Mungkin
disebabkan kezaliman yang semakin menjadi-jadi di negeri ini, orang-orang
selalu menunggu sosok yang dapat membawa perubahan memihak kepada nasib rakyat.
Tentu saja di masing-masing daerah memiliki sosok tokoh masa lalu untuk
dijadikan panutan. Tidak terkecuali di Riau yang notabene sebagai tanah Melayu. Banyak sekali tokoh-tokoh masa lalu
Melayu yang dapat dijadikan panutan untuk hari ini, dan yang paling populer
adalah Hang Jebat. Hang Jebat-lah tokoh masa lalu yang pertama menantang
keputusan Sultan Mahmud yang zalim itu. Sayang, Hang Jebat harus tewas di
tangan yang menyebabkan dia melakukan perlawanan. Kesia-siaanlah yang menjelma
seandainya orang yang dibela menantang orang yang membelanya. Namun harapan munculnya
sosok Hang Jebat pada hari ini harus dipelihara.
Bagi Atah Roy
berharap kemunculan sosok seperti Hang Jebat pada hari ini merupakan kewajiban.
Atah Roy menyadari bahwa pada hari ini pemimpin tidak lagi menjadi perpanjangan
tangan Tuhan di muka bumi, malahan sebaliknya, selalu menentang kehendak Ilahi.
Akibatnya pemimpin bukan sebagai pohon besar tempat berteduh rakyat, tetapi
sebagai parasit menghisap darah rakyat. Pemimpin senang, rakyat terbungkang.
Tersebab sangat
negeri ini berubah menjadi lebih baik, Atah Roy pun seperti kehilangan akal.
Setiap hari Atah Roy menjerit memanggil nama Hang Jebat. Tiba-tiba, pada suatu
pagi, hp Atah Roy berdering. Di layar hp itu hanya tercantum nomor, tidak ada
nama si penelpon. Dengan berat hati Atah Roy pun melayani penelpon tersebut.
“Ini Roy? Orang
selalu memanggil Atah Roy?” tanya penelpon.
“Betul. Ini siape?”
“Perlukah aku
menyebut siape name aku?”
“Sangat perlu.
Kate orang tue-tue dahulu, tak kenal, maka tak sayang. Kalau dah tak sayang
tentu tak cinta, kalau dah tak cinta, percakapan ini, kita akhiri saja,” jawab
Atah Roy.
“Aku Hang Jebat,”
“Hang Jebat
mane?”
“Hang Jebat yang
dianggap oleh penguasa sebagai pendurhaka.”
Darah Atah Roy
mendidih geram. Hatinya yang sedang risau membuat Atah Roy tak mampu menahan
emosi disebabkan gurauan si penelpon.
“Jangan dikau
bergara dengan aku,ye! Terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepade dikau, aku
tak bertanggung jawab!” ujar Atah Roy dengan penuh emosi.
“Aku tidak
bergurau, Roy. Aku memang Hang Jebat,” ujar si penelpon.
“Sekali lagi
dikau mempermainkan aku, make akan aku cari dikau sampai ke lubang cacing!”
sergah Atah Roy.
“Betul Roy, aku
Hang Jebat. Akmu tidak pernah bergurau dalam keadaan yang tidak menentu. Aku
rela mati untuk menengak kebenaran, dan bukan sifat aku bermain di atas
kelukaan orang lain. Memang engkau tidak aka percaya bahwa aku ini Hang Jebat.
Aku tahu itu. Engkau harus sadar, Roy, sesuatu yang selalu diseru dipanggil
datang setiap saat, tidak mustahil akan terwujud. Aku mendengar keluh-resah
engkau pada negeri ini. setiap detik engkau resah, dan setiap detik aku
mendengar resah engkau. Makenya aku menlpon engkau,” si penelpon menjelaskan
panjang lebar kepada Atah Roy.
“Mustahil! Aku
tak percaye! Dikau jangan merepek!” suara Atah Roy besar.
“Itu hak engkau
tidak mempercayai aku. Begitu jugelah Hang Tuah, die merase aku ini seorang
pendurhake, padahal bagi aku, aku membela kebenaran. Sultan Mahmud-lah yang
tidak memiliki hati nurani, dan takut kepopuleran Hang Tuah akan melebihi diri
sultan. Selain itu. Sultan selalu percaye kepada orang luar dibandingkan anak
watan sendiri. mempercayai orang luar, harus hati-hati, tersebab mereka mau
hidup di negeri orang. Seburuk apepun anak watan, tak akan ingin negerinye
binase. Tapi bagi orang luar, kesenangan diri sendiri merupakan tujuan mereka, tanpa
memikirkan nasib negeri ini kelak. Mereka akan angkat kaki dari negeri ini
ketika kesenangan sudah mereka dapatkan. Mereka akan bangun negeri mereka dari
kepercayaan kita. Aku tahu, Roy, engkau sangat gelisah, tersebab di negeri
Melayu engkau ini belum muncul tokoh yang dapat jadi panutan. Kalian pade hari
ini terperangkap oleh kesenangan sesaat,” ujar si penelpon yang mengaku Hang
Jebat panjang lebar.
Atah Roy
tersandar di dinding rumahnya. Tangan kanannya masih memegang hp yang
dilekapkan di telinganya. Atah Roy seakan habis kata-kata hendak melayani si
penelpon. Namun demikian, Atah Roy tetap tidak percaya bahwa yang menelponnya
adalah Hang Jebat.
“Dikau jangan
mempermainkan aku,” suara Atah Roy melemah. “Aku bisa berbuat apepun dalam
keadaan seperti ini,” ucap Atah Roy lagi.
“Roy, aku tahu
dikau tidak mempercayai aku yang sedang menelpon engkau ini. Aku pun tidak
berharap engkau mempercayai aku. Sedangkan Hang Tuah yang aku bela saja, tidak
mempercayai aku. Sangat memedihkan ketika Hang Tuah mengatakan bahwa aku ini
tergila-gila hendak berkuasa. Aku mengamuk untuk menjunjung marwah. Aku ini
orang Melayu, Roy. Bagi aku harga diri lebih penting dibandingkan berkuasa.
Tapi dimasa engkau sekarang ini, Roy, kalian yang mengaku orang Melayu harus
bangkit menjadi penguasa. Di masa kalian ini, marwah Melayu ditegakan dengan
kekuasaan. Perlu diingat Roy, carilah pemimpin yang sangat peduli pade rakyatnye,
yang peduli pade Melayu,” tambah penelpon yang mengaku Hang Jebat.
“Aku...,”
“Engkau tidak
perlu percaye yang menelpon engkau sekarang ini adalah aku, Hang Jebat. Paling
penting sekarang ini, jangan ke-Melayu-an engkau hari ini terkikis. Bukan
engkau saje, Roy, semue orang Melayu, jangan sesekali menjual Melayu untuk
kepentingan kekuasaan. Orang lain mengintai terus, Roy. Mereka tahu kelemahan
orang Melayu tak kuat disanjung. Untuk itu, aku berharap kalian tidak termakan
sanjungan orang-orang di luar orang Melayu,” tambah penelpon yang mengaku Hang
Jebat. Setelah mengucapkan kalimat itu, hubungan telpon pun terputus.
Atah Roy tak
puas. Dia pun kembali menelpon nomor yang barusan menghubunginya. Namun Atah
Roy tidak menemukan nomor tersebut. Tidak ada nomor masuk pagi hari ini di
hpnya. Detak jantung Atah Roy semakin kencang, seiring berdiri bulu romanya.
Atah Roy tidak berbuat apa-apa. Di hatinya berucap “Aku harus menunggu Hang
Jebat.”