Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 14 September 2013

Pemimpin


Atah Roy masih ingat betul ketika negeri ini belum menerapkan otonomi daerah. Riau sebagai derah yang kaya, selalu saja dipercundangi. Orang Riau tidak dapat menjadi pemimpin dinegerinya sendiri, selalu saja orang pusat (Jakarta) ikut campur dalam menentukan pemimpin di Riau. Pada tahun 1985, tepatnya tanggal 2 September, Ismail Suko (alm.) terpilih menjadi Gubernur Riau. Terpilihnya Ismail Suko rupanya tidak dikehendaki oleh orang pusat, dan dengan dipaksa Ismail Suko harus mundur.
Reformasi pada tahun 1998, mengantarkan rakyat Indonesia, terutama orang daerah, dapat bernafas lega, walau tidak seratus persen. ‘Kran’ keterbukaan ini mendorong orang-orang berani untuk bersuara, maka tercetuslah otonomi daerah. Orang daerah pun dapat mengusung pemimpin berasal dari daerah (anak tempatan) menjadi pemimpin.
Atah Roy pernah berdebad dengan kawannya yang berasal dari daerah lain. Kawan Atah Roy itu dengan semangat, katanya semangat nasionalisme, berapi-api mengutarakan bahwa seharusnya otonomi tidak menutup daerah dipimpin siapa saja, selagi orang itu berwarga negera Indonesia.
“Kita ini bangsa yang besar dengan berbagai macam suku, jadi orang Riau seharusnya tidak ngotot menjadikan orang Melayu pemimpin di Riau ini,” ujar kawan Atah Roy.
Mendengar ucapan kawannya itu, Atah Roy naik pitam. Mukanya memerah seketika.
“Apelagi yang hendak diberikan Riau ini kepada tanah air kita yang tercinta ini? jadi pemimpin di tanah sendiri pun kami tak boleh?” Atah Roy agak geram.
“Betul, Riau telah banyak menyumbang untuk negera kita ini, tapi tidak usah memaksa orang Riau atau orang Melayu jadi pemimpin di negeri ini,” tambah kawan Atah Roy.
“Kau pikir, kami tidak mampu jadi pemimpin? Kami bukan tidak mampu, selama ini kami tidak dipercayakan memimpin tanah kami sendiri. Orang-orang pusat takut, kalau kami yang memimpin, maka kami akan membangkang. Kami ini bangsa yang taat mencintai negeri ini. Jangan takutlah kami akan jadi pemberontak!” ucap Atah Roy dengan suara agak meninggi.
“Bukan begitu maksudku, Roy. Di negera kita ini bebas untuk jadi pemimpin, bukan orang Melayu saja yang berhak jadi pemimpin di tanah ini,” teman Atah Roy terus berujar tanpa peduli kemarahab Atah Roy.
“Engkau harus tahu ye, selame ini orang Melayu di Riau selalu saja dianggap orang Malaysia. Berbahasa Melayu di negeri ini, dianggap orang Malaysia, padahal engkau tahukan bahwa Riau itu banyak orang Melayu? Kau pernah mendengar orang Melayu tergile-gile nak menjadi di tanah orang lain? Tak pernahkan. Kami selalu dianggap tak ade di negara ini. Sekarang kesempatan itu terbuka lebar, dan kami tidak akan menyia-nyiakannya. Kami berhak ataj tanah kami ini!” ujar Atah Roy sambil meninju meja yang ada dihadapannya.
Peristiwa percakap itu terjadi 15 tahun  yang lalu, ketika reformasi didengungkan. Kini percakapan itu mengiang-mgiang di telinga dan benak Atah Roy. Atah Roy menyadari, bahwa seburuk apapun orang kita, sedikit banyaknya akan memperhatikan nasib orang-orang yang ada di daerah ini. Seandainya orang lain yang menjadi pemimpin di negeri ini, tanggung jawab mereka atas tanah ini tidak sekuat orang tempatan.
Untuk itulah Atah Roy berpesan kepada Leman Lengkung agar memilih orang Melayu menjadi pemimpin di tanah ini. Bagi Atah Roy memilih orang Melayu sebagai pemimpin di tanah ini merupakan keharusan. Bukan tidak nasionalisme namanya, tapi karena menjunjung nasionalisme itulah, Atah Roy berpikir bahwa mencintai daerah ini dengan pemimpin orang daerah ini kekuatan untuk berbuat untuk kemajuan bersama.
Atah Roy pun membuka kitab lama dan menyampaikan kepada Leman Lengkung, bahwa orang Melayu itu sudah sejak lama memiliki kekuatan demokrasi di benak dan di hati. Atah juga menyampaikan bahwa pemimpin harus tahu membedakan yang baik dengan yang buruk. Tentu saja calon memimpin itu haruslah berilmu, dekat dengan rakyat, tidak buruk pekertinya dan pemurah.
“Jadi, Man, kau harus pilih orang kite. Tak akan ade orang lain yang memperhatikan nasib kite ini de, selain orang kite itu sendiri. Jangan pernah memilih orang yang mengaku diri kite, padahal jelas-jelas die orang lain. Pade dirinye sendiri saje die bengak, apelagi pade orang lain. Banyak orang kita yang mampu menjadi pemimpin dan telah menunjukkan keberhasilan mereke,” kata Atah Roy kepada Leman Lengkung.
“Betul Tah, saye sepakat dengan apa yang Atah katekan. Saye juge ade membace bahwa jadi pemimpin itu haruslah orang pemurah, kalau orang pelokik memang tak perlu kite pilih,” tambah Leman Lengkung.
“Aku tambahkan ye, Man. Selain pemurah, pemimpin yang baik itu mengenang jasa orang atau tahu balas budi. Tidak itu saje, Man, orang tersebut juge haruslah orang yang berani, jika pemimpinnye pemberani, make pengikutnye pun akan berani. Kalau orang penakut, mengikut aje kate orang pusat dan suke menghitung-hitung dengan duit, make orang itulah yang menghancurkan tanah ini,” ujar Atah Roy bersemangat.  
“Sangat suai, Tah. Kitelah yang harus membesarkan dan memilih orang kite yang mempunyai kemampun jadi pemimpin,” Leman Lengkung mengangguk-anggukan kepalanya.
“Aku pernah berdebat dengan kawan aku 15 tahun yang lalu, Man. Die menganggap orang kite tidak mampu jadi pemimpin, dan harus berbesar hati membuka diri untuk dipimpin orang lain. Aku cakap pade die, Man, bangsa Melayu itu sudah besar sejak dulu. Dah katam tentang mengelola negeri ini, jangan diajo lagi,” ujar Atah Roy sambil menarik nafas panjang.
“Sepekat Tah,” Leman Lengkung semangat.
“Jangan sepakat-sepakat aje, Man, kite harus bergerak menyusun kekuatan untuk mendukung orang kite,” ujar Atah Roy lagi.
“Sip, Tah,” jawab Leman Lengkung langsung bergerak.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar