Manusia
dilahirkan di muka bumi ini memiliki misteri sendiri-sendiri. Misteri inilah
yang membentuk perangai dan tabiat manusia, sehingga manusia itu berbeda-beda.
Rupanya ketidakjelasan yang terbungkus dalam misteri menjadi identitas manusia.
Ketidakjelasan seperti rel menuntun manusia menuju stasiun ketidakjelasan
lainnya. Atah Roy mencoba menyimpulkan bahwa misteri merupakan eksistensi
manusia untuk terbebas dari ketidakjelasan menuju ketidakjelasan lainnya.
Misteri itu,
menurut buku yang pernah Atah Roy baca, harus tetap ada di kehidupan manusia.
Dengan misteri ini, manusia akan berusaha sekuat tenaga dan pikiran memunculkan
kekuatan agar terlihat di permukaan misteri itu. Kemunculan manusia inilah yang
menjadikan manusia itu dipandang oleh manusia lainnya. Setelah terpandang atau
menonjol dari manusia lainnya, maka misteri lain akan menjelma pula. Untuk
itulah Atah Roy tidak heran sangat dengan tingkah laku Zakir yang baru datang
dari kota.
Kebanyakan orang
kota, baik orang kota yang berasal dari kampung, maupun orang yang terlahir di
kota, kampung menjadi tempat mencurahkan segala ‘kehendak’ agar mereka lebih
dibandingkan dengan yang lain. Dan itulah yang dilakukan Zakir yang baru 2 hari
balik kampung.
Untuk
memunculkan keberadaannya, Zakir pun berpenampilan berbeda dengan orang
kampung. Setiap hari Zakir mengenakan pakaian produk terkenal, sepatu kulit
terkenal, jam tangan merk terkenl, walaupun orang kampung tidak tahu itu produk
terkenal, tapi bagi Zakir, ia harus terkenal dengan penampilan yang berbeda.
Kedatangan Zakir
2 hari yang lalu, memang menjadi pembicaraan hangat di kalangan pemuda kampung.
Di kedai kopi Ngah Tamam, 2 hari ini, Zakir menjadi topik utama, mengalahkan topik
harga karet turun drastis atau pun topik mengenai kekalahan tim sepakbola
negara ini dari negara jiran. Nama Zakir melompat berulang-ulang kali dari
mulut pemuda kampung. Mereka bercerita mulai dari gaya zakir, sampai cerita
Zakir yang telah berulang-ulang ke luar negeri.
“Ape kerje Wak
Zakir tu, Man?” tanya Yusup Sempot kepada Leman Lengkung.
“Entahlah Sup,
kate saudare aku di kota, Wak Zakir tu ade usaha jual beli mobil mewah,” jawab
Leman Lengkung sambil menyedot tehesnya.
“Dikau tentu
tahu, Man, Wak Zakir tu kan ade hubungan saudare dengan dikau?” tanya Jang
Gagak pula.
“Aku takut
mengaku saudare, Jang. Awak aje yang mengaku, die tidak, malu awak dibuatnye,”
jelas Leman Lengkung.
Atah Roy masuk
kedai kopi Ngah Tamam dan duduk di kursi paling sudut. Pemuda-pemuda, termasuk
Leman Lengkung melihat serentak ke arah Atah Roy. Atah Roy pura-pura tidak
melihat pemuda-pemuda itu.
“Kalau bapak
yang baru duduk di sudut tu, baru saudare dikau ye, Man?” Kahar Kongak
bergurau.
“Walaupun die
macam tu, die tulah bapak saudare aku yang terbaik dunie akhirat,” ucap Leman
Lengkung, disambut gelak tawa kawan-kawannya. Kedai kopi Ngah Tamam pecah
dengan tawa pemuda-pemuda kampung.
Atah Roy
pura-pura tidak tahu saja. Dia tahu bahwa ketawa yang sedang berlangsung itu
adalah ketawa menyindir dirinya. Sebagai orang tua, Atah Roy harus bijaksana,
apalagi di saat sekarang, nama Zakir jauh meninggalkan populeritas Atah Roy di
kampung ini. Seandainya Atah Roy bersikap prontal alias memarahi pemuda kampung
di kedai kopi ini, maka semakin melorotlah kepopuleran Atah Roy.
“Kopi O segelas,
Mam,” Atah Roy memesan kopi dengan suara berat penuh makna.
Pemuda kampung
tahu betul, kalau suara Atah Roy sudah berisi seperti itu, maka ada sesuatu
yang tidak kena. Mereka pun diam, ketawa mereka tahan.
“Kalau suare
Atah kite dah macam tu, jangankan kite, harimau pun tak berani mengaum lagi,”
ujar Yusup Sempot, dan pemuda lain menutup mulutnya agar ketawa tidak lepas
membahana di kedai Ngah Tamam ini.
Ngah Tamam
membawa secangkir kopi dan sepiring kue ke meja Atah Roy. Ngah Tamam pun duduk.
“Dari mane
dikau, Roy? Macam ada yang tak lepas nampaknye ni?” tanye Ngah Tamam kepada
Atah Roy.
Belum sempat
Atah Roy menjawab pertanyaan Ngah Tamam, pemuda-pemuda berdiri sambil bertepuk
tangan. Atah Roy dan Ngah Tamam memandang ke arah pemuda. Rupanya Wak Zakir
sudah berada di kedai itu.
Wak Zakir dengan
gaya yang dibuat-buat wibawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan dia langsung
duduk di kelompok pemuda.
“Dari mane,
Wak?”
“Bertambah
ganteng aje Wak awak ni.”
“Pasti Wak ade
gagasan nak mengubah kampung kite ni?”
“Wak memang tak
ade lawan.”
Pemuda-pemuda
silih berganti memuja-muji Wak Zakir. Lubang hidung Wak Zakir pun semakin
mengembang.
“Air putih
segelas, Mam,” pinta Wak Zakir.
Pemuda-pemuda
terdiam. Mereka saling berpandangan. Mereka heran kenapa Wak Zakir hanya
meminta air putih. Kalau setakat air putih, tak perlulah singgah kedai kopi,
pikir mereka.
“Pesan air putih
aje, Wak?” tanya Kahar Kongak.
“Ye. Kenape?”
tanya Wak Zakir.
“Tak ade pesan
lain ke?” tanya Yusup Sempot pula.
“Tak. Ade
masalah?” tanye Wak Zakir pulak.
“Kalau nak minum
air putih, di umah aje, Wak. Ini kedai kopi, paling tidak pesan air kopi,”
tambah Jang Gagak.
“Ooo... macam
tu.”
“Memang macam
tulah kebiasaan di kedai kopi, dari dulu sampai sekarang, Wak,” tambah Leman
Lengkung.
“Sebetulnye, aku
lupe bawak duit,” jelas Wak Zakir.
Dari sudut suara
Atah Roy menggema.
“Air putih je,
tak ade yang lain ke?”
Pemuda-pemuda
memandang ke arah Atah Roy. Mereka tersenyum malu. Di benak pemuda-pemuda
kampung membuat kesimpulan masing-masing dan mengatakan kalau orang masuk kedai
kopi hanya memesan air putih, ada due penyebabnye. Satu, tak ade duit dan
kedue, orang itu pelokik. Dan mereka menyimpulkan Wak Zakir, beso cerita, tak
sesuai kenyataan dengan ceritanya. Pemuda-pemuda kampung pun menghampiri Atah
Roy. Atah Roy santai saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar