Atah Roy masih ingat betul ketika
negeri ini belum menerapkan otonomi daerah. Riau sebagai derah yang kaya,
selalu saja dipercundangi. Orang Riau tidak dapat menjadi pemimpin dinegerinya
sendiri, selalu saja orang pusat (Jakarta) ikut campur dalam menentukan
pemimpin di Riau. Pada tahun 1985, tepatnya tanggal 2 September, Ismail Suko
(alm.) terpilih menjadi Gubernur Riau. Terpilihnya Ismail Suko rupanya tidak
dikehendaki oleh orang pusat, dan dengan dipaksa Ismail Suko harus mundur.
Reformasi pada tahun 1998,
mengantarkan rakyat Indonesia, terutama orang daerah, dapat bernafas lega,
walau tidak seratus persen. ‘Kran’ keterbukaan ini mendorong orang-orang berani
untuk bersuara, maka tercetuslah otonomi daerah. Orang daerah pun dapat
mengusung pemimpin berasal dari daerah (anak tempatan) menjadi pemimpin.
Atah Roy pernah berdebad dengan
kawannya yang berasal dari daerah lain. Kawan Atah Roy itu dengan semangat,
katanya semangat nasionalisme, berapi-api mengutarakan bahwa seharusnya otonomi
tidak menutup daerah dipimpin siapa saja, selagi orang itu berwarga negera
Indonesia.
“Kita ini bangsa yang besar
dengan berbagai macam suku, jadi orang Riau seharusnya tidak ngotot menjadikan orang Melayu pemimpin
di Riau ini,” ujar kawan Atah Roy.
Mendengar ucapan kawannya itu,
Atah Roy naik pitam. Mukanya memerah seketika.
“Apelagi yang hendak diberikan
Riau ini kepada tanah air kita yang tercinta ini? jadi pemimpin di tanah sendiri
pun kami tak boleh?” Atah Roy agak geram.
“Betul, Riau telah banyak
menyumbang untuk negera kita ini, tapi tidak usah memaksa orang Riau atau orang
Melayu jadi pemimpin di negeri ini,” tambah kawan Atah Roy.
“Kau pikir, kami tidak mampu jadi
pemimpin? Kami bukan tidak mampu, selama ini kami tidak dipercayakan memimpin
tanah kami sendiri. Orang-orang pusat takut, kalau kami yang memimpin, maka
kami akan membangkang. Kami ini bangsa yang taat mencintai negeri ini. Jangan
takutlah kami akan jadi pemberontak!” ucap Atah Roy dengan suara agak meninggi.
“Bukan begitu maksudku, Roy. Di negera
kita ini bebas untuk jadi pemimpin, bukan orang Melayu saja yang berhak jadi
pemimpin di tanah ini,” teman Atah Roy terus berujar tanpa peduli kemarahab
Atah Roy.
“Engkau harus tahu ye, selame ini
orang Melayu di Riau selalu saja dianggap orang Malaysia. Berbahasa Melayu di
negeri ini, dianggap orang Malaysia, padahal engkau tahukan bahwa Riau itu
banyak orang Melayu? Kau pernah mendengar orang Melayu tergile-gile nak menjadi
di tanah orang lain? Tak pernahkan. Kami selalu dianggap tak ade di negara ini.
Sekarang kesempatan itu terbuka lebar, dan kami tidak akan menyia-nyiakannya. Kami
berhak ataj tanah kami ini!” ujar Atah Roy sambil meninju meja yang ada
dihadapannya.
Peristiwa percakap itu terjadi 15
tahun yang lalu, ketika reformasi
didengungkan. Kini percakapan itu mengiang-mgiang di telinga dan benak Atah
Roy. Atah Roy menyadari, bahwa seburuk apapun orang kita, sedikit banyaknya
akan memperhatikan nasib orang-orang yang ada di daerah ini. Seandainya orang
lain yang menjadi pemimpin di negeri ini, tanggung jawab mereka atas tanah ini
tidak sekuat orang tempatan.
Untuk itulah Atah Roy berpesan
kepada Leman Lengkung agar memilih orang Melayu menjadi pemimpin di tanah ini. Bagi
Atah Roy memilih orang Melayu sebagai pemimpin di tanah ini merupakan
keharusan. Bukan tidak nasionalisme namanya, tapi karena menjunjung
nasionalisme itulah, Atah Roy berpikir bahwa mencintai daerah ini dengan
pemimpin orang daerah ini kekuatan untuk berbuat untuk kemajuan bersama.
Atah Roy pun membuka kitab lama
dan menyampaikan kepada Leman Lengkung, bahwa orang Melayu itu sudah sejak lama
memiliki kekuatan demokrasi di benak dan di hati. Atah juga menyampaikan bahwa
pemimpin harus tahu membedakan yang baik dengan yang buruk. Tentu saja calon
memimpin itu haruslah berilmu, dekat dengan rakyat, tidak buruk pekertinya dan
pemurah.
“Jadi, Man, kau harus pilih orang
kite. Tak akan ade orang lain yang memperhatikan nasib kite ini de, selain orang
kite itu sendiri. Jangan pernah memilih orang yang mengaku diri kite, padahal
jelas-jelas die orang lain. Pade dirinye sendiri saje die bengak, apelagi pade
orang lain. Banyak orang kita yang mampu menjadi pemimpin dan telah menunjukkan
keberhasilan mereke,” kata Atah Roy kepada Leman Lengkung.
“Betul Tah, saye sepakat dengan
apa yang Atah katekan. Saye juge ade membace bahwa jadi pemimpin itu haruslah
orang pemurah, kalau orang pelokik memang tak perlu kite pilih,” tambah Leman
Lengkung.
“Aku tambahkan ye, Man. Selain
pemurah, pemimpin yang baik itu mengenang jasa orang atau tahu balas budi.
Tidak itu saje, Man, orang tersebut juge haruslah orang yang berani, jika
pemimpinnye pemberani, make pengikutnye pun akan berani. Kalau orang penakut,
mengikut aje kate orang pusat dan suke menghitung-hitung dengan duit, make
orang itulah yang menghancurkan tanah ini,” ujar Atah Roy bersemangat.
“Sangat suai, Tah. Kitelah yang
harus membesarkan dan memilih orang kite yang mempunyai kemampun jadi pemimpin,”
Leman Lengkung mengangguk-anggukan kepalanya.
“Aku pernah berdebat dengan kawan
aku 15 tahun yang lalu, Man. Die menganggap orang kite tidak mampu jadi
pemimpin, dan harus berbesar hati membuka diri untuk dipimpin orang lain. Aku cakap
pade die, Man, bangsa Melayu itu sudah besar sejak dulu. Dah katam tentang
mengelola negeri ini, jangan diajo lagi,” ujar Atah Roy sambil menarik nafas
panjang.
“Sepekat Tah,” Leman Lengkung
semangat.
“Jangan sepakat-sepakat aje, Man,
kite harus bergerak menyusun kekuatan untuk mendukung orang kite,” ujar Atah
Roy lagi.
“Sip, Tah,” jawab Leman Lengkung
langsung bergerak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar