Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Minggu, 21 Oktober 2012

Jangan Lupakan Kampung


Desa alias kampung, kata Iwan Fals dalam lagunya, merupakan kekuatan untuk membangun negeri ini. Melupakan kampung sama saja kita membuang kekuatan negeri ini. Negeri ini dilahirkan oleh pemikiran orang kampung. Lihatlah orang kampung mencintai tanah kelahiran mereka; mereka tidak pernah segan menyerahkan harta benda mereka. Atah Roy terkenang bagaimana Sulaiman Sangap, Pak Cik Atah Roy, menyerahkan tanah milik untuk pembangunan kantor kepala kampung. Cik Azimah, tanpa beban sedikitpun, mewakafkan tanahnya untuk pemakaman umum kampung. Semua dilakukan orang kampung dengan ikhlas.
Begitu juga Iwan Buncit, senantiasa membantu orang-orang kampung yang dalam kesusahan. Belum lagi orang-orang kampung saling bergotong royong membatu pesta pernikahan suatu keluarga. Semua mereka lakukan dengan keikhlasan, tiada saksuasangka sedikit pun.
Kegeraman Atah Roy kepada orang kota, selalu menganggap orang kampung tidak berguna, membebankan pembangunan. Dan yang paling membuat Atah Roy bertambah geram, orang kota selalu mengatakan ‘kampungan’ apabila ada orang kota melakukan kesalahan. Kata ‘kampungan’ berkonotasi jelek, tidak berguna, tertinggal, padahal dari kampunglah cita-cita negeri ini di bangun.
Kegeraman Atah Roy sudah tidak dibendung ladi, dengan kekuatan yang ia punya, Atah Roy berkeinginan mengadakan pertemuan orang kampung se dunia. Pertemuan orang kampung se dunia ini, menurut pikiran Atah Roy, akan mengeluarkan pernyataan tidak percaya kepada orang kota. Orang kampung se dunia akan membaikot segala kebutuhan orang kota; tidak ada hasil pertanian, tidak ada ikan segar, pokoknya apa yang menjadi kebutuhan orang kota, dibabat habis.
Untuk mengumpul tokoh-tokoh kampung se dunia, Atah Roy pun mulai membuka internet. Ia dengan tekun mencari tokoh-tokoh kampung se dunia. Sudah empat hari, empat malam, Atah Roy tunak di depan komputernya, namun sampai hari keempat, Atah Roy belum juga menemukan tokoh-tokoh yang dapat dihubungi.
“Ngapelah ngentam berita di internet ini, tak satu pun tokoh kampung yang muncul. Lebih banyak berita tentang bintang film, tokoh politik yang selalu mencari sensasi,” kutuk Atah Roy dalam hati.
Atah Roy tidak mau patah arang. Ia dengan kayakinan besar, percaya bahwa banyak tokoh kampung di dunia ini dikabarkan di media internet ini.
“Aku yakin, pasti ade tokoh kampung di dunia ini diberitakan,” bisik Atah Roy dalam hati.
