Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Jumat, 07 Desember 2012

Hanya Air Putih


Manusia dilahirkan di muka bumi ini memiliki misteri sendiri-sendiri. Misteri inilah yang membentuk perangai dan tabiat manusia, sehingga manusia itu berbeda-beda. Rupanya ketidakjelasan yang terbungkus dalam misteri menjadi identitas manusia. Ketidakjelasan seperti rel menuntun manusia menuju stasiun ketidakjelasan lainnya. Atah Roy mencoba menyimpulkan bahwa misteri merupakan eksistensi manusia untuk terbebas dari ketidakjelasan menuju ketidakjelasan lainnya.
Misteri itu, menurut buku yang pernah Atah Roy baca, harus tetap ada di kehidupan manusia. Dengan misteri ini, manusia akan berusaha sekuat tenaga dan pikiran memunculkan kekuatan agar terlihat di permukaan misteri itu. Kemunculan manusia inilah yang menjadikan manusia itu dipandang oleh manusia lainnya. Setelah terpandang atau menonjol dari manusia lainnya, maka misteri lain akan menjelma pula. Untuk itulah Atah Roy tidak heran sangat dengan tingkah laku Zakir yang baru datang dari kota.
Kebanyakan orang kota, baik orang kota yang berasal dari kampung, maupun orang yang terlahir di kota, kampung menjadi tempat mencurahkan segala ‘kehendak’ agar mereka lebih dibandingkan dengan yang lain. Dan itulah yang dilakukan Zakir yang baru 2 hari balik kampung.
Untuk memunculkan keberadaannya, Zakir pun berpenampilan berbeda dengan orang kampung. Setiap hari Zakir mengenakan pakaian produk terkenal, sepatu kulit terkenal, jam tangan merk terkenl, walaupun orang kampung tidak tahu itu produk terkenal, tapi bagi Zakir, ia harus terkenal dengan penampilan yang berbeda.
Kedatangan Zakir 2 hari yang lalu, memang menjadi pembicaraan hangat di kalangan pemuda kampung. Di kedai kopi Ngah Tamam, 2 hari ini, Zakir menjadi topik utama, mengalahkan topik harga karet turun drastis atau pun topik mengenai kekalahan tim sepakbola negara ini dari negara jiran. Nama Zakir melompat berulang-ulang kali dari mulut pemuda kampung. Mereka bercerita mulai dari gaya zakir, sampai cerita Zakir yang telah berulang-ulang ke luar negeri.
“Ape kerje Wak Zakir tu, Man?” tanya Yusup Sempot kepada Leman Lengkung.
“Entahlah Sup, kate saudare aku di kota, Wak Zakir tu ade usaha jual beli mobil mewah,” jawab Leman Lengkung sambil menyedot tehesnya.
“Dikau tentu tahu, Man, Wak Zakir tu kan ade hubungan saudare dengan dikau?” tanya Jang Gagak pula.
“Aku takut mengaku saudare, Jang. Awak aje yang mengaku, die tidak, malu awak dibuatnye,” jelas Leman Lengkung.
Atah Roy masuk kedai kopi Ngah Tamam dan duduk di kursi paling sudut. Pemuda-pemuda, termasuk Leman Lengkung melihat serentak ke arah Atah Roy. Atah Roy pura-pura tidak melihat pemuda-pemuda itu.
“Kalau bapak yang baru duduk di sudut tu, baru saudare dikau ye, Man?” Kahar Kongak bergurau.
“Walaupun die macam tu, die tulah bapak saudare aku yang terbaik dunie akhirat,” ucap Leman Lengkung, disambut gelak tawa kawan-kawannya. Kedai kopi Ngah Tamam pecah dengan tawa pemuda-pemuda kampung.
Atah Roy pura-pura tidak tahu saja. Dia tahu bahwa ketawa yang sedang berlangsung itu adalah ketawa menyindir dirinya. Sebagai orang tua, Atah Roy harus bijaksana, apalagi di saat sekarang, nama Zakir jauh meninggalkan populeritas Atah Roy di kampung ini. Seandainya Atah Roy bersikap prontal alias memarahi pemuda kampung di kedai kopi ini, maka semakin melorotlah kepopuleran Atah Roy.
“Kopi O segelas, Mam,” Atah Roy memesan kopi dengan suara berat penuh makna.
Pemuda kampung tahu betul, kalau suara Atah Roy sudah berisi seperti itu, maka ada sesuatu yang tidak kena. Mereka pun diam, ketawa mereka tahan.
“Kalau suare Atah kite dah macam tu, jangankan kite, harimau pun tak berani mengaum lagi,” ujar Yusup Sempot, dan pemuda lain menutup mulutnya agar ketawa tidak lepas membahana di kedai Ngah Tamam ini.
Ngah Tamam membawa secangkir kopi dan sepiring kue ke meja Atah Roy. Ngah Tamam pun duduk.
“Dari mane dikau, Roy? Macam ada yang tak lepas nampaknye ni?” tanye Ngah Tamam kepada Atah Roy.
Belum sempat Atah Roy menjawab pertanyaan Ngah Tamam, pemuda-pemuda berdiri sambil bertepuk tangan. Atah Roy dan Ngah Tamam memandang ke arah pemuda. Rupanya Wak Zakir sudah berada di kedai itu.
Wak Zakir dengan gaya yang dibuat-buat wibawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan dia langsung duduk di kelompok pemuda.
“Dari mane, Wak?”
“Bertambah ganteng aje Wak awak ni.”
“Pasti Wak ade gagasan nak mengubah kampung kite ni?”
“Wak memang tak ade lawan.”
Pemuda-pemuda silih berganti memuja-muji Wak Zakir. Lubang hidung Wak Zakir pun semakin mengembang.
“Air putih segelas, Mam,” pinta Wak Zakir.
Pemuda-pemuda terdiam. Mereka saling berpandangan. Mereka heran kenapa Wak Zakir hanya meminta air putih. Kalau setakat air putih, tak perlulah singgah kedai kopi, pikir mereka.
“Pesan air putih aje, Wak?” tanya Kahar Kongak.
“Ye. Kenape?” tanya Wak Zakir.
“Tak ade pesan lain ke?” tanya Yusup Sempot pula.
“Tak. Ade masalah?” tanye Wak Zakir pulak.
“Kalau nak minum air putih, di umah aje, Wak. Ini kedai kopi, paling tidak pesan air kopi,” tambah Jang Gagak.
“Ooo... macam tu.”
“Memang macam tulah kebiasaan di kedai kopi, dari dulu sampai sekarang, Wak,” tambah Leman Lengkung.  
“Sebetulnye, aku lupe bawak duit,” jelas Wak Zakir.
Dari sudut suara Atah Roy menggema.
“Air putih je, tak ade yang lain ke?”
Pemuda-pemuda memandang ke arah Atah Roy. Mereka tersenyum malu. Di benak pemuda-pemuda kampung membuat kesimpulan masing-masing dan mengatakan kalau orang masuk kedai kopi hanya memesan air putih, ada due penyebabnye. Satu, tak ade duit dan kedue, orang itu pelokik. Dan mereka menyimpulkan Wak Zakir, beso cerita, tak sesuai kenyataan dengan ceritanya. Pemuda-pemuda kampung pun menghampiri Atah Roy. Atah Roy santai saja.
           

Sabtu, 03 November 2012

Kepentingan


Pada zaman kenen alias zaman modern ini, ruang-ruang persahabatan, persaudaraan selalu dijadikan lahan untuk membangun kepentingan sesaat. Orang-orang berdiri atas nama kepentingan. Orang-orang berteriak, atas nama kepentingan. Segala perbuatan yang dilakukan orang-orang modern selalu mengarah kepada kepentingan. Jadilah orang-orang hari ini saling memanfaatkan. Orang yang ingin jadi pimpinan memanfaatkan rakyat, dan rakyat juga memanfaatkan orang yang mau jadi pimpinan. Keuntungan menjadi target utama.
Untuk mengantisipasi inilah, Atah Roy menjaga jarak dengan Leman Lengkung. Atah Roy takut keikhlasan yang selama ini dilakukan membantu Leman Lengkung, berubah menjadi alat memanfaatkan Leman Lengkung. Walaupun Leman Lengkung itu anak saudaranya, namun Atah Roy tidak mau ternoda oleh umpatan. Mengutamakan kepentingan akan menghasilkan umpatan, dan umpatan inilah yang akan berbuah ketidakharmonisan. Kalau sudah tidak harmonis, maka tersumbatlah lorong menunuju kesejahteraan. Balas dendam pun akan terjadi.
Atah Roy sudah merasakan bahwa tingkah laku Leman Lengkung sudah mulai menyalah, tidak seperti biasanya. Pastilah ada sesuatu di balik tingkahlaku Leman Lengkung yang tidak biasa itu. Selalu saja, tingkahlaku yang tidak biasa dari seseorang ada keinginan di baliknya. Atah Roy paham betul dengan Leman Lengkung. Keseharian Leman Lengkung itu jarang sekali memuji apa yang dilakukan oleh Atah Roy. Setiap Atah Roy berbuat, Leman Lengkung selalu membantah pada awalnya. Setelah terjadi adu argumentasi, berdebat mempertahan pendapat, dan apabila masuk akalnya, barulah Leman Lengkung sependapat dengan Atah Roy. Ini tidak, Leman Lengkung tau setuju apa yang dilakukan Atah Roy.
Kebiasaan Leman Lengkung yang berubah 180 drajat ini, menyebabkan Atah Roy berhati-hati mengeluarkan kebijakan. Atah Roy teringat lirik Gurindam 12 karya Raja Ali Haji yang kira-kira berbunyi seperti ini; mengumpat dan memuji hendaklah pikir, di situ banyak orang jatuh tergelincir. Atah Roy selalu menjaga agar orang-orang disekelilingnya tidak memuji berkelebihan. Sebab menurut Atah Roy, orang yang dipuji sering lupa diri, dan lupa diri inilah yang menyebabkan dia jatuh. Atah Roy juga teringat lirik Gurindam 12 lagi; barang siapa mengenal diri, maka ia tahu Tuhan yang bahari.
Orang yang mabuk akan pujian, menurut Atah Roy, pasti akan kehilangan akal sehatnya. Kehilangan akal sehat menyebabkan orang tidak rasional lagi mengatasi masalah ataupun sewenang-wenang melakukan sesuatu. Atah Roy tidak ingin dijungjung di atas pujian, biarlah ia melakukan sesuatu itu dikritik, sehingga dengan kritik itu, menurut Atah Roy, terbuka segala kelemahan. Pujian, kata Atah Roy, lebih dalam menusuk hati dibandingkan kritik.
Di tengah Atah Roy berpikir mengenai Leman Lengkung yang berubah dalam sekejap mata saja, tiba-tiba Leman Lengkung sudah berada di sampingnya dengan senyum menghias bibirnya. Atah Roy agak terkejut melihat Leman Lengkung datang tiba-tiba.
“Dikau ni macam semut, Man, tecium je bau gule, dah tercongguk dekat gule,” ujar Atah Roy.
“Siape lagi yang melindungi bapak saudare, Tah, kalau bukan anak saudarenye. Bukan begitu, Atahku tersayang?” Leman Lengkung dengan basabasinya.
“Tak salahlah tu, memang betullah tu. Kate orang-orang dulu, air dicincang tidak akan putus,” tambah Atah Roy hati-hati. Atah Roy menjaga agar jarum pujian Leman Lengkung tidak menusuk ke jantungnya.
“Tah, saye sangat salut dengan Atah ni, apa yang Atah kerjekan, semuenye jadi. Ape yang Atah pikirkan terwujud. Sebenonye Tah, ape yang Atah pakai ni?” Leman Lengkung mulai mengasah pujian.
“Aku pakai celana, pakai baju, itu aje,” jawab Atah Roy hendak tendak saja.
“Atah jangan berguraulah,” ujar Leman Lengkung agak kecewa.
“Kan betul apa yang aku cakap tu, Man?”
“Kalau itu, budak kecik pun tahu, Tah. Maksud saye tu, Atah ade pakai barang gaib, sehingge ape yang Atah buat tau menjadi je. Dan paling saye salut dengan Atah ni, semue orang kampung percaye cakap Atah. Saye betul-betul bangga menjadi anak saudare Atah, betul-betul bangga,” ucap Leman Lengkung berapi-api.
“Man, sebenonye dikau hendak ape dari aku?” Atah Roy mencoba mencongkel keinginan Leman Lengkung.
“Ngape Atah bertanye macam itu? Saye bercakap macam tu, sesuai dengan kenyataan. Semue yang Atah kerjekan berdampak positif. Pemikiran Atah menjadi laluan orang untuk berbuat lebih baik lagi. Tingkah laku Atah menjadi cermin orang kampung ini. Semue yang Atah buat, semue gagasan Atah, macam suluh di malam gulita,” Leman Lengkung meyakinkan Atah Roy.
“Man, perubahan yang tibe-tibe di diri dikau, menyebabkan aku khawatir. Aku khawatir pujian dikau ada terselubung kepentingan untuk menguntungkan diri enkau sendiri. Aku lebih senang dikau mengeritik aku dibandingkan dikau memuji aku. Kalau dikau punye kepentingan, cakap. Jangan dikau memuji-memuji tidak tentu arah. Pujian membuat kepale aku bertambah beso, kalau kepale aku dah beso, make aku nenguk orang kecik semue. Semue orang tak bergune di mate aku. Sebagai seorang yang terpelajar, dikau seharus memilah mane yang harus dipuji dan mane yang harus dikau kritik,” Atah Roy sudah mulai geram dengan Leman Lengkung.
Kalau Atah Roy dah bercakap panjang lebar ini, Leman Lengkung selalu kehilangan akal.
“Anu, Tah...., Anu....,”
“Anu kebende, Man?” Atah Roy memotong Leman Lengkung.
“Anu, Tah, saye nak minjam duit pade Atah, nak beli beli motor baru. Atah kan baru dapat duit dari hasil menjual ojol,” kata Leman Lengkung jujur, sambil mengaru kepalanya yang tidak gatal.
“Allah, Man. Dah aku telah dah, pasti dikau ade kepentingan memuji aku,” Atah Roy menarik nafas panjang, sambil menggelengkan kepalanya.
“Boleh saye pinjam duit Atah?” mata Leman Lengkung terkebel-kebel memandang Atah Roy.
“Minta maaf, Man, karene dikau memuji aku ada kepentingan lain, jangankan nak minjam beli motor, nak minjam beli jarum pun, aku tak kasi,” ujar Atah Roy geram sambil meninggalkan Leman Lengkung seorang diri.
“Teganye Atah,” suara Leman Lengkung iba.
“Pujian mengandung kepentingan, membuat orang jatuh tak berharge, Man!” ucap Atah Roy dari jauh. Leman Lengkung tertunduk lesu.       
   
       

Kamis, 01 November 2012

Politik Ni, Wak




Mendengar kata politik, orang-orang selalu mencebir. Kata politik menjadi virus kebencian yang menjangkit di setiap nadi orang-orang di negeri ini. Politik berkonotasi buruk, bahkan tak jarang orang-orang berpendapat bahwa politik adalah ‘dunia dosa’. Maka banyaklah orang-orang tidak percaya kepada orang yang terjun ke dunia politik. Namun di satu sisi, orang politik memiliki peranan besar membuat jalur untuk melayari negeri ini. Walaupun dibenci, tapi banyak juga orang yang masih ingin terjun ke dunia politik. Ada apa dan bagaimana sebenarnya politik itu?
Sebagai orang awam dan tidak mengecap pendidikan tinggi, Atah Roy juga ikut-ikutan mengecam politik merupakan ajang tipu muslihat. Kesimpulan ini dibuat Atah Roy berdasarkan pengalaman di kampungnya. Katan Tetel, jiran Atah Roy, menjadi bukti nyata yang dirasakan Atah Roy untuk menyimpulkan politik itu buruk.
Katan Tetel, sebelum menjadi anggota parlemen mewakili kampungnya, merupakan orang yang paling susah untuk berbuat janji. Hal ini disebabkan, bagi Katan Tetel, janji merupakan utang yang harus dilunaskan, dan tidak melunasi janji adalah dosa. Kalaupun Katan Tetel berbuat janji, janji itu dilunasi sebelum waktu kesepakatan. Pokonya, Katan Tetel menjadi panutan di kampung. Itu sebabnya, ketika Katan Tetel mencalonkan diri menjadi anggota dewan, tidak bersanggah lagi, Katan Tetel memperoleh suara yang sangat memuaskan. Sembilan puluh persen orang kampung memilih Katan Tetel. Duduklah Katan Tetel menjadi anggota dewan.
Namun setelah duduk menjadi anggota parlemen, pegangan hidup Katan Tetel berubah seratus delapan puluh derajat. Katan Tetel menjadi orang yang paling manis berbicara, namun tidak pernah lagi mewujudkan apa yang ia uceri iniapkan. Katan Tetel pun sudah jarang balik kampung, ia asik sibuk ke provinsi atau pun ke pusat. Janji-janji yang diucapkan, hanya seperti angin lalu, tidak pernah ada buktinya.
Pada awalnya, Atah Roy menyangka bahwa kesibukanlah yang menyebabkan Katan Tetel berubah. Maklum, sebagai anggota dewan, Katan Tetel tidak saja mengurus orang kampung, tapi mengurus masalah negeri ini. Namun sudah berjalan dua tahun Katan Tetel menjadi anggota dewan, pembengaknya menjadi-jadi. Atah Roy pun menyimpulkan bahwa Katan Tetel memang sudah berubah. Janji Katan Tetel mau memperbaiki jambatan, jalan dan fasilitas umum di kampung pun tidak pernah terwujud. Katan Tetel lebih banyak muncul di koran-koran dengan program-programnya membangun kampung, namun jarang sekali balik kampung.
Orang-orang kampung mendesak Atah Roy menemui Katan Tetel. Atah Roy ditunjuk oleh orang kampung disebabkan, selain mereka berjiran, Atah Roy juga tokoh yang disegani di kampung. Waktu Katan Tetel mencalonkan diri menjadi anggota dewan, Atah Roy ikut mendukung Katan Tetel.
Atah Roy menyanggupi apa yang diamanahkan orang kampung kepadanya. Mulailah Atah Roy bergerilya mencari nomor handphone Katan Tetel yang aktif. Sudah lima nomor yang didapat Atah Roy, namun satu pun nomor handphone Katan Tetel tak aktif. Padahal dulu, nomor handphone cuma satu, dan aktif dua puluh empat jam. Atah Roy mulai geleng kepala. “Ngape pulak macam gini jadinye budak Katan ni?” ucap Atah Roy setelah menghubungi nomor handphone Katan Tetel yang kelima.
Pintu kemudahan memang selalu terbuka untuk niat yang baik. Sedang Atah Roy frustrasi, Leman Lengkung datang membawa kabar gembira.
“Tah, Atah pasti sedang pening mencari nomor hp Katan Tetel kan?” tanye Leman Lengkung dengan raut wajah gembira.
“Dah tahu aku pening, dikau bertanye pulak. Sekali aku lempang, baru tahu dikau, Man!” ujar Atah Roy emosi.
“Tah, menghadapi masalah tu, jangan emosi, tak baik. Tak ade satu pun pekerjaan selesai dengan sempurna kalau dikerjekan dengan emosi,” Leman Lengkung menasehati Atah Roy.
“Eeeeee..., budak ni, die pulak menasehati awak. Tahunye aku, Man. Aku ni lebih dulu makan asam garam dibandingkan dengan dikau. Jangan dikau nak menasehati aku pulak!” Atah Roy bertambah emosi.
“Ini nomor hp Katan Tetel yang aktif,” Leman Lengkung tak mau mengambil resiko dimarahi Atah Roy, dan Leman Lengkung menyerahkan nomor handphone Katan Tetal kepada Atah Roy.
Atah Roy langsung menekan nomor-nomor yang ada di handphonenya sesuai dengan nomor yang diberikan Leman Lengkung. Nomor yang dihubungi Atah Roy tersambung, namun tak diangkat. Atah Roy menggulang beberapa kali, tidak juga diangkat.
“Sms dulu, Tah. Kadangkala orang tak mau ngangkat kalau name tak muncul di hp,” saran Leman Lengkung.
Atah Roy memandang Leman Lengkung dengan rasa kesal, karena merasa diajar. Atah Roy tak membalas kata-kata Leman Lengkung, dia langsung menulis pesan singkat ke nomor Katan Tetel. “Tan, ini aku, Atah Roy, tolong kau angkat aku nelpon kau,” bunyi sms Atah Roy ke handphone Katan Tetel.
Beberapa detik kemudian, handphone Atah Roy berdering. Atah Roy melihat ke layar handphonenya, muncul nomor Katan Tetel.
“Assallammualaikum, Roy. Aku minta maaf sebelumnye, aku tak tahu nomor hp dikau,” suara Katan Tetel terdengar.
“Walaikumsallam. Payah betul nak menghubungi dikau ni, Tan, sudah lima nomor hp dikau aku hubungi, satu pun tak aktif,” ujar Atah Roy agak kesal.
“Maklum Roy, kadang orang-orang menelpon mintak duit terus, macam awak ni pemilik bank pulak,” suara Katan Tetel terdengar angkuh ditelinga Atah Roy.
“Tan, aku nelpon dikau ni, tak mintak duit, tapi aku cume nak menyampikan amanah orang kampung, bahwa dikau dah tak amanah lagi. Selalu janji yang dikau buat tak pernah dikau tepati. Orang-orang kampung mintak aku menyampaikan kepade dikau masalah ini. Dikau dah jauh berubah, Tan,” ujar Atah Roy tersinggung dengan ucapan Katan Tetel.
“Ini politik, Wak. Kite harus pandai-pandai bermain, salah setengah langkah, kite binase. Ini politik, Wak, penuh dengan trik berbahaye. Jadi aku harus pandai-pandai mengatur strategi. Ini politik, Wak,” jawab Katan Tetel.
“Kalau dah masuk politik, kite harus jadi pembengak?” tanye Atah Roy geram.
“Ini politik, Wak. Tak ade hitam atau putih, yang ade hanye abu-abu. Aku harus pandai-pandai, kalau tidak aku terdepak. Ini politik, Wak,” tambah Katan Tetel.
“Ini politik, Wak..., ini politik, Wak, kepale hotak engkau! Makan politik engkau tu!” Atah Roy makin geram.
“Sabo. Ini politik, Wak...,” belum selesai kalimat Katan Tetel, Atah Roy menutup pembicaraan.
“Apekah politik menyebabkan orang berubah?” tanye Atah Roy pelan.
“Entah,” jawab Leman Lengkung sambil terganga.   

Minggu, 21 Oktober 2012

Jangan Lupakan Kampung


Desa alias kampung, kata Iwan Fals dalam lagunya, merupakan kekuatan untuk membangun negeri ini. Melupakan kampung sama saja kita membuang kekuatan negeri ini. Negeri ini dilahirkan oleh pemikiran orang kampung. Lihatlah orang kampung mencintai tanah kelahiran mereka; mereka tidak pernah segan menyerahkan harta benda mereka. Atah Roy terkenang bagaimana Sulaiman Sangap, Pak Cik Atah Roy, menyerahkan tanah milik untuk pembangunan kantor kepala kampung. Cik Azimah, tanpa beban sedikitpun, mewakafkan tanahnya untuk pemakaman umum kampung. Semua dilakukan orang kampung dengan ikhlas.
Begitu juga Iwan Buncit, senantiasa membantu orang-orang kampung yang dalam kesusahan. Belum lagi orang-orang kampung saling bergotong royong membatu pesta pernikahan suatu keluarga. Semua mereka lakukan dengan keikhlasan, tiada saksuasangka sedikit pun.
Kegeraman Atah Roy kepada orang kota, selalu menganggap orang kampung tidak berguna, membebankan pembangunan. Dan yang paling membuat Atah Roy bertambah geram, orang kota selalu mengatakan ‘kampungan’ apabila ada orang kota melakukan kesalahan. Kata ‘kampungan’ berkonotasi jelek, tidak berguna, tertinggal, padahal dari kampunglah cita-cita negeri ini di bangun.
Kegeraman Atah Roy sudah tidak dibendung ladi, dengan kekuatan yang ia punya, Atah Roy berkeinginan mengadakan pertemuan orang kampung se dunia. Pertemuan orang kampung se dunia ini, menurut pikiran Atah Roy, akan mengeluarkan pernyataan tidak percaya kepada orang kota. Orang kampung se dunia akan membaikot segala kebutuhan orang kota; tidak ada hasil pertanian, tidak ada ikan segar, pokoknya apa yang menjadi kebutuhan orang kota, dibabat habis.
Untuk mengumpul tokoh-tokoh kampung se dunia, Atah Roy pun mulai membuka internet. Ia dengan tekun mencari tokoh-tokoh kampung se dunia. Sudah empat hari, empat malam, Atah Roy tunak di depan komputernya, namun sampai hari keempat, Atah Roy belum juga menemukan tokoh-tokoh yang dapat dihubungi.
“Ngapelah ngentam berita di internet ini, tak satu pun tokoh kampung yang muncul. Lebih banyak berita tentang bintang film, tokoh politik yang selalu mencari sensasi,” kutuk Atah Roy dalam hati.
Atah Roy tidak mau patah arang. Ia dengan kayakinan besar, percaya bahwa banyak tokoh kampung di dunia ini dikabarkan di media internet ini.
“Aku yakin, pasti ade tokoh kampung di dunia ini diberitakan,” bisik Atah Roy dalam hati.
Sedang seriusnya Atah Roy mencari tokoh kampung di internet, Leman Lengkung menghampirinya. Leman Lengkung duduk di sebelah Atah Roy. Sebenarnya Leman Lengkung mau bertanya 2 hari yang lalu, namun niatnya itu dikurung dalam-dalam. Leman Lengkung paham betul, apabila Atah Roy diganggu ketika sedang serius, maka maki hamun yang akan melumpat dari mulut Atah Roy. Rasa ingin tahu Leman Lengkung sudah tak bisa ditahan lagi, apalagi melihat Atah Roy sudah mulai bisa diajak berdiskusi.
“Ape yang Atah cari di ineternet sebetulnye ni? Dah masuk empat hari empat malam, Atah Roy tak pakai beranjak sekejap pun depan komputer ni? Kalau saye dapat bantu, saye akan bantu Atah,” ujar Leman Lengkung.
“Sepatutnya, engkau memang bisa membantu aku, tapi sebagai orang tue, aku tidak boleh menyerah. Aku dibesokan di kampung, dan bagi orang kampung menyerah itu merupekan aib beso,” Atah Roy menjawab, namun matanya masih tetap di layar komputer.
“Tah, saye ini keponakan Atah. Sebagai keponakan Atah, saye juge ikut prihatin dengan kondisi Atah,” tambah Leman Lengkung.
“Berat hati aku nak mintak tolong dengan dikau, Man. Bukan aku tak percaye dengan kemampuan dikau, tapi aku malu sebagai orang tue, aku harus dapat menyelesaikan permasalahan aku sendiri,” ucar Atah Roy yakin.
“Tapi, kalau sudah tak mampu, jangan dipaksekan Tah. Atah selalu menesehati saye, bahwa tolong menolong harus senantiase kite kembangkan pade diri kite. Itulah yang diajarkan orang kampung dari dulu sampai sekarang,” kata Leman Lengkung yakin.
“Kalau betul dikau nak membantu aku, aku nak bertanye suatu hal,” kate Atah Roy.
“Ape tu, Tah?”
“Pernah dikau terbace di internet atau media lainnye, bahwa ade tokoh kampung yang diberitakan atas prestasi yang dibuatnye?”
“Sampai saat ini Tah, belum pernah saye membace berita mengenai orang kampung yang berprestasi diberitakan. Kalau tentang bintang film, banyak, Tah. Atah nak buat ape?” tanye Leman Lengkung.
“Itulah yang memeningkan kepala aku ni. Tak mungkinlah tak ade seorang pun orang kampung yang berprestasi,” jelas Atah Roy.
“Atah nak buat ape dengan berita tokoh kampung yang berprestasi tu?” tanye Leman Lengkung lagi.
“Aku nak mengadakan pertemuan tokoh kampung se dunia, nak melawan orang kota yang arogan itu,” jelas Atah Roy.
Leman Lengkung tertawa terbahak-bahak. Melihat Leman Lengkung tertawa, Atah Roy naik geram.
“Ngape dikau ketawe? Aku lempang kang, baru tahu dikau, Man!” ujar Atah Roy geram.
“Atah..., Atah, di dunie ini, kecuali di negeri kite ini, dah tak ade kampung lagi, Tah. Negara orang dah maju semuenye. Walaupun maju, mereka tetap menjunjung semangat kampung menjadi kekuatan membangun negara mereke, Tah,” jelas Leman Lengkung.
“Ape ye, Man?” tanye Atah Roy.
“Ye, Tah,” jawab Leman Lengkung.
Atah Roy pun tersandar di kursinya, sambil memegang kepalanya.
“Kite selalu tertinggal,” keluh Atah Roy.        
    

Sabtu, 06 Oktober 2012

Menenguk Ke Bawah


“Mengapa orang selalu tidak merasa puas, Tah?” pertanyaan melekat di benak Atah Roy. Padahal pertanyaan itu sudah dilontarkan Leman Lengkung sebulan yang lalu. Pertanyaan itu terus bemain di benak Atah Roy, setiap saat meledak seperti kembang api pembukaan dan penutupan PON XVIII yang lalu. Pertanyaan itu terus menganggu Atah Roy. Sebenarnya Atah Roy punya jawabannya, namun jawaban itu pasti tidak akan memuaskan Leman Lengkung. Jangankan Leman Lengkung, Atah Roy pun merasa puas dengan jawabannya. 
“Nafsu itu seperti meminum air di laut, semakin diminum samakin haus,” jawaban Atah Roy itu, tersimpan hanya di hati, tak pernah melompat dari mulutnya. Ketidakpuasaan menghatui diri Atah Roy.
Kadang kala, penyelesaian selalu datang tanpa diduga. Hidup ini, kata Albert Camus, absurd. Tidak jelas. Apa yang diinginkan tidak terjadi, bahkan sebaliknya; yang tidak diinginkan pula yang terwujud.
Disaat Atah Roy duduk termenung di depan rumah memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Leman Lengkung, tiba-tiba Nurlela datang dengan tergesa-gesa. Atah Roy terkejut, dan langsung bertanya kepada Nurlela.
“Ngape dikau macam kene kejo hantu sempadan je ni?”
“Tah, tak ade tempat lagi saye nak mengadu, kepade Atah jelah tempat mengadu,” jawab Nurlela dengan wajah mengiba.
“Ape masalah dikau ni, La?”
“Berat mulut ini nak bercakap, tapi lebih berat hati ini memendam beban itu, Tah,” Nurlela masih terengah-engah.
“Bawak bertenang, La. Cube kau sampaikan masalah dikau dengan aku pelan-pelan. Hidup ini tidak selesai dengan tergopuh-gopuh de,” jelas Atah Roy.
“Atah bisa bantu saye?” tanya Nurlela.
“Macam mane aku nak membantu, masalah dikau je aku tak tahu,” ujar Atah Roy dengan menggerutkan keningnya.
“Anu, Tah..., anu...” Nurlela gugup
“Anu ke ape, La? Ngape pulak dikau jadi gugup,” Atah Roy menenangkan Nurlela.
“Atah tak marah?” tanya Nurlela lagi.
“Kalau dikau macam ni terus, aku marah. Cakap ajelah, kalau bisa aku bantu, aku bantu, kalau tak bisa, aku usahakan cari jalan kelounya,” tambah Atah Roy.
“Anu, Tah...”
“Jangan pakai anu, langsung ajelah,” suara Atah Roy sedikit meninggi.
“Saye nak minjam duit kepade Atah,” jelas Nurlela dengan perasaan lega.
“Minjam duit? Dikau kan baru menjual tanah pusake milik ebah dikau sebulan yang lalu, tak mungkinlah nak minjam dengan aku pulak,” Atah Roy penasaran.
“Duit hasil penjualan tanah pusake arwah ebah saye tu dah habis terpakai, Tah,” jelas Nurlela.
“Habis terpakai buat ape? “ Atah Roy bertambah penasaran.
“Duit tu saye buat kredit motor, beli tv baru, beli hp baru, pokoknye saye tak mau ketinggalan dengan tetangge saye Tah. Tetangge saye, baru beli motor baru, tv baru sampai semue anaknye pakai hp baru,” jelas Nurlela.
“Ngape tak dikau jual semue yang baru dikau beli tu,” usul Atah Roy.
“Sayang pulak, Tah,” tambah Nurlela.
“Minjam dengan orang, tak malu dikau de?” tanye Atah Roy dengan nada geram.
“Saye tak malu, Tah, yang saye malukan, keluarga saye tak mampu same dengan keluarge tetangge. Saye harus lebih dari tetangge,” tutur Nurlela.
Muka Atah Roy memerah. Atah Roy geram betul dengan ucapan Nurlela. Tangan Atah Roy sudah mau naik ke atas, menampar muka Nurlela, naum Atah Roy sadar, bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.
“Nur, dikau dengo baik-baik ye. Kalau dikau terus menenguk ke atas, orang kaye, tak akan pernah puas dengan ape yang dikau dapat de. Dikau harus selalu neguk orang di bawah dikau, pasti dikau akan bersyukur. Dikau tahu Halimah yang hidup di pinggir sungai, yang lakinye meghilang di laut tu kan? Walaupun die hidup susah, namun die tak pernah berhutang pade orang lain. Die bersyukur dengan ape yang beriak Allah kepade die, bahkan pelan-pelan die mengumpulkan duit dengan mencari kayu bakar dan menangkap ikan di sungai, menyekolahkan anak die. Die tak pernah berhutang, Nur,” jelas Atah Roy mantap.
Nurlela tertunduk malu. Apa yang dikatakan Atah Roy masuk ke hatinya. Nurlela menyadari bahwa selama ini, dia selalu menenguk tetangga kaya sebelah rumahnya. Nurlela ingin keluarganya seperti keluarga tetangga, padahal tetangganya banyak kebun, sementara Nurlela hanya punya tanah puasaka arwah ebahnya, itu pun sudah dijual. Nurlela menangis, dan langsung meninggalkan Atah Roy sendiri.
Melihat Nurlela pergi, Atah Roy terganga.
“Karene kita selalu nenguk ke ataslah, kite tak pernah bersyukur dengan ape yang kite dapat,” ucap Atah Roy dalam hati. Atah Roy tersenyum, pertanyaan Leman Lengkung sebulan yang lalu terjawabkan dengan peristiwa Nurlela ini.

Sabtu, 29 September 2012

Mengenang




Almarhum Ediruslan Pe Amanriza merupakan salah seorang tokoh penting perkembangan dunia seni di Riau ini. Semasa beliau hidup, selain berkarya menciptakan karya sastra, Ediruslan juga beraktivitas di organisasi kesenian. Pada tahun 2000, beliau duduk menjadi Ketua Dewan Kesenian Riau dan sekaligus menjadi anggota DPRD Provinsi Riau. Pada tahun 2000 tersebut, Ediruslan berserta budayawan dan seniman Riau mengalihkan pusat kesenian dari komplek Dang Merdu ke Purna MTQ. Pada tahun inilah nama Purna MTQ itu berubah menjadi Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai), sesuai dengan nama yayasan mengeloloa area tersebut; Yayasan Bandar Serai.
Sebagai penulis karya sastra, nama Ediruslan Pe Amanriza sangat dikenal. Karya-karya roman maupun cerpennya selalu menjadi yang terbaik pada sayembara nasional. Roman Panggil Aku Sakai, memenangi sayembara yang ditaja Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1986. Novel ini berkisah tentang perlawanan suku Sakai dalam mempertahankan tradisi mereka. Di Bawah Matahari, Taman, Jakarta di Manakah Sri, Ke Langit (1993), Jembatan (Kekasih Sampai Jauh), Perang Bagan, dan Stasiun di Kaki Bukit, merupakan karya-karya yang dihasilkan beliau. Dengan karya sastra, Ediruslan mengenalkan Riau ke nasional.
Sebagai seorang seniman, Ediruslan tidak pernah diam berkarya. Dan untuk menampung karya-karya seni pertunjukan, Ediruslan dan beberapa seniman lainnya mengagas pembangunan gedung seni pertunjukan bersekala internasional. Berdirilah gedung seni yang mewah bernama Anjung Seni Idrus Tintin di Bandar Serai.
Ediruslan menghembuskan nafasnya terakhir pada tanggal 3 Oktober 2001 di rumah Sakit Islam Asifah Sukabumi, Jawa Barat. Beliau wafat setelah tidak kuat melawan kanker paru-paru yang dideritanya selama empat bulan. Puisi terakhir beliau Berpisah Jua Kita Akhirnya Jakarta, merupakan suara hati beliau tetap melawan arogansi Jakarta terhadap daerah.
Untuk mengenang beliau, pengurus Akademi Kesenian Melayu Riau, Taufik Ikram Jamil, menamakan kampus AKMR, Kampus Eduruslan Pe Amanriza. Namun sayang gedung tersebut kini telah diroboh untuk kepentingan pembangunan mal dan hotel di Bandar Serai. Nama Ediruslan Pe Amanriza semakin lama semakin menghilang di benak kita. Tidak ada satu pun gedung yang berada di Bandar Serai diberinama dengan nama beliau. Kita pun seakan menghapus sejarah masa lalu, perjuangan yang dilakukan oleh pendahulu kita, tidak membekas. Mungkin inilah hidup zaman modern, selalu hendak melupakan masa lalu.
Bagi Atah Roy, mengenang masa lalu merupakan kekuatan untuk membangun masa kini. Itulah sebabnya, Atah Roy selalu membolak-balik catatannya untuk melihat peristiwa-peristiwa masa lalu yang berkesan dalam dirinya. Meninggalnya Ediruslan Pe Amanriza, merupakan peristiwa perih bagi Atah Roy. Atah Roy mengenal Ediruslan dari karya-karya sastranya. Bagi Atah Roy, almarhum Ediruslan sosok budayawan dan seniman yang memiliki daya juang menjunjung seni di Riau ini. Atas jasa-jasa almarhum, menurut Atah Roy, sepantasnyalah budayawan dan seniman Riau pada tanggal 3 Oktober nanti, mengenang almarhum dengan kegiatan kesenian di Bandar Serai tersebut.
“Kalau budayan dan seniman Riau tak mengenang Almarhum Ediruslan, orang lain apelagi,” ujar Atah Roy pade Leman Lengkung.
“Mungkin budayawan dan seniman Riau sibuk, Tah, sehingga terlupe dengan sosok orang yang telah berjase di dunie seni Riau ini,” ucap Leman Lengkung menenangkan Atah Roy.
“Inilah yang salah. Seharusnye sesibuk apepun harus ade yang mengingatkan. Tak mungkinlah semue budayawan dan seniman Riau tak mengingat sosok Ediruslan Pe Amanriza tu. Beliaulah sosok yang berpengaruh memindahkan pusat kesenian dari Dang Merdu ke Purna MTQ. Apelagi budayawan dan seniman beraktivitas di Bandar Serai. Tanah yang mereka pijak sekarang ini, tanah hasil dari perjuangan Almarhum,” tambah Atah Roy.
“Atah mane tahu budayawan dan seniman Riau tak mengenang Almarhum?” tanye Leman Langkung.
“Manelah tahu kalau mereka tak mengenang Almarhum Ediruslan, itu namenye melampau,” jawab Atah Roy.
“Atah berperasangka buruk, itu yang tak boleh, Tah,” tambah Leman Lengkung.
“Akukan hanye mengingatkan, bukan berburuk sangke. Dikau tu yang berburuk sanke pade aku, Man,” Atah Roy sedikit emosi.
“Atah tahu nak marah je, tak bolehlah saye bergurau siket,” ujar Leman Lengkung.
“Yelah, peristiwa mengenang itu wajib kite lakukan, karene dengan mengenang kita dapat menghargai kerje orang lain. Selain itu, dengan mengenang kite dapat menyusun kekuatan baru untuk memperlihatkan eksistensi kite sebagai manusia yang berjuang di bidang seni. Dan seharusnye, bukan saje di bidang seni, di bidang lain juge harus seperti itu. Soekarno presiden pertame Indoensia, pernah bercakap dengan nada berapi-api; jangan sesekali melupakan sejarah. Itu die, hal itu dilakukan agar kite dapat mengambil pelajaran dari mase lalu,” jelas Atah Roy.
“Pahamnye saye tu, Tah. Tapi mengape di negeri kite ini banyak tempat untuk dikenang dirobohkan, Tah?” tanye Leman Lengkung.
“Inilah masalah yang pelik negeri kite ini. Kite selalu menganggap diri kite yang paling beso, sehingge sesuke hati melantak peninggal bersejarah. Dan yakinlah, kalau kite tetap berperangai seperti itu, siap-siaplah negeri ini tak tentu arah,” tambah Atah Roy.
“Ngape pulak macam tu, Tah?”
“Kalau kite tak mengenang mase lalu, itu same saje kite tak mengenal diri sendiri. Kalau kita dah tak mengenal diri sendiri, apa yang nak kite perbuat untuk negeri ini? Kehancuran negeri ini disebabkan kite tak mengenal diri. Kite pakai bantai je membangun negeri, tanpe roh kesejatian. Mengenang merupekan upaya membongkar kesejatian yang terpendam,” ujar Atah Roy sambil mengisap rokoknya.
     
   


Sabtu, 22 September 2012

The Power of Tradition


Sudah lama Atah Roy menyakini bahwa tradisi punya kekuatan. Kekuatan magis yang dapat menggetarkan jiwa. Kekuatan yang mengobarkan semangat untuk tetap mencintai negeri ini. Kekuatan untuk tetap berdiridi atas kaki sendiri, lalu membusungkan dada sambil mengepalkan tangan dan dari mulut melompat kalimat “inilah kami dengan segala kekuatannya!” Tradisi menyediakan semangat itu.
Tradisi bagi Atah Roy seperti roh yang tidak mungkin lepas dari jasatnya. Untuk mempertahankan tradisi inilah, Atah Roy rela ‘berkelahi’ dengan siapa saja, terutama orang-orang yang menganggap tradisi sebagai sampah. Atah Roy juga berpikir bahwa pada zaman kenen alias zaman kini, orang-orang banyak yang sok kemodern-modernan, sehingga tradisi mau dicampakkan begitu saja. Padahal, zaman kenen hadir dari masa lalu. Orang kenen, menurut Atah Roy, asik nak membanggakan diri dengan menyerap kebudayaan asing. Kebudayaan asing yang mereka telan, kata Atah Roy, sebenarnya berasal dari tradisi juga. Untuk itulah Atah Roy berpesan, tradisi tempatan harus tetap dipertahankan, walaupun ada penambahan kekinian, namun tradisi harus tetap jaya.
Atah Roy teringat dengan tulisan Rendra, Sang Burung Merak itu; Sebagaimana seseorang tak mungkin hidup tanpa alam, maka demikian seseorang tak mungkin hidup tanpa tradisi. Sepotong tanah harus ada, agar seseorang dapat berdiri atau duduk. Demikian halnya, suatu tradisi adalah suatu kesadaran kolektif, yaitu kesadaran suatu masyarkat tentang dirinya. Akan tetapi dalam kesadaran kebudayaan, tradisi tak diperlakukan sebagai benda mati, melainkan sesuatu yang hidup dan bertumbuh terus mengukuti perkembangan kebutuhan dari orang-orang yang hidup di dalamnya.
Atah Roy menyadari, bahwa kebudayaan itu tidak statis, kebudayaan itu dinamis, bergerak mengikuti zamannya. Nilai-nilai tradisi, menurut Atah Roy, mengajak manusia mengarifi kehidupan ini. Memang diperlukan sentuhan kreatif, sehingga tradisi bukan sesuatu yang memuakkan. Sentuhan kreatif inilah yang menghidupkan tradisi, tak lepas dari nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi.
Bukan mengada-ada ataupun nak membesar-besarkan diri, Melayu memiliki tradisi yang kuat, sehingga sangat layak dimunculkan pada hari ini. Tentu saja, tidak salah apabila tradisi Melayu itu dipoles dengan kekinian. Tidak salah juga, dan itu harus, orang yang menjaga tradisi ‘murni’ tidak tersentuh ‘tangan’ kekinian. Hal ini, menurut Atah Roy, untuk menjaga kelestarian nilai yang terkandung dalam tradisi. “Bagaimana orang nak memoles tradisi, kalau tradisi dikubur dalam-dalam?” tanya Atah Roy dalam hati.
Bagi Atah Roy, orang-orang yang memusuhi tradisi adalah orang-orang yang memusuhi diri sendiri. Manusia kenen, tambah Atah Roy, ada karena masa lalu dan masa lalu membuka jalan untuk orang masa kenen. “Janganlah nak belagak menjadi orang modern, dan mengagungkan pemikiran asing, lalu mencampakkan tradisi. Tradisi telah menyediakan pemikiran-pemikiran hebat, tinggal kita lagi mengokahnye menjadi kekuatan hari ini,” tutur Atah Roy masih dalam hati.
Leman Lengkung menghampiri Atah Roy, dan Leman Lengkung heran melihat Atah Roy tersenyum sambil mengerutkan keningnya. Dalam hati Leman Lengkung menduga, kalau Atah Roy seperti ini, pasti ada sesuatu yang berkelahi di benaknya. Leman Lengkung memberanikan diri bertanya.
“Ape yang Atah pikirkan?”
“Aku bangga jadi orang Riau, Man,” jawab Atah Roy.
“Saye dah lame bangga, Tah. Kenape pulak baru sekarang Atah bercakap macam tu?” Leman Lengkung bertanya lagi.
“Kite punye kekuatan, Man,” selambe Atah Roy menjawab.
“Maksud Atah?”
“Tradisi mempertahankan kite mencitai negeri ini, Man,” jawaban Atah Roy masih belum dipahami Leman Lengkung.
“Maksud Atah, ape ni?”
“Dikau nenguk pembukaan dan penutupan PON XVIII 2012 di negeri kite ini kan?” Atah Roy balik bertanya.
“Nenguklah Tah, ape pulak teng nenguk. Ape istimewanya?”
Mata Atah Roy terbuka lebar. Kemarahan naik ke kepalanya. Melihat mata Atah Roy terpendel, Leman Lengkung mulai ketakutan.
“Ngape, Tah?” suara Leman Lengkung bergetar karena ketakutan.
“Dikau ni betul-betullah tak memiliki otak yang cerdas sedikit pun!” suara Atah Roy mulai meninggi.
“Ape istimewanye, Tah?” Leman Lengkung bertambah kecut, namun masih sempat bertanya.
“Tak lah dikau merasekan bahwa kite dipersatukan oleh pertunjukan ‘Dalam Kasih Sayang Air’ tu? Bagaimana Riau daratan dan Riau pesisir disatupadukan menjadi kekuatan, dan memunculkan rasa kebanggaan menjadi orang Riau. Tradisi Riau pade malam itu menjadi perekat, bahwe kite adalah satu. Inilah kekuatan Riau itu, darat maupun laut. Dalam pegelaran itu, kite seakan ditampar bahwa negeri ini punye marwah. Tak lah dikau menenguk semue itu?” suara Atah Roy terdengar parau, tersebab marah yang memuncak.
“Kalau itu, saye sado, Tah,” Leman Lengkung bertambah takut.
“Kenape dikau bertanye ‘ape istimewanye’?” sergah Atah Roy.
“Saye gurau je, Tah. Saye tahu kalau Atah marah, otak Atah bertambah tajam alias cerdas. Itu sebabnye, saye pura-pura bertanye,” ujar Leman Lengkung menggigil.
“Hehehehe...” Atah Roy bangga dan langsung meninggalkan Leman Lengkung sendiri.
“Paling geli neguk Atah Roy, macam die aje Melayu,” ucap Leman Lengkung pelan.     
   

