Leman Lengkung menyudut di ruang tamu. Dia merasa tak sanggup berdiri
dengan kedua belah kakinya. Pikirannya tidak bisa menetap pada satu keadaan
yang akan dihadapinya. Semakin kuat Leman Lengkung berusaha untuk fokus,
semakin banyak pula bayangan permasalahan menghampiri dirinya. Ketakutan mendera
Leman Lengkung, namun Leman Lengkung tidak bisa lari dari permasalahan yang
akan muncul, tersebab dia menyanggupi menjalankan amanah yang diberikan oleh
Atah Roy dan warga.
Tidak mungkin juga Leman Lengkung membiarkan dirinya berada dalam
keraguan; hidup harus berani menjalani,
apapun masalah dan resiko yang akan datang adalah konsekuensi hidup. Hidup
merupakan pilihan dan pilihan merupakan jalan untuk memperlihatkan eksistensi
manusia. Sebagai manusia Leman Lengkung punya marwah diri; berani menebang,
harus berani pula memikul. Namun usaha membesar-besarkan diri yang dilakukan
Leman Lengkung, belum mampu juga mengusir keraguan yang bersarang di benaknya.
Leman Lengkung tetap menyudut di ruang tamu.
Padahal sebelum Atah Roy dan warga menunjuk Leman Lengkung menjalankan
kepercayaan yang diberikan, sebagai bapak saudare, Atah Roy sudah menanyakan
kepada Leman Lengkung.
“Man, sanggup dikau menjalankan kepercayaan yang akan kami letakan di bahu
dikau?” tanya Atah Roy sebelum berangkat ke rumah Pak RT, tempat diadakan
musyawarah.
“Atahku tersayang, sebagai warga yang baik, saye harus sanggup mengemban
amanat yang warga berikan. Atah Tahu kan, selame ini saye tidak pernah
mengecewakan Atah? Semue yang Atah suruh; membeli pupuk, memasak, mencuci,
semuenye saye laksanekan dan Atah tidak pernah kecewakan?” Leman Lengkung
yakin.
“Betul, Man, dikau tidak pernah mengecewakan aku. Tapi kali ini, dikau
dipercayai banyak orang, itu berat, Man. Rambut boleh same hitam, tapi
keinginan manusie itu berbede-bede,” Atah Roy mencoba menyadarkan Leman agar memikirkan
masak-masak keinginannya.
“Atah, yang benar tetaplah benar, dan saye akan membawa kebenaran itu
untuk kepentingan bersame,” Leman Lengkung tegar dengan pendiriannya.
“Tak salah tu, aku sependapat dengan dikau, Man. Tapi kadang kala,
kebenaran yang kite yakini untuk orang banyak, salah pulak bagi orang lain.
Apelagi di zaman kenen, kebenaran selalu saje berdasarkan kepentingan,” jelas
Atah Roy.
“Atah terlalu apriori, menyimpulkan sesuatu sebelum berbuat. Kite harus
optimis menjalani keyakinan kite, Tah,” Leman Lengkung bertambah yakin.
Atah Roy menarik nafas panjang. Atah Roy merasakan Leman Lengkung sudah
mengajarinya. Tersinggung juga Atah Roy mendengarkan kata-kata Leman Lengkung,
tapi ia telan saja. Atah Roy menyadari bahwa darah muda kadang kala menutupi
pikiran jernih.
“Sebagai orang tue, aku cume mengingatkan saje. Kalau dikau sudah yakin
bisa menjalankan kepercayaan yang akan diberikan, bagi aku tak maslah,” suara
Atah Roy datar. Atah Roy agak kecewa dengan Leman Lengkung.
“Saye yakin dan sanggup menjalankan apepun yang warga letakan di bahu
saye, Tah,” Leman Lengkung membusungkan dadanya.
Mengingat peristiwa sebelum berangkat ke rumah Pak RT, percakapan yang
terjadi dengan Atah Roy, Leman Lengkung semakin gelisah. Leman Lengkung tidak
menyangka, bahwa kepercayaan itu rupnya sangat berat. Apalagi semua warga
merasa berhak meletakan keinginan di pundak orang yang mereka percayai.
“Kebenaran tunggal itu rupenye hanye ade pade angan-angan. Zaman kenen,
kepentingan pribadi mengalahkan kepentingan orang banyak,” pikir Leman Lengkung
yang sedang menyudut di ruang tamu.
Leman Lengkung betul-betul tidak menyangka bahwa semua warga punya
keinginan. Pedagang sibuk dengan kepentingan dagangannya dan ngotot suara
mereka harus didengarkan. Begitu juga dengan petani, menganggap mereka penting
dan mereka tidak mau tawar-menawar untuk kepentingan mereka. Kalangan
penganggur terus mengiba, agar mereka dapat pekerjaan dan pekerjaan adalah harga
mati bagi mereka. Pihak pegwai negeri juga punya kepentingan agar kesejahteraan
mereka diperhatikan. Pokoknya Leman Lengkung dibuat terhenyak dengan kepentingan-kepentingan
yang beragam ini.
“Berat kepercayaan ini rupenye!” pekik Leman Lengkung dalam hati.
Atah Roy masuk ke rumah. Dia tercengang melihat Leman Lengkung menyudut di
rung tamu rumahnya. Atah Roy menghampiri Leman Lengkung.
“Ngape macam udang kene rebus dikau, Man?” Atah Roy heran.
“Betul kate Atah, bahwa kepercayaan itu berat. Aku tak sanggup, Tah,” ujar
Leman putus asa.
“Tidak bisa, Man. Dikau sudah menyanggupi dalam musyawarah tadi, menjadi
juru bicara warga untuk menyampaikan permasalahan yang dihadapi warga kepada
pimpinan negeri dalam pertemuan besok. Dikau harus sanggup, tidak bisa tidak,”
jelas Atah Roy panjang lebar.
“Saye pikir dengan menjadi juru bicara warga, saye dapat memanggakan diri,
Tah. Tapi rupenye jadi yang dipercaye itu berat, Tah,” Leman Lengkung lemah.
“Sudah terlmbat, Man. Warga sudah mempercayai dikau, dan dikau tidak bisa
tidak, harus menjalankan kepercayaan itu,” tambah Atah Roy.
Leman Lengkung menyenging, lalu perlahan-lahan senyum yang terpaksa itu
berubah menjadi tangisan. Sesaat kemudian, Leman Lengkung tertawa, lalu menagis
lagi. Peristiwa menangis dan tertawa, silih berganti hadir. Atah Roy bertambah
heran.
“Ngape dikau, Man?” Atah Roy semakin heran.
“Aku gile, Tah. Aku dah gile, Tah,” ujar Leman Lengkung sambil berlari
meninggalkan Atah Roy. Atah Roy macam patung melihat anak saudaranya berubah
seketika.
“Baru jadi jubir, dah gile, apalagi jadi pimpinan? Hai… Leman Lengkung,
betullah!” ucap Atah Roy sambil menggelengkan kepalanya.