Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 24 Desember 2011

Pembisik




“Kehancuran seuatu negeri, bukan hanya disebabkan satu orang, tapi banyak yang ikut andil mempercepat negeri ini hancur,” ucap Atah Roy sambil menghirup kopi panas di kedai kopi Nah Kadan. Orang-orang melihat ke Atah Roy. Mereka tidak mengerti, mengapa Atah Roy tiba-tiba berkata seperti itu. Sementara Yung Azam yang duduk tepat di depan Atah Roy, hanya tersenyum. Jang Tengkes pindah ke meja Atah Roy. Walaupun tidak tamat Sekolah Dasar, tapi masalah kecintaan terhadap negeri, Jang Tengkes tidak mau ketinggalan.
“Ini masalah marwah ni, Tah,” kata Jang Tengkes setelah duduk di samping Atah Roy dengan semangat yang mengebu-ngebu. “Kite perlu membicarekan masalah signifikan ini, Tah. Rase cinta kite terhadap negeri ini, makin hari, makin mengalami abrasi seperti tebing dilantak gelombang besar,” tambah Jang Tengkes.
Atah Roy menyedot rokoknya dalam-dalam. Seketika kemudian, asap rokok mengepul keluar dari mulut Atah Roy. Berat tampaknya masalah yang mendiami lubuk hati Atah Roy. Sebenarnya dan seharusnya, pikir Atah Roy, tidak ada lagi masalah melanda negeri ini. Semua kepala daerah di negeri ini dikuasai oleh putra-putra terbaik yang lahir dari “rahim” tanah Melayu. Atah Roy pun tak mau menyekat-nyekat tentang Melayu, yang lahir, besar dan menjaga marwah tanah ini adalah orang Melayu Riau.
“Kita juga yang salah, memilih pemimpin kita berdasarkan berapa kekayaan mereka. Seharusnya memilih pemimpin berdasarkan apa yang ia kerjakan sebelum menjadi pemimpin,” ujar Yung Azam seperti dapat membaca pikiran Atah Roy.
Jang Tengkes tergangga melihat Yung Azam berkata seperti itu. Lalu dengan wajah agak ragu berucap. “Yung, memang kite hidup di tanah yang kaye, tapi Yung bisa tenguk sendiri, bahwa banyak saudare kita yang hidup melarat. Siape yang tak butuh duit, Yung?”
Yung Azam menggelengkan kepalanya. Cangkir kopi diangkat ke bibirnya, dan air kopi pun dihirup dengan nikmat. Kemudian cangkir kopi itu ditaruk kembali ke atas meja. “Inilah masalahnya. Seharusnya kite hidup lebih sejahtera dibandingkan dengan warga dunia lainnya. Di tanah ini, apa yang tak ada? Semuanya tersedia; minyak bumi, hutan, gas, emas, batu bara, semuanya tersedia, tapi kenapa kita tak bisa membebaskan diri dari sengsara? Pasti ada yang salah pada diri kite?” tambah Yung Azam semakin serius.
“Kite tak punye pembisik yang handal,” celetuk Atah Roy.
Yung Azam dan Jang Tengkes saling pandang dan kemudian mereka memperhatikan Atah Roy. Mereka tak mengerti apa yang dikatakan oleh Atah Roy. Kedua wajah itu semakin mengerut.
“Ape maksud Atah ni?” tanye Jang Tengkes.
“Ape yang dikau cakapkan ni, Roy? Kite same-same tahukan, semua pimpinan punye bawahan dan staf berpendidikan tinggi. Paling rendah, mereka sekolah S1. Tak ade alasan engkau cakap pemimpin kite tak punye pembisik yang handal,” Yung Azam tidak puas dengan ucapan Atah Roy.
“Mereke bukan pembisik, tapi pelaksana dan pengusul kegiatan. Kuncinye ade pade tangan pemimpin. Seandainye pemimpin tak punye pembisik yang handal, make pemimpin akan memutuskan sesuatu itu tanpe pertimbangan yang masak,” ucap Atah Roy.
“Maksud Atah pembisik macam mane ni?” Jang Tengkes belum juga mengerti.
“Nabi Adam tergelincir disebabkan ade pembisik bernama setan. Sultan Mahmud dalam Hikayat Hang Tuah, terjerumus oleh pembisik bernama Patih Karmawijaya. Napaleon punya pembisik ibunya yang senantiasa membangkitkan semangat untuk mengubah Perancis. Dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa besar disebabkan ‘suara’ yang datang dari pembisik. Seharusnya, pada hari ini muncul pembisik-pembisik yang handal, yang tidak memikirkan dirinya sendiri, tepi memikirkan orang banyak,” jelas Atah Roy panjang lebar.
“Roy, zaman sudah berubah. Pada hari ini, orang berbuat bukan untuk orang banyak, tapi untuk dirinya sendiri. Keadaanlah yang membuat seperti itu. Orang yang jujur pada hari ini, bisa bersalah, dan sebaliknya, orang pembengak bisa menjadi benar,” Yung Azam menangkis kata-kata Atah Roy.
“Ini yang aku tak suai. Kejujuran tetaplah kebenaran, jangan diotak-atik lagi. Kalau semuenye dipolitisir demi kepentingan sesaat, make negeri ini akan menuju kehancuran. Kite bertanggung jawab untuk mengibarkan kebenaran pada hari ini, kalau tidak semakin sesatlah generasi mude yang hidup setelah kite,” Atah Roy mulai agak emosi.
“Ape yang harus kite lakukan, Tah?” Jang Tengkes mencoba menetralkan keadaan dengan bertanya.
“Kalau tak dapat bertemu dengan pimpinan, kite harus cepat-cepat bertemu dengan pembisik pimpinan dan kite harus sampaikan kebenaran itu benar. Itulah care satu-satunye yang dapat kite lakukan sekarang ini,” tambah Atah Roy.
“Tapi masalahnye, apekah pimpinan kite hari ini, punye pembisik?” Yung Azam ragu.
Atah Roy menggaruk kepalanya yang tak gatal. Atah Roy pun ragu, apakah hari ini para pemimpin kita punya pembisik. Seandainya para pemimpin punye pembisik, paling tidak keadaan yang tidak tentu arah ini dapat diminimalisir.
“Aku pun ragu ni,” jawab Atah Roy.
“Kalau macam ini, tak ade carelah, Tah?” Jang Tengkes masih tetap bertanya.
“Aku usul, kite bentuk tim pencari pembisik yang dapat dipercaye. Setelah name-name pembisik kite dapatkan, make kite berikan kepade para pemimpin kite. Macam mane?” ujar Yung Azam sambil mengangguk kepalanya.
“Kategori pembisik yang baik tu, seperti ape?” Jang Tengkes bertanya lagi.
“Percaye pada Allah,” kate Atah Roy singkat.
“Cume itu, Roy?” Yung Azam bertanya.
“Kalau kite dah percaye kepada Allah, make perbuatan kite semue akan mengarah kepada kebaikan untuk semue makhluk yang ade di muke bumi ini,” Atah Roy yakin seyakinnye.    
“Walaupun berat mencari orang macam ni, kite harus usahakan sekuat mungkin, agar negeri ini tidak hancur,” tambah Yung Azam dan dibenarkan oleh Jang Tengkes.   

Minggu, 18 Desember 2011

Bini Dulu


“Saye menyadari betul, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Setiap manusia akan melakukan kesalahan, tapi saye yakin, kesalahan akan menjadi pengalaman yang paling berharga. Pengalaman inilah menjadikan manusia lebih dewasa untuk memaknai hidup ini, Tah,” tulisan ini terpampang jelas di layar hp Atah Roy. Atah Roy belum dapat menyimpulkan permasalahan yang sedang dihadapi Man Tapak, si pengirim pesan lewat sms ke hp Atah Roy.
Lama Atah Roy menatap tulisan itu. Untuk menyimpulkan makna pesan Man Tapak itu, Atah Roy mengulangi membaca. Belum juga Atah dapat menyimpulkannya. Atah Roy tahu bahwa di balik tulisan Man Tapak ini, pasti ada maksud lain. Ini bukan sms biasa. Atah Roy menonggakkan kepalanya, lalu merangkai percikan-percikan peristiwa yang selalu dihadapi oleh Man Tapak. Tak juga Atah Roy dapat menyimpulkannya.
“Betul tu, Man. Manusia tidak akan pernah terlepas melakukan kesalahan, tapi yang memeningkan kepala aku, sms dikau tadi, pasti ade peristiwa lain di belakannye. Ape permasalahan dikau, Man?” Atah Roy membalas sms Man Tapak.
Beberapa saat kemudian, Man Tapak membalas sms Atah Roy. Singkat. Cuma satu kata. “Bini.” Kata itulah yang muncul di layar hp Atah Roy. Atah Roy merespon kata itu dengan mengerutkan keningnya. Permasalahan yang sedang di hadapai Man Tapak terbuka sedikit, tapi Atah Roy tidak berani menyimpulkan hal yang tidak-tidak mengenai bini Man Tapak.
Setahu Atah Roy, Jimah bini Man Tapak, merupakan perempuan yang paling tabah menghadapi apa pun masalah yang sedang melanda keluarga mereka. Waktu Man Tapak belum menjadi orang sukses alias orang kaya, Jimah dengan ketabahannya, terjun langsung membantu ekonomi keluarganya. Jimah tidak segan mencari kayu bakau di pinggir pantai dan menjualnya ke orang kampung untuk dijadikan kayu bakar. Jimah juga tidak pernah ragu menoreh karet milik Samad pada subuh harinya. Jimah selalu setia, walau himpitan ekonomi semakin berat melanda keluarga mereka.
Man Tapak selalu bercerita kepada Atah Roy, ia bersyukur memiliki bini yang paling setia dan memahami keadaan lakinya. “Jimah merupakan karunia Sang Pencipta kepada aku, Tah,” ujar Man Tapak kepada Atah Roy beberapa tahun yang lalu.
“Apekah Jimah dah berubah ketike keluarge mereke hidup serba berkecukupan?” pikir Atah Roy. Atah Roy betul-betul tidak paham, kenapa manusia selalu gagal ketika mereka diuji dengan kekayaan? Padahal, ketika mengarungi lautan kemiskinan, segala cobaan dapat diatasi. Atah Roy tak percaya, kalau Jimah sudah berubah. Tapi kenapa Man Tapak risau dengan bininya? “Atau Man Tapak be…” Atah Roy tidak berani berspekulasi lebih jauh lagi mengenai keluarga Man Tapak.
Tidak mungkin pula Man Tapak membuat kelaku yang tidak-tidak. Atah Roy tahu betul bahwa Man Tapak merupakan seorang lelaki yang bertanggung jawab. Waktu belum kaya dulu, Man Tapak telah membuktikan bahwa dia adalah laki yang tidak pernah menyerah untuk membahagiakan keluarganya. Apa pun pekerjaan akan dilakukan oleh Man Tapak demi keluarganya. Man Tapak pernah menyeludupkan rokok ke negeri seberang, dan disebabkan pekerjaannya itu, dia pun dipenjara selama beberapa tahun. Tidak itu saja, pekerjaan lebih gila lagi, menurut kabar dari orang-orang, Man Tapak pernah menjadi pengantar obat-obat terlarang (narkoba) dari negeri semberang. Namun, kabar burung itu tidak terbukti.
Sampailah nasib Man Tapak dan keluarga berubah total, dari orang melarat, kini menjadi orang kaya. Perubahan yang didapatkan oleh Man Tapak bukan tanpa perjuangan. Ketika Man Tapak telah membulatkan tekatnya pindah dan menjadi buruh pemotong rumput di negeri seberang, Man Tapak berkenalan dengan tokeh besar negeri seberang itu. Tokeh itu memanfaatkan Man Tapak sebagai orang negeri ini membuka kebun sawit. Man Tapaklah yang mengurus semue izin perkebunan itu. Kebun itu berhasil dan kehidupan Man Tapak dan keluarga kini telah berubah. Menurut orang kampung yang pernah singgah ke rumah Man Tapak di kota, Man Tapak benar-benar sudah sukses. Rumahnya besar, memiliki beberapa mobil mewah keluaran terbaru. Walaupun sudah jadi orang kaya, Man Tapak dan keluarga tetap ramah dan selalu membantu orang-orang kampung. Hp yang sedang dipegang Atah Roy ini juga hasil pemberian Man Tapak.
Menurut orang kampung yang pernah berkunung ke rumah Man Tapak, Jimah, bini Man Tapak, juga tidak berubah. Jimah dengan senyumnya, selalu menyapa orang kampung. Malahan, ketika berpamitan dari rumahnya, Jimah selalu menyelipkan uang kepada orang kampung. Tidak itu saja, Jimah selalu mengirimkan uang untuk keluarganya yang berada di kampung.
“Jadi apa yang salah dari Jimah,” Atah Roy terus berpikir mencari jawaban.
“Manusia rupanya tak kuat dicoba dengan kekayaan, Tah,” Sms Man Tapak masuk lagi ke hp Atah Roy. Atah Roy betul-betul tak mengerti.
“Ape masalah engkau, Man?” Atah Roy memberanikan diri membalas sms Man Tapak dengan pertanyaan to do point.
Lama Atah Roy menunggu jawaban Man Tapak. “Berat masalah Man Tapak nampaknye ni,” pikir Atah Roy.
“Aku macam kacang lupe kulit, Tah,” sms Man Tapak belum menyelesaikan pertanyaan Atah Roy.
Tiba-tiba Leman Lengkung datang. Dengan terengah-engah, Leman Lengkung menghampiri Atah Roy. Melihat Leman Lengkung macam dikejar hantu, Atah Roy jadi geram.
“Ngape engkau ni, Man?”
“Bang Man Tapak, Tah,” Leman Lengkung masih terengah-engah.
“Ngape Man Tapak?” Atah Roy semakin serius.
“Keluarge Bang Man hancur, Tah. Kak Jimah tak tahan dikhianati terus. Kate orang kampung, Bang Man Tapak selingkuh, bahkan dah pula nikah dengan perempuan lain,” Leman Lengkung menjelaskan.
“Ape kesah lelaki ni. Ketike senang tak ingat mase susah. Bini dulu yang sangat tabah menemani dalam kesusahan dikesampingkan. Padahal bini yang dinikahi sekarang, mencintai karena duit, bukan cinta sejati seperti bini dulu. Nasiblah dikau bini dulu,” kata Atah Roy menggelengkan kepalanya.
 
     

Sabtu, 10 Desember 2011

Pembengak

Sebagai masyarakat kecil, Atah Roy menjaga betul supaya dirinya tidak dicap sebagai pembengak alias pembohong. Untuk menghidari hal itu, Atah Roy pun tidak pernah membuat janji. Sekecil apa pun janji, Atah Roy selalu menghindarinya. Namun kali ini Atah Roy terperangkap oleh janji yang dibuat oleh Atan Kedel, sepupunya, yang sudah menjadi orang besar di kota.
Atan Kedel, sepupu Atah Roy itu, berjanji akan memperbaiki jalan di kampungnya yang sudah rusak parah. Atah Roy tidak tahu mengapa Atan Kedel berjanji untuk memperbaiki jalan di kampung mereka. Padahal selama ini, Atan Kedel tidak pernah memikirkan kampung. Alih-alih saja, Atan Kedel membuat janji. Niat Atan Kedel itu disampaikan kepada Atah Roy, dan Atah Roy diminta oleh Atan Kedel untuk menyampaikan janjinya kepada masyarakat.
Berat hati Atah Roy menanggung amanah ini. Mau dikhabarkan kepada masyarakat, Atah Roy tak pernah membuat janji. Tak dikatakan, Atan Kedel berharap betul agar Atah Roy memberitahukan kepada orang kampung. Agar Atan Kedel sadar bahwa berjanji kepada orang itu tidak baik, Atah Roy pun bercakap kepada Atan Kedel. Atah Roy berharap, Atan Kedel menyimpan niatnya untuk memperbaiki jalan kampung, disimpan di dalam hati yang paling dalam. Atah Roy menesehati Atan Kedel dengan mengatakan bahwa niat yang baik, tak perlu digembor-gemborkan kepada orang lain. “Niat baik, walaupun tak diucap, tetap pahalenye dicatat,” ujar Atah Roy kepada Atan Kedel.
Dasar ungkal alias keras kepala, Atan Kedel tidak mau menerima. Apa yang diucapkan Atah Roy, tidak menjadi ‘air’meredakan kobaran semangat Atan Kedel untuk meminta tolong, agar niatnya disampaikan kepada orang kampung. Dengan terpaksa Atah Roy menyebarkan niat Atan Kedel ke seluruh pelosok, ke seluruh keramaian dan ke seluruh-seluruh kampung. Orang kampung akhirnya mengetahui jalan mereka yang sudah rusak parah akan diperbaiki. 
Inilah yang ditakutkan oleh Atah Roy. Sudah dua tahun janji itu didengungkan dan sudah dua tahun pula masyarakat menunggu; jalan bertambah buruk, hati semakin panas. Janji itu terbengkalai, sama seperti jalan yang rusak itu, dibiarkan tanpa kepastian. Belum ada tanda-tanda janji yang disampaikan Atah Roy yang didapat dari Atan Kedel terealisasi. Orang-orang kampung sudah pula menganggap Atah Roy pembengak kelas kakap. Atah Roy selalu tersudut, apabila ada musyawarah di kampungnya. Usul Atah selalu dipangkah alias selalu dipotong sebelum Atah Roy sempat menyelesaikan ucapannya.
“Lidah tak bertulang; buat janji memang mudah, tapi menepatinya perlu keberanian,” ujar salah seorang penduduk kampung.
“Atah usah bercakap lagi, jalan yang rusak tu, sampai sekarang tak diperbaiki. Hati kami dah meluat betul mendengar suare Atah,” timpal penduduk kampung yang lain pula.
Hati Atah Roy seperti disayat dengan silet, pedihnya sungguh tidak terkatakan. Selama ini, Atah Roy tidak pernah merasakan hal seperti ini. Bagi Atah Roy, kesedihan yang paling terdalam adalah ketika apa yang dikatanya tidak pernah didengar orang, alias diabaikan karena dicap sebagai pembengak.
“Cakapkanlah kepade sepupu Atah itu, kalau nak jadi pahlawan, jangan hanye pandai bercakap. Jadi pahlawan tu, Tah, berani menunaikan janji yang telah dibuat,” Ali Kenkang menyepelekan Atah Roy.
Atah Roy tak berkutik, tak dapat berbuat apa-apa untuk membentengi anggapan orang kampung kepada dirinya. Diam merupakan jalan terbaik untuk meredam ceme’ehan orang kampung terhadap Atah Roy. Disebabkan janji itu jugalah, pamor Atah Roy menurun drastis. Hasil survey LSM kampung, nama Atah Roy tidak termasuk dalam sepuluh besar nama-nama orang kampung yang dapat dipercayai. Malahan, nama Atah Roy berada di puncak untuk kategori pembengak, menggeser nama Bedu Bengang yang selama ini terkenal sebagai raja pembengak.
Leman Lengkung tidak terima bapak saudaranya disepelekan di kampungnya sendiri. Leman Lengkung pun mengikrarkan diri membela Atah Roy mati-matian. Dengan segala upaya, Leman Lengkung melakukan gerakan untuk memulihkan nama baik Atah Roy. Salah satu Leman Lengkung memperbaiki nama baik Atah Roy adalah dengan membuat poster yang dituliskan dengan menggunakan spidol.
Poster-poster yang ditulis Leman Lengkung dengan menggunakan spidol dan dengan biayanya sendiri itu, ditempelkan dimana-mana. Rumah warga, kebun warga, pasar, sekolah, masjid, mushola dan tempat keramaian lainnya yang berada di kampung itu, pasti ada poster tentang Atah Roy.
“Atah Roy bukan pembengak. Die dimanfaatkan orang lain untuk kepentingan pribadi orang lain! Nama Atah Roy harus dibersihkan semula dalam waktu yang sesingkat-singkatnya!” tulis Leman Lengkung di posternya.
Orang-orang kampung hanya membaca tulisan di poster itu, tanpa menarik anggapan mereka terhadap Atah Roy sebagai pembengak kelas kakap di kampung itu. Orang kampung sedikit pun tidak percaya apa yang dikatakan Leman Lengkung dengan posternya. Bagi orang kampung, kalau dah bengak sekali, sampai mati payah mau dipercayai.
“Sudahlah Man, aku terime ape yang dilakukan orang kampung kepade aku. Inilah nasib orang yang tak punye kekuatan,” ucap Atah Roy.
“Tak bisa, Tah. Kite memang orang kecik, tapi jangan orang memandang rendah kepade kite. Ini marwah!” balas Leman Lengkung.
“Tak perlu, Man. Kite jalankan aje hidup ini, biar Sang Pencipta yang menilainye,” Atah Roy sabar.
“Mane bisa, Tah! Orang lain yang berjanji, ngape Atah pulak yang nanggung? Ini tidak adil. Ngape kalau orang besar di negeri ini buat janji dan tidak pernah ditepati, orang kampung diam saje? Apekah mereke takut?” Leman Lengkung bertambah emosi.
Atah Roy tak dapat berbuat apa-apa, kecuali mengurur dadanya yang terasa sesak. “Mungking orang takut tak dapat jatah,” kate Atah Roy tertunduk lemas.   

Sabtu, 03 Desember 2011

Berkesenian


Orang kampung heboh, setelah acara kesenian yang dilaksanakan oleh Atah Roy 3 minggu lalu, Atah Roy menghilang tanpa tahu ujung rimbanya. Spekulasi pun bermunculan di tengah masyarakat. Ada yang mengatakan menghilangnya Atah Roy disebabkan pementasan kesenian Atah Roy terlalu ‘pedas’ mengeritik Kepala Kampung, sehingga Atah Roy diculik. Ada juga yang berpendapat bahwa Atah Roy sengaja menghilang untuk mendapat kepopuleran. Ada yang beranggapan,  kehilangan Atah Roy dari kampung karena dikontrak produser besar yang berasal dari kota. Dari sekian banyak anggapan orang kampung tentang hilangnya Atah Roy, yang paling menyakitkan hati Leman Lengkung adalah Atah Roy pergi meninggalkan kampung disebabkan melarikan uang produksi. Anggapan ini diperkuat dengan belum dibayarnya seluruh pendukung pementasan seni yang digagas Atah Roy.
Leman Lengkung bersetegang urat membela Atah Roy dari tuduhan itu. Leman Lengkung yakin betul bahwa Atah Roy tidak mungkin melakukan tindakan tidak terpuji itu. Leman Lengkung tahu betul, untuk kesenian, bapak saudaranya rela mengorbankan apa saja. 2 tahun yang lalu, Atah Roy sampai menjual sepeda motor buruknya untuk membiayai pementasan kesenian dalam rangka memperingati hari kemerdekaan republik ini. Setelah menjual sepeda motor buruknya, Atah Roy tidak pernah mengeluh, bahkan kepada Leman Lengkung, Atah Roy mencerita kepuasannya karena telah berbuat untuk kampung dengan kesenian.
“Kepuasan berkesenian itu, Man, tak dapat diukur dengan duit,” ujar Atah Roy 2 tahun yang lalu, setelah motor buruknya terjual.
“Ape sebabnya, Tah?” Leman Lengkung belum mengerti.
“Man, bagi seorang seniman, karyanya adalah suara hati nurani yang didapat berdasarkan pengamatannye terhadap keadaan hidup ini,” jelas Atah Roy.
“Maksudnye, Tah?” Leman masih belum paham.
“Karya seni itu dakwah, Man. Untuk menyampaikan kebenaran, kita tidak butuh dibayar berapa pun juga, cukup karya kita diapresiasi oleh masyarakat, itu sudah cukup,” tambah Atah Roy.
“Tapi zaman sudah berubah, Tah, ditambah lagi, pada hari ini untuk mementaskan karya seni perlu biaya. Para seniman kan butuh makan dan hidup,” Leman Lengkung mencoba membuka ruang diskusi lebih luas lagi.
“Itulah masalahnye, Man. Dulu, untuk mementaskan atau mempegelarkan karya seni, semua masyarakat bergotong royong membantu. Orang tak berduit, membantu dengan tenaga, sementara orang yang berduit, membantu membiayai, sementara seniman bekerja keras memikirkan karya apa yang harus dipegelarkan. Seniman mati-matian mencari sumber karyanya, sehingga karya yang dipegelarkan itu menjadi spirit untuk membangkitkan rasa kasih sayang antar orang kampung. Dengan demikian, karya seni menjadi wadah mengenal diri lebih dekat lagi. Menurut Aristoteles, filsuf Yunani itu, karya seni sebagai cermin kehidupan,” Atah Roy menjelaskan panjang lebar.
“Tapi hari ini, seni bukan sekadar hoby, Tah, tapi sudah menjadi lahan pekerjaan,” Leman Lengkung masih belum puas dengan pernyataan Atah Roy.
“Tidak salah. Tiap zaman itu berubah, pastilah gaya hidup juge berubah. Walaupun demikian, seharusnye seni tidak kehilangan keluhurannya sebagai corong pencerahan. Letakan seni di barisan terdepan, biarkan seni ‘bercakap’ berdasarkan hati nurani, karena hati nurani tidak akan pernah menjatuhkan orang lain. Hati nurani pasti berbicara tentang kedamaian untuk membangun negeri ini. Untuk itu, biayai pekerja seni berdasarkan kerjanya bukan berdasarkan kedekatan dengan penguasa. Seandainya pekerja seni dibayar berdasarkan pesanan, maka karya seni tidak ‘bersih’ lagi mengabarkan kebenaran,” Atah Roy semakin semangat. Leman Lengkung juga semakin bersemangat.
“Kebenaran seni sangat bersifat pribadi dan hanya pandangan senimannya saja, Tah,” Leman Lengkung tak mau kalah.
“Jangan politisasi seniman, maka ianya akan tetap bersih,” jawab Atah Roy singkat.
Percakapan 2 tahun lalu itu, menyakinkan Leman Lengkung, bahwa Atah Roy menghilang bukan disebabkan melarikan uang pementasan seni. Pasti ada hal lain yang menyebabkan Atah Roy menghilang dari kampung. Leman Lengkung mengingat-ingat kejadian sebelum Atah Roy lesap. Kabur. Leman Lengkung tidak menemukan punca masalahnya. Biasanya apabila ada masalah, Atah Roy pasti membicarakan masalah yang sedang dihadapinya. Kali ini, Leman Lengkung memang tidak dapat mendeteksi peristiwa menghilangnya Atah Roy dari kampung.
Memang sehari sebelum Atah Roy menghilang, Leman Lengkung melihat Atah Roy dan beberapa orang, pendukung pementasan seni, sedang bebual di depan rumah. Leman Lengkung tidak mendengarkan, apa yang mereka percakapkan. Waktu itu, Leman Lengkung melihat Atah Roy lebih banyak memegang kepalanya dan beberapa kali menarik nafas panjang. Kalau keadaan seperti itu diperlihatkan oleh Atah Roy, pastilah masalahnya sangat berat. Sematara orang-orang yang bercakap dengan Atah Roy, kelihatan marah dan kecewa. Leman Lengkung tidak dapat mengambil kesimpulan dari penglihatannya.
“Astagfirullahalazim…,” Leman Lengkung sadar, dia cepat-cepat berlari ke kebun getah. “Maafkan saye, Tah. Saye betul-betul lupe,” ucap Leman Lengkung dalam hati sambil terus berlari ke kebun getah.
Di tengah kebun getah, Leman Lengkung berhenti di pondok buruk. Sebelum mendorong pintu pondok itu, Leman Lengkung menatap lekat-lekat ke arah pondok. Beberapa saat kemudian, Leman Lengkung melangkah ke arah pintu pondok. Dengan hati-hati, Leman Lengkung mendorong daun pintu pondok itu. Pintu terbuka, mata Leman Lengkung mengarah ke salah satu sudut pondok. Sosok yang sangat dikenal Leman Lengkung, sedang duduk ketakutan. Badannya menggigil.
“Atah. Ngape Atah macam gini?” Leman Lengkung mendekati Atah Roy yang sedang ketakutan.
“Maafkan aku, Man. Aku terpakse lari, sebab orang menagih utang kepade aku, gara-gara pementasan seni itu,” ujar Atah Roy dengan bibir yang menggigil.   
   

