Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 29 Oktober 2011

Pajak


Sebagai warga negara yang baik, Atah Roy selalu ingin memberikan yang terbaik pula kepada negera tercinta ini. Namun demikian, keinginan Atah Roy untuk melakukan yang terbaik selalu kandas di dinding keraguan. Hal ini disebabkan, setiap kali membaca atau menonton peristiwa yang terjadi di negara ini, Atah Roy selalu dikecewakan. Kesimpulan kekecewaan Atah Roy dari membaca dan menonton berita, bahwa kepercayaan yang diberikan oleh warga negera kecil seperti Atah Roy, selalu dimanfaatkan untuk kepentingan orang tertentu saja. Berdasarkan kesimpulan inilah, dinding keraguan Atah Roy semakin menebal. Maka setiap kali Atah Roy menarik nafas, pertanyaan ‘perlukah mencintai negara ini lagi?’ seperti gelembung, membesar dan terus membesar di benak Atah Roy.

Seharusnya, pikir Atah Roy, negara bertanggung jawab atas penderitaan setiap warga kecil seperti dirinya. Bukankah Atah Roy dan warga negera kecil lainnya telah mengikhlaskan segala kekayaan yang ada di bumi dalam kawasan negera ini diserahkan kepada pengelola negera. Minyak bumi, timah, emas, batu bara, hutan dan banyak lagi kekayaan alam ini tidak dipermasalahkan oleh warga kecil ketika pengelola negara mengusai semuanya. “Hanya satu pesanku, sejahterakanlah kami,” ujar Atah Roy dalam hati.

Atah Roy teringat pada Bedul. 25 tahun yang lalu, Bedul yang tidak tamat sekolah rakyat itu, secara tidak sengaja menemukan tambang emas di kebun getahnya yang tidak luas sangat. Waktu itu, Bedul menggali tanah untuk membuat perigi agar getahnya dapat dikumpulkan satu tempat. Sedang sedapnya menggali tanah, tiba-tiba mata cangkulnya berbenturan dengan benda keras. Bedul terpana sesaat melihat benda berwarna kuning. Dengan seksama, Bedul menelek benda tersebut. Bedul ragu untuk menyimpulkan bahwa benda yang berbenturan dengan mata cangkulnya itu emas. Untuk memastikan benda itu emas, Bedul pun membawa benda tersebut ke rumah Atah Roy. Atah Roy pun ragu, maka mereka berdua sepakat membawa benda itu ke rumah Pak Kepala Desa.

Memang, benda yang berbenturan dengan mata cangkul Bedul adalah emas. Jawaban ini didapat setelah 2 bulan benda itu dibawa ke kecamatan, ke kabupaten, ke provinsi dan ke pusat. Orang kampung pun heboh, dan banyak memprediksi Bedul akan menjadi OKB (orang kaya baru) di kampung, bahkan di negera ini. Namun belum sampai 3 bulan penemuan emas itu, tanah milik Bedul telah di pagar. Jangankan orang lain, Bedul pun tidak diperbolehkan masuk ke kawasan tanahnya. Bedul hendak protes, namun dia tak punya keberanian. Akhirnya, tanah milik Bedul dikuasai oleh perusahaan dengan membayar ganti rugi kepada Bedul. Duit ganti rugi yang diterima Bedul hanya dapat beli motor satu, kursi tamu, springbed dan sepeda anaknya. Karena tidak memiliki kebun getah lagi, kehidupan sehari-hari Bedul semakin susah. Satu persatu benda yang dibeli Bedul dengan duit ganti rugi tanahnya dijual. Bedul benar-benar jatuh miskin akhirnya. Tidak tahan lagi hidup dalam kemiskinan, memaksa Bedul mencari kerja ke tanah seberang (Malaysia). Beberapa tahun di tanah seberang, Bedul pun membawa keluarganya. Berakhirlah kisah Bedul.

Atah Roy menarik nafas panjang, bersamaan dengan tarikan nafas Atah Roy, di belakang rumahnya terdengar suara minyak bumi mengalir melalui pipa. Sebenarnya Atah Roy ingin mengikuti apa yang dilakukan Bedul; meninggalkan kampung, mencari pekerjaan di tanah seberang. Rasa cinta terhadap negara inilah menyebabkan Atah Roy masih tetap bertahan. Atah Roy yakin, negara ini terlalu indah untuk dibenci, walau kebun getahnya bernasib sama dengan kebun getah milik Bedul.

Rasa cinta berlebihan, pikir Atah Roy, selalu membuat manusia kehilangan akal sehat. Atah Roy terkenang naskah drama Romeo and Juliet yang ditulis oleh sastrawan Inggris William Shekaspere. Sepasang kekasih ini rela mengakhiri hidup mereka dengan meminum racun demi memelihara cinta sejati. Cinta memang memerlukan pengorbanan, pikir Atah Roy, tetapi cinta juga butuh ruang untuk mengembangkan diri, terutama untuk mencintai negara ini. Seandainya negara ini tidak ada lagi warga mencintainya, maka segala benci menjadi ‘bom atom’ yang akan menghancurkan negara ini. “Jangan rakit lagi kebencian warga kecil ini dengan memihak kepada kepentingan dan kesejahteraan satu golongan. Kebencian warga kecil akan menjadi ‘bom atom’ yang dapat memusnahkan kalian,” desis Atah Roy seperti ular.

Atah Roy juga berpikir, bahwa mengedepankan kebencian untuk mendapatkan kesejahteraan bukanlah hal yang molek. Atah Roy pun terpikir bagaimana pasukan Sekutu dibawah komando Amerika membenci Jepang dengan menjatuhkan bom atom, dan memakan korban jutaan orang yang tidak berdosa. Kebencian yang berlebih-lebihan sama saja dengan cinta yang berlebihan akan berbuah kekacauan. Maka yang paling moleknya adalah yang sedang-sedang saja, pikir Atah Roy lagi.

Sedang asiknya Atah Roy menimbang kecintaan dan kebencian, tiba-tiba Leman Lengkung datang dengan membawa dua lembar kertas. Kertas itu tipis. Di bagian atas kertas itu tertulis “Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak”.

“Ini Tah, surat dari negara untuk Atah dan saye,” Leman Lengkung menyerahkan kertas itu kepada Atah Roy.

Dengan rasa cinta, Atah Roy menerima kertas tersebut. Atah Roy membaca tulisan yang tertera di kertas itu. Isi suratnya itu meminta Atah Roy membayar pajak. Atah Roy menarik nafas panjang. “Tak tahukah pemerintah, jangankan bayar pajak, utang aku di kedai Kasim sampai detik ini pun belum dapat aku bayar,” keluh Atah Roy sambil melentukan kepalanya.

“Macam mane, Tah. Kalau tidak, kite kene dende ni?” Leman Lengkung ketakutan.

“Entahlah Man, kalau nak bayar pajak, terpakselah kuali buruk di dapur tu kite jual. Itulah satu-satunye kekayaan yang kite punye,” Atah Roy menjawab lemas.

“Eeeee alah, nasib,” Leman Lengkung pasrah.

Jumat, 21 Oktober 2011

Penyair

Jam menunjukkan angka 4 petang, Atah Roy duduk di pintu depan rumahnya. Atah Roy dengan seksama melihat sekelilingya. Batang getah, suara burung murai, desiran angin di daun-daun, duan berwarna kuning berguguran, sesekali lewat warga kampung sambil menyapa Atah Roy. Semuanya hal biasa bagi Atah Roy; gambaran serupa inilah tiap kali Atah Roy duduk di depan rumahnya. Kehidupan adalah waktu yang terus bergerak. Tak ada hal yang luar biasa, kecuali agaknya, pikir Atah Roy, pipa minyak milik perusahaan penyedot minyak bumi di belakang rumahnya meledak.

Atah Roy bertanya dalam hati, memang perlukah kejutan-kejutan untuk mengenal diri lebih dekat lagi? Namun, Atah Roy coba menguraikan pertanyaan itu dengan jawaban sementara, kejutan-kejutan yang diciptakan oleh diri, akan menjadi jalan gelap. Dan apabila kegelapan telah mendominasi tarikan nafas manusia, maka semuanya terjerumus ke jurang kehidupan.

Susah juga menjalankan hidup ini dengan kreasi baru untuk mencapai ma’rifat hidup ini, pikir Atah Roy. Tapi tak mungkin pula mengikuti yang sudah ada; jadi pengikut sampai mati, tanpa ada sentuhan pikiran kita? Dimana pula kenikmatan hidup ini? Pikiran Atah Roy semakin berkelana jauh meninggalkan rumahnya. Tiba-tiba pikiran Atah Roy mendadak balek ke rumahnya, ketika hp buruknya mengeluarkan bunyi. Atah Roy cepat-cepat menyeluk kocik celananya. Sms dari Leman Lengkung rupanya.