Sabtu, 15 September 2012

Menunggu Presiden


Kedatangan Presiden Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudoyono (SBY), ke Riau dalam rangka membuka perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII pada tanggal 11 September 2012, meninggalkan kisah di hati Atah Roy. Kisah ini menyebabkan Atah Roy sewel alias hampir gila. Selama 24 jam Atah Roy berdiri di ujung jambat kampungnya. Atah Roy berdiri tegap, sambil memandang ke laut lepas. Atah Roy menunggu, tapi tidak Orang-orang kampung tidak tahu apa yang ditunggu Atah Roy.
Menenguk bapak saudaranya seperti itu, Leman Lengkung risau, namun Leman Lengkung tidak berani bertanya. Leman Lengkung tahu betul, kalau Atah Roy dah tercongguk seperti itu di jambatan, pastilah ada sesuatu yang diharapkan Atah Roy. Laut bagi Atah Roy, yang diketahui Leman Lengkung, adalah tempat menyandarkan segala keinginan. Dengan menatap laut, Atah Roy dapat menuangkan gagasan, melukis keinginan, lalu menatah cemas jadi senyum.
Pada laut, Atah Roy percaya penuh ada jiwa manusia, ada kehidupan manuisa. Luat sebagai cermin untuk melihat diri manusia. Untuk itulah, kalau Atah Roy sedang berhadapan dengan masalah berat, maka Atah Roy pun ‘mengadukan’ permasalahannya ke laut. Tapi kenapa di waktu Riau ingin mencatat sejarah melaksanakan perhelatan PON? Adakah perhelatan PON XVIII di Riau ini menyimpan misteri yang luar biasa di hati Atah Roy? Leman Lengkung tak berani pula bertanya kepada Atah Roy.
Melihat Atah Roy sudah dua hari berdiri di jambatan, sejak dari tanggal 10 sampai hari ini tanggal 11 September 2012. Orang-orang kampung mulai berdatangan dan bertanya apa yang terjadi kepada Atah Roy. Satu orang pun tak tahu apa yang sedang dilakukan Atah Roy. Spekulasi jawaban pun ‘berterbangan’ di jambatan itu. Ada yang mengatakan bahwa Atah Roy mau memecah rekor MURI sebagai orang yang berdiri paling lama di jambatan. Ada juga yang berkata Atah Roy membongkar masa lalunya sebagai atlit dayung yang gagal. Paling sadis ada yang mengatakan bahwa Atah Roy mau bunuh diri, karena tidak diundang pada perhelatan pembukaan PON XVIII.
Orang boleh mereka-reka dengan apa yang dibuat oleh orang lain, tapi yang paling tahu dengan tindakan yang diperbuat adalah orang yang melakukan perbuatan itu. Namun kepastian jawaban dari tindakan Atah Roy, belum juga ditemukan. Orang-orang bertanya kepada Leman Lengkung, namun Leman Lengkung menjawab dengan menggelengkan kepala.
“Man, kite harus bertanye langsung kepade Atah Roy, kalau tidak memunculkan dugaan yang tidak-tidak terhadap bapak saudare dikau ni,” ujar Kahar Sulah.
“Kalau Atah dah macam ini, aku tak berani bertanye. Biasenya, kalau die dah macam ini, semue kekuatan dalam dirinya berkumpul jadi satu. Jangan sembarang bertanye, mampus kite kene sepak,” jelas Leman Lengkung.
“Tapi kite tak bisa berdiam macam ni aje, Man. Orang-orang makin ramai datang ke jambatan ni, dan makin banyak pulak dugaan-dugaan yang muncul,” Tapa Tengkes mengeluarkan pendapat.
“Betul tu, Man. Lagi pule sikap Atah Roy yang aneh ni, bertepatan pulak dengan perhelatan PON. Pastilah orang menganggap Atah Roy mencari sensasi aje, memanfaatkan PON untuk populeritas,” tambah Jang Gagak.
“Kalau aku sendiri yang bertanye, aku tak berani, tapi kalau kite same-same bertanye, itu lain pulak ceritenye,” jelas Leman Lengkung.
“Tak masalah, kite same-same bertanye,” Yusup Cacing menyakinkan.
Dengan langkah agak ragu, beberapa orang mendekati Atah Roy. Mereka saling berpandangan dan menggoyangkan kepala menandakan untuk memulai bertanya. Namun belum juga ada yang berani bertanya. Mereka saling berpandangan lagi, dan dari mata mereka sepekat menunjuk Leman Lengkung yang harus bertanya dulu. Leman Lengkung menarik nafas panjang. Dia benar-benar terbebani dengan kesepakatan mata kawan-kawannya. Tidak ada pilihan lagi, Leman Lengkung harus bertanya.
“Maaf, Tah, sudah due hari Atah berdiri di sini, ade ape sebetulnye, Tah?” Leman Lengkung dengan suara agak ketakutan memberanikan diri bertanya.
Atah Roy diam saja. Dia masih menatap lautan luat lekat-lekat. Mata Atah Roy memang penuh harap, tapi entah harapan apa yang ada di mata itu.
“Tah, kalau bisa kami bantu, kami dengan sekuat tenage dan pikiran membantu Atah,” tambah Kahar Sulah.
“Betul, Tah, sebagai generasi mude kami tak ingin Atah menanggung beban sendiri. Kami bertanggung jawab dengan apepun permasalahan yang sedang Atah hadapi,” Yusup Cacing yakin.
Perlahan-lahan Atah Roy mengalihkan pandangannya dari laut ke kawan-kawan Leman Lengkung. Satu persatu kawan-kawan Leman Lengkung ditatap Atah Roy. Atah Roy tersenyum, kawan-kawan Leman Lengkung ikut tersenyum.
“Aku menunggu harapan agar kampung kite tidak ketinggalan,” suara Atah Roy berat.
Kawan-kawan leman Lengkung saling berpandangan. Mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan Atah Roy.
“Maksud Atah, ape?” Kahar Sulah berni bertanya.
“Aku menunggu presiden datang ke kampung kite,” jelas Atah Roy.
“Ngape pulak macam tu, Tah?” Tapa Tengkes menyela.
“Tak mungkin presiden datang ke kampung kite, Tah?” tanya Kahar Sulah pula.
“Itulah, kalau presiden datang ke kampung kite, pasti jalan kampung kite ni tak rusak lagi. Sekolah kite tak macam kandang kambing, parit kite kene beton, pelabuhan kite tak condung lagi, pokoknye kampung kite berubah total,” jelas Atah Roy.
“Tapi tak mungkin presiden datang ke kampung kite, Tah,” ujar Kahar Sulah mengulangi pernyataannya.
“Itu sebabnye, aku berdiri di jambatan ini, nak menyeru kepade kekuatan laut, agar presiden datang ke kampung kite,” Atah Roy yakin.
Kawan-kawan Leman Lengkung saling berpandangan kembali, dan tanpa aba-aba, mereka berdiri seperti Atah Roy untuk menyeru kekuatan laut nak memanggil presiden.
Orang-orang kampung di belakang mereka heran, dan menduga-duga, kawan-kawan Leman Lengkung kemasukan seperti Atah Roy juga. Mereka kembali menduga-duga.
         

Jumat, 14 September 2012

Hantu Duit


“Masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada penanganan khusus untuk menyelesaikannya!” ujar Ketua Hantu Duit geram.
“Tapi…,”
“Siapa nama manusia itu?” Ketua Hantu Duit memotong kalimat anak buahnya. Ia tidak mau dipusingkan dengan laporan kegagalan. Ketidak becusan anak buahnya membuat dirinya terhina.
Sebenarnya, Ketua Hantu Duit heran juga, ketika mendapat laporan dari anak buahnya tentang seseorang menolak bujuk rayu Hantu Duit untuk memanfaatkan duit sebagai senjata paling ampuh. Selama ia menjabat sebagai ketua perkumpulan Hantu Duit, itu kira-kara 100 abad yang lalu, belum pernah manusia menolak duit sebagai keperkasaan.
“Manusia seperti apa itu?” tanya Ketua Hantu Duit dalam hati. Keheranannya tidak pernah disampaikan kepada anak buahnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan perkumpulan yang ia ketuai.
“Orang memanggilnya Atah Roy, Pak Ketua,” ucap salah satu anak buah.
“Atah Roy? Di negara mana Atah Roy itu hidup?” Ketua Hantu Duit mencoba menelusuri manusia aneh itu.
“Indonesia, Pak Ketua,” tambah salah satu anak buahnya yang lain.
Mendengar kata Indonesia, Ketua Hantu Duit ketawa sejadi-jadinya, bahkan sampai berguling-guling. Ia merasakan dadanya mau pecah karena tertawa terbahak-bahak. Baru kali ini ia mendapat laporan orang Indonesia tidak suka dengan duit. Padahal sebelumnya di Indonesia itulah para Hantu Duit sangat perkasa. Para Hantu Duit yang bertugas di Indonesia selalu mendapat penghargaan tertinggi dari perkumpulan ini. Bahkan menurut pembesar-pembesar yang pernah bertugas di Indoensia, di sanalah pekerjaan Hantu Duit sangat mudah. 
Tentu saja laporan anak buahnya tidak masuk akal di benak Ketua Hantu Duit. Namun demikian, Ketua Hantu Duit mencoba menenangkan diri. Ia betul-betul merasa aneh. Dengan sekuat tenaga, Ketua Hantu Duit meredam tawanya, walaupun di bibirnya senyum masih meregah, tanda menahan tawa.
“Ini laporan yang sangat menarik…,” ujar Ketua Hantu Duit menahan tawa. “Aku benar-benar ingin tahu sosok Atah Roy itu. Siapa yang bisa menceritakan kepada aku?” pinta Ketua Hantu Duit masih menahan tawa.
Seluruh Hantu Duit yang berada di aula pertemuan itu, kira-kira berjumlah 150 hantu, menunjukkan tangan mereka. Mereka sangat antusias sekali ingin menceritakan kepada ketua mereka tentang sosok Atah Roy ini. Ada yang sampai berdiri ke atas meja pertemuan, ada pula yang maju ke depan mendekati Ketua Hantu Duit.
Melihat antusias yang luar biasa dari anak buahnya untuk menceritakan sosok Atah Roy, muka Ketua Hantu Duit berubah. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa sosok Atah Roy meninggalkan bekas di hati anak buahnya. Ia dengan kewibawaan sebagai ketua, menenangkan anak buahnya.
“Tenang, tenang dan harap tenang. Aku minta, kalian duduk kembali,” Ketua Hantu Duit serius. “Aku akan menunjuk langsung siapa yang akan menceritakan kepada aku mengenai Atah Roy ini,” kata Ketua Hantu Duit dengan mata menyapu semua anak buahnya yang ada di aula itu.
Mata Ketua Hantu terbuka lebar. Ia betul-betul tidak menyangka bahwa seluruh anak buah terbaik yang dimiliki perkumpulan, berada di pertemuan ini. Senyum yang tadi menghiasi mulutnya, kini berubah menjadi cemas. Ia berpikir, tidak mungkin anak buahnya yang terhebat dan selalu berpretasi bagus ini, tidak mampu membujuk seorang Atah Roy. “Siapa kali Atah Roy itu?” pikir Ketua Hantu Duit dalam hati.
Anak buahnya semakin ribut, karena terlalu lama ia memutuskan siapa yang dipersilakan untuk menceritakan tentang Atah Roy. Mereka semua ingin berbagi cerita kepada ketua, bagaimana pengalaman mereka berhadapan dengan manusia satu itu. Mereka sudah tidak tahan lagi memeram kisah-kisah selama bertugas menghasut Atah Roy.
“Putuskan sekarang Pak Ketua, kami sudah tak tahan menyimpannya di dalam dada kami ini,” teriak salah satu anak buah. Anak buah yang lain ikut berteriak.
“Cepat Ketua, kami sudah tidak tahan lagi.”
“Betul Pak Ketua,” teriak yang lain serentak.
Ketua Hantu Duit betul-betul dibuat bingung. Matanya masih memandang semua anak buah di aula itu. Ia betul-betul tidak percaya, tidak mungkin anak buahnya merekayasa cerita tentang Atah Roy untuk menurunkan pamor dirinya sebagai Ketua Hantu Duit. Dan dengan turun pamornya, maka dengan mudah lawan politiknya menjatuhkannya dari jabatan ketua. “Ini bukan rekayasa. Tidak mungkin mereka mau mengkudeta aku,” ucap Ketua Hantu Duit dalam hati.
Semakin anak buahnya berteriak, semakin lincah pula bula mata Ketua Hantu Duit bergerak menyapu seluruh anak buahnya di aula itu. Tiba-tiba mata Ketua Hantu Duit berhenti ke salah satu anak buahnya yang selama ini memiliki prestasi sungguh menganggumkan. Anak buahnya ini pernah meluluhkan hati seorang guru yang berpegang teguh pada kejujuran, harus menghambakan diri kepada duit. Sekarang guru itu kaya raya, tapi kejujurannya semakin miskin. Prestasi besar lainnya adalah menghasut seorang presiden untuk berpihak kepada yang berduit saja, sehingga di negara itu rakyatnya miskin, sementra pejabat-pejabat dan orang yang dekat dengan penguasa hidup serba mewah.
“Kamu, saya percayakan untuk menceritakan tentang Atah Roy itu,” Ketua Hantu Duit menunjuk anak buahnya yang beprestasi menganggumkan itu.
“Bapak Ketua tidak akan percaya dengan apa yang saya ceritakan. Semuanya di luar jangkauan kita selama ini,” ujar anak buah yang berprestasi itu.
“Maksud kamu?”
“Betul-betul tidak masuk akal, Pak.”
“Cerikan sedikit saja,” pinta Ketua Hantu Duit.
“Ketika anak saudaranya sakit, dan Atah Roy sangat butuh duit untuk pengobatan anak saudaranya. Dia ditawari mengatasi masalah duit dengan mengatakan bahwa tokoh si anu, tokoh politik yang ingin jadi gubernur Pak, adalah tokoh yang telah berjasa di kampungnya. Atah Roy menolak dengan tegas, Pak,” anak buah yang berprestasi itu mulai bercerita.
“Siapa betul Atah Roy itu, sehingga orang berharap dia bicara?” tanya Ketua Hantu Duit penasaran.
“Atah Roy itu di kampungnya terkenal sebagai tokoh yang jujur, Pak. Apapun yang dikatakan Atah Roy, orang kampung pasti mengikutinya. Dia juga terkenal taat beribadah, tidak pernah berbuat kesalahan yang merugikan orang kampung, Pak. Pokoknya Atah Roy itu seperti dewa,” tambah anak buah berprestasi itu lagi.
“Bagaimana kehidupan Atah Roy itu?” Ketua Hantu Duit menyelidiki.
“Biasa Pak, seperti kebanyakan manusia lainnya.”
“Maksudku kerjanya.”
“Subuh sudah bangun. Setelah sholat Subuh berjemaah di mesjid, dia langsung ke kebun karet…,”
“Maksudku kekayaannya?” potong Ketua Hantu Duit agak emosi.
“Tidak kaya, dan tidak juga miskin, Pak. Tapi dia berkeyakinan bahwa duit bukanlah segala-galanya,” anak buah berprestasi itu menambah.
“Aku jadi bingung. Maksudmu seperti apa?”
“Pernah perusahaan besar bergerak di bidang hutan, mau menyogok dia agar menandatangani persetujuan hutan di kampungnya dikelola perusahaan itu, namun Atah Roy menolaknya Pak, padahal kalau Atah Roy menandatangani persetujuan tersebut Pak, pasti orang kampung juga ikut menandatangani. Berbagai usaha dilakukan oleh perusahaan itu, termasuk memberikan dia duit yang berlimpah, tapi Atah Roy tetap menolak. Pada saat itu Pak, Atah Roy sangat butuh duit untuk membiayai operasi adik kandungnya,” panjang lebar anak buah yang berprestasi itu bercerita kepada Ketua Hantu Duit.
“Kenapa Atah Roy menolak?” Ketua Hantu Duit semakin penasaran.
“Itu saya tidak tahu, Pak. Bukankah kerja saya cuma menghasut manusia menerima duit. Kalau masalah itu Bapak tanyakan kepada saya, tidak tepat Pak, karena ada hantu lain yang bertugas masalah itu,” jelas hantu berprestasi dengan polos.
“Baik, aku yang akan turun langsung mengatasi Atah Roy itu,” ujar Ketua Hantu Duit yakin.
***

“Tah, kami berharap Atah menerima duit ini,” ucap lelaki tampan dengan pakaian necis di ruang tamu rumah Atah Roy, sambil menyodorkan duit hampir satu koper.
“Aku ini memang orang miskin, tapi aku tidak akan mengadaikan tanah aku ini disebabkan duit,” tegas Atah Roy menolak pemberian lelaki tersebut.
“Tapi Tah, dengan duit ini, Atah bisa melakukan kebaikan yang lebih banyak lagi untuk orang kampung,” tambah kawan lelaki berpakaian necis itu. Lelaki itu juga berpakaian necis, bahkan lengkap pakai dasi.
“Sudah aku cakap, tidak mungkin aku ini menggadaikan tanah kelahiran aku gara-gara duit. Aku memang perlu duit, tapi tidak begini caranya aku mendapatkan duit. Tanah kami ini harus ada sampai kiamat, kami tak ingin tanah kami hilang disebabkan kerakusan,” jawab Atah Roy tegas.
Ketua Hantu Duit keluar dari duit di koper itu. Dengan memasang tampang ramah, Hantu Duit mulai berbisik di telinga Atah Roy.
“Roy, duit ini bukan hanya untuk kepentingan engkau seorang. Engkau harus membuka diri sedikit saja untuk membantu keluarga engkau dan orang kampung. Dengan duit sebanyak itu, dapat engkau gunakan menyelamatkan orang kampung, sekaligus diri engkau dan keluarga,” bujuk Ketua Hantu Duit.
“Astaqfirullahalazim,” Atah Roy mengucap.
“Sesekali Roy, bukan sering engkau berbuat seperti ini. Aku yakin, orang-orang tidak akan memandang rendah kepada engkau, sebab duit ini akan engkau gunakan untuk membantu orang-orang kampung. Orang kampung memerlukan pertolongan engkau, Roy. Tenguklah Usup Lebam, anaknya sudah 4 bulan sakit dan terbaring di rumah, tanpa dibawa ke rumah sakit, karena tidak memiliki biaya. Begitu juga Siti Kasmah, suaminya sudah bertahun-tahun tak balik, sehingga ke 5 anaknya tidak terurus. Banyak lagi orang kampung engkau terbantu dengan duit yang engkau terima itu. Jangan tunggu lagi Roy, inilah kesempatan engkau menolong mereka,” Ketua Hantu Duit semakin genjar merayu Atah Roy.
Air mata Atah Roy mengalir di pipinya. Atah Roy benar-benar tak mampu membuang bayangan orang-orang terdekatnya yang sedang dilanda kesusahan di benaknya. Atah Roy pun terkenang kepada Syuib Lebah yang kakinya digiling mesin sagu 7 bulan lalu dan sampai sekarang tidak diobati. Pikiran Atah Roy juga berjalan ke masalah Kasmah dan anak-anaknya, karena suaminya Gani Engkang menghilang ketika pergi menjaring. Atah Roy betul-betul berada dalam keadaan yang sangat membingungkan.
Berkali-kali Atah Roy menatap duit di dalam koper itu. Berkali-kali pula ia membuang muka. Kalau diterima duit ini, maka tanah kelahirannya dikuasai orang lain dan orang kampung akan teraniaya sampai ke anak cucu mereka. Kalau tidak diterima, orang kampung memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah yang sedang mereka hadapi. Atah Roy berada di dua masalah yang sangat membingungkannya, namun ia harus membuat keputusan, walaupun keputusan itu nantinya menyakitkan.
Atah Roy memandang kedua orang yang berada di depannya dengan berlinang air mata. Ia menarik nafas panjang.
“Dengan berat hati, aku harus…,” air mata terus membasahi pipi Atah Roy.
“Tunggu apa lagi Roy, ini kesempatan membantu orang-orang kampung engkau, duit ini bukan untuk engkau sediri,” bujuk Ketua Hantu Duit.
“Aku tak mau menggadai tanah ini, bawak balik duit kalian ini!” ujar Atah Roy tegas.
Ketua Hantu Duit pun terkejut, dan langsung menghilang dalam tumpukan duit di koper itu.
“Masih adakah manusia seperti ini? Ah, mati aku,” suara Ketua Hantu Duit terdengar lirih.       

 .