Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Jumat, 07 Desember 2012

Hanya Air Putih


Manusia dilahirkan di muka bumi ini memiliki misteri sendiri-sendiri. Misteri inilah yang membentuk perangai dan tabiat manusia, sehingga manusia itu berbeda-beda. Rupanya ketidakjelasan yang terbungkus dalam misteri menjadi identitas manusia. Ketidakjelasan seperti rel menuntun manusia menuju stasiun ketidakjelasan lainnya. Atah Roy mencoba menyimpulkan bahwa misteri merupakan eksistensi manusia untuk terbebas dari ketidakjelasan menuju ketidakjelasan lainnya.
Misteri itu, menurut buku yang pernah Atah Roy baca, harus tetap ada di kehidupan manusia. Dengan misteri ini, manusia akan berusaha sekuat tenaga dan pikiran memunculkan kekuatan agar terlihat di permukaan misteri itu. Kemunculan manusia inilah yang menjadikan manusia itu dipandang oleh manusia lainnya. Setelah terpandang atau menonjol dari manusia lainnya, maka misteri lain akan menjelma pula. Untuk itulah Atah Roy tidak heran sangat dengan tingkah laku Zakir yang baru datang dari kota.
Kebanyakan orang kota, baik orang kota yang berasal dari kampung, maupun orang yang terlahir di kota, kampung menjadi tempat mencurahkan segala ‘kehendak’ agar mereka lebih dibandingkan dengan yang lain. Dan itulah yang dilakukan Zakir yang baru 2 hari balik kampung.
Untuk memunculkan keberadaannya, Zakir pun berpenampilan berbeda dengan orang kampung. Setiap hari Zakir mengenakan pakaian produk terkenal, sepatu kulit terkenal, jam tangan merk terkenl, walaupun orang kampung tidak tahu itu produk terkenal, tapi bagi Zakir, ia harus terkenal dengan penampilan yang berbeda.
Kedatangan Zakir 2 hari yang lalu, memang menjadi pembicaraan hangat di kalangan pemuda kampung. Di kedai kopi Ngah Tamam, 2 hari ini, Zakir menjadi topik utama, mengalahkan topik harga karet turun drastis atau pun topik mengenai kekalahan tim sepakbola negara ini dari negara jiran. Nama Zakir melompat berulang-ulang kali dari mulut pemuda kampung. Mereka bercerita mulai dari gaya zakir, sampai cerita Zakir yang telah berulang-ulang ke luar negeri.
“Ape kerje Wak Zakir tu, Man?” tanya Yusup Sempot kepada Leman Lengkung.
“Entahlah Sup, kate saudare aku di kota, Wak Zakir tu ade usaha jual beli mobil mewah,” jawab Leman Lengkung sambil menyedot tehesnya.
“Dikau tentu tahu, Man, Wak Zakir tu kan ade hubungan saudare dengan dikau?” tanya Jang Gagak pula.
“Aku takut mengaku saudare, Jang. Awak aje yang mengaku, die tidak, malu awak dibuatnye,” jelas Leman Lengkung.
Atah Roy masuk kedai kopi Ngah Tamam dan duduk di kursi paling sudut. Pemuda-pemuda, termasuk Leman Lengkung melihat serentak ke arah Atah Roy. Atah Roy pura-pura tidak melihat pemuda-pemuda itu.
“Kalau bapak yang baru duduk di sudut tu, baru saudare dikau ye, Man?” Kahar Kongak bergurau.
“Walaupun die macam tu, die tulah bapak saudare aku yang terbaik dunie akhirat,” ucap Leman Lengkung, disambut gelak tawa kawan-kawannya. Kedai kopi Ngah Tamam pecah dengan tawa pemuda-pemuda kampung.
Atah Roy pura-pura tidak tahu saja. Dia tahu bahwa ketawa yang sedang berlangsung itu adalah ketawa menyindir dirinya. Sebagai orang tua, Atah Roy harus bijaksana, apalagi di saat sekarang, nama Zakir jauh meninggalkan populeritas Atah Roy di kampung ini. Seandainya Atah Roy bersikap prontal alias memarahi pemuda kampung di kedai kopi ini, maka semakin melorotlah kepopuleran Atah Roy.
“Kopi O segelas, Mam,” Atah Roy memesan kopi dengan suara berat penuh makna.
Pemuda kampung tahu betul, kalau suara Atah Roy sudah berisi seperti itu, maka ada sesuatu yang tidak kena. Mereka pun diam, ketawa mereka tahan.
“Kalau suare Atah kite dah macam tu, jangankan kite, harimau pun tak berani mengaum lagi,” ujar Yusup Sempot, dan pemuda lain menutup mulutnya agar ketawa tidak lepas membahana di kedai Ngah Tamam ini.
Ngah Tamam membawa secangkir kopi dan sepiring kue ke meja Atah Roy. Ngah Tamam pun duduk.
“Dari mane dikau, Roy? Macam ada yang tak lepas nampaknye ni?” tanye Ngah Tamam kepada Atah Roy.
Belum sempat Atah Roy menjawab pertanyaan Ngah Tamam, pemuda-pemuda berdiri sambil bertepuk tangan. Atah Roy dan Ngah Tamam memandang ke arah pemuda. Rupanya Wak Zakir sudah berada di kedai itu.
Wak Zakir dengan gaya yang dibuat-buat wibawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan dia langsung duduk di kelompok pemuda.
“Dari mane, Wak?”
“Bertambah ganteng aje Wak awak ni.”
“Pasti Wak ade gagasan nak mengubah kampung kite ni?”
“Wak memang tak ade lawan.”
Pemuda-pemuda silih berganti memuja-muji Wak Zakir. Lubang hidung Wak Zakir pun semakin mengembang.
“Air putih segelas, Mam,” pinta Wak Zakir.
Pemuda-pemuda terdiam. Mereka saling berpandangan. Mereka heran kenapa Wak Zakir hanya meminta air putih. Kalau setakat air putih, tak perlulah singgah kedai kopi, pikir mereka.
“Pesan air putih aje, Wak?” tanya Kahar Kongak.
“Ye. Kenape?” tanya Wak Zakir.
“Tak ade pesan lain ke?” tanya Yusup Sempot pula.
“Tak. Ade masalah?” tanye Wak Zakir pulak.
“Kalau nak minum air putih, di umah aje, Wak. Ini kedai kopi, paling tidak pesan air kopi,” tambah Jang Gagak.
“Ooo... macam tu.”
“Memang macam tulah kebiasaan di kedai kopi, dari dulu sampai sekarang, Wak,” tambah Leman Lengkung.  
“Sebetulnye, aku lupe bawak duit,” jelas Wak Zakir.
Dari sudut suara Atah Roy menggema.
“Air putih je, tak ade yang lain ke?”
Pemuda-pemuda memandang ke arah Atah Roy. Mereka tersenyum malu. Di benak pemuda-pemuda kampung membuat kesimpulan masing-masing dan mengatakan kalau orang masuk kedai kopi hanya memesan air putih, ada due penyebabnye. Satu, tak ade duit dan kedue, orang itu pelokik. Dan mereka menyimpulkan Wak Zakir, beso cerita, tak sesuai kenyataan dengan ceritanya. Pemuda-pemuda kampung pun menghampiri Atah Roy. Atah Roy santai saja.