Leman Lengkung memang sudah melampau. Semua orang yang menegur alias
mengingatkannya dijadikan musuh. Seharusnya Leman Lengkung bersyukur karena
masih ada orang yang mau menegur atas perbuatannya. Orang yang menegur
perbuatan orang lain itu, bukan berarti benci, tapi karena rasa sayanglah yang
menyebabkan mereka mau mengingatkan. Rupanya anggapan Atah Roy tentang
mengingatkan orang lain, tidak berlaku pada Leman Lengkung. Atah Roy kesal,
tapi tidak dapat berbuat banyak.
Keangkuhan Leman Lengkung menjadi-jadi ketika orang yang didukung bersama
timnya duduk menjadi penghulu di kampung. Mulailah Leman Lengkung dan
kawan-kawannye tumbuh taji, menendang sana, menendang sini, macam mereka saja
pemilik kampung ini. Selain angkuh dan sombong, Leman Lengkung berserta
kawan-kawannya selalu mengadakan pesta organ tunggal. Setiap sebulan sekali,
organ tunggal meraung di kampung. Rupenya gayung bersambut, mungkin disebabkan
orang kampung haus dengan hiburan, kegiatan organ tunggal mendapat pujian. Tak
tanggung-tanggung, dari anak muda, sampai yang tua renta, mengagungkan Leman
Lengkung sebagai dewa yang telah menyalamatkan mereka dari sunyi-sepinya
kampung apabila malam tiba.
Kesuksesan Leman Lengkung mengadakan acara organ tunggal tiap bulan ini,
direspont oleh Kepala Kampung. Kepala Kampung pun menunjuk Leman Lengkung
sebagai staf ahli sekaligus penasehat kultural, politik, ekonomi, pokok semua
cabang kehidupan Leman Lengkung ahlinya. Kehidupan Leman Lengkung pun berubah
secara drastis. Dulu Leman Lengkung hanya pakai sepeda, sekarang sudah pakai
motor besar. Dulu pakai baju ‘pusake’ dari Atah Roy, sekarang beli di toko di
ibu kota kabupaten. Pokoknya Leman Lengkung memang betul-betul berubah, hanya
satu yang belum dapat diubah oleh Leman, yaitu; badannya yang tetap melengkung.
Sebagai bapak saudara, Atah Roy sudah menasehati Leman Lengkung, agar
tetap menjadi orang yang sederhana. Sesuai dengan keadaan kampung. Jangan terlalu
mencolok, tak elok dipandang orang. Apalagi orang-orang dalam keadaan sulit, kita
pula hidup dalam kemewah-mewahan.
Ketika Atah Roy menyampaikan nasehatnya kepada Leman Lengkung, Leman
Lengkung marah. Dia tidak terima apa yang dikatakan Atah Roy. Leman Lengkung
juga mengatakan bahwa orang-orang iri melihat keberhasilannya, termasuk Atah
Roy. Untuk itulah Leman Lengkung akan membayar apa yang telah dilakukan Atah
Roy terhadap dirinya selama ini, mulai dari kecil, sampai Leman Lengkung bisa
jadi orang terpandang di kampung ini.
“Aku bukan anak kecik lagi, Tah! Aku ni sudah staf ahli sekaligus
penasehat! Tak perlu Atah menasehat aku, aku tahu semuenya!” bentah Leman
Lengkung kepada Atah Roy.
“Bukan macam tu, Man, aku…” kalimat Atah Roy dipotong Leman Lengkung.
“Aku tahu Tah, selame ini, aku numpang di rumah Atah. Kalau Atah nak
mintak bayo dengan ape yang Atah lalukan kepade aku, aku akan bayo! Jadi tolong
Atah jumlahkan semue berape duit yang Atah keluarkan untuk aku selame ini! Atah
tinggal cakap, aku bayo semuenye!”
Hati Atah Roy seperti diremas Leman Lengkung. Atah Roy sesak nafas. Dia
menatap Leman Lengkung. Air mata Atah Roy keluar. Ia betul-betul sedih
mendengar apa yang dikatakan anak saudaranye yang ia besarkan selama ini.
