Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Kamis, 19 September 2013

Menunggu Hang Jebat


Mungkin disebabkan kezaliman yang semakin menjadi-jadi di negeri ini, orang-orang selalu menunggu sosok yang dapat membawa perubahan memihak kepada nasib rakyat. Tentu saja di masing-masing daerah memiliki sosok tokoh masa lalu untuk dijadikan panutan. Tidak terkecuali di Riau yang notabene sebagai tanah Melayu. Banyak sekali tokoh-tokoh masa lalu Melayu yang dapat dijadikan panutan untuk hari ini, dan yang paling populer adalah Hang Jebat. Hang Jebat-lah tokoh masa lalu yang pertama menantang keputusan Sultan Mahmud yang zalim itu. Sayang, Hang Jebat harus tewas di tangan yang menyebabkan dia melakukan perlawanan. Kesia-siaanlah yang menjelma seandainya orang yang dibela menantang orang yang membelanya. Namun harapan munculnya sosok Hang Jebat pada hari ini harus dipelihara.
Bagi Atah Roy berharap kemunculan sosok seperti Hang Jebat pada hari ini merupakan kewajiban. Atah Roy menyadari bahwa pada hari ini pemimpin tidak lagi menjadi perpanjangan tangan Tuhan di muka bumi, malahan sebaliknya, selalu menentang kehendak Ilahi. Akibatnya pemimpin bukan sebagai pohon besar tempat berteduh rakyat, tetapi sebagai parasit menghisap darah rakyat. Pemimpin senang, rakyat terbungkang.
Tersebab sangat negeri ini berubah menjadi lebih baik, Atah Roy pun seperti kehilangan akal. Setiap hari Atah Roy menjerit memanggil nama Hang Jebat. Tiba-tiba, pada suatu pagi, hp Atah Roy berdering. Di layar hp itu hanya tercantum nomor, tidak ada nama si penelpon. Dengan berat hati Atah Roy pun melayani penelpon tersebut.
“Ini Roy? Orang selalu memanggil Atah Roy?” tanya penelpon.
“Betul. Ini siape?”
“Perlukah aku menyebut siape name aku?”
“Sangat perlu. Kate orang tue-tue dahulu, tak kenal, maka tak sayang. Kalau dah tak sayang tentu tak cinta, kalau dah tak cinta, percakapan ini, kita akhiri saja,” jawab Atah Roy.
“Aku Hang Jebat,”
“Hang Jebat mane?”
“Hang Jebat yang dianggap oleh penguasa sebagai pendurhaka.”
Darah Atah Roy mendidih geram. Hatinya yang sedang risau membuat Atah Roy tak mampu menahan emosi disebabkan gurauan si penelpon.
“Jangan dikau bergara dengan aku,ye! Terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepade dikau, aku tak bertanggung jawab!” ujar Atah Roy dengan penuh emosi.
“Aku tidak bergurau, Roy. Aku memang Hang Jebat,” ujar si penelpon.
“Sekali lagi dikau mempermainkan aku, make akan aku cari dikau sampai ke lubang cacing!” sergah Atah Roy.
“Betul Roy, aku Hang Jebat. Akmu tidak pernah bergurau dalam keadaan yang tidak menentu. Aku rela mati untuk menengak kebenaran, dan bukan sifat aku bermain di atas kelukaan orang lain. Memang engkau tidak aka percaya bahwa aku ini Hang Jebat. Aku tahu itu. Engkau harus sadar, Roy, sesuatu yang selalu diseru dipanggil datang setiap saat, tidak mustahil akan terwujud. Aku mendengar keluh-resah engkau pada negeri ini. setiap detik engkau resah, dan setiap detik aku mendengar resah engkau. Makenya aku menlpon engkau,” si penelpon menjelaskan panjang lebar kepada Atah Roy.
“Mustahil! Aku tak percaye! Dikau jangan merepek!” suara Atah Roy besar.
“Itu hak engkau tidak mempercayai aku. Begitu jugelah Hang Tuah, die merase aku ini seorang pendurhake, padahal bagi aku, aku membela kebenaran. Sultan Mahmud-lah yang tidak memiliki hati nurani, dan takut kepopuleran Hang Tuah akan melebihi diri sultan. Selain itu. Sultan selalu percaye kepada orang luar dibandingkan anak watan sendiri. mempercayai orang luar, harus hati-hati, tersebab mereka mau hidup di negeri orang. Seburuk apepun anak watan, tak akan ingin negerinye binase. Tapi bagi orang luar, kesenangan diri sendiri merupakan tujuan mereka, tanpa memikirkan nasib negeri ini kelak. Mereka akan angkat kaki dari negeri ini ketika kesenangan sudah mereka dapatkan. Mereka akan bangun negeri mereka dari kepercayaan kita. Aku tahu, Roy, engkau sangat gelisah, tersebab di negeri Melayu engkau ini belum muncul tokoh yang dapat jadi panutan. Kalian pade hari ini terperangkap oleh kesenangan sesaat,” ujar si penelpon yang mengaku Hang Jebat panjang lebar.
Atah Roy tersandar di dinding rumahnya. Tangan kanannya masih memegang hp yang dilekapkan di telinganya. Atah Roy seakan habis kata-kata hendak melayani si penelpon. Namun demikian, Atah Roy tetap tidak percaya bahwa yang menelponnya adalah Hang Jebat.
“Dikau jangan mempermainkan aku,” suara Atah Roy melemah. “Aku bisa berbuat apepun dalam keadaan seperti ini,” ucap Atah Roy lagi.
“Roy, aku tahu dikau tidak mempercayai aku yang sedang menelpon engkau ini. Aku pun tidak berharap engkau mempercayai aku. Sedangkan Hang Tuah yang aku bela saja, tidak mempercayai aku. Sangat memedihkan ketika Hang Tuah mengatakan bahwa aku ini tergila-gila hendak berkuasa. Aku mengamuk untuk menjunjung marwah. Aku ini orang Melayu, Roy. Bagi aku harga diri lebih penting dibandingkan berkuasa. Tapi dimasa engkau sekarang ini, Roy, kalian yang mengaku orang Melayu harus bangkit menjadi penguasa. Di masa kalian ini, marwah Melayu ditegakan dengan kekuasaan. Perlu diingat Roy, carilah pemimpin yang sangat peduli pade rakyatnye, yang peduli pade Melayu,” tambah penelpon yang mengaku Hang Jebat.
“Aku...,”
“Engkau tidak perlu percaye yang menelpon engkau sekarang ini adalah aku, Hang Jebat. Paling penting sekarang ini, jangan ke-Melayu-an engkau hari ini terkikis. Bukan engkau saje, Roy, semue orang Melayu, jangan sesekali menjual Melayu untuk kepentingan kekuasaan. Orang lain mengintai terus, Roy. Mereka tahu kelemahan orang Melayu tak kuat disanjung. Untuk itu, aku berharap kalian tidak termakan sanjungan orang-orang di luar orang Melayu,” tambah penelpon yang mengaku Hang Jebat. Setelah mengucapkan kalimat itu, hubungan telpon pun terputus.
Atah Roy tak puas. Dia pun kembali menelpon nomor yang barusan menghubunginya. Namun Atah Roy tidak menemukan nomor tersebut. Tidak ada nomor masuk pagi hari ini di hpnya. Detak jantung Atah Roy semakin kencang, seiring berdiri bulu romanya. Atah Roy tidak berbuat apa-apa. Di hatinya berucap “Aku harus menunggu Hang Jebat.” 

Sabtu, 14 September 2013

Pemimpin


Atah Roy masih ingat betul ketika negeri ini belum menerapkan otonomi daerah. Riau sebagai derah yang kaya, selalu saja dipercundangi. Orang Riau tidak dapat menjadi pemimpin dinegerinya sendiri, selalu saja orang pusat (Jakarta) ikut campur dalam menentukan pemimpin di Riau. Pada tahun 1985, tepatnya tanggal 2 September, Ismail Suko (alm.) terpilih menjadi Gubernur Riau. Terpilihnya Ismail Suko rupanya tidak dikehendaki oleh orang pusat, dan dengan dipaksa Ismail Suko harus mundur.
Reformasi pada tahun 1998, mengantarkan rakyat Indonesia, terutama orang daerah, dapat bernafas lega, walau tidak seratus persen. ‘Kran’ keterbukaan ini mendorong orang-orang berani untuk bersuara, maka tercetuslah otonomi daerah. Orang daerah pun dapat mengusung pemimpin berasal dari daerah (anak tempatan) menjadi pemimpin.
Atah Roy pernah berdebad dengan kawannya yang berasal dari daerah lain. Kawan Atah Roy itu dengan semangat, katanya semangat nasionalisme, berapi-api mengutarakan bahwa seharusnya otonomi tidak menutup daerah dipimpin siapa saja, selagi orang itu berwarga negera Indonesia.
“Kita ini bangsa yang besar dengan berbagai macam suku, jadi orang Riau seharusnya tidak ngotot menjadikan orang Melayu pemimpin di Riau ini,” ujar kawan Atah Roy.
Mendengar ucapan kawannya itu, Atah Roy naik pitam. Mukanya memerah seketika.
“Apelagi yang hendak diberikan Riau ini kepada tanah air kita yang tercinta ini? jadi pemimpin di tanah sendiri pun kami tak boleh?” Atah Roy agak geram.
“Betul, Riau telah banyak menyumbang untuk negera kita ini, tapi tidak usah memaksa orang Riau atau orang Melayu jadi pemimpin di negeri ini,” tambah kawan Atah Roy.
“Kau pikir, kami tidak mampu jadi pemimpin? Kami bukan tidak mampu, selama ini kami tidak dipercayakan memimpin tanah kami sendiri. Orang-orang pusat takut, kalau kami yang memimpin, maka kami akan membangkang. Kami ini bangsa yang taat mencintai negeri ini. Jangan takutlah kami akan jadi pemberontak!” ucap Atah Roy dengan suara agak meninggi.
“Bukan begitu maksudku, Roy. Di negera kita ini bebas untuk jadi pemimpin, bukan orang Melayu saja yang berhak jadi pemimpin di tanah ini,” teman Atah Roy terus berujar tanpa peduli kemarahab Atah Roy.
“Engkau harus tahu ye, selame ini orang Melayu di Riau selalu saja dianggap orang Malaysia. Berbahasa Melayu di negeri ini, dianggap orang Malaysia, padahal engkau tahukan bahwa Riau itu banyak orang Melayu? Kau pernah mendengar orang Melayu tergile-gile nak menjadi di tanah orang lain? Tak pernahkan. Kami selalu dianggap tak ade di negara ini. Sekarang kesempatan itu terbuka lebar, dan kami tidak akan menyia-nyiakannya. Kami berhak ataj tanah kami ini!” ujar Atah Roy sambil meninju meja yang ada dihadapannya.
Peristiwa percakap itu terjadi 15 tahun  yang lalu, ketika reformasi didengungkan. Kini percakapan itu mengiang-mgiang di telinga dan benak Atah Roy. Atah Roy menyadari, bahwa seburuk apapun orang kita, sedikit banyaknya akan memperhatikan nasib orang-orang yang ada di daerah ini. Seandainya orang lain yang menjadi pemimpin di negeri ini, tanggung jawab mereka atas tanah ini tidak sekuat orang tempatan.
Untuk itulah Atah Roy berpesan kepada Leman Lengkung agar memilih orang Melayu menjadi pemimpin di tanah ini. Bagi Atah Roy memilih orang Melayu sebagai pemimpin di tanah ini merupakan keharusan. Bukan tidak nasionalisme namanya, tapi karena menjunjung nasionalisme itulah, Atah Roy berpikir bahwa mencintai daerah ini dengan pemimpin orang daerah ini kekuatan untuk berbuat untuk kemajuan bersama.
Atah Roy pun membuka kitab lama dan menyampaikan kepada Leman Lengkung, bahwa orang Melayu itu sudah sejak lama memiliki kekuatan demokrasi di benak dan di hati. Atah juga menyampaikan bahwa pemimpin harus tahu membedakan yang baik dengan yang buruk. Tentu saja calon memimpin itu haruslah berilmu, dekat dengan rakyat, tidak buruk pekertinya dan pemurah.
“Jadi, Man, kau harus pilih orang kite. Tak akan ade orang lain yang memperhatikan nasib kite ini de, selain orang kite itu sendiri. Jangan pernah memilih orang yang mengaku diri kite, padahal jelas-jelas die orang lain. Pade dirinye sendiri saje die bengak, apelagi pade orang lain. Banyak orang kita yang mampu menjadi pemimpin dan telah menunjukkan keberhasilan mereke,” kata Atah Roy kepada Leman Lengkung.
“Betul Tah, saye sepakat dengan apa yang Atah katekan. Saye juge ade membace bahwa jadi pemimpin itu haruslah orang pemurah, kalau orang pelokik memang tak perlu kite pilih,” tambah Leman Lengkung.
“Aku tambahkan ye, Man. Selain pemurah, pemimpin yang baik itu mengenang jasa orang atau tahu balas budi. Tidak itu saje, Man, orang tersebut juge haruslah orang yang berani, jika pemimpinnye pemberani, make pengikutnye pun akan berani. Kalau orang penakut, mengikut aje kate orang pusat dan suke menghitung-hitung dengan duit, make orang itulah yang menghancurkan tanah ini,” ujar Atah Roy bersemangat.  
“Sangat suai, Tah. Kitelah yang harus membesarkan dan memilih orang kite yang mempunyai kemampun jadi pemimpin,” Leman Lengkung mengangguk-anggukan kepalanya.
“Aku pernah berdebat dengan kawan aku 15 tahun yang lalu, Man. Die menganggap orang kite tidak mampu jadi pemimpin, dan harus berbesar hati membuka diri untuk dipimpin orang lain. Aku cakap pade die, Man, bangsa Melayu itu sudah besar sejak dulu. Dah katam tentang mengelola negeri ini, jangan diajo lagi,” ujar Atah Roy sambil menarik nafas panjang.
“Sepekat Tah,” Leman Lengkung semangat.
“Jangan sepakat-sepakat aje, Man, kite harus bergerak menyusun kekuatan untuk mendukung orang kite,” ujar Atah Roy lagi.
“Sip, Tah,” jawab Leman Lengkung langsung bergerak.