Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 30 Juni 2012

Menghargai Seniman


Sebagai mantan seniman, karena Atah Roy tidak berkarya lagi, sangat khawatir dengan kehidupan para seniman di daerah ini. Mereka seperti air dalam tempayan, apabila hujan datang, air dalam tempayan pun dibuang. Lebih miris lagi, Atah Roy menyaksikan langsung bagaimana Leman Lengkung dan kawan-kawan bertungkus-lumus menyelenggarakan kegiatan kesenian yang dianggarkar dalam belanja daerah, diupah tidak sesuai dengan kerja mereka. Atah Roy mau memberontak dengan keadaan ini, tapi Atah Roy tak berani, karena takut para seniman tidak mendukungnya.
Atah Roy teringat apa yang dikatakan Abo Kabo, bahwa seniman di daerah ini tidak punya sikap. Mereka cuma asik dengan diri mereka sendiri. Dan yang paling membuat Atah Roy sakit hati, Abo Kabo mengatakan seniman Riau tak berani memberontak, padahal kerja mereka selalu disepelekan oleh pemerintah daerah.
“Cobe dikau bayangkan, Roy, seniman Riau diajak pergi mentas ke provinsi lain, kwitansi ditandetangan sejuta lime ratus, yang diterime cume enam ratus, diam aje seniman tu. Seharusnye seniman yang terlebih dahulu menghargai dirinye sendiri, baru orang lain takut. Kalau tidak sesuai upah dengan kerje yang dilakukan, tak usah hendak. Seniman harus punye sikap, dan punye kekuatan untuk melawan kebathilan, bukan menerime begitu saje,” ujar Abo Kabo panjang lebar.
Atah Roy memang sakit hati dengan ucapan Abo Kabo tu, tapi Atah Roy tidak melawan, karena apa yang dikatakan Abo Kabo itu benar. Atah Roy juga pernah mengalami hal serupa. Disebabkan bersemangatnya berkesenian, Atah Roy tak pernah mematok berapa harga karyanya sekali dipentas. Bagi Atah Roy, kesenian berfungsi sebagai menghibur masyarakat banyak, sekaligus membangkitkan semangat masyarakat untuk maju ke depan dalam mengarungi kehidupan ini. Untuk semua itu tidak perlu dibayar, bukankah tugas manusia di muka ini menyenangkan manusia lainnya?
Namun pemikiran Atah Roy selama ini salah. Seniman juga butuh makan, butuh belanja, dan memiliki anak-bini yang perlu dibiayai. Bukan berarti seniman tidak mengabdi untuk menjunjung nilai kemanusiaan, tapi menghargai seniman itu harus digesa.
“Habis mentas, ramai-ramai orang bertepuk, merasa puas dengan penampilan sang seniman. Sampai di rumah, bini mengamuk karene beras tak ade, anak belum nyusu, sementare itu penyelenggara kegiatan baik pemerintah maupun swasta dapat untung beso. Zaman kenan tak terdaye lagi dengan ucapan terime kasih, Roy,” ucapan Abo Kabo mengiang kembali di telinga Atah Roy.
Atah Roy tidak mampu menahan amarahnya. Dengan hati panas, Atah Roy mencari Leman Lengkung di tempat biasa mereka ngumpul.
“Man, kini saatnye seniman mude bangket, dan jangan mau diperolok-olok lagi!” ucap Atah Roy dengan nada keras ketika berjumpa Leman Lengkung dan kawan-kawan di kedai kopi Terselet.
“Maksud Atah macam mane ni? Kami dah membuktikan diri dengan berkarya tidak pernah berhenti. Tiap tahun 2 sampai 3 karya kami lahir. Apekah itu tidak cukup?” Leman Lengkung penasaran dengan tingkah laku Atah Roy.
“Betul tu, Tah, kami juge sudah membantu pemerintah melaksanakan even pemerintah dengan menampilkan karya terbaik kami. Apelagi yang harus kami lakukan?” tambah Ujang Tempayan dengan semangatempat lima.
“Untuk karya, aku tidak meragukan mike, tapi ape yang mike dapat setelah mentas tu?” Atah Roy bertanya.
“Tentu kepuasan, Tah,” ucap Kamil Lepai.
“Kepuasan batin merupekan tujuan seniman, Tah, itulah yang kami belajo dari Atah dulu,” tambah Tambrin Keling.
“Kepuasan batin, harus dibaringi dengan bayaran yang layak,” ucap Atah Roy mantap.
“Memang betul kepuasan batin merupekan hal yang terpenting dalam hidup ini, aku sepakat. Tapi mike merasekan tak, kalau mike diperalat?”
“Maksud, Atah?” Leman Lengkung penasaran.
“Selame ini kite diam aje, dibayo atau tidak dibayo same aje, tersebab menjunjung kesenian sebagai identitas kite. Tapi hari ini kite diperalat orang, even kesenian yang selalu diadakan duitnye bertambun, namun yang kite dapat sedikit. Yang lebih parah lagi, seniman daerah ini dibayo tak cukup buat ongkos, sementare seniman luo, dibayo berlipat-lipat. Kite harus gugat orang-orang yang mengurus kesenian tapi tak menghargai seniman tempatan. Kite ini berhak mendapat upah yang layak!” Atah Roy semakin geram.
“Macam mane kite nak menggugat orang-orang tu, Tah?” tanye Kamil Lepai.
“Kite susun kekuatan, lalu baikot segala kegiatan kesenian yang tak menghargai seniman,” ucap Atah Roy.
“Kalau kelompok kite aje yang membaikot, sementare yang lain tidak, same aje mengecat batu es, Tah,” kata Leman Lengkung.
“Betul juge tu, Tah. Selame ini seniman kite asik nak bercekau satu dengan yang lain, Tah. Mane seniman yang pandai mengampu alias angkat telou, mewahlah die, berangkat ke sene, ke mari dengan menggunekan duit rakyat,” tambah Tambrin Keling.
“Untuk itulah kite harus duduk se meje. Kita buka semue masalah, dan kemudian baru kite satukan presepsi,” tambah Atah Roy.
“Ape bisa seniman kite duduk se meje, Tah? Bukankah banyak juge seniman yang duduk sebagai pengawai yang mengurus kite, dan asik mereke aje yang tampil kalau ade duit dari pemerintah,” Leman Lengkung geram.
“Kalau dah macam ini, pening aku. Seharusnye, seniman yang duduk sebagai pegawai yang mengurus seniman dan kesenian beri laluan kepade seniman sperti kite ni. Kalau mereka kemaruk juge, tak ade kate lain, kite demo katou pemerintah yang mengurus seniman dan kesenian tersebut!” Atah Roy semakin bersemangat.
“Mantap kalau macam ni, Tah,” ucap Kamil Lepai.
“Berepe lame bertahan semangat ni, Tah?” tanye Leman Lengkung.
Mendengar pertanyaan Leman Lengkung, Atah Roy seperti mati kutu, tak dapat berbuat apa-apa, selain menggelengkan kepalanya.