Inilah gerangan suatu madah

Mengarangkan syair terlalu indah

Membetuli jalan tempat berpindah

Di sanalah i’tigad diperbaiki sudah.

Atah Roy tak mengerti, mengapa Leman Lengkung mengirim sms seperti syair. Padahal selama ini Leman Lengkung paling tidak suka dengan bahasa kiasan; bahasa yang digunakan dalam susastra. Bagi Leman Lengkung hidup ini to do point, langsung pada permasalahan. Tak suka, katakan tidak suka, kalau perlu rasa tidak suka itu dilakukan dengan aksi.

Ape pasal engkau kirim aku syair, Man? Atah Roy membalas sms Leman Lengkung. Bebrepa saat kemudian, Leman membalas sms Atah Roy.

Hidup itu rupanya indah, Tah. Pada setiap waktu yang kite lewati, ade peristiwa yang bisa kite jadikan enegri untuk menambah kekuatan kita mengarungi hidup ini. Dan penulis syair atau penyair merekam waktu yang berlalu, menjadi tempat kite bertamasa untuk mengenal diri yang sempat kita lupekan dengan berjalannye waktu.

Lama Atah Roy membaca balasan sms Leman Lengkung ini. Atah Roy tak habis pikir, Leman Lengkung mampu merangkai kata menjadi kalimat yang arif, kalimat mendedahkan kesalahan dirinya, yang selama ini Leman Lengkung menganggap puisi atau syair tidak relevan dengan keadaan hari ini. “Hari ini orang tidak butuh ‘cermin’ diri, Tah, yang dibutuhkan orang kenen adalah duit dan duit,” ujar Leman Lengkung setahun yang lalu, dan kini bermain di benak Atah Roy.

Kenapa dikau berubah menilai puisi, Man? Atah Roy mengirim sms balasan ke Leman Lengkung. Seperti sudah dipersiapkan jawabannye oleh Leman Lengkung, hp Atah Roy berdering kembali.

“di lereng lereng

para peminum

mendaki gunung mabuk

kadang mereka terpelet

jatuh

dan mendaki lagi

memetik bulan

di puncak

mereka oleng

tapi mereka bilang

-kami takkan karam

Dalam laut bulan-

Mereka nyanyi nyanyi

Jatuh

dan mendaki lagi

di puncak gunung mabuk

mereka berhasil memetik bulan

mereka menyimpan bulan

dan bulan menyimpan mereka

di puncak

semuanya diam dan tersimpan”

Ini puisi Sutardji Calzoum Bachri, Tah, judul puisinye “Para Peminum” Dari puisi ini saye mendapatkan bahwa tidak ada yang sia-sia, semuanya harus kita lakukan untuk mendapat yang kita inginkan. Puisi ini mendedahkan semangat yang harus dimiliki setiap manusia, agar tak menyerah pada apapun keadaan. Hidup ini senantiasa mendedahkan proses agar kita sampai kepada tujuan, tujaun itu adalah puncak, dan untuk menyampai puncak, kita harus terus mendaki, memanjat. Kata-kata dalam puisi adalah recupan semangat, Tah. Ambillah recupan semangat itu dari puisi, Tah.

Atah Roy menggelengkan kepalanya. “Awak pulak nak diajarnye, padahal dah lame aku bace puisi,” ujar Atah Roy dalam hati.

Di zaman modern ini, bagi Atah Roy, menjadi penyair, bukanlah hal yang mudah, dan bukan pula hal yang susah. Susahnya jadi penyair adalah ketika ingin menghasilkan puisi yang berkualitas tinggi, perlu waktu lama, pengalaman dan perenungan dengan dihargai tidak seberapa. Pastilah hal ini tidak dapat dijadikan jaminan untuk menghidupkan keluarga, maka banyaklah orang mengurung niatnya mau jadi penyair. Mudahnya jadi penyair, buat puisi yang tak perlu perenungan dan asal-asalan, asalkan punya link dengan penguasa, maka karya itu pun dihargai. Maka Atah Roy pun memilih tidak jadi penyair.

“Mudah-mudahan acara Korean-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) di Riau, 25-29 Oktober 2011, bukan menjadi ajang mengenal Riau saja ke manca negara, tapi jauh dari itu, menjadikan kegiatan spirit untuk membangun Riau berdasarkan hati nurani. Tahniah,” ujar Atah Roy, penuh harap.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Kitalah Pemenangnya


Menurut Leo Tolstoy “semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tak seorang pun yang berpikir untuk mengubah dirinya”.

Lama Atah Roy termenung menghayati kata-kata penulis Rusia itu. Kalimat itu seperti pisau sekaligus tombak menembus jantung Atah Roy. Atah Roy disadarkan bahwa segala peristiwa yang terbentang selama ini adalah buah pikiran manusia itu sendiri. Memang benarlah apa yang dikatakan oleh orang tua-tua dahulu bahwa semut di seberang lautan, nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak. Mungkin saja, pikir Atah Roy, dia terlalu banyak menuntut pada orang lain, sehingga beban hidupnya berkurang. Padahal setelah Atah Roy membaca berulang-ulang kalimat Leo Tolstoy itu, Atah Roy sadar mulailah dari diri kita untuk membangun peradaban yang berdelau.

Dari kalimat Leo Tolstoy ini juga, pikiran Atah Roy singgah ke pemikiran Albert Camus, seorang penulis Perancis berdarah Al Jazair, yang berpegang kokoh bahwa dalam diri manusia itu memiliki kekuatan. Diri manusia itulah wajah peristiwa di dunia ini. Buruk atau baik, menyenangkan atau tak menyenangkan realitas ini semuanya dari unduhan keinginan manusia. Memang seharusnya, pikir Atah Roy lagi, kita tak boleh berharap banyak kepada orang lain, berharap saja pada diri sendiri. Jadikan diri itu seperti angin topan yang kehadirannya membekas.

Atah Roy berpikir, bahwa dalam diri manusia itu sama; kebaikan selalu dominan, namun karena sesuatu hal, kebaikan terkikis dan terkalahkan oleh hal-hal yang buruk. Hal ini menurut Atah Roy, disebabkan manusia selalu ingin tampil lebih dari manusia lainnya. Terjadilah penyimpangan hati nurani. Perjalanan yang sudah tersesat dari jalan yang bernama hati nurani ini, menciptakan keasikan bagi manuisa. Atah Roy teringat lirik lagu Rhoma Irama “kenapa e kenapa yang asik-asik itu dilarang, karena e karena bisa merusak iman.”

Untuk mengatasi hal ini, mulai saat ini Atah Roy berazam akan tampil dengan berdasarkan hati nurani; yaitu berbuat baik terhadap Leman lengkung. Atah Roy tahu bahwa hati nurani tidak akan pernah berkeinginan menjahanamkan orang lain. Hati nurani adalah mata air yang selalu mengalirkan air yang jernih, lingkungan atau wadah yang menampung itulah yang menciptakan air itu menjadi keruh.

“Rupanya kita semua ini adalah pemenang, sehingga kita di lahirkan di atas bumi ini,” ujar Atah Roy dalam hati.

Atah Roy pun membayangkan Alexander Agung melakukan penaklukan dari Yunani sampai ke negeri India, tersebab Alexandar menyadari bahwa dalam dirinya ada ‘obor kemenangan’ yang tak pernah padam. Untuk memelihara ‘obar kemenangan’ itu, Alexander pun mengibarkan dirinya sebagai putra Zeus yang memiliki kekuatan atas diri manusia. Atah Roy juga terpikir bahwa Sang Sapurba, yang diyakini sebagai nenek moyang bangsa Melayu dalam buku Sejarah Melayu, melakukan hal yang sama dengan Alexander Agung. Sang Sapurba berkeyakinan bahwa dirinya merupakan titisan yang suci dan harus menyebarkan kesuciannya di kawasan nusantara ini.

Maka pada hari ini, Atah Roy harus melakukan hal yang sama seperti Alexander dan Sang Sapurba. Tapi Atah Roy tak seyakin kedua tokoh tersebut. Atah Roy masih ragu pada dirinya. Hal ini disebabkan, Atah Roy selalu berharap pada orang lain, terutama Leman Lengkung untuk melakukan perubahan di keluarganya. Atah Roy terlalu pengecut untuk mengikrarkan dirinya sebagai pemanan. Padahal selama ini, pemikiran Atah Roy sangat cermerlang untuk mengubah kehidupan mereka, tapi sayang pemikiran itu hanya bermain di benaknnya saja. Atah Roy tak berani menumpahkan menjadi tindakan.

Atah Roy sadar bahwa pemikiran yang cemerlang tidak akan berbuah apa-apa kalau hanya dibenam di tengkorak kepala. Pemikiran itu harus dimuntahkan menjadi tindakan, karena tindakan merupakan eksistensi manusia yang nyata. Dengan tindakan inilah, manusia akan dikenang. Tapi Atah Roy tak percaya diri alias tak PD. Ketidakpercayaan diri Atah Roy ini disebabkan katakutan melakukan kesalahan. “Sepatotnya keselahan terbesar adalah tidak beraninye kita menyapaikan kebenaran itu,” desis Atah Roy.

Leman Lengkung pulang. Ia berjalan dengan wajah yang kusut dan langkah kakinya tidak semangat. Tampak di wajah Leman Lengkung menanggung sesuatu yang memuakkan. Atah Roy melihat Leman Lengkung dengan seksama, namun belum berani bertanya kepada Leman Lengkung. Atah Roy membiarkan saja apa yang dilakukan Leman Lengkung.

Leman Lengkung duduk di samping Atah Roy sambil menggaru kepalnya yang tak gatal. Kemudian Leman Lengkung menarik nafas panjang dan melepaskan dengan suara berat. Atah Roy gelisah, dalam hatinya seperti ada yang menusuk-nusuk, pedih. Atah Roy tak tahan lagi lalu bertanya.

“Ade ape, Man?”

“Tak can de Tah. Negeri ini tak dipandang orang,” Leman Lengkung menjawab lemah.

“Maksudnye?” Atah Roy belum menangkap makna kalimat Leman Lengkung.

“Ape yang tak diberi negeri ini, Tah? Kekayaan alam, sampai kering lelat, budaya juge dah diserahkan, tapi kite tetap saje macam ini. Jangankan rakyatnye sejahtera, jadi menteri di republik ini aje payah. Kite jadi orang kalah terus, Tah,” Leman Lengkung memuntahkan kekesalannya.

“Ooo… berbuatlah berdasarkan hati nurani. Tampakan wuhjud kite terlebih dahulu. Kompak kite, jangan kite terpecah belah lagi. Pade diri kite, pasti ade kekuatan, kekuatan inilah yang kite kumpul jadi kekuatan super memperlihatkan kite ade,” Atah Roy seperti terbang ke angkasa. Ia bebas.

“Dah terlambat, Tah. Dah tumpou lebou negeri ini,” Leman Lengkung pesimis.

“Tak ade kate terlambat, Man. Kitelah yang bisa mengubah nasib kite, bukan orang lain,” kate Atah Roy yakin.

“Auk, kate Atah. Jangankan untuk orang lain, Atah saje sampai sekarang tak bebini karene takut,” Leman Lengkung ketawa.

“Celake budak ni, awak pulak dicemeehnye. Sekali aku terajang, bau tahu!” kate Atah Rot sambil berdiri. Leman pun berdiri dan langsung pergi.

“Awak pulak dicabarnye!” geram Atah Roy.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Rekayasa


Rupanya manusia, siapapun orangnya, tak pernah rela kehilangan kekuasaannya, termasuklah Atah Roy. Bagi Atah Roy, kekuasaan itu seperti kopi, kalau tak minum satu hari, kepala akan mengalami proses songsang atau lebih tepatnya, kepale jadi bengal alias pening. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Atah Roy harus menciptakan satu stratgei baru. Berharap mempertahankan kekuasaan atas diri Leman Lengkung, sudah tidak mungkin lagi. Leman Lengkung sudah tumbuh menjadi lelaki remaja, dan memiliki keinginan untuk berkuasa pula. Leman Lengkung juga sudah pandai melawan. Setiap kali Atah Roy menyuruh melakukan sesuatu hal, dengan argumentasi dan beribu alasan, Leman Lengkung dapat membebaskan diri dari perintah Atah Roy. Bahkan tidak jarang pula perintah Atah Roy untuk Leman Lengkung menjadi bumerang, berbalik arah, Atah Roy yang akhirnya diperintah oleh perintah yang dikeluarkan oleh Atah Roy sendiri. Mustahil bagi Atah Roy tetap bertahan pada diri Leman. Ibarat pepatah lama; memelihara anak harimau, sudah besar, harimau menerkam tuannya. Macam itulah Leman Lengkung di mata Atah Roy.

Atah Roy tak ingin kekuasaannya hilang sejalan bertamabahnya usia Leman Lengkung. Kehilangan kekuasaan, berarti kehilanagan segala kenikmatan, dan Atah Roy tak ingin kehilangan kenikmatan itu. Atah Roy tahu betul bagaimana rasanya tidak memiliki kekuasaan, segala perintah, segala pekerjaan, yang biasanya dilakukan oleh orang lain, harus dilakukannya sendiri. Apabila Leman Lengkung sudah tak miliknya lagi, maka Atah Roy harus siap-siap pergi ke pasar membeli belacan dan masak bilis sambal belacan sendiri.

Ketakutan kehilangan kekuasaan rupanya menyebabkan Atah Roy berpikir keras. Atah Roy harus melakukan sesuatu. Untuk mendapatkan sesuatu demi mempertahankan kekuasaan, Atah Roy mereka-reka rancangan untuk menjatuhkan Leman Lengkung. Terpikir oleh Atah Roy untuk memasung Leman di kolong rumah panggungnya. Seandai Leman dipasung, kemerdekaan Leman memang dapat dirampas, tapi Atah Roy seperti berkuasa pada benda mati, sebab Leman Lengkung tidak dapat berbuat apa-apa. Atah Roy juga yang susah, karena harus menyediakan keperluan Leman Lengkung; menyediakan makanan, membasuh kotoran Leman. Terpikir susahnya memelihara Leman Lengkung di pasungan, Atah Roy mendelete rencananya itu.

Menarik rambut dalam tepung; tepungnya tidak berserak dan rambutnya tak putus. Atah Roy pun kembali berpikir. Atah Roy dapat akal. Leman Lengkung harus dijebak. Seperti kilat, pikiran Atah Roy, sambung menyambung, maka Atah Roy membuhul suatu gagasan, yaitu menuduh Leman Lengkung mencuri barangnya. “Ye, aku harus menghebohkan Leman mencuri barang aku. Tentu saje, aku dapat menekan die, supaye patuh balek kepade aku. Kalau Leman tak patuh, aku gertak bawak ke pihak keamanan,” Atah Roy tersenyum.

Belum sempurna seratus persen senyumnya, Atah Roy teringat bahwa selama ini orang kampung tahu Atah Roy tak punye ape-ape, selain kebun getah sekangkang kere tu. Selama ini, kebun itu pun dikelola oleh Leman Lengkung. Wajah Atah Roy mengerut, tanda gagasan itu akan menjerat dirinya sendiri, apabila dijalankan. Atah Roy menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Ini same membunuh diri namenye,” bisik Atah Roy.

Kembali Atah Roy berpikir. Tiba-tiba wajah Atah Roy diterangi lampu 1000 watt; terang, menyilaukan mata. Matanya terbeliak, lalu dari mulutnya melompat nama seseorang. “Kijah!” teriak Atah Roy. “Aku harus memindahkan kekuasaanku dari Leman Lengkung ke Kijah,” pikir Atah Roy.

Kijah tetangga Atah Roy, sudah lama menjanda. Kijah punya anak dua, yang tua baru berusia 10 tahun dan yang kecil berusia 7 tahun. Atah Roy pun membayangkan bagaimana dia dilayani oleh Kijah. Makanan sudah ada di meja, pakaian dicuci, mau merokok tinggal suruh anak tiri beli di kedai. Pokoknya, kunci memiliki kekuasaan bagai Atah Roy adalah dia bisa hidup senang dengan mengeluarkan perintah, plus dilayani seperti raja. “Aku harus memikat Kijah,” pikir Atah Roy.

Memikat hati Kijah, bukanlah perkara mudah, namun obsesi selalu menjadi kekuatan super, memompa darah untuk merangsang otak bekerja. Atah Roy tidak peduli, apakah gagasan itu di luar hati nurani, atau pun melebihi perangai hewan, yang penting bagi Atah Roy, tidak kehilangan kekuasaan. Muncullah gagasan yang paling gila dalam sejarah hidup Atah Roy. Atah Roy akan menyebarkan isu bahwa Kijah hamil. Tentu saja orang kampung menganggap kehamilan Kijah merupakan aib dan akan mendatangkan bala di kampung ini. Dan orang-orang kampung meminta Kijah mengaku, siapa laki-laki yang telah menghamilinya. Tentu saja Kijah tidak akan pernah mengaku, karena dia tidak pernah melakukan hal itu. Orang kampung juga akan tetap pada pendirian mereka, Kijah harus mengaku.

Kesempatan inilah akan dipergunakan Atah Roy untuk tampil sebagai pahlawan, menyelamatkan kampung dari bala dengan menyanggupi menikahi Kijah. Atah Roy telah menyiapkan alasan untuk menikahi Kijah. Sebagai lelaki yang sudah lama hidup menduda, apa salahnya menikahi janda yang dalam kesusahan.

