. Hasan Junus identik dengan dunia sastra, karena dia hidup untuk sastra. Tidak ada yang dapat menggoyah ketegarannya untuk tetap berada di ‘istana” kata-kata itu. “Aku ini penulis karya sastra, maka hidupku adalah karya sastra itu sendiri,” Hasan Junus pernah berucap kepada penulis muda di Dewan Kesenian Riau beberapa waktu dulu.
            Mengenang Hasan Junus, tentu saja kekhawatiran kita, terutama dunia sastra Riau, semakin bertambah. Gamang memang, disaat ‘penjaga gawang’ sastra Riau tidak akan lagi melepaskan fatwa-fatwa mengenai kehidupan sastra, kita benar-benar kehilangan jambatan untuk menyeberang lautan sastra dunia. Kita tidak akan menemukan ‘perpustakaan berjalan’ itu lagi. Kita pun tiada tempat bertanya lagi mengenai karya sastra dunia.
            Hasan Junus merupakan cahaya sastra Riau. Cahaya yang tidak pernah redup sampai kematian datang menjemput. Hasan Junus tidak pernah sungkan memberikan ilmunya kepada siapapun juga. Dia tidak pernah ragu bergaul dengan siapa saja, apalagi bergaul dengan penulis-penulis muda yang menimba ilmu sastra darinya. Hasan Junus akan berapi-api bercerita mengenai karya sastra kepada siapapun juga. Dia merasa bahagia apabila ada generasi muda yang’mencuri’ ilmu dari percakapan yang berlangsung.
            Orang tua ‘degil’ itu tidak akan pernah kita jumpai lagi. Kita benar-benar kehilangan untuk bergembira mengarungi lautan sastra ini. Kita pun semakin sepi, pelita itu telah padam sebelum sempat melihat mazhab sastra Riau benar-benar berdiri kokoh. Pada masa hidupnya, Hasan Junus terus memompa semangat setiap genersi muda untuk tetap berkarya. Bagi Hasan Junus orang yang dipandang mulia adalah orang yang tetap bekarya dan berkarya. Hasan Junus tak ingin dunia sastra Riau terendam dalam sunyi, tanpa ada gnerasi muda berkarya. Dengan Karya sastra, Riau akan tetap jaya.
            Kini Hasan Junus telah meninggalkan kita untuk selamanya. Kita tidak mungkin terus berduka. Kita harus tetap berkarya.