Pada pelantikan Barack Obama menjabat menjadi Presiden Amerika yang kedua kalinya (21/1/2013), kembali pembacaan puisi dipegelarkan. Rupanya pelantikan Presiden Amerika memang identik dengan baca puisi. Puisi menjadi sesuatu perekat diri manusia Amerika. Sebagai ‘perekat’ sekaligus simbol demokrasi, penyair yang membacakan puisi karyanya sendiri itu pun dipilih mewakili keberagaman bangsa Amerika. Terpilihlah Richard Blanco, imigran berdarah Kuba. Richard Blanco lahir di Spanyol kemudian berimigrasi ke Amerika bersama ibunya. Puisi berjudul One Day karya Richard bergema di pelantikan Barack Obama.
Leman Lengkung
terkagum-kagum dengan pelantikan Presiden Amerika. Leman Lengkung berpikir
bahwa Pemerintah Amerika paham betul meletakkan ‘kehalusan’ yang diemban karya
sastra, dijadikan mempersatu bangsanya. Setahu Leman Lengkung, Amerika Serikat
yang dihuni oleh imigran dari penjuru dunia, pada awalnya adalah bangsa babar. Amarika
Serikat merupakan kawasan pembuangan para pembangkang (penjahat) dari Inggris,
Perancis ataupun dari bangsa yang terlebih dahulu maju. Mungkin, pikir Leman
Lengkung, puisi dengan kata-kata pilihan dapat dijadikan perahut agar hati
lebih peka terhadap kejadian yang ada di sekitar manusia. Betullah tu, One Day karya Richard Blanco itu
bercerita tentang Amerika Serikat pada hari ini, pikir Leman Lengkung lagi.
Melihat Leman
Lengkung akhir-akhir ini asik membaca karya-karya sastra, terutama puisi, Atah
Roy jadi heran. Berdasarkan pengamatan dan kajian Atah Roy selama ini, Leman Lengkung
paling tidak suka membaca puisi. Pernah Atah Roy mendengar Leman Lengkung
bercakap bahwa untuk apa membaca puisi, bahasa sukar diartikan, dan penyair
hanya mementingkan dirinya saja. “Penyair kita hanye menulis peristiwa luke dia
aje. Luke disebabkan cintalah, karya sastra tak dibacalah, sampai hal-hal yang
remeh-temeh pun dibuat puisi. Sementare masalah sosial yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat, diabaikan begitu saje,” cakap Leman Lengkung ini
masih tegiang di telinga Atah Roy.
Itulah sebabnya
Atah Roy heran menenguk Leman Lengkung, alih-alih suke dengan puisi. Sudah 4
hari Atah Roy memeram keheranannya, namun hari ini Atah Roy tak tahan lagi,
apelagi hari ini Leman Lengkung baca puisi dengan bergaya.
“Amboi, amboi
dikau, Man, bukan main lagi, bace puisi bergaya macam penyair betul?” ujar Atah
Roy.
Leman Lengkung
terkejut dan langsung berhenti baca puisi.
Muka Leman Lengkung berubah agak memerah.
“Atah ni, debo
saye jadinye. Biaselah Tah, bace puisi harus masuk ke dalamnye, dan bergaya
merupekan ekspresi dari puisi yang kite bace,” jelas Leman Lengkung dengan
tersipu-sipu.
“Betul tu, Man.
Tak salah de, tapi yang aku herankan kenape dikau suke betul dengan puisi
akhir-akhir ini?” Atah Roy hendak menyelidik Leman Lengkung.
“Puisi kalau
dihayati betul-betul Tah, akan memunculkan semangat kite untuk berjuang
mengarungi kehidupan ini. Kate-kate yang dirangkai jadi puisi macam memiliki
roh, kate-kate itu menyelinap ke hati, lalu mengunggah kesadaran kite, Tah,”
ujar Leman Lengkung panjang lebar.
Atah Roy
tersenyum saja. Dalam hati Atah Roy bercakap, “Budak Leman ni, itik pulak
hendak diajar berenang,” tapi ucapan itu tidak disampaikan kepada Leman
Lengkung. Atah Roy takut Leman Lengkung berkecil hati pula nantinya.
“Puisi juge Tah,
membuka celah-celah pengetahuan kite akan pentingnya menghargai manusie
lainnye. Pokoknye puisi the bestlah
Tah,” Leman Lengkung bersemangat menjelaskan kepada Atah Roy.
“Dah lame aku
tahu Man. Dikau aje yang baru tahu,” Atah Roy agak kesal karena diajar Leman
Lengkung. “Yang aku herankan dari dikau sekarang ni Man, mengape dikau suke
puisi akhir-akhir ini, padahal sebelumnye dikau tak suke?” Atah Roy kembali
menyelidik Leman Lengkung.
“Atah tak
mengikuti zaman. Makenye Tah, jadi orang tu jangan nonton sinetron aje,
sesekali sempatkan diri nonton berita,” ujar Leman Lengkung dengan bangga.
“Aduh Man, bukan
main medetus kate-kate dikau masuk ke hati aku! Atah Roy menahan geram. Darahnya
sudah sampai ke ubun-ubun.
“Bukan ape-ape
Tah, dari beritalah kite tahu perkembangan dunia. Atah nenguk waktu Barack
Obama dilantik jadi Presiden Amerika? Tak nengukan?” Leman Lengkung seperti
mengejek Atah Roy.
“Man, Man, kalau
tali kail panjang sejengkal, jangan lautan dalam hendak diduge. Mulai dari
Presiden Amerika Serikat yang pertame, George Washington, sampai Barack Obama,
akulah yang menjahit jas mereke. Jadi jangan sombonglah Man!” suara Atah Roy
mulai meninggi. “Pertanyaan aku, kenape dikau suke dengan puisi sekarang ni?”
nada pertanyaan Atah Roy sudah lain kedengarannya, penuh amarah.
“Tah, waktu
Barack Obama dilantik jadi presiden yang pertame, penyair pembaca puisinya
bername Elizabeth Alexander, dan pelantikan yang kedue, tampil penyai Richard
Blanco. Begitulah dahsyatnye Amerika Serikat memposisikan puisi,” kata Leman
Lengkung sambil mengangguk-angguk.
“Selalu macam
itu orang kite ni, Man. Semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mate,
pakai tak nampak aje,” jelas Atah Roy.
“Hubungannye
dengan bace puisi di pelantikan Presiden Amerika, Tah?” Leman Lengkung mulai
penasaran.
“Orang Melayu
sampai sekarang ni tetap menghargai karya-karya sastra, terutame puisi. Cube
dikau bukak mate lebo-lebo Man, setiap orang Melayu mengadekan acara pernikahan,
puisi selalu dibacekan,” ujar Atah Roy yakin.
“Ape betul tu
Tah? Rase saye tak ade de,” Leman Lengkung tak yakin.
“Setiap
pengantin lelaki hendak masuk ke rumah pengantin wanita, pihak pengantin lelaki
harus pandai pantun untuk membuka kain. Dan begitu juge dengan pihak wanita,
harus pandai berpatun. Terjadilah berbalas pantun. Bukankan pantun itu adalah
puisi? Dan setiap orang Melayu menikah, berbalas pantun tetap diadekan? Apekah
orang Melayu tidak menghargai karya sastra? Jangan dikau macam-macam Man,” Atah
Roy menjelaskan kepada Leman Lengkung panjang lebar.
“Ye, tak ye juge
ye, Tah. Ngapelah kalau orang kite tak sado ye Tah?” tanya Leman Lengkung.
“Bukan orang
lain yang tak sado, dikau tu yang tak sado diri!” kate Atah Roy sambil menekak
kepale Leman Lengkung. Leman Lengkung tak berbunyi.