Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 06 Oktober 2012

Menenguk Ke Bawah


“Mengapa orang selalu tidak merasa puas, Tah?” pertanyaan melekat di benak Atah Roy. Padahal pertanyaan itu sudah dilontarkan Leman Lengkung sebulan yang lalu. Pertanyaan itu terus bemain di benak Atah Roy, setiap saat meledak seperti kembang api pembukaan dan penutupan PON XVIII yang lalu. Pertanyaan itu terus menganggu Atah Roy. Sebenarnya Atah Roy punya jawabannya, namun jawaban itu pasti tidak akan memuaskan Leman Lengkung. Jangankan Leman Lengkung, Atah Roy pun merasa puas dengan jawabannya. 
“Nafsu itu seperti meminum air di laut, semakin diminum samakin haus,” jawaban Atah Roy itu, tersimpan hanya di hati, tak pernah melompat dari mulutnya. Ketidakpuasaan menghatui diri Atah Roy.
Kadang kala, penyelesaian selalu datang tanpa diduga. Hidup ini, kata Albert Camus, absurd. Tidak jelas. Apa yang diinginkan tidak terjadi, bahkan sebaliknya; yang tidak diinginkan pula yang terwujud.
Disaat Atah Roy duduk termenung di depan rumah memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Leman Lengkung, tiba-tiba Nurlela datang dengan tergesa-gesa. Atah Roy terkejut, dan langsung bertanya kepada Nurlela.
“Ngape dikau macam kene kejo hantu sempadan je ni?”
“Tah, tak ade tempat lagi saye nak mengadu, kepade Atah jelah tempat mengadu,” jawab Nurlela dengan wajah mengiba.
“Ape masalah dikau ni, La?”
“Berat mulut ini nak bercakap, tapi lebih berat hati ini memendam beban itu, Tah,” Nurlela masih terengah-engah.
“Bawak bertenang, La. Cube kau sampaikan masalah dikau dengan aku pelan-pelan. Hidup ini tidak selesai dengan tergopuh-gopuh de,” jelas Atah Roy.
“Atah bisa bantu saye?” tanya Nurlela.
“Macam mane aku nak membantu, masalah dikau je aku tak tahu,” ujar Atah Roy dengan menggerutkan keningnya.
“Anu, Tah..., anu...” Nurlela gugup
“Anu ke ape, La? Ngape pulak dikau jadi gugup,” Atah Roy menenangkan Nurlela.
“Atah tak marah?” tanya Nurlela lagi.
“Kalau dikau macam ni terus, aku marah. Cakap ajelah, kalau bisa aku bantu, aku bantu, kalau tak bisa, aku usahakan cari jalan kelounya,” tambah Atah Roy.
“Anu, Tah...”
“Jangan pakai anu, langsung ajelah,” suara Atah Roy sedikit meninggi.
“Saye nak minjam duit kepade Atah,” jelas Nurlela dengan perasaan lega.
“Minjam duit? Dikau kan baru menjual tanah pusake milik ebah dikau sebulan yang lalu, tak mungkinlah nak minjam dengan aku pulak,” Atah Roy penasaran.
“Duit hasil penjualan tanah pusake arwah ebah saye tu dah habis terpakai, Tah,” jelas Nurlela.
“Habis terpakai buat ape? “ Atah Roy bertambah penasaran.
“Duit tu saye buat kredit motor, beli tv baru, beli hp baru, pokoknye saye tak mau ketinggalan dengan tetangge saye Tah. Tetangge saye, baru beli motor baru, tv baru sampai semue anaknye pakai hp baru,” jelas Nurlela.
“Ngape tak dikau jual semue yang baru dikau beli tu,” usul Atah Roy.
“Sayang pulak, Tah,” tambah Nurlela.
“Minjam dengan orang, tak malu dikau de?” tanye Atah Roy dengan nada geram.
“Saye tak malu, Tah, yang saye malukan, keluarga saye tak mampu same dengan keluarge tetangge. Saye harus lebih dari tetangge,” tutur Nurlela.
Muka Atah Roy memerah. Atah Roy geram betul dengan ucapan Nurlela. Tangan Atah Roy sudah mau naik ke atas, menampar muka Nurlela, naum Atah Roy sadar, bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.
“Nur, dikau dengo baik-baik ye. Kalau dikau terus menenguk ke atas, orang kaye, tak akan pernah puas dengan ape yang dikau dapat de. Dikau harus selalu neguk orang di bawah dikau, pasti dikau akan bersyukur. Dikau tahu Halimah yang hidup di pinggir sungai, yang lakinye meghilang di laut tu kan? Walaupun die hidup susah, namun die tak pernah berhutang pade orang lain. Die bersyukur dengan ape yang beriak Allah kepade die, bahkan pelan-pelan die mengumpulkan duit dengan mencari kayu bakar dan menangkap ikan di sungai, menyekolahkan anak die. Die tak pernah berhutang, Nur,” jelas Atah Roy mantap.
Nurlela tertunduk malu. Apa yang dikatakan Atah Roy masuk ke hatinya. Nurlela menyadari bahwa selama ini, dia selalu menenguk tetangga kaya sebelah rumahnya. Nurlela ingin keluarganya seperti keluarga tetangga, padahal tetangganya banyak kebun, sementara Nurlela hanya punya tanah puasaka arwah ebahnya, itu pun sudah dijual. Nurlela menangis, dan langsung meninggalkan Atah Roy sendiri.
Melihat Nurlela pergi, Atah Roy terganga.
“Karene kita selalu nenguk ke ataslah, kite tak pernah bersyukur dengan ape yang kite dapat,” ucap Atah Roy dalam hati. Atah Roy tersenyum, pertanyaan Leman Lengkung sebulan yang lalu terjawabkan dengan peristiwa Nurlela ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar