Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 24 Maret 2012

Jalan Sepi


Atah Roy tahu bahwa menjadi seorang penulis karya sastra atau pekerja seni tidak menjanjikan menjadi seseorang yang dihormati di negeri ini. Bukannya penulis karya sastra atau seniman gila hormat, tetapi paling tidak kerja mereka dihargai. Selama ini, pekerja seni hanya mendapat tempat apabila pekerja seni mampu menjulurkan lidahnya,dan kemudian menjilat kesempatan yang ada. Padahal jauh-jauh sebelum masa kini, kerja para seniman menjadi santapan roh, sehingga apa yang dikerjakan seniman mendapat tempat yang layak.   
Pilihan menjadi seorang penulis atau seniman merupakan gerak hati, dan seandainya sudah memilih menjadi penulis atau seniman, maka harus mampu menahan diri untuk tidak tergoda dengan segala kemewahan. Di negeri ini, penulis karya sastra atau pun seniman belum mendapat tempat. Orang lebih memandang pada berapa kekayaan yang dimiliki, atau apa jabatan orang tersebut. Jadilah negeri ini, negeri para penjilat. Penjilat selalu mendapat tempat, padahal para penjilat memiliki kepentingan sesaat.
Untuk meyakinkan diri, Atah Roy membaca berulang kali tulisan mengenai penyair sekaligus teaterawan besar Indonesia, WS Rendra. Dalam tulisan itu Atah Roy membaca keyakinan yang luar biasa dari seorang WS Rendra dalam menghidupkan kelompok seninya, khususnya seni teater. Dalam menghidupkan kelompok teaternya yang diberinama Bengkel Teater Rendra (BTR), Rendra pun membuat ikrar bersama, ikrar inilah yang mengikat anggota kelompok teaternya tidak tergoda oleh nafsu keduniawi.
Ada lima butir ikrar BTR yang menjadi senjata mereka. Pertama, aku milik Tuhan dan hanya mengabdi kepada Tuhan. Kedua, aku tidak akan memiliki yang lebih. Segala yang berlebih akan kami kembalikan kepada Tuhan melalui alam dan kebudayaan. Ketiga, aku setia kepada hati nurani. Keempat, aku setia kepada jalannya alam. Kelima, aku hidup dengan menjunjung nilai-nilai kebudayaan.
Berpegang pada pendirian ini BTR terus bergerak sampai kelompok teater ini tidak pernah takut mengkritik pemerintah yang menyia-nyiakan rakyat. Beberapa kali pula WS Rendra harus berhadapan dengan pihak keamanan, bahkan dipenjara disebabkan sikap kritisnya mengkritis kerja pemerintah. Atah Roy menyimpulkan bahwa WS Rendra dengan seninya menjadi corong suara rakyat. WS Rendra selalu menjadi inspirasi Atah Roy untuk berbuat lebih kepada kesenian, namun Atah Roy belum mampu, karena Atah Roy tidak memiliki kekuatan seperti WS Rendra.
Tidak heranlah apabila di tanah Melayu ini, kesenian beraktivitas apabila ada kegiatan pemerintah. Hidup seni seperti menumpang di tanah milik orang lain. Tidak ada kelompok seni yang mandiri dan mampu mengadakan kegiatan atau pementasan di luar kegiatan yang sudah diagendakan pemerintah.
Pemikiran ingin memiliki kelompok seni yang mampu berdiri kokoh di tanah ini, selalu bermain di benak Atah Roy, namun sampai sekarang Atah Roy Cuma bermimpi di siang hari. Pemikiran ini juga disampaikan Atah Roy kepada kawan lamanya, Mastur, ketika mereka nerjumpa di kedai makan milik Mastur. Mendengar keluh kesah Atah Roy, Mastur hanya senyum-senyum saja. Atah Roy pun tersinggung dengan sikap Mastur.
“Kenape dikau tersenyum-senyum macam mengejek aku aje, Tur? Salahkah yang aku sampaikan?” Atah Roy geram.
“Salah tu tidak, Tah, tapi lucu saje mendengarnye,” Mastur santai sambil menghirup kopinya.
“Dimane letak lucunye?” Atah Roy semakin geram.
“Masih juge Atah bicara kesenian pada zaman ini?” Mastur balik bertanya.
“Kenape dikau bertanye macam itu?” Atah Roy tak puas.
“Atah tidak merasa kalah di negeri sendiri?” Mastur bertanya lagi.
“Maksud dikau?”
“Tah, semue orang yang datang ke tanah ini memiliki kekuasaan, sehingga mereka memiliki kekuatan. Atah bisa saksikan, banyak oarang yang baru datang di tanah ini menjadi pemimpin, sementara Atah terus mengeluh,” Mastur menjelaskan kepada Atah Roy. Atah Roy belum terima.
“Salahkah kalau aku hanya berpegang teguh pada kesenian?” Atah Roy kembali bertanya.
“Salah tu tidak, Tah, tapi dunia kesenian ini yang atah pilih adalah jalan sepi. Seharusnya Atah menempuh jalan ramai, sehingga Atah banyak dikenali orang,” kata Mastur yakin.
“Aku tak butuh dikenal orang banyak,” kata Atah Roy singkat.
“Kalau Atah tak mau dikenali orang, Atah tak usah mengeluh. Bukankah jalan sepi memang harus hidup dengan kesunyian? Dan kesunyian akan membawa pada ruang kekalahan,” kembali Mastur berucap.
“Aku tak paham betul maksud dikau, Tur?” Atah Roy semakin geram.
“Atah, kalau nak berkesenian jangan tanggung. Masuk kesenian secara menyeluruh, sehingga kesenian itu memiliki kekuatan, sehingga ada tawar menawar untuk kehidupn berkesenian,” Mastur mulai geram juga.
“Malas aku nak bercakap dengan dikau ni, Tur, semuenya tak jelas,” Atah Roy lagsung meninggalkan Mastur.
“Kalau Atah Roy tetap bertahan di jalan sepi, Atah jangan marah, kalau nantinya orang lain merajalela tanah ini!” teriak Mastur.
Atah Roy tetap berjalan, tanpa mempedulikan apa yang dikatakan Mastur. Namun di dalam hati Atah Roy berbisik.
“Betul juge ye apa yang dikatekan Mastur, kalau aku jadi gubernur atau bupati, tak susah-susah orang berkesnian,” bisik Atah Roy dalam hati.      

   

Minggu, 11 Maret 2012

Kata Lebai


Atah Roy tak habis pikir, kenapa perkembangan zaman menyebabkan orang-orang memandang masa lalu menjadi sesuatu penghalang. Padahal masa kenen alias masa kini hadir disebabkan masa lalu. Itu sudah pasti. Atah Roy risau, orang kenen kehilangan kesejetian sebagai anak negeri. Mereka, orang kenen menurut Atah Roy, kehilangan identitas disebabkan terlalu percaya kepada pandangan keterbukaan. Tersebab terlalu terbuka, segala yang berasal dari luar masuk. Celakanya, orang kenen di negeri ini belum menyiapkan pondasi kebudayaan yang kuat, mereka langsung membangun kebudayaan baru dengan mengunakan bahan-bahan kebudayaan asing. Tak dapat dipungkiri lagi, jadilah generasi kenen sebagai pendurhaka, tak peduli dengan cakap orang tua lagi. Orang tua juga salah, asik berteking untuk menegak benang basah, tersebab ada kepentingan lain.  
Atah Roy palak alias sakit hati melihat generasi kenen seperti orang buta melanggar nilai-nilai orang yang mendiami negeri ini. Lebih palak lagi, orang tua hanya diam, bahkan ikut-ikutan ambil bagian membelasah nilai itu. Mereka menjadi pengikut tulen, tanpa dapat membedakan mana yang menyinggung keturunannya, dan mana yang harus dikembangkan. Sepele memang, menurut Atah Roy, tapi dapat membunuh dan sekaligus mempermalukan sepanjang masa diri sendiri.
Contoh yang paling sederhana, tetapi memunculkan citra orang menjadi buruk. Kata LEBAI, Atah Roy mencontohkan, bergeser makna menjadi sesuatu yang negatif. Padahal, menurut Atah Roy, kata Lebai identik dengan agama Islam. Orang yang dipanggil Lebai adalah orang alim, mengetahui ajaran agama Islam secara mendalam. Kata Lebai juga bermakna penjaga mesjid atau orang yang mengurus suatu  pekerjaan yang bertalian dengan agama Islam. Hari ini, kata Lebai itu dipermainkan dan menjadi alat mengejek atau menceme’eh orang-orang yang berlebih-lebihan.
Secara tidak langsung, menurut Atah Roy, kata Lebai pada hari ini, memperolok-olok orang alim. Tentu saja, kalau sudah mengolok-olok orang alim, berarti mengolok-olok agama Islam. Atah Roy tidak mau menerima kenyataan ini. Orang kenen, paling tidak orang di kampungnya, harus diselamatkan dari penyelewengan makna kata. Kata Lebai harus kembali kepada maknanya yang sebenarnya.
Atah Roy memutar otak mencari cara mengembalikan makna kata Lebai itu. Terlintas di benak Atah Roy hendak melaksanakan seminar membahas kata Lebai ini, namu dibantah oleh Atah Roy sendiri. Seminar hanya menghabiskan duit. Lagi pula kalau diadakan seminar, hanya diikuti oleh beberapa orang saja. Untung-untung kalau yang mengikut seminar itu membagikan hasil seminar itu pada orang lain. Biasanya kebanyakan yang mengikut seminar hanya mencari sertifikat untuk kenaikan pangkat. Kalau banyak sertifikat, maka banyak pulalah duitnya. Atah Roy tak mau hal seperti itu terjadi, kebenaran ilmiah tidak bisa diperjual belikan. Hehehe… macam ye betul.
Sempat juga Atah Roy terpikir, mengembalikan makna kata Lebai ini dengan mengadakan pementasan drama, namun dibantah Atah Roy kembali. Pementasan drama biayanya besar, sementara orang-orang tidak mau membantu pementasan drama lagi. Orang drama tak pandai mengangkat lanpa alias cari muka pada pejabat negeri ini. Selain itu, orang sudah tak mau menonton drama disebabkan pementasan drama akhir-akhir ini tidak berkualitas. Orang lebih senang menonton tv, yang memperlihatkan cerita dengan memamerkan perempuan cantik, lelaki ganteng, padahal ceritanya sedikit pun tak mendidik.
Pening juga Atah Roy hendak mengembalikan makna kata Lebai ini. Lama Atah Roy berpikir, dan akhirnya niat tulus berbuah solusi yang baik pula. Atah Roy pun bergegas masuk ke kamarnya. Atah Roy membongkar lemari baju, dan mengambil jubah berwarna putih. Tak lupa, Atah Roy juga mengambil sorbannya. Beberapa saat kemudian, Atah Roy sudah seperti orang Arab; pakai jubah dan di kepalanya sorban putih terpasang dengan rapi. “Aku akan cube mengembalikan makna kata Lebai dengan care aku sendiri,” ucap Atah Roy mantap.
Dengan menggunakan jubah berwarna putih dan sorban di atas kepalanya, Atah Roy berjalan keliling kampung. Sikap Atah Roy tenang, memandang penuh dengan makna. Pas di depan kedai Aziz Teling, Atah Roy berjumpe Kadan Botak. Kadang Botak agak heran melihat penampilan Atah Roy.
“Nak kemane, Lebai?” sapa Kadan Botak.
Atah Roy cepat-cepat menghampiri Kadan Botak dan langsung bertanya.
“Ape maksud dikau memanggil aku lebai?”
“Lebai itu kan orang alim, Tah.”
“Bagus, dikau belum tercemar nampaknye,” Atah Roy senang.
“Maksud Atah?” Kadan Botak penasaran.
“Pokoknye, dikau masih bersih. Assalammualaikum,” Atah Roy langsung pergi meninggalkan Kadan Botak. Kadang Botak hanye bisa termenung menenguk Atah Roy pergi begitu saja.
Atah Roy terus berjalan dengan sikap tenangnya. Tidak jauh di depan kantor penghulu, Atah Roy berjumpa Kasim Jalak. Atah Roy tak menyapa Kasim Jalak, karena Atah Roy berharap Kasim terlebih dahulu menyapa. Rupanya harapan Atah Roy menjadi kenyataan.
“Assallammualaikum, Lebai. Dari mane?”
Atah Roy cepat-cepat melangkah mendekati Kasim Jalak. Kasim Jalak agak tergegau alias terkejut juga meneguk Atah Roy bergegas mendekatinya.
“Lebai dari mane?” tanye Kasim Jalak lembut.
“Ape maksud dikau memanggil aku lebai?”
“Kalau dah penampilan macam ini kan, Atah ni dah termasuk pemuka agama,” Kasim Jalak agak takut.
“Dikau masih bersih,” kata Atah roy langsung pergi meninggalkan Kasim Jalak. Kasim Jalak heran, tak tahu apa maksud Atah Roy. Sambil menggaru kepalanya yang tidak gatal, Kasim Jalak pun pergi.
Atah Roy agak senang. Rupanya orang di kampung masih mempertahankan makna kata Lebai itu. Atah Roy pun tersenyum, namun beberapa saat kemudian senyumnya berubah, ketika Leman Lengkung menghampirinya.
“Atah ni ngape lebai betul?” tanye Leman Lengkung.
“Maksud dikau memanggil aku lebai, ape?” Atah Roy agak geram.
“Tah, sebagai anak saudare, aku malu nenguk Atah berpakaian berlebih-lebihan macam ini, tak elok ditenguk orang” Leman Lengkung kesal.
“Budak tak tahu diuntung betul dikau ni, Man! Rupenye anak saudare aku sendiri yang dah tercemar oleh gerakan yang hendak menjatuhkan marwah Islam! Aku juge yang salah!” Atah Roy pergi sambil melepaskan sorbannye. Air mata Atah Roy menggalir ke pipi.
“Maksud, Atah?” Leman Lengkung bertanye, namun Atah Roy tidak peduli. Atah Roy terus pergi.
“Gajah di seberang lautan tampak, tungau di kelopak mata terabaikan,” ucap Atah Roy sedih.           

Sabtu, 03 Maret 2012

Dari Albert Enstein Sampai Kambing Jantan

Keteguhan berpegang kepada kebenaran untuk kepentingan orang ramai, memang berat. Atah Roy merasakan hal itu. Untuk menegakkan tiang kebenaran inilah, Atah Roy menyembunyikan kepentingan pribadi ke lubuk hati yang paling dalam. Atah Roy harus merelakan melapangkan hati untuk menampung segala hasratnya, agar kebenaran untuk kepentingan orang ramai berdiri tegak nantinya, walaupun pahit bagi Atah Roy. Bagimana tidak pahit, Atah Roy harus merelakan keinginan pribadinya disingkirkan.
Kerelaan Atah Roy mengedepankan kepentingan orang ramai dan tetap menjunjung kebenaran, mendapat ceme’ehan dari orang-orang terdekatnya. Tidak ketinggalan Leman Lengkung, anak saudara Atah Roy, menganggap bapak saudara terlalu lugu dan polos. Padahal, kata Leman Lengkung, di zaman kenen (sekarang), orang yang terlalu mengedepankan nilai idealis akan terpinggirkan. Untuk itulah orang-orang terdekat Atah Roy berharap kepada Leman Lengkung meneshati Atah Roy. Orang-orang terdekat Atah Roy takut nantinya, Atah Roy dimusuhi oleh banyak orang gara-gara berpegang teguh kepada kebenarannya.
Leman Lengkung menyanggupi apa yang disarankan orang-orang agar mengingatkan Atah Roy. Berat, tapi Leman Lengkung harus mengatakannya, karena ini menyangkut masalah keluarga dan diri Atah Roy sendiri. Kalau dibiarkan berlarut-larut, Atah Roy dan keluarganya, termasuk Leman Lengkung, akan benar-benar terkucil dari kampung. Bukankah sudah banyak contoh bagaimana kebenaran menjadi kesalahan disaat kebenran itu berlawanan dengan orang banyak, walaupun kebenaran itu untuk kepentingan orang banyak.
“Tidak! Aku tetap pade pendirian aku! Tak ade yang dapat menawar-nawar lagi, walaupun akhirnye aku tidak dipedulikan oleh orang kampung!” ujar Atah Roy ketika Leman Lengkung menyampaikan harapan orang-orang terdekat Atah Roy.
“Atah, untuk ape kite mempertahankan kebenaran kalau orang lain tidak menghendakinye? Bukankah kebenaran untuk orang banyak, bukan untuk diri sendiri?” Leman Lengkung terus membujuk Atah Roy.
“Leman, dikau tahu Albert Enstein?”
“Tahulah Tah, bukankah die yang menyempurnakan teori gravitasi bumi, kan?”
“Albert Enstein itu rela mengorbankan dirinya untuk sebuah kepentingan dan kebenaran untuk orang banyak di muka bumi ini. Padahal die ditawarkan duit yang tidak sedikit, untuk bekerja di sebuah perguruan tinggi, asalkan die mau bekerja untuk kepentingan orang Jerman saja. Pade masa itu kan Jerman sedang berperang dengan bangsa lainnye, dan Jerman yang dikomandoi oleh Hitler hendak membuat senjata pemusnah masal, dan ilmuan Jerman mengajak Enstein bergabung. Enstein menolak. Die yakin ilmu pengetahuan dan kebenaran itu tidak dapat dibeli dengan apepun juge. Kebenaran dan ilmu pengetahuan untuk kepentingan orang banyak, baik hari ini maupun untuk masa yang akan datang. Selain itu, Enstein kawan aku tu, sanggup hidup berita tak ade duit. Die ditinggalkan istrinye, diputus oleh pacarnye, sampai-sampai die hidup macam orang gile. Tapi die tetap tegar menghadapinye. Enstein tahu, kebenaran itu memang pahit, tapi apebile mampu mempertahankannye, akan berbuah kebahagiaan yang luar biasa. Membuat orang lain tersenyum lebih baik dibandingkan kite hidup sejahtera, dan Albert Estein sudah membuktikannye,” Atah Roy panjang lebar menjelaskan tentang kebenaran yang dipegang teguh oleh Albert Enstein kepada Leman Lengkung.
“Zamannye berbede, Tah. Pak Cik Enstein hidup di zaman orang-orang belum memandang kekayaan segala-galanya. Pada zaman kenen, orang yang tidak memiliki kekayaan akan tersingkirkan, walaupun die pandai,” Leman Lengkung beralasan.
“Siape cakap di zaman Enstein hidup, kekayaan bukanlah menjadi hal yang terpenting? Same saje zaman Enstein hidup dengan zaman kenen ni, tapi dulu Enstein dan beberape orang memiliki sikap dan berpendirian teguh, makanye kebenaran tetaplah kebenaran, tidak dapat digantikan!” Atah Roy mulai geram dengan Leman Lengkung.
Leman Lengkung mulai takut, namun dia memberanikan diri untuk tetap bertahan membujuk Atah Roy. Di pundaknya ada harapan orang-orang terdekat Atah Roy, dan Leman Lengkung tidak mau orang-orang itu kecewa disebabkan dirinye menyerah karena hanya dibentak oleh Atah Roy. Harapan orang-orang terdekatAtah Roy merupakan kebenaran bagi Leman Lengkung. Untuk itulah Leman Lengkung tetap bertahan.
“Tapi Tah, kan tidak salah kalau Atah mengalah siket, agar orang-orang senang,” suara Leman Lengkung sedikit menggigil, rupanya rasa takut Leman Lengkung menusuk sampai ke jantungnya.
“Tidak! Aku tetap bertahan. Biolah orang-orang terdekat aku menganggap aku keras kepale hari ini, tapi pada hari yang akan datang, mereke pasti menerime keyakinan aku sebagai kebenaran yang memang harus dipertahankan,” Atah Roy semakin yakin.
“Sebenarnye ape yang menyebabkan Atah harus tetap bertahan?” Leman Lengkung penasaran dengan sikap Atah Roy yang tidak mau melunak sedikit pun.
“Dikau tahukan, Man, kambing jantan kite tu adelah satu-satu kambing yang bisa berkokuk macam ayam, kalau aku jual kambing tu, make tak ade lagi kebangaan kampung ini. Kalaulah kambing itu punye keturunan dan dapat berkokuk macam die, baru aku jual. Kalau tidak, jangan diharap Man, walaupun aku dibayo 4 miliar, tetap tak aku jual,” Atah Roy tegas.
“Tapi Tah, kalau kambing itu dijual, name kampung kite juge terangkat,” Leman Lengkung membujuk Atah Roy.
“Untuk setahun, mungkin name kampung kite masih disebut, tapi lewat dari itu, tak akan ade orang mengingat asal kambing yang bisa berkokuk itu! Dikau harus ingat itu, Man! Jangan dikau pujuk aku lagi. Biolah aku macam Albert Enstein bertahan dengan kebenaran aku demi kepentingan kampung kite di mase akan datang!”
“Tapi…”
“Tak ade tapi-tapi lagi! Kalau dikau masih membujuk aku, aku lempang dikau!” Suara Atah Roy semakin meninggi. Lemang Lengkung terdiam, tak dapat bertahan. Leman Lengkung pun pergi meninggalkan Atah Roy seorang diri dengan perasaan kecewa.
“Albert Enstein, aku mau seperti dirimu!” teriak Atah Roy mantap.