  

Sabtu, 16 Juni 2012

Rusak Sebelum Dipakai


Atah Roy sebenarnya tak peduli dengan cerita tiga orang ibu-ibu yang duduk di kursi depan. Namun suara ibu-ibu itu semakin keras terdengar setiap kali Atah Roy menutup mata, mau tidur. Mobil travel yang ditumpangi Atah Roy dari Dumai ke Pekanbaru, berisi 6 orang penumpang. Satu perempuan masih muda, duduk di sebelah supir. Tiga orang ibu-ibu duduk di tengah, pas depan Atah Roy, dan seorang lelaki muda, sejak mobil bergerak sudah tidur di samping Atah Roy.
Suara ibu-ibu itu semakin keras singah di telinga Atah Roy. Merasa tidak mampu melawan suara itu dengan tidur, Atah Roy pun mencelek alias membuka matanya lebar-lebar. Atah Roy dengan seksama mendengar cerita ketiga ibu-ibu tersebut. Mendengar percakapan ibu-ibu tersebut, Atah Roy dapat menyimpulkan ketiga ibu itu kepala sekolah. Mereka bercerita berbagai macam persoalan yang mereka hadapi. Mulai dari kelulusan murid-murid mereka, sampai kenakalan siswa. Atah Roy tak ambil pusing betullah dengan kenakalan siswa, karena waktu sekolah dulu juga, degil alias nakal, namun nakal Atah Roy terarah. Degil untuk mewujudkan cita-cita kaedahnya.
Percakapan ketiga ibu itu yang membuat Atah Roy semakin matan alias serius mendengarkannya adalah ketika mereka menceritakan bantuan kursi dari pemerintah. Entah mengapa, bantuan pemerintah, baik perbaikan gedung, bangun gedung, maupun peralatan untuk sekolah, selalu rusak sebelum sempat digunakan.    
“Kadang kite ni serba salah ye, entah siswa kite degil merusak jatah dari pemerintah, atau jatah pemerintah tu memang tak bagus. Due hari pakai, dah rusak,” ujar seorang ibu yang duduk di sebelah kanan depan Atah Roy.
“Ye, saye pernah marah pade murid saye, gara-gara kursi rusak diduduknye. Murid saye menjawab, ‘buk, kursi ni tak ade kami ape-ape kan, memang dah rusak dari sanenye’. Terpikir juge saye, kadang kale, jatah pemerintah ni dah rusak sampai di sekolah,” kata ibu yang berada di depan sebelah kanan Atah Roy.
“Samelah saye, bu, pago sekolah baru siap seminggu, dah rubuh. Saye pikir anak saye yang merubuhkannye, eeee… rupenye memang pagi tu rubuh sendiri,” ujar ibu yang di tengah pula disambut ketawa kedua kawannya.
Atah Roy cuma bisa tersenyum getir. Perbincangan ketiga ibu itu sangat mengiris hati Atah Roy. Atah Roy tidak menyalahkan ketiga ibu itu, memang bantuan atau pun  proyek yang mengatasnamakan pemerintah, selalu masalah. Masalah yang selalu terjadi, barang tu belum sempat dipakai, sudah rusak terlebih dahulu. Tapi kalau swasta yang buat, baik merehab gedung, atau membangun gedung, pasti kokoh dan tahan lama.
Ketiga ibu itu terus bercerita mengenai bantua-bantuan pemerintah yang lainnya, dan pasti mengalami hal yang sama, rusak sebelum dipakai. Otak Atah Roy pun berkelana, mengapa hal seperti ini terjadi. Padahal ‘jatah’ bantuan itu untuk anak cucu di masa akan datang untuk negeri ini lebih baik lagi. Atah Roy pun teringat kasus proyek pembangunan sarana olahraga di desa Hambalang, Sentul, Kabupaten Bogor. Proyek yang menghabiskan dana besar itu, ambruk.