Atah Roy tersenyum lebar. Dia merasakan sedang menunggang angin, terbang ke pohon-pohon kenikmatan. “Leman, dinasti Atah Roy dikau ni, tak akan pernah rubuh,” suara Atah Roy yakin.

Leman Lengkung datang sambil memikul koper besar disebelah kanannya, sementara tangan kirinya, menjinjing tas yang tidak terlalu besar. Melihat Leman Lengkung, Atah Roy tersenyum lebar. Atah Roy tidak merasa gentar sedikit pun melihat Leman yang mau pindah.

“Hendak kemane dikau, Man?” Atah Roy mencebirkan bibirnya.

“Bukan saye nak berangkat Tah, tapi Kak Kijah,” jawab Leman Lengkung.

“Kijah nak pindah?” dalam dada Atah Roy ada gelombang besar yang mau menghempas.

Sesaat kemudian Kijah dan kedua anaknya muncul. Hati Atah Roy mulai retak.

“Tah, saye terpakse pindah. Calon laki saye ngajak pindah ke kampung die. Di kampung ini, saye pun dah tak punye keluarge dekat. Atah dan Lemanlah yang selalu membantu saye. Maafkan sa…,” belum selesai Kijah menyelesaikan kalimatnye, Atah Roy kejang-kejang macam orang terkene sawan babi.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Satria; Menjadi Rambo


Kesal. Sebagai rakyat kecil, Atah Roy hanya mampu memendam kemarahan di dalam lubuk hatinya melihat peristiwa yang terjadi di negeri ini. Negeri ini seperti tidak memiliki rasa kasih sayang lagi. Segala peristiwa mengatasnamakan rakyat, namun rakyat tak pernah berubah; semakin menderita. Semua pembangunan, bermasalah. Semua kegiatan, bermasalah. Entah apalah yang dipikirkan oleh orang-orang yang memiliki kekuatan di atas sana. Tak ada lagi lembaga yang ‘bersih’, semuanya ternoda dan telah kemasukan puaka duit.

Tidak salahlah sebagai rakyat kecil, Atah Roy hanya bisa mengandai-andai, bermimpi, berkinginan, berharap menjadi tokoh super kuat untuk mengatasi negeri ini. Satria. Ya satria, kata itulah yang melekat di benak Atah Roy dan sangat padan dengan situasi negeri ini hari ini. Otak Atah Roy pun mereka-reka sosok satria yang akan menjadi pujaan rakyat kecil. Atah Roy teringat pada tahun 80 an, ada film “Satria Bergitar” yang diperankan oleh Rhoma Irama. Kemana-mana satria itu membawa gitar sambil melantunkan lagu-lagunya untuk memulihkan keadaan dengan liriknya. Atah Roy ragu menjadi Satria Bergitar, sebab pada hari ini orang-orang tak mempan lagi dengan nasehat. Jangankan nasehat yang disampaikan melalui karya seni, melalui mulut ulama lengkap dengan Al Quran dan hadist pun diabaikan.

Atah Roy berpikir dan menanyakan keinginan di benaknya. Keraguan mendera Atah Roy. “Perlukah memulihkan keadaan yang tak tentu arah ini dengan kekerasan?” ucap Atah Roy pelan. Keraguan itu menghilang apabila Atah Roy teringat betapa parah negeri ini menanggung perbuatan yang mengayakan diri sendiri atau golongan. Tidak bisa tidak, negeri ini harus memiliki satria, pikir Atah Roy, tapi satria seperti apa?

“Rambo!” pekik Atah Roy. Atah Roy tak peduli lagi apa pun cemeehan orang tentang asal usul Rambo. Atah Roy pun tak kesah sangat bahwa Rambo adalah tokoh fiktif yang diciptakan oleh negara “raksasa” Amerika. Pokoknya Rambo menjadi pilihan di benak Atah Roy untuk dinobatkan sabagai satria dalam melakukan perubahan.

Dengan menjadi Rambo, Atah Roy akan membela orang-orang yang tertindas dan menghancur leburkan orang-orang yang melakukan kezaliman. Orang-orang yang tidak amanah dengan jabatannya, orang-orang yang mengingkari janji kepada rakyat, orang-orang yang menyalahgunakakan jabatannya, adalah sasaran Atah Roy. Rambo yang diusulkan oleh pikiran Atah Roy, tidak semena-mena menghancurkan orang-orang yang termasuk kategori disebutkan tadi. Rambo Atah Roy, akan melakukan pendekatan; menasehati orang yang tersesat dari kebenaran, diupayakan kembali kepada jalan yang benar. Seandainya dengan nasehat tidak juga mampu, maka basoka Rambo Atah Roy akan menyalak seperti serigala.

Atah Roy senyum. Ia merasa puas karena telah menemukan tokoh satria yang tepat. Satria yang mampu melakukan perubahan demi tegaknya keadilan; satria yang memiliki kekuatan super; satria yang mampu menasehati orang; satria yang idealisnya tidak bisa ditukar dengan duit dan satria yang memiliki kecintaan keberlangsungan negeri ini. “Negeri ini harus cepat diselamatkan oleh satria, kalau tidak semakin kacaulah,” ujar Atah Roy sambil tersenyum.

Atah Roy tersandar di kursi yang terbuat dari kayu. Matanya memandang jauh, menembus dinding raung tamunya; membayangkan Rambo Atah Roy menenteng senjata masuk ke kantor-kantor menasehati para tokoh-tokoh besar negeri ini. Tanpa melakukan kekarasan, Rambo Atah Roy, cuma meletakkan basoka di atas meja, para tokoh di negeri ini menyesali perbuatan mereka. Para tokoh besar negeri ini rupanya masih punya hati nurani, namun mereka belum menyadari. Inilah fungsi Rambo Atah Roy, menasehati dan sedikit mengancam akan melakukan kekerasan kalau tidak berubah.

“Negeri ini terlalu indah untuk dirusakan,” pikir Atah Roy sambil mengambil rokok di atas meja tamunya. Atah Roy menyulut rokoknya dengan api, lalu menghisap rokok tersebut. Asap masuk. Atah Roy kembali menghayal.

Dalam membawa misi keadilan, Rambo Atah Roy sambil menenteng basoka, juga berkunjung ke perusahaan-perusahaan besar di negeri ini. Rambo Atah Roy bicara langsung, tanpa perantara, dengan pemilik perusahaan. Rambo Atah Roy minta kepada pemilik perusahaan memperhatikan masyarakat di negeri ini. Jangan mau menjarah kekayaan alamnya saja, tapi perhatikan betul naseb masyarakatnya juga. Selain itu, Rambo Atah Roy berpesan, kalaupun mengambil kakayaan alam negeri ini, janganlah terlalu rakus, karena apabila kekayaan alam negeri ini sudah punah ranah, maka bala ditanggung oleh masyarakat negeri ini. Seandainya pemilik perusahaan tidak mendengarkan, maka Rambo Atah Roy mengangkat (mengedeng) basoka yang berada di tangan.

Tiba-tiba tokoh Rambo di pikiran Atah Roy pecah. Atah Roy mengusap matanya. Leman Lengkung rupanya sudah berada di depan Atah Roy.

“Kenape Rambo-ku macam Leman?” tanya Atah Roy.

“Rambo apenye, Tah? Saye ni memang Leman,” ujar Leman Lengkung.

“Hai, bile mase dikau tercongguk depan aku?”

“Baru kejap ni. Atah ngigau agaknye ni?”

“Aku bukan ngigau Man, tapi aku berkhayal negeri ini ade satria yang tak goyah oleh duit, tak lekang oleh jabatan, dan tak labil karene janji. Satria macam inilah yang dapat mengubah naseb rakyat kecik macam kite. Dan Rambo adalah pujaan hatiku,” kate Atah Roy yakin.

“Ooo… satria macam Rambo tu? Ade Tah, di luar rumah kite ni die menunggu Atah,” ujar Leman.

“Ape ye? Siape orangnye?” Atah Roy penasaran dan mau berdiri, tapi dicegah oleh Leman Lengkung. “Ngape dikau menghalang aku nak jumpe satria aku ni!” Atah Roy geram.

“Lebih baik Atah tak jumpe satria ini, Tah. Bahaye,” tambah Leman.

“Siape satria di luar tu?”

“Cik Mat.”

“Ape? Amat,” Atah Roy terkejut dan ia berlari meninggalkan Leman Lengkung menuju pintu belakang. Sebelum keluar Atah Roy berpesan kepade Leman Lengkung. “Cakap pade satria tu, aku tak ade di rumah,” Atah Roy menghilang bersamaan tertutupnya pintu dapur.

“Mau jadi Rambo ape Atah Roy, orang mintak utang aje, die takut,” kate Leman Lengkung sambil ketawa.