“Tak usah Atah nak berakting ibe di depan aku. Semue orang miskin same,
Tah, berharap sesuatu dengan air mate. Kalau dah dapat, kite dilemparnye. Aku
ni tim sukses, tahu aku ape yang dikehendaki orang miskin macam Atah ni!” Leman
Lengkung menjadi-jadi.
Atah Roy memang tak dapat berbuat apa-apa. Ia seperti disambar petir
tunggal; kaku, cuma air mata terus saja mengalir di pipinya.
“Man, siket pun aku tak pernah menghitung ape yang aku lakukan untuk kebaikkan
dikau, Man. Aku ikhlas melakukan semuenye. Dunie ini hanye sementare.
Kesenangan yang kite miliki di atas dunie ini, sekejap saje bisa lesap, hilang
tak berbekas. Sebagai manusie, aku harus melakukan ape yang menjadi tanggung
jawab aku. Aku tak pernah menyesal telah menjadi bapak saudare dikau selame
ini. Tapi tolong, Man, jangan dikau ukur semue yang aku lakukan selame ini
dengan duit. Duit itu hanye dunie semate, Man,” suara Atah Roy menggigil. Dia sangat
terpukul dengan apa yang dikatakan Leman Lengkung.
“Tahu pun Atah duit itu dunie semate, karene semate itulah, Tah, aku
berusahe mendapatkannye. Kalau berton-ton, tak ade nak mengejonye, Tah!”
“Man, dikau pikir dikau yang paling hebat di kampung ni?”
“Nyatenye, aku dipercaye menjadi staf ahli dan sekaligus penasehat Kepale
Kampung,” jawab Leman Lengkung dengan gaya sombong.
“Dikau memang kacang lupe dengan kulitnye, Man,” suara Atah Roy mulai
tegar.
“Berape Atah nak aku bayo? Kalau dah aku bayo, aku tak ade utang lagi pade
Atah lagi dan aku akan terbebas dari perumpamaan kacang lupe dengan kulitnye,”
Leman Lengkung bertambah sombong.
“Tak terbayo dikau, Man. Aku ikhlas” kata Atah Roy.
“Kalau macam tu, sudahlah, jangan Atah nak menasehat staf ahli dan
penasehat Kepale Kampung ni pulak. Itu yang aku tak suai. Atah tinggal cakap,
ape yang Atah hendak?”
Tiba-tiba salah seorang kawan Leman Lengkung masuk ke rumah Atah Roy.
Kawan Leman Lengkung tersebut terengah-engah. Kelihatan sekali dia baru berlari
kencang menuju ke rumah Atah Roy. Melihat temannya terengah-engah, Leman
Lengkung pun menghampirinya.
“Kenape dikau macam dikejo hantu kopik?” tanye Leman Lengkung.
“Kepale Kampung ditangkap, karena mengkorupsi dana bantuan kampung. Name dikau
disebut-sebut, Man,” ujar kawan Leman Lengkung.
Muka Leman Lengkung berubah pucat, seperti tak ada darah mengalir di
mukanya. Leman Lengkung memandang Atah Roy seakan minta tolong. Atah Roy
berpaling muka.
“Dunie semate ni, Man. Hadapi sajelah, belilah hukum tu dengan duit yang
dikau punye,” kate Atah Roy sambil pergi meninggalkan Leman Lengkung.
“Ataaahhh…, jangan tinggalkan akuuuuu…!”
“Man, Man, Man… dikau mimpi?” kata Atah Roy sambil mengunjang tubuh Leman
Lengkung yang tidur di sebelahnya.
Leman Lengkung tersentak, dan langsung duduk. “Atah, maafkan saye,” kata
Leman Lengkung memeluk tubuh Atah Roy.
“Mimpi tentang ape, Man?” Atah Roy bertanye.
“Ah, malu, Tah,” ujar Leman Lengkung masih memeluk bapak saudarenye.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar