Sabtu, 24 Desember 2011
Pembisik
Minggu, 18 Desember 2011
Bini Dulu
Sabtu, 10 Desember 2011
Pembengak
Sabtu, 03 Desember 2011
Berkesenian
Sabtu, 26 November 2011
Merajuk
Sabtu, 19 November 2011
Rumah Sakit
“Rupenye betullah kate orang-orang, bahwe orang miskin dilarang sakit,” bisik Atah Roy dalam hati. Selama ini, Atah Roy beranggapan bahwa kalimat sinis ini hanya gurauan belaka untuk melawan kemapanan orang kaya. Atah Roy pun teringat lagu Iwan Fals, Ambulance Zigzag, yang bercerita tentang orang miskin mendapat kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit, orang miskin yang mengalami luka bakar karena pangkalan bensin ecerannya meledak, ditelantarkan karena tidak dapat membayar uang muka untuk berobat.
Lagu Iwan Fals itu pun semakin menusuk hati Atah Roy, ketika Atah Roy menjengguk saudaranya sakit dan dirawat di rumah sakit umum di daerah. Di ruang Unit Gawat Darurat (UGD), Atah Roy sudah mencium ketidakberesan rumah sakit itu. Kesimpulan ini dibuat Atah Roy, lamanya pasien dibawa ke kamar. Padahal di UGD, dokter jaga telah meng-diagnosa pasien. Hampir 3 jam, Atah Roy menunggu, namun saudaranya tidak juga dibawa ke kamar untuk istirahat. Atah Roy pun tak dapat berbuat apa-apa, cuma menunggu dan menunggu.
Di sebelah saudara Atah Roy, terbaring lelaki berusia lebih kurang 65 tahun yang sedang mengerang kesakitan. Anak-anak yang sedang menunggu lelaki itu terlihat gelisah, karena orang tuanya tidak juga dibawa ke kamar untuk istirahat. Padahal, orang tua mereka hampir tiga jam setengah terbaring. Mungkin disebabkan tidak tahan lagi menunggu, anak-anak lelaki yang sedang mengerang itu pun membawa ayah mereka keluar. Atah Roy mengintip, lelaki berusia 65 tahun itu pun dimasukkan ke dalam mobil dengan infus masih melekat di tangannya.
Atah Roy mengurut dadanya dan menggelengkan kepala. “Mungkin dibawa ke rumah sakit yang lebih baik,” Atah Roy mereka-reka. Atah Roy memandang ke arah saudaranya yang masih terbaring. Atah Roy menitikan air mata. “Seandainya aku punye duit, aku pun akan melakukan hal yang same dengan anak-anak orang tua itu; memindahkan saudaranya ke rumah sakit lain,” ujar Atah Roy dalam hati sambil menelan air liurnya.
Jarum jam telah menunju pukul 2.30 WIB. Atah Roy kembali menemui dokter jaga. Dokter jaga pun menyarankan agar Atah Roy bersabar. “Kami masuk ke ruang UGD ini dari pukul 23.30 WIB tadi, Pak. Saye kasihan melihat istri saudara saye itu, beliau butuh istrirahat juga, kalau tak istrihat, due-duenya pulak yang sakit,” Atah Roy panjang lebar menjelaskan kepada dokter jaga dengan suara agak menggigil.
Dokter jaga tersenyum, lalu menjelaskan bahwa sebagai dokter, dia juga tidak sampai hati melihat pasiennya dan keluarga yang menunggu. “Bagaimana lagi, Pak, kamar penuh dan petugas yang membawa pasien terbatas,” jawaban dokter menganggu pikiran Atah Roy.
Atah Roy tak habis pikir, rumah sakit sebesar ini, yang disubsidi juga dengan menggunakan duit rakyat, kamar dan petugas pembawa pasien kurang. Atah Roy pun terpikir, mungkin obat-obatnya pun tak cukup. Atah Roy mencoba menjernihkan hatinya dengan berpikiran positif; bahwa memang betul kamar kurang, maklum penyakit demam berdarah menyerang orang kota ini secara kolektif. Namun demikian, Atah Roy tak puas hati, dia pun menelusuri kamar rumah sakit tersebut. Atah Roy terperangah melihat ada kamar yang masih kosong. Jantung Atah Roy semakin cepat memompa darah, sehingga otak Atah Roy tak sanggup menampung darah yang singgah ke otaknya lagi.
Atah Roy berlari ke ruang UGD. Dia akan menumpahkan kekesalannya. Sampai di ruang UGD, saudaranya yang sedang sakit itu dipindahkan ke kursi roda. Atah Roy menarik nafas panjang; kekesalan yang bergelora di dalam dada, diredamnya. Atah Roy pun membantu memindahkan saudaranya yang sedang sakit tersebut. Selama diperjalanan menuju kamar, Atah Roy berulang-ulang menenangkan hatinya dengan mengucap ‘astagfirullahalzim’. Berpuluh, bahkan beratus kata itu melompat dari mulut Atah Roy. Atah Roy mulai tenang. Di kamar kelas III, saudara Atah Roy ditempatkan. Atah Roy melihat ada 3 pasien yang sedang tidur. Di lantai kamar kelas III itu, Atah Roy melihat keluarga pasien tidur di atas lantai. Air mata Atah Roy semakin dekat ke kelopak mata. Namun Atah Roy berusaha keras, agar air matanya tidak tumpah.
Setelah saudaranya ditarukan di tempat tidur kamar itu, hati Atah Roy sedikit lega. Atah Roy berharap, saudaranya dapat tidur nyenyak. Kelegaan hati Atah Roy terusik, ketika Atah Roy mau ke kamar mandi. Kamar mandi yang tergolong tak bersih itu, rupanya lampu penerangnya tak hidup. Atah Roy terpaku sesaat. “Lampunya sudah lama tak hidup,” ujar salah seorang keluarga pasien di kamar itu, menyentak lamunan Atah Roy.
“Kemarin, bapak saya jatuh di kamar mandi. Saya sudah kasi tahu sama petugas, tapi sampai sekarang, lampunya tak hidup juga,” tambah orang itu.
Atah Roy terdiam. Ia kehilangan kata-kata untuk bercakap dengan orang itu. Atah Roy tak mampu lagi menahan kesedihan. Air matanya meluncur deras. “Selame ini, aku hanye memandang ke atas, sehingge aku tak tahu lagi masih ade orang yang lebih menderita dibandingkan dengan aku,” ucap Atah Roy dalam hati.
Atah Roy menyeluk kociknya dan mengeluarkan hp dan menghidupkan hpnya kembali. Waktu masuk di UGD tadi, Atah Roy mematikan hpnya, karena Atah Roy tak mau orang lain atau pasien terganggu apabila hpnya berdering. Hp Atah Roy berbunyi, tidak terlalu keras. Atah Roy cepat-cepat keluar dari kamar kelas III itu. Di luar, Atah Roy membaca pesan dari Leman Lengkung. “Mantap Tah, Indonesia menang melawan Vietnam, 2-0. Memang hebat garuda muda kite, Tah.”
“Indonesia memang hebat, tapi kite sudah lupe arti nilai persaudaraan,” ucap Atah Roy lirih.
Jumat, 04 November 2011
Hamba Allah
“Kalau tangan kanan memberi, tangan kiri jangan tahu,” setelah mengucapkan kalimat itu, Leman Lengkung langsung meninggalkan Atah Roy sendiri. Atah Roy betul-betul tidak paham maksud Leman Lengkung mengucapkan kalimat itu di hadapanya. Selama ini, pikir Atah Roy, apa yang diberikan kepada Leman Lengkung tidak pernah diucapkan kepada orang lain. Atah Roy tahu bahwa sebagai Pak Cik dari Leman Lengkung, sudah menjadi kewajibannya untuk memberi, dan tak mengharapkan apa pun dari pemberiannya. Tapi kenapa Leman Lengkung teganya mengucapkan kalimat itu kepada Atah Roy?
Perkataan Leman Lengkung menjadi beban bagi Atah Roy. Dengan segala sisa kekuatan pikirannya, Atah Roy mencoba mengingat kembali apa yang pernah dia ucapkan kepada orang lain mengenai tanggung jawabnya kepada Leman Lengkung. Satu per satu kenangan dalam benaknya, dipunggah Atah Roy. Namun tak satu pun lembaran kenangan itu bercerita tentang pengorbanan Atah Roy untuk Leman Lengkung terucapkan kepada orang lain. Atah Roy kecewa. “Kalau orang lain yang bercakap macam tu, dapat aku buat perhitungan, tapi ini, anak saudare aku sendiri,” umpat Atah Roy dalam hati.
Atah Roy tak kesah sangatlah, kalau ade orang bersedekah untuk pembangunan mesjid, lalu nama mereka ditulis di papan kuangan mesjid dengan menggunakan spidol warna merah. Atau tiap kali musibah menghantam masyarakat, berserak bendera partai dan poster para tokoh yang muncul ketika musibah saja, memberi bantuan. Itu urusan mereka dengan Allah, pikir Atah Roy. Tapi ucapan Leman Lengkung memang membuat telinga Atah Roy berdengung.
Atah Roy pun berpikir, bahwa pengorbanannya kepada Leman Lengkung, sudah menjadi kewajibannya. Atah Roy tak ingin segala yang dia lakukan dikaitkan dengan keinginan menguasai Leman Lengkung. Atah Roy tidak memiliki tendensi lain, selain melihat Leman Lengkung hidup berbahagia. Atah Roy tak ingin disamakan dengan orang lain yang memberi sesuatu dengan imbalan harus menghargai mereka dan memilih mereka nantinya apabila mencalonkan diri menjadi anggota dewan atau menjadi presiden, gubernur, bupati, kepala desa atau menjadi Ketua RW atau pun Ketua RT. Bagi Atah Roy, berbuat baik, menolong orang lain, adalah fitrah manusia, dan merupakan penghambaan manusia kepada Allah. Atah Roy teringat satu kalimat indah dari Rabiatul Adawiyah, “Ya Allah, kalau aku mencintaimu mengharapkan surgaMu, maka tutuplah pintu surgaMu untuk ku.” Atah Roy benar-benar yakin bahwa Allah Maha Tahu apa yang dikerjakan oleh manusia.
Kalimat yang diucapkan Leman Lengkung di hadapannya, tidak mudah didelete begitu saja oleh Atah Roy. Leman Lengkung harus bertanggung jawab menjelaskan maksud kalimatnya itu. Sesuatu yang diucapkan, harus dipertanggungjawabkan. Atah Roy tak ingin Leman Lengkung, anak saudaranya itu, hanya pandai bercakap, tanpa dapat menjelaskan maksudnya. Atah Roy selalu berpegang pendirian bahwa mulut manusia merupakan pisau yang paling tajam mengiris hati. “Alang-alang tumbuk pekasam, biar sampai ke pangkal lengan,” bisik Atah Roy dalam hati. Namun beberapa saat kemudian, Atah Roy menyadari bahwa petatah-petitih yang baru dia pikirkan, tak mengena dengan masalah yang sedang dia hadapai. “Ngape pulak sampai menumbuk pekasam?” pikir Atah Roy kembali. “Ah, lantaklah… yang penting, aku harus jumpe dengan Leman sekarang juge.”
Atah Roy pun mengeluarkan hp buruknya dari kocik celana. Hp yang diikat dengan karet agar tak berderai itu pun dipegangnya. Dengan sigap, Atah Roy menekan huruf-huruf yang ada. “Dikau di mane, Man? Kite harus segere berjumpe!” tulis Atah Roy.
Beberapa saat kemudian hp Atah Roy berbunyi. Leman Lengkung cepat membalas SMS Atah Roy.
“Saye selalu di hati Atah.”
“Jangan menyanyah, Man. Aku serius!” Atah Roy membalas.
“Tak perlu dibawak serius di negeri ini, Tah. Semuenye kepura-puraan,” Leman Lengkung menjawab SMS Atah Roy.
Atah Roy tak dapat meredam amarah dalam hatinya. Leman Lengkung betul-betul telah mengecewakannya. Tidak puas dengan SMS, Atah Roy menelpon Leman Lengkung, tapi di hpnya operator memberi tahu bahwa pulsa di kartu Atah Roy tak cukup melakukan panggilan. Atah Roy bertambah emosi. Dengan emosi tingkat tinggi, Atah Roy kembali mengirim pesan menggunakan SMS.
“Kalau dikau betul-betul jantan, jumpe aku sekarang juge!” tangan Atah Roy menggigil tersebab amarah mendesak aliran darahnya. Atah Roy betul-betul berada dalam api amarah.
“Okay,” balas Leman singkat.
Atah Roy tak tenang lagi untuk berdiam diri. Dia pun bolak-balik macam penggosok baju; jalan ke arah pintu depan rumah, kemudian melangkahkan kaki ke dapur. 4 kali melakukan hal seperti itu, Leman Lengkung pun muncul. Melihat Leman Lengkung berdiri dengan tidak merasa bersalah sedikit pun, Atah Roy menggigit bibir bawahnya, dan dari mulut Atah Roy melompat pertanyaan geram.
“Dikau mau ape, Man?!” sergah Atah Roy.
“Maksud Atah?”
“Jangan macam-macam dikau, Man!”
“Ape ni, Tah?”
“Ape maksud dikau mengucapkan kate-kate “kalau tangan kanan memberi, tangan kiri jangan tahu” di hadapan aku tadi!” suara Atah Roy masih meninggi.
“Ooo… saye tadi bace berita lewat hp, ade orang membangun mesjid tanpa menyebutkan namenye, kecuali menyebutkan ‘Hamba Allah’. Kan bagus macam tu, berbuat baik tapi tidak bercakap pade orang lain,” jelas Leman Lengkung.
Mendengar penjelasan Leman Lengkung, Atah Roy lemas, tak berdaya. Untuk menghilangkan kecurigaan Leman Lengkung kepadanya, Atah Roy memeluk Leman Lengkung.
“Ngape ni, Tah,” Leman Lengkung bingung.
“Tande kasih sayang bapak suadare kepade anak suadarenye,” ucap Atah Roy.
“Eee alah, sayang juge Atah pade saye, ye?”
“Sayang kemaru,” kate Atah Roy dalam hati.
Sabtu, 29 Oktober 2011
Pajak
Sebagai warga negara yang baik, Atah Roy selalu ingin memberikan yang terbaik pula kepada negera tercinta ini. Namun demikian, keinginan Atah Roy untuk melakukan yang terbaik selalu kandas di dinding keraguan. Hal ini disebabkan, setiap kali membaca atau menonton peristiwa yang terjadi di negara ini, Atah Roy selalu dikecewakan. Kesimpulan kekecewaan Atah Roy dari membaca dan menonton berita, bahwa kepercayaan yang diberikan oleh warga negera kecil seperti Atah Roy, selalu dimanfaatkan untuk kepentingan orang tertentu saja. Berdasarkan kesimpulan inilah, dinding keraguan Atah Roy semakin menebal. Maka setiap kali Atah Roy menarik nafas, pertanyaan ‘perlukah mencintai negara ini lagi?’ seperti gelembung, membesar dan terus membesar di benak Atah Roy.
Seharusnya, pikir Atah Roy, negara bertanggung jawab atas penderitaan setiap warga kecil seperti dirinya. Bukankah Atah Roy dan warga negera kecil lainnya telah mengikhlaskan segala kekayaan yang ada di bumi dalam kawasan negera ini diserahkan kepada pengelola negera. Minyak bumi, timah, emas, batu bara, hutan dan banyak lagi kekayaan alam ini tidak dipermasalahkan oleh warga kecil ketika pengelola negara mengusai semuanya. “Hanya satu pesanku, sejahterakanlah kami,” ujar Atah Roy dalam hati.
Atah Roy teringat pada Bedul. 25 tahun yang lalu, Bedul yang tidak tamat sekolah rakyat itu, secara tidak sengaja menemukan tambang emas di kebun getahnya yang tidak luas sangat. Waktu itu, Bedul menggali tanah untuk membuat perigi agar getahnya dapat dikumpulkan satu tempat. Sedang sedapnya menggali tanah, tiba-tiba mata cangkulnya berbenturan dengan benda keras. Bedul terpana sesaat melihat benda berwarna kuning. Dengan seksama, Bedul menelek benda tersebut. Bedul ragu untuk menyimpulkan bahwa benda yang berbenturan dengan mata cangkulnya itu emas. Untuk memastikan benda itu emas, Bedul pun membawa benda tersebut ke rumah Atah Roy. Atah Roy pun ragu, maka mereka berdua sepakat membawa benda itu ke rumah Pak Kepala Desa.
Memang, benda yang berbenturan dengan mata cangkul Bedul adalah emas. Jawaban ini didapat setelah 2 bulan benda itu dibawa ke kecamatan, ke kabupaten, ke provinsi dan ke pusat. Orang kampung pun heboh, dan banyak memprediksi Bedul akan menjadi OKB (orang kaya baru) di kampung, bahkan di negera ini. Namun belum sampai 3 bulan penemuan emas itu, tanah milik Bedul telah di pagar. Jangankan orang lain, Bedul pun tidak diperbolehkan masuk ke kawasan tanahnya. Bedul hendak protes, namun dia tak punya keberanian. Akhirnya, tanah milik Bedul dikuasai oleh perusahaan dengan membayar ganti rugi kepada Bedul. Duit ganti rugi yang diterima Bedul hanya dapat beli motor satu, kursi tamu, springbed dan sepeda anaknya. Karena tidak memiliki kebun getah lagi, kehidupan sehari-hari Bedul semakin susah. Satu persatu benda yang dibeli Bedul dengan duit ganti rugi tanahnya dijual. Bedul benar-benar jatuh miskin akhirnya. Tidak tahan lagi hidup dalam kemiskinan, memaksa Bedul mencari kerja ke tanah seberang (Malaysia). Beberapa tahun di tanah seberang, Bedul pun membawa keluarganya. Berakhirlah kisah Bedul.
Atah Roy menarik nafas panjang, bersamaan dengan tarikan nafas Atah Roy, di belakang rumahnya terdengar suara minyak bumi mengalir melalui pipa. Sebenarnya Atah Roy ingin mengikuti apa yang dilakukan Bedul; meninggalkan kampung, mencari pekerjaan di tanah seberang. Rasa cinta terhadap negara inilah menyebabkan Atah Roy masih tetap bertahan. Atah Roy yakin, negara ini terlalu indah untuk dibenci, walau kebun getahnya bernasib sama dengan kebun getah milik Bedul.
Rasa cinta berlebihan, pikir Atah Roy, selalu membuat manusia kehilangan akal sehat. Atah Roy terkenang naskah drama Romeo and Juliet yang ditulis oleh sastrawan Inggris William Shekaspere. Sepasang kekasih ini rela mengakhiri hidup mereka dengan meminum racun demi memelihara cinta sejati. Cinta memang memerlukan pengorbanan, pikir Atah Roy, tetapi cinta juga butuh ruang untuk mengembangkan diri, terutama untuk mencintai negara ini. Seandainya negara ini tidak ada lagi warga mencintainya, maka segala benci menjadi ‘bom atom’ yang akan menghancurkan negara ini. “Jangan rakit lagi kebencian warga kecil ini dengan memihak kepada kepentingan dan kesejahteraan satu golongan. Kebencian warga kecil akan menjadi ‘bom atom’ yang dapat memusnahkan kalian,” desis Atah Roy seperti ular.
Atah Roy juga berpikir, bahwa mengedepankan kebencian untuk mendapatkan kesejahteraan bukanlah hal yang molek. Atah Roy pun terpikir bagaimana pasukan Sekutu dibawah komando Amerika membenci Jepang dengan menjatuhkan bom atom, dan memakan korban jutaan orang yang tidak berdosa. Kebencian yang berlebih-lebihan sama saja dengan cinta yang berlebihan akan berbuah kekacauan. Maka yang paling moleknya adalah yang sedang-sedang saja, pikir Atah Roy lagi.
Sedang asiknya Atah Roy menimbang kecintaan dan kebencian, tiba-tiba Leman Lengkung datang dengan membawa dua lembar kertas. Kertas itu tipis. Di bagian atas kertas itu tertulis “Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak”.
“Ini Tah, surat dari negara untuk Atah dan saye,” Leman Lengkung menyerahkan kertas itu kepada Atah Roy.
Dengan rasa cinta, Atah Roy menerima kertas tersebut. Atah Roy membaca tulisan yang tertera di kertas itu. Isi suratnya itu meminta Atah Roy membayar pajak. Atah Roy menarik nafas panjang. “Tak tahukah pemerintah, jangankan bayar pajak, utang aku di kedai Kasim sampai detik ini pun belum dapat aku bayar,” keluh Atah Roy sambil melentukan kepalanya.
“Macam mane, Tah. Kalau tidak, kite kene dende ni?” Leman Lengkung ketakutan.
“Entahlah Man, kalau nak bayar pajak, terpakselah kuali buruk di dapur tu kite jual. Itulah satu-satunye kekayaan yang kite punye,” Atah Roy menjawab lemas.
“Eeeee alah, nasib,” Leman Lengkung pasrah.