Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 27 Juli 2013

Jalu


“Orang-orang tidak sadar apa yang sedang dilakukan. Harus ada yang menyadarkan mereka, namun sayang, tiada seorang pun yang mau menyadarkan. Tersebab tidak ada menyadarkan, semakin tidak beraturanlah negeri ini. Orang-orang yang memiliki kekuasaan di negeri ini, Roy, seperti orang jalu. Mereka sepertinya tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan, sementara rakyat hanya melihat kejaluan mereka.
Engkau pasti tahu arti jalu, Roy? Aku yakin kau tidak melupakan kata itu. Kau juga pernah mengatakan aku mengalami jalu itu. Ketika kita tidur di rumah Ali Sangap, aku berjalan ketika sedang tidur. Tanpa sadar, kau yang menceritakan kepada aku, aku langsung ke daput mencari makanan. Waktu itu di dapur rumah Ali Sangap, jangankan nasi, kerak nasi pun tidak ada. Aku, katamu, mengambil periuk, panci, lalu aku jadikan panci dan periuk itu seperti drum, aku terus memukul sampai panci dan periuk itu tembuk. Aku masih ingat apa yang kau cerita ketika aku jalu di rumah Ali itu. Seandainya engkau tidak menyadarkan aku, mungkin semua peralatan yang ada di dapur rumah Ali Sangap, binasa disebabkan aku.
Seperti orang jalu inilah yang melanda pembesar-pembesar negeri kita, Roy. Mereka melakukan sesuatu, namun mereka tidak sadar. Engkau bisa melihat semuanya di televisi atau pun koran, para pemimpin asik dengan manuver atau pun berbuat untuk pribadi dan juga golongan. Sementara rakyat tidak pernah diperhatikan. Sibuklah mereka membangun citra di tengah masyarakat agar mereka atau pun golongan mereka terpilih menjadi pemenang pada pilkada atau pun pemilu nantinya.
Aku tak habis pikir, Roy, dalam kejaluan mereka, mereka bertambah kuat. Hal ini disebabkan kita hanya diam, tidak menyadarkan mereka. Para profesor semua bidang, sibuk dengan urusan mereka, dan terkadang ikut jalu, mendukung apa yang dilakukan pemimpin yang jalu. Agamawan juga seperti itu, jalu menggunakan sepenggal ayat untuk membenarkan jalan yang tidak sadar itu. Seniman dan budayaan juga ikut jalu, sibuk memekirkan nilai estetika dan kemudia mencocokkan dengan kebijakkan yang tidak pro orang ramai.
Tiada yang tidak jalu di negeri kita ini, Roy. Aku, kau dan kita semua terbabit dalam masalah kejaluan yang melupakan esensi hidup ini. Seandainya kita sadar dengan apa yang kita lakukan, mungkin saja kesejahteraan dan kebahagiaan bukan hal mustahil untuk diwujudkan. Karena kita semua dalam keadaan jalu, kebohongan, keserakahan, kerakusan hidup subur tanpa dapat dihentikan.
Lama-kelamaan kejaluan kita semakin menjadi. Kita yang berdiri dengan kejaluan ini, terus berbuat tanpa sadar. Menomen-menomen hasil kerja kejaluan kita semakin tegar berdiri. Kita pun menganggap diri kita yang paling benar, paling betul, sehingga apa yang dilakukan orang lain adalah salah dan harus dibumi hanguskan. Kita pun mencari celah untuk menumbangkan setiap lawan, bahkan akalu ada kawan yang berpikiran berlawanan dengan pikiran kita, kita pun harus membinasakannya. Tiada kawan sejati dalam kejaluan kita, Roy. Kita sudah diasikan dengan kepongahan diri kita sendiri.
Di negeri ini, orang pintar itu banyak Roy, namun mereka juga ikut-ikutan jalu. Mereka tanpa sadar juga, masuk dalam kejaluan yang telah diciptakan dengan kehilangan kesadaran. Kebenaran yang dibangun dari kejaluan kita, kini sudah semakin susah dikendalikan Roy.
Mungkin saja Roy, surat yang aku tuliskan kepada dirimu ini, aku dalam keadaan jalu. Aku tidak tahu lagi kepada siapa hendak aku tuangkan rasa jalu ini. Seandainya engkau tidak jalu, akau berharap, engkaulah yang dapat membangunkan orang yang sedang jalu di negeri kita ini. Bagaimanapun caranya, kita harus disadarkan, kalau tidak negeri kita ini akan semakin terpuruk dalam ketidaksadaran.”
Atah Roy menggisal matanya yang tidak pedih, setelah membaca surat Ilham Sulah, teman Atah Roy waktu sekolah dasar dahulu. Ilham Sulah kini berada di Jakarta, menjadi orang terpandang di Ibu Kota Indonesia itu. Perjuangan Ilham Sulah menjadi orang terpandang di Jakarta, memang penuh rintangan. Ia terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya dan masuk kelompok yang sedang berkuasa. Sebelum Ilham Sulah ke Jakarta, ia pernah mengatakan kepada Atah Roy, bahwa untuk dihargai dan di segani di kampung kita ini, maka kita harus menakluk dan berkuasa di Jakarta. Orang daerah lebih percaya orang Jakarta dibandingkan dengan orang tempatan itu sendiri.
Kini cita-cita Ilham Sulah sudah terwujud, namun kenapa Ilham Sulah baru menyurati Atah Roy dan membicarakan masalah ini? Hal inilah yang memeningkan Atah Roy. Padahal sebelumnya, Atah Roy tidak pernah menerima sepucuk surat pun dari Ilham Sulah. Sudah hampir 20 tahun Ilham Sulah mendapat tempat sedap di Ibu Kota itu, tapi kenapa baru sekarang.
“Mungkin Ilham sedang jalu menuliskan surat die ni tak?” oikir Atah Roy.
Tiba-tiba Leman Lengkung berjalan dalam tidurnya. Kemudian Leman Lengkung duduk di sebelah Atah Roy. Lama Atah Roy menatap Leman Lengkung. Mata Leman Lengkung tertutup rapat.
“Hei, Roy. Hari raye dah dekat. Apekah dikau tak membeli baju aku?” Leman Lengkung berkata dalam tidurnya.
“Aku dipanggil Roy aje? Aku ni bapak saudare die,” ucap Atah Roy geram.
“Roy, kalau dikau hendak beli baju aku besok, tolong belikan baju terbaru ye, kalau tidak, aku penggal kepale dikau,” kata Leman Lengkung sambil berdiri dan masuk ke kamar kembali.
“Alamak, kalau orang dah jalu ini, memang tak kenal lagi dengan orang lain. Dielah yang paling hebat dan paling berkuase. Padahal die mintak beli baju dengan awak, tapi bukan main kaso langgo bahasenye,” ujar Atah Roy sambil melihat Leman Lengkung masuk ke kamar.
“Betuk juge cakap Ilham Sulah dalam surat ini. Tersebab kite ini semue dalam keadaan jalu, make kite pun tidak pernah menyadari ape yang kite buat. Kalau sudah macam ini, alamat terlungkuplah negeri kite ini,” ucap Atah Roy lagi, sambil berjalan menuju ke kamar Leman Lengkung. “Untung dikau tidur, Man, kalau tidak, aku lempang dikau dah!” ujar Atah Roy geram.       

Sabtu, 20 Juli 2013

Curiga


Negeri ini sepertinya kehilangan kepercayaan. Setiap kali seseorang tokoh atau kelompok berbuat baik, selalu dicurigai ada maksud tertentu. Kata orang-orang dahulu mengatakan “ada udang di balik batu.” “Wabah” kecurigaan ini semakin bertambah menjadi-jadinya ketika “musim” Pemilu, Pilkada sampai merebak pada pemilihan Ketu RT, untung tidak sampai pemilihan suami atau istri.
Kecurigaan terus hidup di benak orang-orang negeri ini, walaupun musim “pemilihan” sudah usai. Tiada lagi saling percaya, semuanya aktivitas yang dilakukan selalu dicap punya kepentingan pribadi atau kelompok. Berbuat baik terasa sumbang; orang-orang was-was untuk melakukan kebiakan. Gejala ini menciptakan masyarakat saling terpecah belah dan individualisme hidup subur. Ketika individualisme “merajalela” maka bersiap-siaplah perselisihan, perkelahian menjadi sesuatu cara “menyelesaikan” masalah.
Sebagai orang tua, Atah Roy sangat kecewa melihat negeri ini tidak menghargai orang lain lagi. Semuanya hendak dibawa pada kepentingan pribadi atau golongan. Masyarakat terabaikan. Atah Roy tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Orang tua kadang kala juga terperangkap hal-hal pribadi, sehingga nasehatnya menjadi basi. Anak muda beranggapan lebih pintar, sehingga dengan sesuka hati melakukan apapun juga.
Atah Roy tidak mengerti, mengapa di negeri ini diserang virus “curiga” yang berkelebihan. Kadang kala Atah Roy berpikir bahwa ada baiknya zaman Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Orang-orang dibungkam, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang menyebar kecurigaan. Zaman Reformasi ini, semua orang saling curiga dan saling punya kesempatan menohok, bahkan membunuh orang lain. Muncullah raja-raja bermulut manis, namun memiliki hati yang pahit. Paling parah lagi, orang-orang bermuka seribu pun bermunculan, memanfaatkan kesempatan.
Atah Roy terkenang, baru-baru ini, Gubernur Jakarta, Joko Widodo (Jokowi), dihadiahkan gitar bass milik personil Metellica. Pemberian hadiah yang dilakukan oleh bassis kelompok Metellica ini sebagai rasa terima kasih, karena Jokowi merupakan peminat berat kelompok ini. Walaupun sudah menjadi gubernur, Jokowi tetap hadir melihat konsert kelompok ini. Malangnya, pemberian gitar bass ini dicurigai memiliki kepentingan politis, sehingga gitar bass tersebut diserahkan kepada Komisi Pemberantas Korupsi. Alasannya, EO yang menghendel konser Metallica itu akan memanfaatkan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta.
Sementara itu, di negeri Langcang Kuning ini, kecurigaan bertambah subur, maklum pemilihan kepala daerah tidak lama lagi digelar. 4 September 2013 merupakan waktu untuk menentukan siapa yang menjadi Gubernur Riau ke depan. Menyebar pesona pun harus dilakukan, dan tentu saja untuk meyakinkan masyaralat banyak, penyebaran pesona dilakukan oleh tim-tim yang sudah dibentuk oleh calon gubernur. Bermunculanlah tokoh-tokoh yang masuk tim sukses.
Para tim pun bekerja dan masalah pun muncul. Atah Roy mencoba menetralkan diri tidak memihak sisapapun calon yang bertarung. Bagi Atah Roy, siapapun Gubernur Riau berikutnya, harus mampu menciptakan Riau ini lebih sejahtera. Sudah lama propinsi yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah ini, dizalimi. Untuk itulah Atah Roy berharap kepada semua calon berkomitmen membangu Riau. Jangan ada lagi kepentingan kelompoak atau perorangan. Setelah menjadi gubernur, calon tersebut miliki masyarakat Riau, bukan miliki partai atau kelompok yang memenangkan dirinya.
Sementara itu, Leman Lengkung, anak saudara Atah Roy, masuk tim salah satu calon gubernur. Dengan giat Leman Lengkung menyosialisasikan jaguannya tersebut. Setiap pohon di kampung, dipasang gambar-gambar calon gubernur yang ia dukung. Sampai di rumah Atah Roy, Leman Lengkung tinggal di rumah Atah Roy, gambar-gambar calon geburnur Leman Lengkung dipasang. Pokonya semua dinding rumah Atah Roy ditempel gambar.
Melihat Leman Lengkung sudah melampau, Atah Roy pun menegur Leman Lengkung.
“Ape pasal di setiap diding rumah aku, dikau pasang gambo die ni, Man?” tanya Atah Roy.
“Ini Tah, calon gubernur masa depan Riau. Dia memiliki visi dan misi mantap untuk membangun Riau ke depan,” jawab Leman Lengkung seperti seorang diplomat ulung.
“Tapi kenape pulak dikau pasang di semue dinding rumah ni?” Atah Roy menarik nafas panjang.
“Atah tak suke saye memasang gambo-gambo ini semue ye? Atau Atah mendukung calon lain?” Leman Lengkung curiga.
“Bagi aku, siape pun jadi gubernur semue pilihan kite. Tapi dikau menempel semue gambo ini ke seluruh dinding rumah aku, memang aku tak suke,” jawab Atah Roy.
“Alah, Atah tu memang menghambat orang lain. Saye bukan tidak tahu, semalam Atah berkunjung ke rumah Tami Senget,” ujar Leman Lengkung agak keras.
“Ape salahnye aku berkunjung ke rumah Tami Senget,” balas Atah Roy.
“Alah, Tah. Tami Senget tu tim sukses calon lain. Atah mendukung calon yang dijagokan Tami Senget tu, bukan saye tak tahu,” Leman Lengkung semakin geram.
“Man, aku ke rumah Tami tu, mintak hutang. Sudah due bulan die belum bayo utangnya, sementare hari raye dah dekat. Dengan ape kite nak buat kue?” Atah Roy juga meninggikan nada suaranya.
“Usahlah Tah, saye tahu semuenye. Atah dan Tami Senget ade buat perjanjian kalau calon Tami tu jadi,” Leman Lengkung ketus.
“Perjanjian ape?” Atah Roy agak geram.
“Atah akan diangkat menjadi Ketue Koperasi di kampung ini, dan kalau Atah ketue, Tami Senget jadi bendaharanye, senang mike membagikan duit,” Leman Lengkung semakin emosi.
“Man, bercakap tu bio betul siket,” muka Atah Roy memerah.
“Memang ye, Tah, tidak usah disenbunyikan lagi,” ujar Leman Lengkung.
“Aku bercakap betul ye, Man, jangan dikau membangunkan harimau yang sedang tidur ini,” gigi Atah Roy rapat menahan amarah.
“Tak gune kite bercakap lagi, Tah. Pasti Atah membela Tami tu, sebab Tami sudah menjanjikan kepade Atah,” Leman Lengkung semakin menjadi-jadi.
Tiba-tiba tangan kanan Atah Roy mendarat ke pipi Leman Lengkung. Atah Roy tersengal-sengal, amarahnya tertumpah ke pipi Leman Lengkung. Tidak terima perbuatan Atah Roy, bapak saudaranya, Leman Lengkung berdiri, dan mengepal tinjunya. Namun Leman Lengkung menghentikan tinjunya tepat di hidung Atah Roy.
“Pakakal dikau bapak saudare aku, kalau orang lain, dah bonyuk muke dikau ni!” ujar Leman Lengkung penuh emosi.
Leman Lengkung meninggalkan Atah sendiri. Atah Roy termenung melihat Leman Lengkung berani mau meninjunya.
“Inikah kehendak reformasi itu? Orang-orang penuh kecurigaan, sehingga menghilangkan akal sehat,” ujar Atah Rpy lirih.  
      
    
  
     

Sabtu, 06 Juli 2013

Bulan Ramadhan



Bulan Ramdhan datang kembali. Harapan untuk mengubah dan memperbaiki diri masih terbentang bagi kita yang masih hidup. Bagi Atah Roy kedatangan bulan Ramdhan merupakan kesempatan untuk mengubah diri lebih baik lagi dari bulan-bulan yang sudah lewat. Untuk mengingatkan arti penting bulan Ramdhan ini, Atah Roy pun menulis surat yang ditujukan kepada dirinya sendiri. 


Atah Roy menjadi bahwa perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri. “Mengenal diri, maka akan mengenal Tuhan yang bahari”, bisik Atah Roy dengan mengenang kembali kata-kata yang disusun oleh sastrawan besar Riau abad 19, Raja Ali Haji. Dengan menggunakan seagala pikirannya, Atah Roy pun menuyusun kata demi kata, dan inilah kata-kata yang disusun Atah Roy itu.      
“Waktu terus bergerak meninggalkan peristiwa-peristiwa, maka sesungguhnya manusia itu merugi, kecuali manusia yang beriman. Pada peristiwa-peristiwa yang ditinggalkan oleh waktu, ada ‘wajah’ kita sebagai manusia. Wajah dengan penuh duka, wajah dengan penuh keceriaan ataupun wajah yang sedang-sedang saja merupakan hasil usaha dan kerja kita dalam mengisi waktu yang terus berlalu. Tentu saja keredhoaan Allah menjadi hal yang paling penting dari segala usaha dan kerja kita selama ini.
Bulan Ramadhan datang kembali. Kita pun kembali diberi kesempatan untuk melakukan hal yang lebih bermafaat dan berfaedah sesuai dengan keinginan Sang Maha Pencipta. Pada bentangan waktu yang sudah berlalu, terkadang manusia lupa, terkadang manusia lalai, terkadang manusia sombong, bulan Ramadhan menjadi tempat merangkai kebaikan untuk menutupi kesalahan kita.
Memang perjalanan waktu tidak terasa, yang kecil tumbuh dewasa, yang muda bergerak menjadi tua, yang hidup sampai pada kematian. Begitulah perjalanan waktu; tidak terasa namun pada titik-titik tertentu, manusia tersentak disadarkan. Kesadaran manusia muncul ketika manusia menghadapi masalah yang rumit. Manusia pun membongkar daya ingatnya dan merangkai segala peristiwa yang mereka buat dengan peristiwa sulit yang sedang mereka hadapi. Mempertanyakan kesalahan apa yang sudah mereka lakukan.
Kita tidak mungkin menyalahkan waktu, sebab waktu itu adalah diri kita. Apapun peristiwa yang ‘tumbuh’ di bentangan waktu merupakan hasil pikiran dan perasaan manusia. Baik dan benar, dosa dan pahala adalah hasil dari usaha dan kerja manusia. Lupa akan hakikat sebagai manusia, menghasilkan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri. Memang hidup ini mengasikkan. Dengan keasikan kehidupan menyebabkan manusia lupa akan kebenaran yang sesungguhnya. Asik mengumpulkan harta benda, asik ingin berkuasa, asik mau dihormati, menyebabkan manusia selalu terjerumus dalam perbuatan lupa akan dirinya.  
Manusia yang hadir di muka bumi adalalah pemenang. Kemenangan menyanggupi menjalankan segala perintah Sang Maha Pencipta, maka kita pun dilahirkan. Sebagai pemenang manusia dituntut untuk mempertahankan kemenangannya dengan melakukan dan menyebarkan kebenaran hakiki itu. Namun dalam perjalanan waktu, manusia pun bisa berubah. Lalai dan keasikan akan keduniawian inilah penyebab manusia berubah.     
Bulan Ramadhan datang kembali. Kesempatan manusia menyulam hakikat sebagai manusia masih terbuka. Kahadiran bulan Ramadhan menandakan Sang Maha Pencipta menyanyangi manusia. Kita sebagai manusia, diberi kesempatan untuk melakukan intropeksi diri, agar mampu mengubah nasib dan jalan hidup kita berdasarkan keredhoaan Allah. Tiada yang abadi di dunia ini selain amal dan ibadah, dan Allah senantiasa membukakesempatan itu bagi kita semua.
Setiap kali bulan Ramadhan datang, kita diberi kebebasan untuk memperbaiki diri berdasarkan perintaah Allah. Sebulan penuh ini, kita ditempa menjadi manusia yang benar-benar mengenal hakikat diciptakan di muka bumi ini. Menjalin kekeluargaan sesama manusia, tidak berburuk sangka, menghilangkan rasa denki. Bagaimanapun juga manusia yang dilahirkan pada hakikatnya sama, sama-sama menghambakan diri kepada Allah, dan peluang kita tetap menjadi pemenang di sisi Allah masih tetap sama. Hanya manusia yang benar-benar mengenal diri, menjadi pemenang yang sesungguhnya.
Pada bulan Ramadhan tahun ini (1434 Hijrah), di negeri kita, Riau yang kita cintai ini, setelah Ramadhan usai, akan dilangsungkan pemilihan gubernur. Maka banyak kesempatan bagi orang-orang memanfaatkan Ramadhan untuk kepentingan sesaat. Mudah-mudahan Ramadhan tahun ini membuka pikiran dan hati kita untuk tidak berburuk sangka dengan manuver politik yang dilakukan oleh saudara-saudara kita. Pilihlah mereka sesuai dengan pekerjaan mereka selama ini.
Bulan Ramadhan mengajar kita untuk mengarifi kehidupan ini dengan keikhlasan. Mudah-mudahan keberkahan tetap melimpah di negeri kita. Dan kita benar-benar menjadi pemenang di mata Allah SWT.”
Setelah menulis kalimat ini, air mata Atah Roy bercucuran berjatuhan. Atah Roy merasakan bahwa ia belum berbuat banyak untuk kehidupan ini. Bentangan peristiwa masa lalu hadir di benaknya. Kesombongan, kerakusan, yang pernah ia buat bukanlah jalan yang benar untuk mendapatkan keredhoaan Allah. Atah Roy berazam bahwa Ramadhan tahun ini ia akan bersungguh-sungguh berbuat sesuatu berharap keredhoaan Allah. Ketika segala kerja kita diredhoi oleh Allah, maka dijamin akan dapat menyenangi manusia lainnya.