Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 25 Februari 2012

Melayu Vs Tong Sampah

Bagi Atah Roy, memahami Melayu adalah memahami ketertindasan yang tak pernah usai. Begitu juga Menjadi Melayu di negeri kaya ini, menurut Atah Roy, memang serba sulit. Melayu dihadapkan dengan permasalahan kesejatian yang pada akhirnya hendak meletakan Melayu pada posisi teratas. Dalam proses meletakan Melayu di posisi ‘terhormat’ inilah, Melayu terantuk dengan permasalahan yang luncas dari keberadaan Melayu sebenarnya. Melayu hanya hebat di permukaan, di dalamnya orang Melayu terkapar tidak berdaya.
Atah Roy pun teringat bagaimana susahnya Jang Gagak, Yusuf Keling, Bahar Cengkung, Tapa Sulah, kalau ditulis semue, punuh koran ini agaknya dengan nama orang Melayu yang sedang dalam masalah. Atah Roy bukan hendak melawan arus dengan pemikiran orang Melayu yang berada di kota. Sebagai orang kampung, rasa ke-Melayu-an Atah Roy dan orang kampung lainnya, tak perlu diragukan. Setiap detik, darah yang mengalir ke seluruh tubuh menkristal menjadi Melayu.
Masalah simbol itu memang penting sebagai identitas, tapi masalah Melayu pada hari ini lebih dari masalah simbol. Atah Roy berpikir, untuk apa punya simbol yang ‘cantik’, kalau orang yang dibungkus oleh simbol itu bersepai. Atah Roy selalu bertanya, bukankah simbol diciptakan sebagai perwujudan keperkasaan untuk meletakkan orang yang ‘dinaungi’ simbol itu berwibawa? Tapi bagaimana orang Melayu mau berwibawa, sementara orang Melayu di kampung selalu berhadapan dengan masalah, dan masalah itu pasti berujung kekalahan orang Melayu.
Atah Roy tak mau berpanjang lebar dengan masalah yang sedang dihadapi oleh orang Melayu di kampung. Sudah banyak media masa mengabarkan tetang duka tersebut. Mulai dari tanah diserobot, sampai susahnya mencari kerja di perusahaan besar yang beroperasi di tanah Melayu ini. Atah Roy teringat kata Presiden Panyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, “Memang Melayu tak akan pernah hilang di muka bumi ini, tapi orang Melayu mau jadi di dunia ini?”
Kembali lagi pikiran Atah Roy ke masalah simbol yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan di Kota Pekanbaru. Memang, pikir Atah Roy, meletakan simbol bukan pada tempatnya kurang molek dilihat. Untuk kasus selembayung yang dihiasi di atas tong sampah, menurut Atah Roy, tak perlulah dihebohkan. Atah Roy yakin, yang merancang gagasan itu budak Melayu juga. Tidak mungkin budak Melayu menyamakan keperkasaan Melayu dengan tong sampah. Kalau dilihat bentuk tong sampahnya yang cantik itu dan bersusun rapi di jalan besar Kota Pekanbaru, ada keinginan perancang ingin menyosialisasikan selembayung di tengah masyarakat. Bukankah selama ini, keperkasaan Melayu hanya bermain pada laman eksklusif saja? Melayu hanya diperbincangkan di seminar dan dijadikan objek penelitian, sementara di khalayak ramai, terutama di Kota Pekanbaru, Melayu terkesup alias tak bermaya. Berbahasa Melayu saja di Kota Pekanbaru, orang Melayu tidak punya keberanian.
Maka, Atah Roy berharap, pandanglah peristiwa selembayung di atas tong sampah secara positif. Kalau mau dipermasalahkan juga, layak tidak layaknya sebuah simbol keperkasaan Melayu menghiasi tong sampah, apa beda selembayung yang dipasangkan di bumbung rumah  lokalisasi pelacuran? Bukankah hal ini lebih mencorengkan muka Melayu di mata orang lain? Atah Roy bukan hendak memperdebatkan masalah ini dan memihak kepada sesiapapun, karena perselisihan tidak menyelesaikan masalah Melayu. Masih banyak masalah orang Melayu belum terselesiakan di negeri ini.
Menurut Atah Roy, seandainya kita hendak juga mempermasalahkan marwah, keperkasaan atau pun identitas Melayu, mari bersama-sama menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi orang Melayu. Tanah kena serobot, hutan dibantai, cari pekerjaan susah, hidup dalam kemiskinan. Setelah semua masalah yang sedang dihadapi orang Melayu ini teratasi, maka kita pun dengan perkasa meletak simbol itu berada di puncak. Sejalan dengan itu, kita pun membenahi perguruan tinggi yang berlapang dada membuka jurusan budaya dan seni, walaupun tertatih-tatih.
Sedang seriusnya Atah Roy berpikir tentang identitas Melayu ini, Leman Lengkung datang dengan nafas teregah-engah. Di tangan kanan Leman Lengkung, koran yang sudah komuk dipegang erat-erat. Muka Leman Lengkung merah, dan tersimpan kegeraman yang memuncak. Menenguk anak saudaranya seperti itu, Atah Roy pun jadi heran, hilang semua yang dipikirkannya tadi.
“Ade masalah ape, Man? Macam kene kejo penyabit je nampak aku?”
“Ini masalah marwah Melayu, Tah. Kite tak boleh diam,” ujar Leman Lengkung pasti.
“Marwah Melayu macam mane maksud dikau ni?” Atah Roy belum mengerti.
“Pokonye kite harus berjuang, Tah. Dari kampung kite harus membangun Melayu untuk orang kota,” Leman Lengkung belum mengatakan masalah yang sedang dihadapi.
“Berjuang macam mane ni? Berita ape di koran yang dikau bace, sehingge dikau macam singe nak menerkam orang?”
“Bukan gara-gara bace koran ini, Tah,” Leman Lengkung menjawab.
“Habis, yang dikau pegang tu?”
“Megang koran ni gaya aje, Tah. Ade masalah yang tak tercatat di koran, Tah,” Leman Lengkung bersemangat.
“Masalah ape?” Atah Roy penasaran, tak mungkin masalah marwah Melayu tak diberitakan di koran yang terbit di Riau ni.
“Usu Malik Bengang ade di kampung kite ni, Tah.”
“Jadi masalahnye?”
“Bini die kan orang kampung sini juge, Tah?”
“Auk. Ngape?”
“Anak-anak die, termasuk bini die, bahkan Usu Malik juge, bercakap tak pakai bahase Melayu lagi, Tah. Bergetar-getar die bercakap. Kite harus tegur  Usu Malik tu, Tah, kalau tidak siape nak menjage bahase Melayu di kota itu, Tah. Usu Malik tu kan orang terpandang di bidang budaye di kota,” Leman Lengkung panjang lebar menyampaikan kepada Atah Roy.
“Entahlah Man, pening kepale aku, lebih baik dikau memikirkan kambing kite di belakang tu,” Atah Roy seakan kehilangan semangat.
“Atah ni macam mane, kate pejuang Melayu sejati,” Leman Lengkung agak emosi.
“Ngape pulak dikau emosi kepade aku? Budak ni kang, kene juge penumbuk Arwah Wak ni kang! Itulah, kite sendiri saje malu berbahase Melayu, macam mane kite nak menegakkan marwah Melayu. Malas aku berpikir tentang Melayu lagi!” ujar Atah Roy geram sambil meninggalkan Leman Lengkung sendiri. Leman Lengkung cume dapat mengangakan mulutnya.
“Heeee… Salah lagi aku. Masuk tong sampah sajelah aku."

Sabtu, 18 Februari 2012

Celana Anak


“Semangat kampung selalu dikalahkan oleh semangat kota”. Kesimpulam ini dirangkai Atah Roy ketika ia dijemput menghadiri helat pernikahan anak kawannya, Yasin Cabuh, di Pekanbaru. Pada helat pernikahan itu, Yasin Cabuh, menjemput semue orang kampungnya yang sudah menetap di Kota Pekanbaru. Yasin Cabuh bukan hendak berlagak menjemput orang kampungnya yang sudah menetap di Pekanbaru; melepas rindu dan memperat persaudaraan, itulah tujuan Yasin Cabuh.
Empat hari sebelum helat pernikahan itu dilangsungkan, Atah Roy dan Leman Lengkung sudah datang di rumah Yasin Cabuh. Atah Roy berharap kedatangnya dan Leman Lengkung dapat membantu sedikit banyak Yasin Cabuh, paling tidak menegak tiga empat batang tiang bangsal, masih sanggup dilakukan Atah Roy. Namun harapan Atah Roy tidak sama dengan kenyataan yang terjadi. Di rumah Yasin Cabuh tidak kelihatan tanda-tanda akan diadakan helat pernikahan.
Biasanya di kampung, seminggu sebelum helat berlangsung, jiran dan saudara terdekat sudah sibuk membantu tuan rumah. Tapi di rumah Yasin Cabuh, sunyi saja. Tak ada orang, cuma Yasin Cabuh, istri dan ketiga anak  perempuannya berada di rumah. Atah Roy heran juge, namun keheranannya disimpan di lubuk hatinya yang paling dalam. Kalau bertanya kepada Yasin, Atah Roy takut, Yasin tersinggung. Maklum, kalau di kampung, rumah yang akan melangsungkan hajat pernikahan tidak didatangi orang, dapat disimpulkan orang tersebut tidak disukai orang kampung. Pasti ada masalah tuan rumah dengan orang kampung.
Yasin Cabuh gembira melihat Atah Roy dan Leman Lengkung datang. Yasin pun mengajak Atah Roy dan Leman, masuk ke rumah. Bukan main lagi rumah Yasin,macam istana. Macam nak matah leher Leman Lengkung menenguk sekeliling rumah Yasin Cabuh. Atah Roy malu juge nenguk Leman Lengkung seperti itu. Dengan sikunya, Atah Roy menyikut Laman Lengkung.
“Santai jelah,” ucap Atah Roy kepada Leman Lengkung.
Leman Legkung tidak peduli dengan teguran Atah Roy. Ia terus menenguk sekeliling rumah Yasin Cabuh dengan terpana yang luar biasa.
Yasin Cabuh memperkenalkan istri dan ketiga anak perempunnya kepada Atah Roy dan Leman Lengkung. Istri Yasin Cabuh dengan senyum yang merekah, meyalami Atah Roy dan Leman Lengkung, diikuti oleh ketiga anak perempuannya. Mata Leman Lengkung macam nak terjojol melihat istri dan anak Yasin Cabuh. Macam mana tidak terjojol mata Leman, istri dan ketiga anak Yasin Cabuh menggunakan celana pendek ketat, dan baju tak belengan.
Atah Roy bertambah geram meneguk tingkah laku Leman Lengkung, namun Atah Roy tak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah perbuatan Leman Lengkung. Sebelum keluarga Yasin Cabuh mengetahui tingkah laku Leman Lengkung yang memalukan itu, Atah Roy pun membuka pembicaraan.
“Kate dikau, Sin, nak menjemput orang kampung kite yang sudah menetap di Pekanbaru ni. Ngape orang-orang tu belum tampak batang idungnye?” tanye Atah Roy yang sesekali tetenguk juga istri dan ketiga anak Yasin Cabuh. Mau menutup muka depan Yasin, tak mungkin. Terpaksalah Atah Roy hanya bisa tersenyum, ketika matanya berpandangan dengan mata istri dan ketiga anak Yasin yang duduk di depannya.
“Tah, di sini kota, tak same dengan di kampung. Orang-orang sini datang pas hari acara saje,” jelas Yasin Cabuh.
“Ooo… jadi siape yang menegak bangsal?” Atah Roy menelan air liur.
“Kunci di kota ini, Tah, semuenye duit. Ade duit, semunye selesai. Untuk makan, kite tinggal pesan dari luar. Tenda kite tinggal order, satu hari nak pesta baru dipasang. Pelaminan juge macam itu. Untuk kite susah-susah ngumpul orang, kalau semuenye bisa kite lakukan dengan duit,” Yasin Cabuh tersenyum.
“Bukan macam itu, Sin. Hakikat ngumpul orang itu kan, agar persaudaraan kite bertambah kuat. Paling tidak dikau kumpul orang-orang kampung kite yang ade di sini, sebelum acara besarnye. Dapat juge kite bebual-bual nak kite ape kan kampung kite tu,” jelasAtah Roy.
“Atah…, Atah, orang kota tak same dengan orang kampung, Tah. Orang kota sibuk bekerje, siang malam. Jadi nak bebual tu, waktunye tak ade,” jelas Yasin Cabuh lagi.
“Kalau dikau bercakap macam itu, tak dapat akal aku lagi. Suailah orang kota tak pernah mempedulikan orang kampung, pas nak jadi gubernur, bupati atau anggota dewan, barulah orang kota peduli orang kampung, ye?” Atah Roy agak kesal.
“Bukan macam itu, Tah. Kite bukan tak peduli kampung, tapi keadaan kota yang membuat kite sepeti itu,” Yasin Cabuh tersinggung juga, tapi tak dilihatnye kepada Atah Roy. Bagaimanapun juga, Atah Roy ada benarnya.
“Aku pikir di rumah dikau, dah ramai orang kampung kite yang datang. Semangat betul aku dari kampung ke sini. Dapat juge aku menambah wawasan, bebual dengan orang kota. Maklum, orang kampung wawasannye terbatas,” Atah Roy menyindir.
“Tak usah Atah bercakap macam itu. Pade hari pesta nanti, pasti orang-orang tu datang,” Yasin Cabuh membujuk Atah Roy.
“Tak puas bebual pade hari pesta. Selain bising oleh organ tunggal, waktunye pun terbatas,” ujar Atah Roy.
Yasin Cabuh tak dapat berkata apa-apa lagi untuk beralasan. Dia memandang istri dan ketiga anak perempuanya minta pertolongan menjelaskan ke Atah Roy. Namun istri dan ketiga anaknya tidak beraksi sedikit pun. Mereka pun tidak dapat menjelaskan apa-apa kepada Atah Roy, walaupun istri dan anak-anak Yasin Cabuh berpendidikan tinggi.
“Pak Cik Yasin, boleh agaknye saye bertanye?” Leman Lengkung memecah kesunyian.
“Ape salahnye, Man, tak ade yang salah di kota. Apelagi setakat bertanye,” Yasin Cabuh tersenyum. Begitu juge istri dan ketiga anaknye.
“Di kota tak ade jual baju untuk orang beso?” tanye Leman Lengkung.
“Adelah,” jawab Yasin Cabuh singkat.
“Kalau ade, ngape bini dan anak-anak Pak cik pakai baju dan celana anak-anak?” Leman Lengkung polos.
Mendengar pertanyaan Leman Lengkung, wajah Yasin Cabuh, istri dan ketiga anak perempunya memerah. Mereka seperti ditampar oleh Leman Lengkung. Mereka saling berpandangan satu dengan lainnya. Istri dan ketiga anak perempuan Yasin Cabuh meninggalkan Atah Roy dan Leman Lengkung dengan wajah tetap memerah menahan malu. Atah Roy tak sedap hati, dia memandang Leman Lengkung dengan mata memerah pula, tanda marah.
“Orang kampung tu jujur, Tah, jadi tak sanggup menyembunyikan ape yang die lihat,” jelas Leman Lengkung.
Yasin Cabuh menerik nafas panjang. Sementara Atah Roy terdiam dengan menyembunyikan seribu kegeraman.

Minggu, 12 Februari 2012

Malas Jadi Melayu


Dulu, Atah Roy bangga menyebut dirinya Melayu sejati. Kemana-mana, Atah Roy selalu mencaritakan peristiwa-peristiwa, cerita atau pun sejarah kebesaran Melayu kepada siapa saja. Atah Roy pun tak segan-segan berteriak keras-keras di tengah pasar “Aku Melayu”. Tingkah laku Atah Roy yang terlalu menyanjung Melayu berlebihan menyebabkan orang-orang menyebut Atah Roy ‘gila Melayu’. Atah Roy bukannya marah, malahan ia sangat senang orang-orang menyebutnya ‘gila Melayu’. Untuk mencintai sesuatu itu, pikir Atah Roy, memang harus masuk secara menyeluruh ke tubuh yang kita cintai itu. Tidak ada perbedaan lagi antara yang mencintai dan yang dicintai; ia menyatu tanpa dapat dibedakan lagi.
Bagi Atah Roy, Melayu memiliki kekuatan yang mampu menakluk dunia. Namun belum mampu diolah menjadi kekuatan. Ibarat tanah lapang, Melayu belum ditanami benih apapun. Dalam rangka ‘menanami benih’ kekuatan itulah, Atah Roy bercita tentang kehebatan Melayu kepada siapa saja yang dijumpai, baik kepada orang Melayu, maupun bukan orang Melayu. Atah Roy yakin, siapapun orangnya apabila menerapkan nilai-nilai Melayu di dalam hidupnya akan menjadi orang besar.
 Atah Roy pun sangat marah apabila ada orang mengatakan bahwa Melayu tidak akan pernah maju. Sifat-sifat yang melekat pada Melayu, seperti pemalas, perajuk, selambe (tidak peduli), pembual, pengamuk, membuat orang Melayu menjadi pengecut. Apabila ada orang yang mengatakan sifat Melayu itu, Atah Roy pun dengan bersemangat menjelaskan kepada orang tersebut.
Pertama tentang pemalas. Atah Roy menjelaskan, pemalas itu merupakan kata untuk menantang orang Melayu agar melakukan sesuatu tanpa kenal kata menyerah. Negeri orang Melayu kaya, seandainya orang Melayu terbujuk dengan kata pemalas, maka dengan leluasa orang lain menguasai kekayaan orang Melayu. Kata pemalas, menurut Atah Roy, harus dimaknai sebagai ‘cambuk’ yang membantai punggung keterlenaan agar orang Melayu sadar bahwa orang Melayu penobrak sejati.
Kedua, orang Melayu perajuk. Atah Roy menafsirkan kata perajuk sama dengan hijrah. Dengan membawa diri dari permasalahan rumit yang sedang terjadi, orang Melayu mencoba mempelajari permasalahan itu dari jauh, dengan merajuk. Kata Atah Roy, bukankah melihat dari jauh, kita dapat melihat secara keseluruhan suatu benda. Merajuk adalah suatu upaya melihat masalah dari jauh. Jauh di mata, tapi dekat di hati, merupakan konsep menanam kerinduan, dan merajuk merupakan usaha untuk menam kerinduan dari kejahuan.
Ketiga, selambe atau tidak memperdulikan. Atah Roy menjelaskan bahwa selambe merupakan upaya orang Melayu untuk tidak membebankan diri dengan masalah-masalah. Orang Melayu, menurut Atah Roy, sadar betul bahwa hidup ini merupakan masalah. Jadi dengan tidak memperdulikan masalah, orang Melayu dapat menyelesaikan kehidupan ini dengan tanpa ada beban sedikit pun. Atah Roy menjelaskan, bukankah memandang sesuatu masalah dengan beban akan memunculkan masalah lain? Kata selambe, menurut Atah Roy, adalah kebiasaan orang Melayu melapangkan hati.
Keempat, kata pembual. Menurut pandangan Atah Roy, kata pembual adalah upaya manusia menyosialisasikan keberadaan diri (eksistensialis). Dengan membual, orang Melayu dapat mengeluarkan segala gagasan yang ada di batinnya. Dengan mengeluarkan gagasan yang berada di batinnya, maka akan terbuka segala jalan dalam menentukan sikap untuk berbuat. Bebual merupakan tindakan lisan untuk memupuk untuk melakukan tindakan nayata. Selain itu membual juga menyatukan kekuatan yang datang dari analisis sesuatu peristiwa yang dibualkan.
Kelima, pengamuk, menurut Atah Roy, merupakan aplikasi dari kata pemalas, perajuk, selambe dan pembual menjadi sebuah tindakan yang tidak dapat dibendung lagi. Pengamuk adalah upaya memperlihatkan diri setelah sesuatu itu tidak dapat dikompromi lagi. Seandainya pengamuk ini telah muncul, maka orang Melayu menjelma menjadi ‘raksasa’ yang tidak pernah takut berhadapan dengan apa saja; tidak dapat ditawar-tawar lagi, semuanya akan dimusnahkan. Hanya satu, kata Atah Roy, yang dapat mengehentikan pengamuk ini, yaitu kematian. Maka setelah kata pengamuk ini muncul, tiada obat yang dapat menyembuhkannya. Inilah eksistensi paling tertinggi orang Melayu.
Namun semangat mengebu-ngebu Atah Roy terhadap Melayu, kini hilang tidak berbekas. Atah Roy tidak berdaya mempertahankan dirinya sebagai orang ‘gila Melayu’. Kekecewaannya tak mampu menopang keperkasaannya. Atah Roy seakan terjatuh dari tangga, tertepam taik kucing, dan dilindas oleh fuso, lenyik. Lenyik hati Atah Roy nak berteriak ‘Aku Melayu’ di depan orang ramai. Atah Roy pun dah malas jadi Melayu, bahkan dia terluka jadi Melayu. Ape pasal?
Kekecewaan yang melumat keperkasaan Atah Roy sebagai orang Melayu bermula ketika ia menghadiri pemilihan ketua pemuda kampung. Dalam pertemuan itu masing-masing kubu mengkliam bahwa dari kubu merekalah yang berhak menjadi ketua. Keyakinan semua kubu itu berbuah pertengkaran yang sengit. Sebagai orang tua, sekaligus sebagai ‘gila Melayu’, Atah Roy pun muncul di hadapan pemuda yang sedang bertengkar itu. Dengan yakin, Atah Roy meraih mik yang berada di depan dan mulai bicara.
“Tenang…, Tenang… Tenang!” teriak Atah Roy. Suasana hening seketika. “Sebagai orang tua, aku nak menyampaikan sesuatu,” tambah Atah Roy. “Pemuda Melayu, seharusnya memperlihat sikap Melayu yang sejati! Tidak…,” belum selesai Atah Roy menyampaikan sesuatu, Leman Lengkung, anak saudaranya berteriak.
“Orang tue, diam!” pertengkaran berlanjut.
Atah Roy terkulai, dengan langkah lemah, Atah Roy meninggalkan ruangan pertemuan itu. Atah Roy tidak menyangka, anak saudaranya berteriak seperti itu. Segala kekuatan Atah Roy lumpuh seketika.
“Dah malas aku jadi Melayu, jangankan orang lain, anak saudare aku saje dah tak mendengo petuah aku,” ujar Atah Roy duduk lesu di atas batang rambai, sambil memandang ke bawah. “Nak bunuh diri rasenye,” bisik Atah Roy dalam hati.
             

Sabtu, 04 Februari 2012

Nasib Puyu-puyu




Atah Roy tidak berharap banyak kepada Leman Lengkung dan juga ketiga kawannya. Bagi Atah Roy mengisahkan kembali cerita lama (sastra lama) kepada generasi muda merupakan keharusan, sehingga cerita lama itu tidak hilang ditelan waktu. Atah Roy selalu berpikir, seandainya orang kenen mau meluangkan sedikit waktu mereka ‘masuk’ ke dalam cerita lama, banyak yang dapat dijadikan amunisi (kekuatan) untuk tetap berdiri tegap menghadapi masalah.
Namun kenyataan hari ini, orang kenen lebih menyukai tingkah laku yang datang dari luar negeri yang serba instan, tidak memerlukan penafsiran yang mendalam. Maka tidak heranlah, ketika negeri Korea mengepakkan sayapnya, orang kenen secara masal meniru habis gaya orang Korea. Orang-orang diseragamkan, dan kita menyukainya. Atah Roy berharap ada budak kenen dari kampungnya mampu mempertahankan kebiasaan (tradisi), namun tidak ketinggalan zaman. Untuk itulah, setiap malam Sabtu, Atah Roy meluangkan waktu, menceritakan kembali kisah-kisah lama, mulai dari cerita Lancang Kuning, Dedap Durhaka, Si Tanggang, Hikayat Hang Tuah dan cerita-cerita yang mengandung pelajaran lainnya.
Pada malam Sabtu ini, Atah Roy menceritakan Syair Ikan Terubuk kepada Leman dan ketiga kawannya. Leman Lengkung dan ketiga kawannya merupakan pendengar setia Atah Roy, tak pernah absen pada malam Sabtu. Dengan menggunakan irama syair kapal, Atah Roy melantunkan baris demi baris, bait demi bait syair Ikan Terubuk dengan berlinang air mata. Leman Lengkung dan ketiga kawannya dengan seksama mendengar syair yang dilantunkan Atah Roy. Di hati Leman Lengkung merasakan ada sesuatu yang luar biasa yang hendak disampaikan Atah Roy dari syair ini. Namun Leman Lengkung belum berani bertanya kepada Atah Roy.
Di akhir syair, dimana Puyu-puyu harus menyelamatkan diri dari serangan pasukan Terubuk dengan bersembunyi di sebuah pohon. Semakin ujung syair yang dilantunkan, semakin deras air mata Atah Roy keluar dari matanya. Leman Lengkung dan ketiga temannya pun terbawa suasana yang mengharukan, tapi mereka hanya diam saja. Syair pun usai, Atah Roy mengelap air matanya dengan lengan bajunya. Suasana sunyi, tak ada suara, kecuali isak Atah Roy. Beberapa saat kemudian, Atah Roy masuk ke kamar. Leman Lengkung dan ketiga kawannya, hanya memperhatikan kepergian Atah Roy, tanpa bersuara sedikit pun alias terpana.
Di dalam kamar Atah Roy terduduk di atas tempat tidurnya. Atah Roy tak berharap Leman Lengkung dan ketiga kawannya, memburu pertanyaan, mengapa ia menangis ketika melantunkan syair Ikan Terubuk tadi. Atah Roy tahu bahwa pada hari ini cerita lama (sastra lama) hanya dijadikan pelarian untuk sebuah identitas, tidak lebih. Padahal sebuah identitas adalah sebuah sikap dan cerita lama banyak yang mendedahkan sikap terpuji dan perlu diterapkan pada hari ini.
“Biar sajelah aku menanggung deritenye seorang diri,” ucap Atah Roy dalam hati, sambil mengelap air matanya.
Pikiran Atah Roy meleset rupanya. Belum lama benar ia berada di dalam kamar, Leman Lengkung dan ketiga kawannya masuk. Mereka duduk di atas lantai depan Atah Roy. Mereka saling berpandangan untuk melihat respon, siapa yang dulu memulai bertanya kepada Atah Roy. Ketiga kawan Leman Lengkung mengerakkan kepala mereka serentak untuk mempersilakan Leman Lengkung bertanya terlebih dahulu. Melihat ketiga kawannya memberi laluan kepada dirinya, Leman Lengkung pun menarik nafaspanjang. Merasa siap, Leman Lengkung pun bertanya.
“Maafkan kami yang kurang paham ini, Tah. Adekah sesuatu yang tersembunyi di balik syair Ikan Terubuk itu, Tah?”
Atah Roy memandang Leman, dan kemudian mengalihkan pandangannya ke arah ketiga kawan Leman. Lalu Atah Roy mengumpulkan kekuatan dengan menarik nafas dalam-dalam. Oksigen, imajinasi serentak masuk ke otak Atah Roy.
“Lemah bukan berarti kita harus kalah. Biar putih tulang, jangan putih mate. Hak tetaplah hak, dan tak bisa ditawar-tawar dengan ape pun juge,” jelas Atah Roy yang masih belum dapat ditangkap oleh Leman Lengkung dan ketiga kawannya.
“Maksudnye, Tah?” Leman Lengkung kembali memburu dengan pertanyaan.
“Mike semue tahu Pulau Padang dan masalah yang sedang dihadapi masyarakat disane, kan?” Atah Roy balik bertanya.
“Tahu, Tah, tapi ape hubungan dengan syair Ikan Terubuk ni, Tah?” kawan Leman Lengkung yang kurus kering bertanya.
“Di tasik Pulau Padang itulah, Puyu-puyu mempertahankan haknye. Die tak mau menyerah kepade Terubuk, walaupun Terubuk menjanjikan kekayaan dan kesejahteraan kepadenye. Puyu-puyu tahu, bahwa Terubuk hanya membawa kekacauan, tersebab alam Terubuk yang hidup di air masin, tak same dengan alam Puyu-puyu yang hidup di air tawo. Mengubah alam, same saje membinasakan diri. Puyu-puyu tak mau hal itu terjadi dan die menolak, walaupun nyawe die terancam,” jelasAtah Roy panjang lebar.
“Niat Terubuk itu kan bagus, Tah, menyatukan dua alam untuk kesejahteraan kaum di tasik Pulau Padang itu, Tah,” kawan Leman Lengkung yang agak bengik berkomentar.
“Kalau kerajaan yang beso datang, itu tandenye mereke tak punye wilayah jajahan lagi. Dan ingat, kedatangan kerajaan beso hanya untuk menambah kebesaran mereke. Pade awalnye kerajaan beso memang menjanjikan kesejahteraan, tapi di sebalik semue itu, ade kepentingan nak berkuase di atas tanah kuase mereke. Tak ade kerajaan beso hendak rugi de,” kate Atah Roy agak emosi.
“Tapi karya sastra cume rekaan saje, Tah, bukan betul,” ujar kawan Leman yang juling pulak.
“Karya sastra memang rekaan, tetapi rekaannya berasal dari kehidupan nyate. Dan perlu mike ingat, bahwa seorang penulis karya sastra, seperti peramal yang bisa membace kejadian yang akan datang. Syair Ikan Terubuk membuktikan akan datang kehancuran Pulau Padang yang dibelasah hutannye. Ingat itu!” Atah Roy bertambah emosi.
Leman Lengkung dan ketiga kawannye tidak berani nak bertanya lagi, karena mereka tahu, kalau bertanya lagi, maka bukan suara besar Atah Roy saja yang keluar, tapi tinju juga bisa melayang ke wajah mereka. Untuk mengantisipasi keadaan, Leman Lengkung dan ketiga kawannya, mundur dengan cara keluar kamar Atah Roy, tanpa bersuara sedikit pun.
“Itulah, menganggap karya sastra tak penting, jadi bodoh semuenye!” teriak Atah Roy.
Leman Lengkung dan ketiga kawannya, mempercepat langkah mereka.