“Mengapa
orang selalu tidak merasa puas, Tah?” pertanyaan melekat di benak Atah Roy.
Padahal pertanyaan itu sudah dilontarkan Leman Lengkung sebulan yang lalu.
Pertanyaan itu terus bemain di benak Atah Roy, setiap saat meledak seperti
kembang api pembukaan dan penutupan PON XVIII yang lalu. Pertanyaan itu terus
menganggu Atah Roy. Sebenarnya Atah Roy punya jawabannya, namun jawaban itu
pasti tidak akan memuaskan Leman Lengkung. Jangankan Leman Lengkung, Atah Roy
pun merasa puas dengan jawabannya.
“Nafsu
itu seperti meminum air di laut, semakin diminum samakin haus,” jawaban Atah
Roy itu, tersimpan hanya di hati, tak pernah melompat dari mulutnya.
Ketidakpuasaan menghatui diri Atah Roy.
Kadang
kala, penyelesaian selalu datang tanpa diduga. Hidup ini, kata Albert Camus,
absurd. Tidak jelas. Apa yang diinginkan tidak terjadi, bahkan sebaliknya; yang
tidak diinginkan pula yang terwujud.
Disaat
Atah Roy duduk termenung di depan rumah memikirkan jawaban yang tepat untuk
menjawab pertanyaan Leman Lengkung, tiba-tiba Nurlela datang dengan
tergesa-gesa. Atah Roy terkejut, dan langsung bertanya kepada Nurlela.
“Ngape
dikau macam kene kejo hantu sempadan je ni?”
“Tah,
tak ade tempat lagi saye nak mengadu, kepade Atah jelah tempat mengadu,” jawab
Nurlela dengan wajah mengiba.
“Ape
masalah dikau ni, La?”
“Berat
mulut ini nak bercakap, tapi lebih berat hati ini memendam beban itu, Tah,”
Nurlela masih terengah-engah.
“Bawak
bertenang, La. Cube kau sampaikan masalah dikau dengan aku pelan-pelan. Hidup
ini tidak selesai dengan tergopuh-gopuh de,” jelas Atah Roy.
“Atah
bisa bantu saye?” tanya Nurlela.
“Macam
mane aku nak membantu, masalah dikau je aku tak tahu,” ujar Atah Roy dengan
menggerutkan keningnya.
“Anu,
Tah..., anu...” Nurlela gugup
“Anu ke
ape, La? Ngape pulak dikau jadi gugup,” Atah Roy menenangkan Nurlela.
“Atah
tak marah?” tanya Nurlela lagi.
“Kalau
dikau macam ni terus, aku marah. Cakap ajelah, kalau bisa aku bantu, aku bantu,
kalau tak bisa, aku usahakan cari jalan kelounya,” tambah Atah Roy.
“Anu,
Tah...”
“Jangan
pakai anu, langsung ajelah,” suara Atah Roy sedikit meninggi.
“Saye
nak minjam duit kepade Atah,” jelas Nurlela dengan perasaan lega.
“Minjam
duit? Dikau kan baru menjual tanah pusake milik ebah dikau sebulan yang lalu,
tak mungkinlah nak minjam dengan aku pulak,” Atah Roy penasaran.
“Duit
hasil penjualan tanah pusake arwah ebah saye tu dah habis terpakai, Tah,” jelas
Nurlela.
“Habis
terpakai buat ape? “ Atah Roy bertambah penasaran.
“Duit tu
saye buat kredit motor, beli tv baru, beli hp baru, pokoknye saye tak mau
ketinggalan dengan tetangge saye Tah. Tetangge saye, baru beli motor baru, tv
baru sampai semue anaknye pakai hp baru,” jelas Nurlela.
“Ngape
tak dikau jual semue yang baru dikau beli tu,” usul Atah Roy.
“Sayang
pulak, Tah,” tambah Nurlela.
“Minjam
dengan orang, tak malu dikau de?” tanye Atah Roy dengan nada geram.
“Saye
tak malu, Tah, yang saye malukan, keluarga saye tak mampu same dengan keluarge
tetangge. Saye harus lebih dari tetangge,” tutur Nurlela.
Muka
Atah Roy memerah. Atah Roy geram betul dengan ucapan Nurlela. Tangan Atah Roy
sudah mau naik ke atas, menampar muka Nurlela, naum Atah Roy sadar, bahwa
kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.
“Nur,
dikau dengo baik-baik ye. Kalau dikau terus menenguk ke atas, orang kaye, tak
akan pernah puas dengan ape yang dikau dapat de. Dikau harus selalu neguk orang
di bawah dikau, pasti dikau akan bersyukur. Dikau tahu Halimah yang hidup di
pinggir sungai, yang lakinye meghilang di laut tu kan? Walaupun die hidup
susah, namun die tak pernah berhutang pade orang lain. Die bersyukur dengan ape
yang beriak Allah kepade die, bahkan pelan-pelan die mengumpulkan duit dengan
mencari kayu bakar dan menangkap ikan di sungai, menyekolahkan anak die. Die
tak pernah berhutang, Nur,” jelas Atah Roy mantap.
Nurlela
tertunduk malu. Apa yang dikatakan Atah Roy masuk ke hatinya. Nurlela menyadari
bahwa selama ini, dia selalu menenguk tetangga kaya sebelah rumahnya. Nurlela
ingin keluarganya seperti keluarga tetangga, padahal tetangganya banyak kebun,
sementara Nurlela hanya punya tanah puasaka arwah ebahnya, itu pun sudah
dijual. Nurlela menangis, dan langsung meninggalkan Atah Roy sendiri.
Melihat
Nurlela pergi, Atah Roy terganga.
“Karene
kita selalu nenguk ke ataslah, kite tak pernah bersyukur dengan ape yang kite
dapat,” ucap Atah Roy dalam hati. Atah Roy tersenyum, pertanyaan Leman Lengkung
sebulan yang lalu terjawabkan dengan peristiwa Nurlela ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar