Atah Roy sebenarnya tak peduli dengan
cerita tiga orang ibu-ibu yang duduk di kursi depan. Namun suara ibu-ibu itu
semakin keras terdengar setiap kali Atah Roy menutup mata, mau tidur. Mobil
travel yang ditumpangi Atah Roy dari Dumai ke Pekanbaru, berisi 6 orang
penumpang. Satu perempuan masih muda, duduk di sebelah supir. Tiga orang
ibu-ibu duduk di tengah, pas depan Atah Roy, dan seorang lelaki muda, sejak
mobil bergerak sudah tidur di samping Atah Roy.
Suara ibu-ibu itu semakin keras singah
di telinga Atah Roy. Merasa tidak mampu melawan suara itu dengan tidur, Atah
Roy pun mencelek alias membuka matanya lebar-lebar. Atah Roy dengan seksama
mendengar cerita ketiga ibu-ibu tersebut. Mendengar percakapan ibu-ibu
tersebut, Atah Roy dapat menyimpulkan ketiga ibu itu kepala sekolah. Mereka
bercerita berbagai macam persoalan yang mereka hadapi. Mulai dari kelulusan
murid-murid mereka, sampai kenakalan siswa. Atah Roy tak ambil pusing betullah
dengan kenakalan siswa, karena waktu sekolah dulu juga, degil alias nakal,
namun nakal Atah Roy terarah. Degil untuk mewujudkan cita-cita kaedahnya.
Percakapan ketiga ibu itu yang membuat
Atah Roy semakin matan alias serius mendengarkannya adalah ketika mereka
menceritakan bantuan kursi dari pemerintah. Entah mengapa, bantuan pemerintah,
baik perbaikan gedung, bangun gedung, maupun peralatan untuk sekolah, selalu
rusak sebelum sempat digunakan.
“Kadang kite ni serba salah ye, entah
siswa kite degil merusak jatah dari pemerintah, atau jatah pemerintah tu memang
tak bagus. Due hari pakai, dah rusak,” ujar seorang ibu yang duduk di sebelah
kanan depan Atah Roy.
“Ye, saye pernah marah pade murid saye,
gara-gara kursi rusak diduduknye. Murid saye menjawab, ‘buk, kursi ni tak ade
kami ape-ape kan, memang dah rusak dari sanenye’. Terpikir juge saye, kadang
kale, jatah pemerintah ni dah rusak sampai di sekolah,” kata ibu yang berada di
depan sebelah kanan Atah Roy.
“Samelah saye, bu, pago sekolah baru
siap seminggu, dah rubuh. Saye pikir anak saye yang merubuhkannye, eeee…
rupenye memang pagi tu rubuh sendiri,” ujar ibu yang di tengah pula disambut
ketawa kedua kawannya.
Atah Roy cuma bisa tersenyum getir.
Perbincangan ketiga ibu itu sangat mengiris hati Atah Roy. Atah Roy tidak
menyalahkan ketiga ibu itu, memang bantuan atau pun proyek yang mengatasnamakan pemerintah,
selalu masalah. Masalah yang selalu terjadi, barang tu belum sempat dipakai,
sudah rusak terlebih dahulu. Tapi kalau swasta yang buat, baik merehab gedung,
atau membangun gedung, pasti kokoh dan tahan lama.
Ketiga ibu itu terus bercerita mengenai
bantua-bantuan pemerintah yang lainnya, dan pasti mengalami hal yang sama,
rusak sebelum dipakai. Otak Atah Roy pun berkelana, mengapa hal seperti ini
terjadi. Padahal ‘jatah’ bantuan itu untuk anak cucu di masa akan datang untuk negeri ini lebih baik lagi. Atah
Roy pun teringat kasus proyek pembangunan sarana
olahraga di desa Hambalang, Sentul, Kabupaten Bogor. Proyek
yang menghabiskan dana besar itu, ambruk.
“Kadang murid kite degil juge, asik nak mengobel barang baru,
sementare barang baru tu rapuh, sekali sentuh dah rusak,” ujar ibu yang di
samping kanan.
“Tak mungkin pulak barang tu kite pamerkan saje tanpe
digunekan. Kadang kite ni serbe salah, dibio rusak, dipakai tambah parah,”
tambah ibu yang duduk di tengah.
“Ye, tak mungkin ditenguk je barang tu, bekapng pulak die,”
ibu sebelah kiri menyeletuk, terdengar tawa mereka.
Atah Roy senyum sendiri. Apa yang dikatakan ketiga ibu itu,
benar adanya. Jalan menuju Pekanbaru ini saja, sudah berapa kali diperbaiki,
namun seminggu, paling kuat tiga bulan, pasti rusak lagi. Dan yang paling
mengherankan, rusaknya lebih parah dari sebelumnya. Inilah negeriku, pikir Atah
Roy, kepentingan bersama selalu dijadikan kepentingan pribadi. Untuk memenuhi
kepentingan pribadi, orang banyak menjadi korbannya.
Beberapa saat kemudian, suara ketiga ibu itu menghilang. Atah
Roy menyengahkan kepalanya, melihat ibu-ibu tersebut, ketiga ibu itu sudah
tertidur. Atah Roy ingin membangunkan mereka, dan menyuruh mereka bercerita
lagi tentang barang-barang yang rusak sebelum sempat dipakai. Atah Roy tidak
punya keberanian untuk membangunkan mereka, karena orang yang terlelap bisa
saja membentak apabila dibangunkan secara paksa.
Mata Atah Roy memang tak bisa ditutup lagi untuk tidur.
Pikirannya melayang-layang pada bantuan pemerintah untuk menyejahterakan bangsa
ini, selalu disalah gunakan. Atah Roy teringat bantuan pemerintah berupa bibit
getah yang diterima Leman Lengkung satahun yang lalu. Leman Lengkung dengan
semangat yang mengebu-ngebu menanam bibit getah itu. Dengan bibit getah itu,
Leman Lengkung berkeinginan menjadi pengusaha getah yang sukses. Keinginan
Leman Langkung hancur terhempas bersama tak tumbuhnya bibit getah itu. Bibit
getah yang ditanam Leman, layu sebelum berkembang alias mati seminggu setelah
ditanam. Leman menyangka, tangannya yang tak cocok. Setelah Leman Langkung
melihat ‘kebun’ getah kawan-kawannya, yang sama-sama dapat bantuan bibit getah
dari pemerintah, satu pun tak hidup. Leman dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa
bibit gitah itulah yang tak baik. Selidik punye selidik, memang bibit getah itu
yang tak bagus.
Atah Roy menggelengkan kepalanya. Atah Roy tak tahu lagi apa
yang mesti dipikirkan tentang negeri ini. Negeri, negeri kaya, tapi kenapa
bantuannya selalu rusak sebelum sempat dipakai.
“Mungkin, aku harus pindah ke negeri kayangan, sehingga aku
tak pernah melihat semua ini,” ujar Atah Roy sambil memejamkan matanya,
berharap bermimpi sedap dalam mobil menuju Pekanbaru.
Baru saja Atah Roy terlelap, supir memaki dengan kerasnya,
karena mobil yang dibawa masuk lubang besar dan dalam. Atah Roy tak jadi tidur,
sementara kepalanya semakin berat memikirkan negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar