Sebagai mantan seniman, karena Atah Roy tidak berkarya lagi, sangat
khawatir dengan kehidupan para seniman di daerah ini. Mereka seperti air dalam
tempayan, apabila hujan datang, air dalam tempayan pun dibuang. Lebih miris
lagi, Atah Roy menyaksikan langsung bagaimana Leman Lengkung dan kawan-kawan
bertungkus-lumus menyelenggarakan kegiatan kesenian yang dianggarkar dalam
belanja daerah, diupah tidak sesuai dengan kerja mereka. Atah Roy mau
memberontak dengan keadaan ini, tapi Atah Roy tak berani, karena takut para
seniman tidak mendukungnya.
Atah Roy teringat apa yang dikatakan Abo Kabo, bahwa seniman di daerah ini
tidak punya sikap. Mereka cuma asik dengan diri mereka sendiri. Dan yang paling
membuat Atah Roy sakit hati, Abo Kabo mengatakan seniman Riau tak berani
memberontak, padahal kerja mereka selalu disepelekan oleh pemerintah daerah.
“Cobe dikau bayangkan, Roy, seniman Riau diajak pergi mentas ke provinsi
lain, kwitansi ditandetangan sejuta lime ratus, yang diterime cume enam ratus,
diam aje seniman tu. Seharusnye seniman yang terlebih dahulu menghargai dirinye
sendiri, baru orang lain takut. Kalau tidak sesuai upah dengan kerje yang
dilakukan, tak usah hendak. Seniman harus punye sikap, dan punye kekuatan untuk
melawan kebathilan, bukan menerime begitu saje,” ujar Abo Kabo panjang lebar.
Atah Roy memang sakit hati dengan ucapan Abo Kabo tu, tapi Atah Roy tidak
melawan, karena apa yang dikatakan Abo Kabo itu benar. Atah Roy juga pernah
mengalami hal serupa. Disebabkan bersemangatnya berkesenian, Atah Roy tak
pernah mematok berapa harga karyanya sekali dipentas. Bagi Atah Roy, kesenian
berfungsi sebagai menghibur masyarakat banyak, sekaligus membangkitkan semangat
masyarakat untuk maju ke depan dalam mengarungi kehidupan ini. Untuk semua itu
tidak perlu dibayar, bukankah tugas manusia di muka ini menyenangkan manusia
lainnya?
Namun pemikiran Atah Roy selama ini salah. Seniman juga butuh makan, butuh
belanja, dan memiliki anak-bini yang perlu dibiayai. Bukan berarti seniman tidak
mengabdi untuk menjunjung nilai kemanusiaan, tapi menghargai seniman itu harus
digesa.
“Habis mentas, ramai-ramai orang bertepuk, merasa puas dengan penampilan
sang seniman. Sampai di rumah, bini mengamuk karene beras tak ade, anak belum
nyusu, sementare itu penyelenggara kegiatan baik pemerintah maupun swasta dapat
untung beso. Zaman kenan tak terdaye lagi dengan ucapan terime kasih, Roy,”
ucapan Abo Kabo mengiang kembali di telinga Atah Roy.
Atah Roy tidak mampu menahan amarahnya. Dengan hati panas, Atah Roy
mencari Leman Lengkung di tempat biasa mereka ngumpul.
“Man, kini saatnye seniman mude bangket, dan jangan mau diperolok-olok
lagi!” ucap Atah Roy dengan nada keras ketika berjumpa Leman Lengkung dan
kawan-kawan di kedai kopi Terselet.
“Maksud Atah macam mane ni? Kami dah membuktikan diri dengan berkarya
tidak pernah berhenti. Tiap tahun 2 sampai 3 karya kami lahir. Apekah itu tidak
cukup?” Leman Lengkung penasaran dengan tingkah laku Atah Roy.
“Betul tu, Tah, kami juge sudah membantu pemerintah melaksanakan even
pemerintah dengan menampilkan karya terbaik kami. Apelagi yang harus kami
lakukan?” tambah Ujang Tempayan dengan semangatempat lima.
“Untuk karya, aku tidak meragukan mike, tapi ape yang mike dapat setelah
mentas tu?” Atah Roy bertanya.
“Tentu kepuasan, Tah,” ucap Kamil Lepai.
“Kepuasan batin merupekan tujuan seniman, Tah, itulah yang kami belajo
dari Atah dulu,” tambah Tambrin Keling.
“Kepuasan batin, harus dibaringi dengan bayaran yang layak,” ucap Atah Roy
mantap.
“Memang betul kepuasan batin merupekan hal yang terpenting dalam hidup
ini, aku sepakat. Tapi mike merasekan tak, kalau mike diperalat?”
“Maksud, Atah?” Leman Lengkung penasaran.
“Selame ini kite diam aje, dibayo atau tidak dibayo same aje, tersebab
menjunjung kesenian sebagai identitas kite. Tapi hari ini kite diperalat orang,
even kesenian yang selalu diadakan duitnye bertambun, namun yang kite dapat
sedikit. Yang lebih parah lagi, seniman daerah ini dibayo tak cukup buat
ongkos, sementare seniman luo, dibayo berlipat-lipat. Kite harus gugat
orang-orang yang mengurus kesenian tapi tak menghargai seniman tempatan. Kite
ini berhak mendapat upah yang layak!” Atah Roy semakin geram.
“Macam mane kite nak menggugat orang-orang tu, Tah?” tanye Kamil Lepai.
“Kite susun kekuatan, lalu baikot segala kegiatan kesenian yang tak
menghargai seniman,” ucap Atah Roy.
“Kalau kelompok kite aje yang membaikot, sementare yang lain tidak, same
aje mengecat batu es, Tah,” kata Leman Lengkung.
“Betul juge tu, Tah. Selame ini seniman kite asik nak bercekau satu dengan
yang lain, Tah. Mane seniman yang pandai mengampu alias angkat telou, mewahlah
die, berangkat ke sene, ke mari dengan menggunekan duit rakyat,” tambah Tambrin
Keling.
“Untuk itulah kite harus duduk se meje. Kita buka semue masalah, dan
kemudian baru kite satukan presepsi,” tambah Atah Roy.
“Ape bisa seniman kite duduk se meje, Tah? Bukankah banyak juge seniman
yang duduk sebagai pengawai yang mengurus kite, dan asik mereke aje yang tampil
kalau ade duit dari pemerintah,” Leman Lengkung geram.
“Kalau dah macam ini, pening aku. Seharusnye, seniman yang duduk sebagai
pegawai yang mengurus seniman dan kesenian beri laluan kepade seniman sperti kite
ni. Kalau mereka kemaruk juge, tak ade kate lain, kite demo katou pemerintah
yang mengurus seniman dan kesenian tersebut!” Atah Roy semakin bersemangat.
“Mantap kalau macam ni, Tah,” ucap Kamil Lepai.
“Berepe lame bertahan semangat ni, Tah?” tanye Leman Lengkung.
Mendengar pertanyaan Leman Lengkung, Atah Roy seperti mati kutu, tak dapat
berbuat apa-apa, selain menggelengkan kepalanya.