“Kadang murid kite degil juge, asik nak mengobel barang baru, sementare barang baru tu rapuh, sekali sentuh dah rusak,” ujar ibu yang di samping kanan.
“Tak mungkin pulak barang tu kite pamerkan saje tanpe digunekan. Kadang kite ni serbe salah, dibio rusak, dipakai tambah parah,” tambah ibu yang duduk di tengah.
“Ye, tak mungkin ditenguk je barang tu, bekapng pulak die,” ibu sebelah kiri menyeletuk, terdengar tawa mereka.
Atah Roy senyum sendiri. Apa yang dikatakan ketiga ibu itu, benar adanya. Jalan menuju Pekanbaru ini saja, sudah berapa kali diperbaiki, namun seminggu, paling kuat tiga bulan, pasti rusak lagi. Dan yang paling mengherankan, rusaknya lebih parah dari sebelumnya. Inilah negeriku, pikir Atah Roy, kepentingan bersama selalu dijadikan kepentingan pribadi. Untuk memenuhi kepentingan pribadi, orang banyak menjadi korbannya.
Beberapa saat kemudian, suara ketiga ibu itu menghilang. Atah Roy menyengahkan kepalanya, melihat ibu-ibu tersebut, ketiga ibu itu sudah tertidur. Atah Roy ingin membangunkan mereka, dan menyuruh mereka bercerita lagi tentang barang-barang yang rusak sebelum sempat dipakai. Atah Roy tidak punya keberanian untuk membangunkan mereka, karena orang yang terlelap bisa saja membentak apabila dibangunkan secara paksa.
Mata Atah Roy memang tak bisa ditutup lagi untuk tidur. Pikirannya melayang-layang pada bantuan pemerintah untuk menyejahterakan bangsa ini, selalu disalah gunakan. Atah Roy teringat bantuan pemerintah berupa bibit getah yang diterima Leman Lengkung satahun yang lalu. Leman Lengkung dengan semangat yang mengebu-ngebu menanam bibit getah itu. Dengan bibit getah itu, Leman Lengkung berkeinginan menjadi pengusaha getah yang sukses. Keinginan Leman Langkung hancur terhempas bersama tak tumbuhnya bibit getah itu. Bibit getah yang ditanam Leman, layu sebelum berkembang alias mati seminggu setelah ditanam. Leman menyangka, tangannya yang tak cocok. Setelah Leman Langkung melihat ‘kebun’ getah kawan-kawannya, yang sama-sama dapat bantuan bibit getah dari pemerintah, satu pun tak hidup. Leman dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa bibit gitah itulah yang tak baik. Selidik punye selidik, memang bibit getah itu yang tak bagus.
Atah Roy menggelengkan kepalanya. Atah Roy tak tahu lagi apa yang mesti dipikirkan tentang negeri ini. Negeri, negeri kaya, tapi kenapa bantuannya selalu rusak sebelum sempat dipakai.
“Mungkin, aku harus pindah ke negeri kayangan, sehingga aku tak pernah melihat semua ini,” ujar Atah Roy sambil memejamkan matanya, berharap bermimpi sedap dalam mobil menuju Pekanbaru.
Baru saja Atah Roy terlelap, supir memaki dengan kerasnya, karena mobil yang dibawa masuk lubang besar dan dalam. Atah Roy tak jadi tidur, sementara kepalanya semakin berat memikirkan negeri ini.    

    



Sabtu, 02 Juni 2012

Dunie Semate


Leman Lengkung memang sudah melampau. Semua orang yang menegur alias mengingatkannya dijadikan musuh. Seharusnya Leman Lengkung bersyukur karena masih ada orang yang mau menegur atas perbuatannya. Orang yang menegur perbuatan orang lain itu, bukan berarti benci, tapi karena rasa sayanglah yang menyebabkan mereka mau mengingatkan. Rupanya anggapan Atah Roy tentang mengingatkan orang lain, tidak berlaku pada Leman Lengkung. Atah Roy kesal, tapi tidak dapat berbuat banyak.
Keangkuhan Leman Lengkung menjadi-jadi ketika orang yang didukung bersama timnya duduk menjadi penghulu di kampung. Mulailah Leman Lengkung dan kawan-kawannye tumbuh taji, menendang sana, menendang sini, macam mereka saja pemilik kampung ini. Selain angkuh dan sombong, Leman Lengkung berserta kawan-kawannya selalu mengadakan pesta organ tunggal. Setiap sebulan sekali, organ tunggal meraung di kampung. Rupenya gayung bersambut, mungkin disebabkan orang kampung haus dengan hiburan, kegiatan organ tunggal mendapat pujian. Tak tanggung-tanggung, dari anak muda, sampai yang tua renta, mengagungkan Leman Lengkung sebagai dewa yang telah menyalamatkan mereka dari sunyi-sepinya kampung apabila malam tiba.
Kesuksesan Leman Lengkung mengadakan acara organ tunggal tiap bulan ini, direspont oleh Kepala Kampung. Kepala Kampung pun menunjuk Leman Lengkung sebagai staf ahli sekaligus penasehat kultural, politik, ekonomi, pokok semua cabang kehidupan Leman Lengkung ahlinya. Kehidupan Leman Lengkung pun berubah secara drastis. Dulu Leman Lengkung hanya pakai sepeda, sekarang sudah pakai motor besar. Dulu pakai baju ‘pusake’ dari Atah Roy, sekarang beli di toko di ibu kota kabupaten. Pokoknya Leman Lengkung memang betul-betul berubah, hanya satu yang belum dapat diubah oleh Leman, yaitu; badannya yang tetap melengkung.
Sebagai bapak saudara, Atah Roy sudah menasehati Leman Lengkung, agar tetap menjadi orang yang sederhana. Sesuai dengan keadaan kampung. Jangan terlalu mencolok, tak elok dipandang orang. Apalagi orang-orang dalam keadaan sulit, kita pula hidup dalam kemewah-mewahan.
Ketika Atah Roy menyampaikan nasehatnya kepada Leman Lengkung, Leman Lengkung marah. Dia tidak terima apa yang dikatakan Atah Roy. Leman Lengkung juga mengatakan bahwa orang-orang iri melihat keberhasilannya, termasuk Atah Roy. Untuk itulah Leman Lengkung akan membayar apa yang telah dilakukan Atah Roy terhadap dirinya selama ini, mulai dari kecil, sampai Leman Lengkung bisa jadi orang terpandang di kampung ini.
“Aku bukan anak kecik lagi, Tah! Aku ni sudah staf ahli sekaligus penasehat! Tak perlu Atah menasehat aku, aku tahu semuenya!” bentah Leman Lengkung kepada Atah Roy.
“Bukan macam tu, Man, aku…” kalimat Atah Roy dipotong Leman Lengkung.
“Aku tahu Tah, selame ini, aku numpang di rumah Atah. Kalau Atah nak mintak bayo dengan ape yang Atah lalukan kepade aku, aku akan bayo! Jadi tolong Atah jumlahkan semue berape duit yang Atah keluarkan untuk aku selame ini! Atah tinggal cakap, aku bayo semuenye!”
Hati Atah Roy seperti diremas Leman Lengkung. Atah Roy sesak nafas. Dia menatap Leman Lengkung. Air mata Atah Roy keluar. Ia betul-betul sedih mendengar apa yang dikatakan anak saudaranye yang ia besarkan selama ini.
“Tak usah Atah nak berakting ibe di depan aku. Semue orang miskin same, Tah, berharap sesuatu dengan air mate. Kalau dah dapat, kite dilemparnye. Aku ni tim sukses, tahu aku ape yang dikehendaki orang miskin macam Atah ni!” Leman Lengkung menjadi-jadi.
Atah Roy memang tak dapat berbuat apa-apa. Ia seperti disambar petir tunggal; kaku, cuma air mata terus saja mengalir di pipinya.
“Man, siket pun aku tak pernah menghitung ape yang aku lakukan untuk kebaikkan dikau, Man. Aku ikhlas melakukan semuenye. Dunie ini hanye sementare. Kesenangan yang kite miliki di atas dunie ini, sekejap saje bisa lesap, hilang tak berbekas. Sebagai manusie, aku harus melakukan ape yang menjadi tanggung jawab aku. Aku tak pernah menyesal telah menjadi bapak saudare dikau selame ini. Tapi tolong, Man, jangan dikau ukur semue yang aku lakukan selame ini dengan duit. Duit itu hanye dunie semate, Man,” suara Atah Roy menggigil. Dia sangat terpukul dengan apa yang dikatakan Leman Lengkung.
“Tahu pun Atah duit itu dunie semate, karene semate itulah, Tah, aku berusahe mendapatkannye. Kalau berton-ton, tak ade nak mengejonye, Tah!”
“Man, dikau pikir dikau yang paling hebat di kampung ni?”
“Nyatenye, aku dipercaye menjadi staf ahli dan sekaligus penasehat Kepale Kampung,” jawab Leman Lengkung dengan gaya sombong.
“Dikau memang kacang lupe dengan kulitnye, Man,” suara Atah Roy mulai tegar.
“Berape Atah nak aku bayo? Kalau dah aku bayo, aku tak ade utang lagi pade Atah lagi dan aku akan terbebas dari perumpamaan kacang lupe dengan kulitnye,” Leman Lengkung bertambah sombong.
“Tak terbayo dikau, Man. Aku ikhlas” kata Atah Roy.
“Kalau macam tu, sudahlah, jangan Atah nak menasehat staf ahli dan penasehat Kepale Kampung ni pulak. Itu yang aku tak suai. Atah tinggal cakap, ape yang Atah hendak?”
Tiba-tiba salah seorang kawan Leman Lengkung masuk ke rumah Atah Roy. Kawan Leman Lengkung tersebut terengah-engah. Kelihatan sekali dia baru berlari kencang menuju ke rumah Atah Roy. Melihat temannya terengah-engah, Leman Lengkung pun menghampirinya.
“Kenape dikau macam dikejo hantu kopik?” tanye Leman Lengkung.
“Kepale Kampung ditangkap, karena mengkorupsi dana bantuan kampung. Name dikau disebut-sebut, Man,” ujar kawan Leman Lengkung.
Muka Leman Lengkung berubah pucat, seperti tak ada darah mengalir di mukanya. Leman Lengkung memandang Atah Roy seakan minta tolong. Atah Roy berpaling muka.
“Dunie semate ni, Man. Hadapi sajelah, belilah hukum tu dengan duit yang dikau punye,” kate Atah Roy sambil pergi meninggalkan Leman Lengkung.
“Ataaahhh…, jangan tinggalkan akuuuuu…!”
“Man, Man, Man… dikau mimpi?” kata Atah Roy sambil mengunjang tubuh Leman Lengkung yang tidur di sebelahnya.
Leman Lengkung tersentak, dan langsung duduk. “Atah, maafkan saye,” kata Leman Lengkung memeluk tubuh Atah Roy.
“Mimpi tentang ape, Man?” Atah Roy bertanye.
“Ah, malu, Tah,” ujar Leman Lengkung masih memeluk bapak saudarenye.