Sabtu, 26 November 2011

Merajuk


Atah Roy tidak peduli orang mau berkata apa pada dirinya, ketika dia mengambil sikap harus meninggalkan kampungnya tanpa sepatah pesan pun kepada orang kampung dan juga kepada Leman Lengkung. Atah Roy bukan penakut atau pun pengecut. Dengan membawa diri tanpa seorang pun tahu bagi Atah Roy adalah sikap untuk menghindar dari konflik yang lebih parah lagi. Atah Roy memang tidak mampu lagi untuk bertahan; emosi yang sudah penuh di hatinya, bahkan kini melimpah ke kepalanya, membuat Atah Roy tidak bisa berpikir secara normal lagi. Atah Roy takut, dengan emosi yang sedang memuncak, dia bisa melakukan apapun juga, termasuk mengamuk. Kalau sudah mengamuk, tak seorang pun dapat menghentikan Atah Roy.
20 tahun yang lalu, Atah Roy pernah mengamuk. Permasalahannya, tanah kuburan nenek moyang Atah Roy diserobot oleh perusahaan minyak. Bagi Atah Roy berapapun perusahaan itu mau mengganti rugi tanah kuburan nenek moyangnya, tidak akan pernah diterimanya. “Ini bukan masalah duit, tapi ini masalah marwah! Mike anggap kami tak punye duit, sehingge kami harus menggadai tanah kuburan nenek moyang kami!” suara Atah Roy melengking di depan kantor perusahaan minyak itu. Di tangan kanan Atah Roy, sebilah parang tergenggam erat. Merasa kata-katanya tidak diperhatikan, Atah Roy pun masuk ke dalam kantor dan menebas siapa saja yang menghalanginya. Semua orang yang berada di kantor itu, lari tungang langgang. Tak dapat orang, peralatan kantor seperti komputer pun dihancurkan Atah Roy.
Kejadian itu sudah 20 tahun berlalu. Atah Roy tidak mau melakukan hal seperti itu lagi. Usia merupakan salah satu faktornya, tapi yang paling terasa Atah Roy dari kejadian itu adalah tidak adanya dukungan dari orang kampung dan orang-orang dekatnya. Ketika Atah Roy mengamuk, orang kampung dan saudaranya, tidak mendukung sedikit pun. Bahkan saudara mara dan orang kampung, menyalahkan Atah Roy dalam hal ini. “Atah Roy terlalu terbawak emosi, padahal, di tanah kuburan itu banyak minyak. Kalau dijual, dapat juge membantu saudare yang tak mampu,” ujar Mat Ketot pada orang-orang kampung.
Untuk itulah, jalan yang terbaik menghilangkan kekesalan Atah Roy hari ini, Atah Roy terpaksa meninggalkan kampung tanpa memberi tahu siapapun juga. Berat memang, tapi Atah Roy harus melakukannya. Atah Roy tidak mau kejadian 20 tahun lalu, terulang kembali. Atah Roy tak ingin sikapnya yang emosional itu, akan menjadi perpecahan dia dengan orang kampung. Dalam diri Atah Roy tertanam satu pandangan, bahwa orang kampung adalah dirinya. Berkelahi dengan orang kampung, berarti dia berkelahi dengan dirinya. Membawa diri, pergi dari kampung adalah sikap yang lebih arif dan bijaksana bagi Atah Roy saat ini.
Di rumah, Leman Lengkung sibuk mencari Atah Roy. Masuk kamar, keluar kamar. Melangkah ke dapur, menuju ruang tamu, namun Leman Lengkung tidak juga menemui Atah Roy. Turun ke tanah, mencari ke belakang rumah, ke halaman depan, tetap Leman Lengkung tak bersua Atah Roy. Muka Leman Lengkung mulai pucat. Leman takut Atah Roy akan melakukan tindakan yang tidak-tidak. Cerita atahnya pernah mengamuk 20 tahun lalu, menghantui pikiran Leman Lengkung. Walau waktu itu Leman Lengkung belum lahir lagi, namun cerita tentang Atah Roy pernah mengamuk di perusahaan minyak, tak pernah hilang dari kenangan orang kampung, malahan menjadi bahan pembicaraan sampai Leman dewasa.
“Jangan melakukan hal yang tidak-tidak, Tah,” harap Leman Lengkung dalam hati. “Saye tahu, kejadian pagi tadi menyakitkan hati Atah, tapi kite tak bisa berbuat ape-ape, Tah,” Leman kembali bicara dalam hati. Leman Lengkung semakin cemas. Dia sudah tidak tahu harus mencari kemana Atah Roy. Atah Roy bukan tipe pejalan alias suka bertandang ke rumah orang atau kedai kopi. Atah Roy dalam bahasa sekarang, anak rumahan. Jadi tak ada tempat yang dapat dituju untuk mencari Atah Roy.
Leman Lengkung betul-betul putus asa. Leman Lengkung pun terduduk di kursi kayu di halaman rumah. Dalam keadaan seperti ini, rasa kasih sayang Leman Lengkung semakin dalam kepada Atah Roy. “Kenape dalam keadaan susah macam ini, orang yang kite sayang semakin dekat rasenye,” pikir Leman Lengkung. Air mata mengalir di pipi Leman Lengkung.
“Ngape engkau menangis, Man?” suara Lung Razak menyadarkan Leman Lengkung.
“Eeehhh… Lung. Atah Roy tak ade di rumah. Puas saye mencari, namun tak juge saye jumpe Atah Roy,” jelas Leman sambil mengelap air mata di pipinya.
“Ooo… aku nampak atah engkau tadi di pelabuhan. Entah ape dibuatnya di sane, aku pun tak bertanye,” ujar Lung Razak.
Mendengar penjelasan Lung Razak mengenai Atah Roy, Leman Lengkung langsung berlari meninggalkan Lung Razak sendiri. Leman Lengkung betul-betul cemas kepada Atah Roy. “Ape kesah orang due beranak ni, same-same keto,” Lung Razak menggelengkan kepalanya.
Di ujung pelabuhan, Leman Lengkung berjumpa Atah Roy yang sedang duduk sambil menjuntaikan kakinya ke laut. Leman Lengkung mengatur nafas, lalu dia pun menghampiri Atah Roy.
“Kenape Atah duduk di sini?” Leman Lengkung bertanya dengan suara datar.
Atah Roy menoleh ke Leman Lengkung, lalu dia kembali menatap ke laut lepas.
“Atah mau kemane?” tanye Leman Lengkung lagi, ketike melihat bungkusan di sebelah Atah Roy. Sementara Atah Roy masih membisu.
“Atah merajuk, ye?” Leman terus memancing Atah Roy dengan pertanyaan, agar Atah Roy mau bicara.
“Merajuk mungkin jalan terbaik untuk menenangkan diri,” Atah Roy mulai bicara.
“Tapi kite akan terus kalah, Tah,” balas Leman.
“Biarlah kalah, asalkan kite sesame kite tidak berkelahi,” kata Atah Roy singkat.
“Atah kesal dengan kejadian pagi tadi?” Leman bertanya lagi.
“Siape yang tak kesal, Man. Orang kite menjatuhkan orang kite juge. Kalau orang lain yang berkuase, kite tak berbunyi, tapi kalau ade orang kite yang berkuase, semue salah, semue tak kene. Eloknye orang kite jadi ape, Man? Jadi Penghulu disalahkan, jadi camat juge disalahkan, jadi bupati pun tak kene, jadi gubernur pun dimusuh, ape lagi jadi presiden? Tentu banyak betul kene salahnye!” ujar Atah Roy dengan suara besarnya.
Leman Lengkung pun terdiam. “Ini gara-gara demo menolak kedatangan bupati di kampung ini pagi tadilah ni,” bisik Leman Lengkung dalam hati. Leman Lengkung pun ikut menjuntaikan kakinya seperti Atah Roy. Kedua beranak itu pun menatap lautan lepas, tak tahu harus melakukan apalagi.  
  
      

Sabtu, 19 November 2011

Rumah Sakit


“Rupenye betullah kate orang-orang, bahwe orang miskin dilarang sakit,” bisik Atah Roy dalam hati. Selama ini, Atah Roy beranggapan bahwa kalimat sinis ini hanya gurauan belaka untuk melawan kemapanan orang kaya. Atah Roy pun teringat lagu Iwan Fals, Ambulance Zigzag, yang bercerita tentang orang miskin mendapat kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit, orang miskin yang mengalami luka bakar karena pangkalan bensin ecerannya meledak, ditelantarkan karena tidak dapat membayar uang muka untuk berobat.

Lagu Iwan Fals itu pun semakin menusuk hati Atah Roy, ketika Atah Roy menjengguk saudaranya sakit dan dirawat di rumah sakit umum di daerah. Di ruang Unit Gawat Darurat (UGD), Atah Roy sudah mencium ketidakberesan rumah sakit itu. Kesimpulan ini dibuat Atah Roy, lamanya pasien dibawa ke kamar. Padahal di UGD, dokter jaga telah meng-diagnosa pasien. Hampir 3 jam, Atah Roy menunggu, namun saudaranya tidak juga dibawa ke kamar untuk istirahat. Atah Roy pun tak dapat berbuat apa-apa, cuma menunggu dan menunggu.

Di sebelah saudara Atah Roy, terbaring lelaki berusia lebih kurang 65 tahun yang sedang mengerang kesakitan. Anak-anak yang sedang menunggu lelaki itu terlihat gelisah, karena orang tuanya tidak juga dibawa ke kamar untuk istirahat. Padahal, orang tua mereka hampir tiga jam setengah terbaring. Mungkin disebabkan tidak tahan lagi menunggu, anak-anak lelaki yang sedang mengerang itu pun membawa ayah mereka keluar. Atah Roy mengintip, lelaki berusia 65 tahun itu pun dimasukkan ke dalam mobil dengan infus masih melekat di tangannya.

Atah Roy mengurut dadanya dan menggelengkan kepala. “Mungkin dibawa ke rumah sakit yang lebih baik,” Atah Roy mereka-reka. Atah Roy memandang ke arah saudaranya yang masih terbaring. Atah Roy menitikan air mata. “Seandainya aku punye duit, aku pun akan melakukan hal yang same dengan anak-anak orang tua itu; memindahkan saudaranya ke rumah sakit lain,” ujar Atah Roy dalam hati sambil menelan air liurnya.

Jarum jam telah menunju pukul 2.30 WIB. Atah Roy kembali menemui dokter jaga. Dokter jaga pun menyarankan agar Atah Roy bersabar. “Kami masuk ke ruang UGD ini dari pukul 23.30 WIB tadi, Pak. Saye kasihan melihat istri saudara saye itu, beliau butuh istrirahat juga, kalau tak istrihat, due-duenya pulak yang sakit,” Atah Roy panjang lebar menjelaskan kepada dokter jaga dengan suara agak menggigil.

Dokter jaga tersenyum, lalu menjelaskan bahwa sebagai dokter, dia juga tidak sampai hati melihat pasiennya dan keluarga yang menunggu. “Bagaimana lagi, Pak, kamar penuh dan petugas yang membawa pasien terbatas,” jawaban dokter menganggu pikiran Atah Roy.

Atah Roy tak habis pikir, rumah sakit sebesar ini, yang disubsidi juga dengan menggunakan duit rakyat, kamar dan petugas pembawa pasien kurang. Atah Roy pun terpikir, mungkin obat-obatnya pun tak cukup. Atah Roy mencoba menjernihkan hatinya dengan berpikiran positif; bahwa memang betul kamar kurang, maklum penyakit demam berdarah menyerang orang kota ini secara kolektif. Namun demikian, Atah Roy tak puas hati, dia pun menelusuri kamar rumah sakit tersebut. Atah Roy terperangah melihat ada kamar yang masih kosong. Jantung Atah Roy semakin cepat memompa darah, sehingga otak Atah Roy tak sanggup menampung darah yang singgah ke otaknya lagi.

Atah Roy berlari ke ruang UGD. Dia akan menumpahkan kekesalannya. Sampai di ruang UGD, saudaranya yang sedang sakit itu dipindahkan ke kursi roda. Atah Roy menarik nafas panjang; kekesalan yang bergelora di dalam dada, diredamnya. Atah Roy pun membantu memindahkan saudaranya yang sedang sakit tersebut. Selama diperjalanan menuju kamar, Atah Roy berulang-ulang menenangkan hatinya dengan mengucap ‘astagfirullahalzim’. Berpuluh, bahkan beratus kata itu melompat dari mulut Atah Roy. Atah Roy mulai tenang. Di kamar kelas III, saudara Atah Roy ditempatkan. Atah Roy melihat ada 3 pasien yang sedang tidur. Di lantai kamar kelas III itu, Atah Roy melihat keluarga pasien tidur di atas lantai. Air mata Atah Roy semakin dekat ke kelopak mata. Namun Atah Roy berusaha keras, agar air matanya tidak tumpah.

Setelah saudaranya ditarukan di tempat tidur kamar itu, hati Atah Roy sedikit lega. Atah Roy berharap, saudaranya dapat tidur nyenyak. Kelegaan hati Atah Roy terusik, ketika Atah Roy mau ke kamar mandi. Kamar mandi yang tergolong tak bersih itu, rupanya lampu penerangnya tak hidup. Atah Roy terpaku sesaat. “Lampunya sudah lama tak hidup,” ujar salah seorang keluarga pasien di kamar itu, menyentak lamunan Atah Roy.

“Kemarin, bapak saya jatuh di kamar mandi. Saya sudah kasi tahu sama petugas, tapi sampai sekarang, lampunya tak hidup juga,” tambah orang itu.

Atah Roy terdiam. Ia kehilangan kata-kata untuk bercakap dengan orang itu. Atah Roy tak mampu lagi menahan kesedihan. Air matanya meluncur deras. “Selame ini, aku hanye memandang ke atas, sehingge aku tak tahu lagi masih ade orang yang lebih menderita dibandingkan dengan aku,” ucap Atah Roy dalam hati.

Atah Roy menyeluk kociknya dan mengeluarkan hp dan menghidupkan hpnya kembali. Waktu masuk di UGD tadi, Atah Roy mematikan hpnya, karena Atah Roy tak mau orang lain atau pasien terganggu apabila hpnya berdering. Hp Atah Roy berbunyi, tidak terlalu keras. Atah Roy cepat-cepat keluar dari kamar kelas III itu. Di luar, Atah Roy membaca pesan dari Leman Lengkung. “Mantap Tah, Indonesia menang melawan Vietnam, 2-0. Memang hebat garuda muda kite, Tah.”

“Indonesia memang hebat, tapi kite sudah lupe arti nilai persaudaraan,” ucap Atah Roy lirih.

Jumat, 04 November 2011

Hamba Allah


“Kalau tangan kanan memberi, tangan kiri jangan tahu,” setelah mengucapkan kalimat itu, Leman Lengkung langsung meninggalkan Atah Roy sendiri. Atah Roy betul-betul tidak paham maksud Leman Lengkung mengucapkan kalimat itu di hadapanya. Selama ini, pikir Atah Roy, apa yang diberikan kepada Leman Lengkung tidak pernah diucapkan kepada orang lain. Atah Roy tahu bahwa sebagai Pak Cik dari Leman Lengkung, sudah menjadi kewajibannya untuk memberi, dan tak mengharapkan apa pun dari pemberiannya. Tapi kenapa Leman Lengkung teganya mengucapkan kalimat itu kepada Atah Roy?

Perkataan Leman Lengkung menjadi beban bagi Atah Roy. Dengan segala sisa kekuatan pikirannya, Atah Roy mencoba mengingat kembali apa yang pernah dia ucapkan kepada orang lain mengenai tanggung jawabnya kepada Leman Lengkung. Satu per satu kenangan dalam benaknya, dipunggah Atah Roy. Namun tak satu pun lembaran kenangan itu bercerita tentang pengorbanan Atah Roy untuk Leman Lengkung terucapkan kepada orang lain. Atah Roy kecewa. “Kalau orang lain yang bercakap macam tu, dapat aku buat perhitungan, tapi ini, anak saudare aku sendiri,” umpat Atah Roy dalam hati.

Atah Roy tak kesah sangatlah, kalau ade orang bersedekah untuk pembangunan mesjid, lalu nama mereka ditulis di papan kuangan mesjid dengan menggunakan spidol warna merah. Atau tiap kali musibah menghantam masyarakat, berserak bendera partai dan poster para tokoh yang muncul ketika musibah saja, memberi bantuan. Itu urusan mereka dengan Allah, pikir Atah Roy. Tapi ucapan Leman Lengkung memang membuat telinga Atah Roy berdengung.

Atah Roy pun berpikir, bahwa pengorbanannya kepada Leman Lengkung, sudah menjadi kewajibannya. Atah Roy tak ingin segala yang dia lakukan dikaitkan dengan keinginan menguasai Leman Lengkung. Atah Roy tidak memiliki tendensi lain, selain melihat Leman Lengkung hidup berbahagia. Atah Roy tak ingin disamakan dengan orang lain yang memberi sesuatu dengan imbalan harus menghargai mereka dan memilih mereka nantinya apabila mencalonkan diri menjadi anggota dewan atau menjadi presiden, gubernur, bupati, kepala desa atau menjadi Ketua RW atau pun Ketua RT. Bagi Atah Roy, berbuat baik, menolong orang lain, adalah fitrah manusia, dan merupakan penghambaan manusia kepada Allah. Atah Roy teringat satu kalimat indah dari Rabiatul Adawiyah, “Ya Allah, kalau aku mencintaimu mengharapkan surgaMu, maka tutuplah pintu surgaMu untuk ku.” Atah Roy benar-benar yakin bahwa Allah Maha Tahu apa yang dikerjakan oleh manusia.

Kalimat yang diucapkan Leman Lengkung di hadapannya, tidak mudah didelete begitu saja oleh Atah Roy. Leman Lengkung harus bertanggung jawab menjelaskan maksud kalimatnya itu. Sesuatu yang diucapkan, harus dipertanggungjawabkan. Atah Roy tak ingin Leman Lengkung, anak saudaranya itu, hanya pandai bercakap, tanpa dapat menjelaskan maksudnya. Atah Roy selalu berpegang pendirian bahwa mulut manusia merupakan pisau yang paling tajam mengiris hati. “Alang-alang tumbuk pekasam, biar sampai ke pangkal lengan,” bisik Atah Roy dalam hati. Namun beberapa saat kemudian, Atah Roy menyadari bahwa petatah-petitih yang baru dia pikirkan, tak mengena dengan masalah yang sedang dia hadapai. “Ngape pulak sampai menumbuk pekasam?” pikir Atah Roy kembali. “Ah, lantaklah… yang penting, aku harus jumpe dengan Leman sekarang juge.”

Atah Roy pun mengeluarkan hp buruknya dari kocik celana. Hp yang diikat dengan karet agar tak berderai itu pun dipegangnya. Dengan sigap, Atah Roy menekan huruf-huruf yang ada. “Dikau di mane, Man? Kite harus segere berjumpe!” tulis Atah Roy.

Beberapa saat kemudian hp Atah Roy berbunyi. Leman Lengkung cepat membalas SMS Atah Roy.

“Saye selalu di hati Atah.”

“Jangan menyanyah, Man. Aku serius!” Atah Roy membalas.

“Tak perlu dibawak serius di negeri ini, Tah. Semuenye kepura-puraan,” Leman Lengkung menjawab SMS Atah Roy.

Atah Roy tak dapat meredam amarah dalam hatinya. Leman Lengkung betul-betul telah mengecewakannya. Tidak puas dengan SMS, Atah Roy menelpon Leman Lengkung, tapi di hpnya operator memberi tahu bahwa pulsa di kartu Atah Roy tak cukup melakukan panggilan. Atah Roy bertambah emosi. Dengan emosi tingkat tinggi, Atah Roy kembali mengirim pesan menggunakan SMS.

“Kalau dikau betul-betul jantan, jumpe aku sekarang juge!” tangan Atah Roy menggigil tersebab amarah mendesak aliran darahnya. Atah Roy betul-betul berada dalam api amarah.

“Okay,” balas Leman singkat.

Atah Roy tak tenang lagi untuk berdiam diri. Dia pun bolak-balik macam penggosok baju; jalan ke arah pintu depan rumah, kemudian melangkahkan kaki ke dapur. 4 kali melakukan hal seperti itu, Leman Lengkung pun muncul. Melihat Leman Lengkung berdiri dengan tidak merasa bersalah sedikit pun, Atah Roy menggigit bibir bawahnya, dan dari mulut Atah Roy melompat pertanyaan geram.

“Dikau mau ape, Man?!” sergah Atah Roy.

“Maksud Atah?”

“Jangan macam-macam dikau, Man!”

“Ape ni, Tah?”

“Ape maksud dikau mengucapkan kate-kate “kalau tangan kanan memberi, tangan kiri jangan tahu” di hadapan aku tadi!” suara Atah Roy masih meninggi.

“Ooo… saye tadi bace berita lewat hp, ade orang membangun mesjid tanpa menyebutkan namenye, kecuali menyebutkan ‘Hamba Allah’. Kan bagus macam tu, berbuat baik tapi tidak bercakap pade orang lain,” jelas Leman Lengkung.

Mendengar penjelasan Leman Lengkung, Atah Roy lemas, tak berdaya. Untuk menghilangkan kecurigaan Leman Lengkung kepadanya, Atah Roy memeluk Leman Lengkung.

“Ngape ni, Tah,” Leman Lengkung bingung.

“Tande kasih sayang bapak suadare kepade anak suadarenye,” ucap Atah Roy.

“Eee alah, sayang juge Atah pade saye, ye?”

“Sayang kemaru,” kate Atah Roy dalam hati.

Sabtu, 29 Oktober 2011

Pajak


Sebagai warga negara yang baik, Atah Roy selalu ingin memberikan yang terbaik pula kepada negera tercinta ini. Namun demikian, keinginan Atah Roy untuk melakukan yang terbaik selalu kandas di dinding keraguan. Hal ini disebabkan, setiap kali membaca atau menonton peristiwa yang terjadi di negara ini, Atah Roy selalu dikecewakan. Kesimpulan kekecewaan Atah Roy dari membaca dan menonton berita, bahwa kepercayaan yang diberikan oleh warga negera kecil seperti Atah Roy, selalu dimanfaatkan untuk kepentingan orang tertentu saja. Berdasarkan kesimpulan inilah, dinding keraguan Atah Roy semakin menebal. Maka setiap kali Atah Roy menarik nafas, pertanyaan ‘perlukah mencintai negara ini lagi?’ seperti gelembung, membesar dan terus membesar di benak Atah Roy.

Seharusnya, pikir Atah Roy, negara bertanggung jawab atas penderitaan setiap warga kecil seperti dirinya. Bukankah Atah Roy dan warga negera kecil lainnya telah mengikhlaskan segala kekayaan yang ada di bumi dalam kawasan negera ini diserahkan kepada pengelola negera. Minyak bumi, timah, emas, batu bara, hutan dan banyak lagi kekayaan alam ini tidak dipermasalahkan oleh warga kecil ketika pengelola negara mengusai semuanya. “Hanya satu pesanku, sejahterakanlah kami,” ujar Atah Roy dalam hati.

Atah Roy teringat pada Bedul. 25 tahun yang lalu, Bedul yang tidak tamat sekolah rakyat itu, secara tidak sengaja menemukan tambang emas di kebun getahnya yang tidak luas sangat. Waktu itu, Bedul menggali tanah untuk membuat perigi agar getahnya dapat dikumpulkan satu tempat. Sedang sedapnya menggali tanah, tiba-tiba mata cangkulnya berbenturan dengan benda keras. Bedul terpana sesaat melihat benda berwarna kuning. Dengan seksama, Bedul menelek benda tersebut. Bedul ragu untuk menyimpulkan bahwa benda yang berbenturan dengan mata cangkulnya itu emas. Untuk memastikan benda itu emas, Bedul pun membawa benda tersebut ke rumah Atah Roy. Atah Roy pun ragu, maka mereka berdua sepakat membawa benda itu ke rumah Pak Kepala Desa.

Memang, benda yang berbenturan dengan mata cangkul Bedul adalah emas. Jawaban ini didapat setelah 2 bulan benda itu dibawa ke kecamatan, ke kabupaten, ke provinsi dan ke pusat. Orang kampung pun heboh, dan banyak memprediksi Bedul akan menjadi OKB (orang kaya baru) di kampung, bahkan di negera ini. Namun belum sampai 3 bulan penemuan emas itu, tanah milik Bedul telah di pagar. Jangankan orang lain, Bedul pun tidak diperbolehkan masuk ke kawasan tanahnya. Bedul hendak protes, namun dia tak punya keberanian. Akhirnya, tanah milik Bedul dikuasai oleh perusahaan dengan membayar ganti rugi kepada Bedul. Duit ganti rugi yang diterima Bedul hanya dapat beli motor satu, kursi tamu, springbed dan sepeda anaknya. Karena tidak memiliki kebun getah lagi, kehidupan sehari-hari Bedul semakin susah. Satu persatu benda yang dibeli Bedul dengan duit ganti rugi tanahnya dijual. Bedul benar-benar jatuh miskin akhirnya. Tidak tahan lagi hidup dalam kemiskinan, memaksa Bedul mencari kerja ke tanah seberang (Malaysia). Beberapa tahun di tanah seberang, Bedul pun membawa keluarganya. Berakhirlah kisah Bedul.

Atah Roy menarik nafas panjang, bersamaan dengan tarikan nafas Atah Roy, di belakang rumahnya terdengar suara minyak bumi mengalir melalui pipa. Sebenarnya Atah Roy ingin mengikuti apa yang dilakukan Bedul; meninggalkan kampung, mencari pekerjaan di tanah seberang. Rasa cinta terhadap negara inilah menyebabkan Atah Roy masih tetap bertahan. Atah Roy yakin, negara ini terlalu indah untuk dibenci, walau kebun getahnya bernasib sama dengan kebun getah milik Bedul.

Rasa cinta berlebihan, pikir Atah Roy, selalu membuat manusia kehilangan akal sehat. Atah Roy terkenang naskah drama Romeo and Juliet yang ditulis oleh sastrawan Inggris William Shekaspere. Sepasang kekasih ini rela mengakhiri hidup mereka dengan meminum racun demi memelihara cinta sejati. Cinta memang memerlukan pengorbanan, pikir Atah Roy, tetapi cinta juga butuh ruang untuk mengembangkan diri, terutama untuk mencintai negara ini. Seandainya negara ini tidak ada lagi warga mencintainya, maka segala benci menjadi ‘bom atom’ yang akan menghancurkan negara ini. “Jangan rakit lagi kebencian warga kecil ini dengan memihak kepada kepentingan dan kesejahteraan satu golongan. Kebencian warga kecil akan menjadi ‘bom atom’ yang dapat memusnahkan kalian,” desis Atah Roy seperti ular.

Atah Roy juga berpikir, bahwa mengedepankan kebencian untuk mendapatkan kesejahteraan bukanlah hal yang molek. Atah Roy pun terpikir bagaimana pasukan Sekutu dibawah komando Amerika membenci Jepang dengan menjatuhkan bom atom, dan memakan korban jutaan orang yang tidak berdosa. Kebencian yang berlebih-lebihan sama saja dengan cinta yang berlebihan akan berbuah kekacauan. Maka yang paling moleknya adalah yang sedang-sedang saja, pikir Atah Roy lagi.

Sedang asiknya Atah Roy menimbang kecintaan dan kebencian, tiba-tiba Leman Lengkung datang dengan membawa dua lembar kertas. Kertas itu tipis. Di bagian atas kertas itu tertulis “Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak”.

“Ini Tah, surat dari negara untuk Atah dan saye,” Leman Lengkung menyerahkan kertas itu kepada Atah Roy.

Dengan rasa cinta, Atah Roy menerima kertas tersebut. Atah Roy membaca tulisan yang tertera di kertas itu. Isi suratnya itu meminta Atah Roy membayar pajak. Atah Roy menarik nafas panjang. “Tak tahukah pemerintah, jangankan bayar pajak, utang aku di kedai Kasim sampai detik ini pun belum dapat aku bayar,” keluh Atah Roy sambil melentukan kepalanya.

“Macam mane, Tah. Kalau tidak, kite kene dende ni?” Leman Lengkung ketakutan.

“Entahlah Man, kalau nak bayar pajak, terpakselah kuali buruk di dapur tu kite jual. Itulah satu-satunye kekayaan yang kite punye,” Atah Roy menjawab lemas.

“Eeeee alah, nasib,” Leman Lengkung pasrah.