Sedang seriusnya Atah Roy mencari tokoh kampung di internet, Leman Lengkung menghampirinya. Leman Lengkung duduk di sebelah Atah Roy. Sebenarnya Leman Lengkung mau bertanya 2 hari yang lalu, namun niatnya itu dikurung dalam-dalam. Leman Lengkung paham betul, apabila Atah Roy diganggu ketika sedang serius, maka maki hamun yang akan melumpat dari mulut Atah Roy. Rasa ingin tahu Leman Lengkung sudah tak bisa ditahan lagi, apalagi melihat Atah Roy sudah mulai bisa diajak berdiskusi.
“Ape yang Atah cari di ineternet sebetulnye ni? Dah masuk empat hari empat malam, Atah Roy tak pakai beranjak sekejap pun depan komputer ni? Kalau saye dapat bantu, saye akan bantu Atah,” ujar Leman Lengkung.
“Sepatutnya, engkau memang bisa membantu aku, tapi sebagai orang tue, aku tidak boleh menyerah. Aku dibesokan di kampung, dan bagi orang kampung menyerah itu merupekan aib beso,” Atah Roy menjawab, namun matanya masih tetap di layar komputer.
“Tah, saye ini keponakan Atah. Sebagai keponakan Atah, saye juge ikut prihatin dengan kondisi Atah,” tambah Leman Lengkung.
“Berat hati aku nak mintak tolong dengan dikau, Man. Bukan aku tak percaye dengan kemampuan dikau, tapi aku malu sebagai orang tue, aku harus dapat menyelesaikan permasalahan aku sendiri,” ucar Atah Roy yakin.
“Tapi, kalau sudah tak mampu, jangan dipaksekan Tah. Atah selalu menesehati saye, bahwa tolong menolong harus senantiase kite kembangkan pade diri kite. Itulah yang diajarkan orang kampung dari dulu sampai sekarang,” kata Leman Lengkung yakin.
“Kalau betul dikau nak membantu aku, aku nak bertanye suatu hal,” kate Atah Roy.
“Ape tu, Tah?”
“Pernah dikau terbace di internet atau media lainnye, bahwa ade tokoh kampung yang diberitakan atas prestasi yang dibuatnye?”
“Sampai saat ini Tah, belum pernah saye membace berita mengenai orang kampung yang berprestasi diberitakan. Kalau tentang bintang film, banyak, Tah. Atah nak buat ape?” tanye Leman Lengkung.
“Itulah yang memeningkan kepala aku ni. Tak mungkinlah tak ade seorang pun orang kampung yang berprestasi,” jelas Atah Roy.
“Atah nak buat ape dengan berita tokoh kampung yang berprestasi tu?” tanye Leman Lengkung lagi.
“Aku nak mengadakan pertemuan tokoh kampung se dunia, nak melawan orang kota yang arogan itu,” jelas Atah Roy.
Leman Lengkung tertawa terbahak-bahak. Melihat Leman Lengkung tertawa, Atah Roy naik geram.
“Ngape dikau ketawe? Aku lempang kang, baru tahu dikau, Man!” ujar Atah Roy geram.
“Atah..., Atah, di dunie ini, kecuali di negeri kite ini, dah tak ade kampung lagi, Tah. Negara orang dah maju semuenye. Walaupun maju, mereka tetap menjunjung semangat kampung menjadi kekuatan membangun negara mereke, Tah,” jelas Leman Lengkung.
“Ape ye, Man?” tanye Atah Roy.
“Ye, Tah,” jawab Leman Lengkung.
Atah Roy pun tersandar di kursinya, sambil memegang kepalanya.
“Kite selalu tertinggal,” keluh Atah Roy.        
    

Sabtu, 06 Oktober 2012

Menenguk Ke Bawah


“Mengapa orang selalu tidak merasa puas, Tah?” pertanyaan melekat di benak Atah Roy. Padahal pertanyaan itu sudah dilontarkan Leman Lengkung sebulan yang lalu. Pertanyaan itu terus bemain di benak Atah Roy, setiap saat meledak seperti kembang api pembukaan dan penutupan PON XVIII yang lalu. Pertanyaan itu terus menganggu Atah Roy. Sebenarnya Atah Roy punya jawabannya, namun jawaban itu pasti tidak akan memuaskan Leman Lengkung. Jangankan Leman Lengkung, Atah Roy pun merasa puas dengan jawabannya. 
“Nafsu itu seperti meminum air di laut, semakin diminum samakin haus,” jawaban Atah Roy itu, tersimpan hanya di hati, tak pernah melompat dari mulutnya. Ketidakpuasaan menghatui diri Atah Roy.
Kadang kala, penyelesaian selalu datang tanpa diduga. Hidup ini, kata Albert Camus, absurd. Tidak jelas. Apa yang diinginkan tidak terjadi, bahkan sebaliknya; yang tidak diinginkan pula yang terwujud.
Disaat Atah Roy duduk termenung di depan rumah memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Leman Lengkung, tiba-tiba Nurlela datang dengan tergesa-gesa. Atah Roy terkejut, dan langsung bertanya kepada Nurlela.
“Ngape dikau macam kene kejo hantu sempadan je ni?”
“Tah, tak ade tempat lagi saye nak mengadu, kepade Atah jelah tempat mengadu,” jawab Nurlela dengan wajah mengiba.
“Ape masalah dikau ni, La?”
“Berat mulut ini nak bercakap, tapi lebih berat hati ini memendam beban itu, Tah,” Nurlela masih terengah-engah.
“Bawak bertenang, La. Cube kau sampaikan masalah dikau dengan aku pelan-pelan. Hidup ini tidak selesai dengan tergopuh-gopuh de,” jelas Atah Roy.
“Atah bisa bantu saye?” tanya Nurlela.
“Macam mane aku nak membantu, masalah dikau je aku tak tahu,” ujar Atah Roy dengan menggerutkan keningnya.
“Anu, Tah..., anu...” Nurlela gugup
“Anu ke ape, La? Ngape pulak dikau jadi gugup,” Atah Roy menenangkan Nurlela.
“Atah tak marah?” tanya Nurlela lagi.
“Kalau dikau macam ni terus, aku marah. Cakap ajelah, kalau bisa aku bantu, aku bantu, kalau tak bisa, aku usahakan cari jalan kelounya,” tambah Atah Roy.
“Anu, Tah...”
“Jangan pakai anu, langsung ajelah,” suara Atah Roy sedikit meninggi.
“Saye nak minjam duit kepade Atah,” jelas Nurlela dengan perasaan lega.
“Minjam duit? Dikau kan baru menjual tanah pusake milik ebah dikau sebulan yang lalu, tak mungkinlah nak minjam dengan aku pulak,” Atah Roy penasaran.
“Duit hasil penjualan tanah pusake arwah ebah saye tu dah habis terpakai, Tah,” jelas Nurlela.
“Habis terpakai buat ape? “ Atah Roy bertambah penasaran.
“Duit tu saye buat kredit motor, beli tv baru, beli hp baru, pokoknye saye tak mau ketinggalan dengan tetangge saye Tah. Tetangge saye, baru beli motor baru, tv baru sampai semue anaknye pakai hp baru,” jelas Nurlela.
“Ngape tak dikau jual semue yang baru dikau beli tu,” usul Atah Roy.
“Sayang pulak, Tah,” tambah Nurlela.
“Minjam dengan orang, tak malu dikau de?” tanye Atah Roy dengan nada geram.
“Saye tak malu, Tah, yang saye malukan, keluarga saye tak mampu same dengan keluarge tetangge. Saye harus lebih dari tetangge,” tutur Nurlela.
Muka Atah Roy memerah. Atah Roy geram betul dengan ucapan Nurlela. Tangan Atah Roy sudah mau naik ke atas, menampar muka Nurlela, naum Atah Roy sadar, bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.
“Nur, dikau dengo baik-baik ye. Kalau dikau terus menenguk ke atas, orang kaye, tak akan pernah puas dengan ape yang dikau dapat de. Dikau harus selalu neguk orang di bawah dikau, pasti dikau akan bersyukur. Dikau tahu Halimah yang hidup di pinggir sungai, yang lakinye meghilang di laut tu kan? Walaupun die hidup susah, namun die tak pernah berhutang pade orang lain. Die bersyukur dengan ape yang beriak Allah kepade die, bahkan pelan-pelan die mengumpulkan duit dengan mencari kayu bakar dan menangkap ikan di sungai, menyekolahkan anak die. Die tak pernah berhutang, Nur,” jelas Atah Roy mantap.
Nurlela tertunduk malu. Apa yang dikatakan Atah Roy masuk ke hatinya. Nurlela menyadari bahwa selama ini, dia selalu menenguk tetangga kaya sebelah rumahnya. Nurlela ingin keluarganya seperti keluarga tetangga, padahal tetangganya banyak kebun, sementara Nurlela hanya punya tanah puasaka arwah ebahnya, itu pun sudah dijual. Nurlela menangis, dan langsung meninggalkan Atah Roy sendiri.
Melihat Nurlela pergi, Atah Roy terganga.
“Karene kita selalu nenguk ke ataslah, kite tak pernah bersyukur dengan ape yang kite dapat,” ucap Atah Roy dalam hati. Atah Roy tersenyum, pertanyaan Leman Lengkung sebulan yang lalu terjawabkan dengan peristiwa Nurlela ini.