Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 28 Januari 2012

Kepercayaan


Leman Lengkung menyudut di ruang tamu. Dia merasa tak sanggup berdiri dengan kedua belah kakinya. Pikirannya tidak bisa menetap pada satu keadaan yang akan dihadapinya. Semakin kuat Leman Lengkung berusaha untuk fokus, semakin banyak pula bayangan permasalahan menghampiri dirinya. Ketakutan mendera Leman Lengkung, namun Leman Lengkung tidak bisa lari dari permasalahan yang akan muncul, tersebab dia menyanggupi menjalankan amanah yang diberikan oleh Atah Roy dan warga.
Tidak mungkin juga Leman Lengkung membiarkan dirinya berada dalam keraguan; hidup harus berani menjalani,  apapun masalah dan resiko yang akan datang adalah konsekuensi hidup. Hidup merupakan pilihan dan pilihan merupakan jalan untuk memperlihatkan eksistensi manusia. Sebagai manusia Leman Lengkung punya marwah diri; berani menebang, harus berani pula memikul. Namun usaha membesar-besarkan diri yang dilakukan Leman Lengkung, belum mampu juga mengusir keraguan yang bersarang di benaknya. Leman Lengkung tetap menyudut di ruang tamu.
Padahal sebelum Atah Roy dan warga menunjuk Leman Lengkung menjalankan kepercayaan yang diberikan, sebagai bapak saudare, Atah Roy sudah menanyakan kepada Leman Lengkung.
“Man, sanggup dikau menjalankan kepercayaan yang akan kami letakan di bahu dikau?” tanya Atah Roy sebelum berangkat ke rumah Pak RT, tempat diadakan musyawarah.
“Atahku tersayang, sebagai warga yang baik, saye harus sanggup mengemban amanat yang warga berikan. Atah Tahu kan, selame ini saye tidak pernah mengecewakan Atah? Semue yang Atah suruh; membeli pupuk, memasak, mencuci, semuenye saye laksanekan dan Atah tidak pernah kecewakan?” Leman Lengkung yakin.
“Betul, Man, dikau tidak pernah mengecewakan aku. Tapi kali ini, dikau dipercayai banyak orang, itu berat, Man. Rambut boleh same hitam, tapi keinginan manusie itu berbede-bede,” Atah Roy mencoba menyadarkan Leman agar memikirkan masak-masak keinginannya.
“Atah, yang benar tetaplah benar, dan saye akan membawa kebenaran itu untuk kepentingan bersame,” Leman Lengkung tegar dengan pendiriannya.
“Tak salah tu, aku sependapat dengan dikau, Man. Tapi kadang kala, kebenaran yang kite yakini untuk orang banyak, salah pulak bagi orang lain. Apelagi di zaman kenen, kebenaran selalu saje berdasarkan kepentingan,” jelas Atah Roy.
“Atah terlalu apriori, menyimpulkan sesuatu sebelum berbuat. Kite harus optimis menjalani keyakinan kite, Tah,” Leman Lengkung bertambah yakin.
Atah Roy menarik nafas panjang. Atah Roy merasakan Leman Lengkung sudah mengajarinya. Tersinggung juga Atah Roy mendengarkan kata-kata Leman Lengkung, tapi ia telan saja. Atah Roy menyadari bahwa darah muda kadang kala menutupi pikiran jernih.
“Sebagai orang tue, aku cume mengingatkan saje. Kalau dikau sudah yakin bisa menjalankan kepercayaan yang akan diberikan, bagi aku tak maslah,” suara Atah Roy datar. Atah Roy agak kecewa dengan Leman Lengkung.
“Saye yakin dan sanggup menjalankan apepun yang warga letakan di bahu saye, Tah,” Leman Lengkung membusungkan dadanya.
Mengingat peristiwa sebelum berangkat ke rumah Pak RT, percakapan yang terjadi dengan Atah Roy, Leman Lengkung semakin gelisah. Leman Lengkung tidak menyangka, bahwa kepercayaan itu rupnya sangat berat. Apalagi semua warga merasa berhak meletakan keinginan di pundak orang yang mereka percayai. “Kebenaran tunggal itu rupenye hanye ade pade angan-angan. Zaman kenen, kepentingan pribadi mengalahkan kepentingan orang banyak,” pikir Leman Lengkung yang sedang menyudut di ruang tamu.
Leman Lengkung betul-betul tidak menyangka bahwa semua warga punya keinginan. Pedagang sibuk dengan kepentingan dagangannya dan ngotot suara mereka harus didengarkan. Begitu juga dengan petani, menganggap mereka penting dan mereka tidak mau tawar-menawar untuk kepentingan mereka. Kalangan penganggur terus mengiba, agar mereka dapat pekerjaan dan pekerjaan adalah harga mati bagi mereka. Pihak pegwai negeri juga punya kepentingan agar kesejahteraan mereka diperhatikan. Pokoknya Leman Lengkung dibuat terhenyak dengan kepentingan-kepentingan yang beragam ini.
“Berat kepercayaan ini rupenye!” pekik Leman Lengkung dalam hati.
Atah Roy masuk ke rumah. Dia tercengang melihat Leman Lengkung menyudut di rung tamu rumahnya. Atah Roy menghampiri Leman Lengkung.
“Ngape macam udang kene rebus dikau, Man?” Atah Roy heran.
“Betul kate Atah, bahwa kepercayaan itu berat. Aku tak sanggup, Tah,” ujar Leman putus asa.
“Tidak bisa, Man. Dikau sudah menyanggupi dalam musyawarah tadi, menjadi juru bicara warga untuk menyampaikan permasalahan yang dihadapi warga kepada pimpinan negeri dalam pertemuan besok. Dikau harus sanggup, tidak bisa tidak,” jelas Atah Roy panjang lebar.
“Saye pikir dengan menjadi juru bicara warga, saye dapat memanggakan diri, Tah. Tapi rupenye jadi yang dipercaye itu berat, Tah,” Leman Lengkung lemah.
“Sudah terlmbat, Man. Warga sudah mempercayai dikau, dan dikau tidak bisa tidak, harus menjalankan kepercayaan itu,” tambah Atah Roy.
Leman Lengkung menyenging, lalu perlahan-lahan senyum yang terpaksa itu berubah menjadi tangisan. Sesaat kemudian, Leman Lengkung tertawa, lalu menagis lagi. Peristiwa menangis dan tertawa, silih berganti hadir. Atah Roy bertambah heran.
“Ngape dikau, Man?” Atah Roy semakin heran.
“Aku gile, Tah. Aku dah gile, Tah,” ujar Leman Lengkung sambil berlari meninggalkan Atah Roy. Atah Roy macam patung melihat anak saudaranya berubah seketika.
“Baru jadi jubir, dah gile, apalagi jadi pimpinan? Hai… Leman Lengkung, betullah!” ucap Atah Roy sambil menggelengkan kepalanya.         
            

Sabtu, 14 Januari 2012

Pelawan


Masa lalu selalu dijadikan rujukan untuk menghindar dari kelemahan yang menyebabkan diri terluka. Padahal masa lalu spirit untuk membentengi diri dari serangan musuh agar diri tak lumpuh. Maka tidak salahlah apabila Atah Roy sampai sekarang ini sangat mengagungi Hang Jebat sebagai tokoh favoritnya dalam meneguhkan hati menjadi seorang ‘pelawan’. “Kite perlu pelawan sekarang ini, bukan penurut. Banyak kebijakan hari ini berlawan dengan hati nurani. Dalam cerita lama, Hang Jebat mewkili sosok pelawan itu,” ucap Atah Roy dalam hati sambil meletakkan surat kabar yang ia baca di atas meja.
Atah Roy tak habis pikir, kenapa peristiwa di setiap surat kabar di negeri ini, selalu saja peristiwa air mata yang disebabkan kebijakan yang diterapkan oleh penguasa. Mulai dari peristiwa bank yang bermasalah, Mesuji, jahit mulut Pulau Padang, anak muda mencuri sandal jepit, sampai masalah merebut kursi kekuasaan, pada akhirnya yang lemah selalu dikalahkan. “Inikah yang dinamakan kesetiaan, sehingga orang memilih diam seperti Hang Tuah dibandingkan melawan seperti Hang Jebat untuk mengarifi keadaan ini?” Atah Roy bertanya dalam hati.
Atah Roy juga kesal, kenapa seorang pelawan selalu saja dimusuhi, padahal dengan adanya seorang pelawan kita mengetahui kesalahan kita. “Sultan Mahmud dalam Hikayat Hang Tuah, tidak akn pernah menyadri arti pentingnya sosok HangTuah, kalau Hang Jebat tidak melawan kebijakan sultan yang menghukum pancung HangTuah,” bisik Atah Roydalam hati.
Pelawan menurut Atah Roy, terjadi disebabkan ada sesutu yang tak kena dengan sikap atau kebijakan yang diputuskan. Atah Roy juga pernah dilawan oleh Leman Lengkung, ketika mau menikah lagi dengan seorang gadis. Saat itu Atah Roy sangat tersinggung dengan sikap Leman Lengkung yang tidak mendukungnya. Seharusnya, pikir Atah Roy waktu itu, sebagai keponakan yang dibesarkan dengan susah payah, Leman Lengkung harus mati-matian membela keinginan Atah Roy, bukan menentang. Akibat Leman Lengkung mengambil sikap melawan, keinginan Atah Roy menikahi gadis tersebut kandas di tebing kecewa.
Selama 3 bulan Atah Roy tidak bertegur sapa dengan Leman Lengkung. Bagi Atah Roy, memandang Leman Lengkung pada waktu itu, sama memandang najis yang tak tahu diuntung. Setiap kali Leman ingin membuka pembicaraan agar hubungan mereka harmonis kembali, berkali-kali pula Atah Roy pergi. Hati Atah Roy benar-benar terluka. Kelemahan manusia adalah selalu menganggap dirinya yang paling betul, padahal kebenaran seseorang itu kadang kala datang dari orang lain. Seperti Sultan Mahmud, Atah Roy juga menyadari bahwa kehadiran Leman Lengkung sangat dibutuhkan, setelah diketahui gadis yang ingin dinikahinya, gadis yang tidak betul. Ini terbukti setelah menikah selama 3 bulan dengan seorang lelaki, gadis itu selingkuh dengan lelaki lain. Cerita itu cepat tersebar, dan akhirnya sampai ke telinga Atah Roy.
“Saye tahu bahwa gadis itu tak betul, Tah. Itu sebabnya saya tak setuju Atah nikah dengan die,” ucap Leman Lengkung waktu itu. Atah Roy terpaku.
“Pengalaman menciptakan manusia lebih arif untuk bersikap,” kalimat itulah yang selalu bermain di benak Atah Roy saat ini. Maka Atah Roy pun heran, kenapa di negeri ini orang selalu terjebak melakukan kesalahan yang sama. Kenapa manusia pada hari ini, pikir Atah Roy, tak belajar dari pengalaman. “Mengapa orang yang selalu menentang atau melawan keinginan kita, kite jadikan musuh?” Atah Roy bertnya dalam hati.
Di saat Atah Roy bertanya dalam hati, Leman Lengkung datang tergopoh-gopoh alias tergesa-gesa. Atah Roy terkejut melihat raut muka Leman Lengkung macam dikejar Hantu Kopik.
“Ngape engkau, Man? Kene kejar hantu?”
“Anu, Tah….,” Leman tak jelas.
“Anu ape? Tenang melambangkan kebijaksanaa,” ucap Atah Roy menenangkan Leman Lengkung.
“Rumah Utih Uar diserang warga,” jelas Leman Lengkung dengan tebata-bata.
“Astaqfirullahalzim. Kenape warga kampung kite tak menerime perbedaan pendapat? Apekah negeri ini memang sudah dikutuk,  sehingga setiap orang tak setuju harus dimusnahkan?” Atah Roy menggeleng-gelengkan kepala.
Atah Roy tahu punca masalahnya. Azuar atau yang dipanggil Leman Lengkung Utih Uar, melawan ketika kebun sagunya mau dibeli oleh perusahaan yang hendak menjadikan hutan dan kebun sagu di kampungnya wilayah hutan tanaman industri. Menurut Azuar seminggu yang lalu, selain tanah di kampung ini tak cocok dengan tanaman yang akan diganti, sagu merupakan bagian dari hidupnya yang sudah berlangsung sejak dari nenek moyangnya. “Aku bisa hidup dengan kebun sagu. Aku tak butuh perusahaan itu! Selama ini, aku hidup juge tanpe perusahaan itu!” ujar Azuar di depan warga ketika diadakan pertemuan warga, camat dan juga pihak perusahaan.
Semenjak itulah Azuar dimusuhi oleh orang-orang dan sampai rumah Azuar diserang warga pada hari ini. Atah Roy tertegun tak berdaya. Atah Roy seakan kehilangan daya untuk berbuat sesuatu menyelsaikan masalah ini. Orang-orang sudah tak dapat membedakan mana yang harus dibela, dan mana yang harus didukung. Pelawan tetap saja menjadi musuh. Orang tak pernah berlajar dari masa lalu. Orang sudah engan menafsir cerita-cerita lama, sehingga tak tahu lagi mana emasdan mana loyang.
“Yang lebih parahnye, Tah, orang yang tahu berdiam diri tanpa berbuat apa-apa dan membiarkan kesalahan tetap berkuasa,” ujar Leman Lengkung, seperti menampar wajah Atah Roy.
“Kite harus membela Azuar!” ujar Atah sambil berdiri. Tapi tiba-tiba saja perut Atah sakit. “Aku nak buang air besar dulu, Man,” kata Atah Roy sambil meninggalkan Leman Lengkung sendiri.
“Jadi pelawan itu berat rupenye,” Leman Lengkung tersenyum.