“Orang-orang
tidak sadar apa yang sedang dilakukan. Harus ada yang menyadarkan mereka, namun
sayang, tiada seorang pun yang mau menyadarkan. Tersebab tidak ada menyadarkan,
semakin tidak beraturanlah negeri ini. Orang-orang yang memiliki kekuasaan di
negeri ini, Roy, seperti orang jalu. Mereka sepertinya tidak sadar dengan apa
yang mereka lakukan, sementara rakyat hanya melihat kejaluan mereka.
Engkau pasti
tahu arti jalu, Roy? Aku yakin kau tidak melupakan kata itu. Kau juga pernah
mengatakan aku mengalami jalu itu. Ketika kita tidur di rumah Ali Sangap, aku
berjalan ketika sedang tidur. Tanpa sadar, kau yang menceritakan kepada aku,
aku langsung ke daput mencari makanan. Waktu itu di dapur rumah Ali Sangap,
jangankan nasi, kerak nasi pun tidak ada. Aku, katamu, mengambil periuk, panci,
lalu aku jadikan panci dan periuk itu seperti drum, aku terus memukul sampai
panci dan periuk itu tembuk. Aku masih ingat apa yang kau cerita ketika aku
jalu di rumah Ali itu. Seandainya engkau tidak menyadarkan aku, mungkin semua
peralatan yang ada di dapur rumah Ali Sangap, binasa disebabkan aku.
Seperti orang
jalu inilah yang melanda pembesar-pembesar negeri kita, Roy. Mereka melakukan
sesuatu, namun mereka tidak sadar. Engkau bisa melihat semuanya di televisi
atau pun koran, para pemimpin asik dengan manuver atau pun berbuat untuk
pribadi dan juga golongan. Sementara rakyat tidak pernah diperhatikan. Sibuklah
mereka membangun citra di tengah masyarakat agar mereka atau pun golongan
mereka terpilih menjadi pemenang pada pilkada atau pun pemilu nantinya.
Aku tak habis pikir,
Roy, dalam kejaluan mereka, mereka bertambah kuat. Hal ini disebabkan kita
hanya diam, tidak menyadarkan mereka. Para profesor semua bidang, sibuk dengan
urusan mereka, dan terkadang ikut jalu, mendukung apa yang dilakukan pemimpin
yang jalu. Agamawan juga seperti itu, jalu menggunakan sepenggal ayat untuk
membenarkan jalan yang tidak sadar itu. Seniman dan budayaan juga ikut jalu,
sibuk memekirkan nilai estetika dan kemudia mencocokkan dengan kebijakkan yang
tidak pro orang ramai.
Tiada yang tidak
jalu di negeri kita ini, Roy. Aku, kau dan kita semua terbabit dalam masalah
kejaluan yang melupakan esensi hidup ini. Seandainya kita sadar dengan apa yang
kita lakukan, mungkin saja kesejahteraan dan kebahagiaan bukan hal mustahil
untuk diwujudkan. Karena kita semua dalam keadaan jalu, kebohongan,
keserakahan, kerakusan hidup subur tanpa dapat dihentikan.
Lama-kelamaan kejaluan
kita semakin menjadi. Kita yang berdiri dengan kejaluan ini, terus berbuat
tanpa sadar. Menomen-menomen hasil kerja kejaluan kita semakin tegar berdiri. Kita
pun menganggap diri kita yang paling benar, paling betul, sehingga apa yang
dilakukan orang lain adalah salah dan harus dibumi hanguskan. Kita pun mencari
celah untuk menumbangkan setiap lawan, bahkan akalu ada kawan yang berpikiran
berlawanan dengan pikiran kita, kita pun harus membinasakannya. Tiada kawan
sejati dalam kejaluan kita, Roy. Kita sudah diasikan dengan kepongahan diri
kita sendiri.
Di negeri ini,
orang pintar itu banyak Roy, namun mereka juga ikut-ikutan jalu. Mereka tanpa
sadar juga, masuk dalam kejaluan yang telah diciptakan dengan kehilangan
kesadaran. Kebenaran yang dibangun dari kejaluan kita, kini sudah semakin susah
dikendalikan Roy.
Mungkin saja
Roy, surat yang aku tuliskan kepada dirimu ini, aku dalam keadaan jalu. Aku
tidak tahu lagi kepada siapa hendak aku tuangkan rasa jalu ini. Seandainya
engkau tidak jalu, akau berharap, engkaulah yang dapat membangunkan orang yang
sedang jalu di negeri kita ini. Bagaimanapun caranya, kita harus disadarkan,
kalau tidak negeri kita ini akan semakin terpuruk dalam ketidaksadaran.”
Atah Roy
menggisal matanya yang tidak pedih, setelah membaca surat Ilham Sulah, teman
Atah Roy waktu sekolah dasar dahulu. Ilham Sulah kini berada di Jakarta,
menjadi orang terpandang di Ibu Kota Indonesia itu. Perjuangan Ilham Sulah menjadi
orang terpandang di Jakarta, memang penuh rintangan. Ia terpaksa meninggalkan
tanah kelahirannya dan masuk kelompok yang sedang berkuasa. Sebelum Ilham Sulah
ke Jakarta, ia pernah mengatakan kepada Atah Roy, bahwa untuk dihargai dan di
segani di kampung kita ini, maka kita harus menakluk dan berkuasa di Jakarta.
Orang daerah lebih percaya orang Jakarta dibandingkan dengan orang tempatan itu
sendiri.
Kini cita-cita
Ilham Sulah sudah terwujud, namun kenapa Ilham Sulah baru menyurati Atah Roy
dan membicarakan masalah ini? Hal inilah yang memeningkan Atah Roy. Padahal
sebelumnya, Atah Roy tidak pernah menerima sepucuk surat pun dari Ilham Sulah.
Sudah hampir 20 tahun Ilham Sulah mendapat tempat sedap di Ibu Kota itu, tapi
kenapa baru sekarang.
“Mungkin Ilham
sedang jalu menuliskan surat die ni tak?” oikir Atah Roy.
Tiba-tiba Leman
Lengkung berjalan dalam tidurnya. Kemudian Leman Lengkung duduk di sebelah Atah
Roy. Lama Atah Roy menatap Leman Lengkung. Mata Leman Lengkung tertutup rapat.
“Hei, Roy. Hari
raye dah dekat. Apekah dikau tak membeli baju aku?” Leman Lengkung berkata
dalam tidurnya.
“Aku dipanggil
Roy aje? Aku ni bapak saudare die,” ucap Atah Roy geram.
“Roy, kalau
dikau hendak beli baju aku besok, tolong belikan baju terbaru ye, kalau tidak,
aku penggal kepale dikau,” kata Leman Lengkung sambil berdiri dan masuk ke
kamar kembali.
“Alamak, kalau
orang dah jalu ini, memang tak kenal lagi dengan orang lain. Dielah yang paling
hebat dan paling berkuase. Padahal die mintak beli baju dengan awak, tapi bukan
main kaso langgo bahasenye,” ujar Atah Roy sambil melihat Leman Lengkung masuk
ke kamar.
“Betuk juge
cakap Ilham Sulah dalam surat ini. Tersebab kite ini semue dalam keadaan jalu,
make kite pun tidak pernah menyadari ape yang kite buat. Kalau sudah macam ini,
alamat terlungkuplah negeri kite ini,” ucap Atah Roy lagi, sambil berjalan
menuju ke kamar Leman Lengkung. “Untung dikau tidur, Man, kalau tidak, aku
lempang dikau dah!” ujar Atah Roy geram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar