Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Selasa, 03 Mei 2011

Air Mata Atah Roy

Rusydiah Klub mening­galkan pusaka kreativitas be­rupa buku-buku sastra, agama, sejarah, dan ilmu bahasa yang amat berharga. Jika Riau pada masa lalu sanggup menyediakan fa­silitas bagi kegiatan seni dan sastra, seharusnya Riau pada masa kini mampu menyediakan fasilitas yang lebih baik lagi.(dari makalah Idrus Tintin dan B.M. Syamsuddin berjudul Kesenian Riau dan Perkembangannya).

Setelah membaca tulisan tersebut, Atah Roy termenung. Atah Roy tak dapat bercakap sepatah kata pun untuk mengomentar kalimat tersebut. Tanpa dia sadari, air mata berlinang di matanya. Atah Roy kesal pada dirinya, karena tidak mampu menjadi masa lalu yang terlalu indah untuk dikenang.

Beberapa saat kemudian, Leman Lengkung datang sambil membawa 3 bungkus rokok untuk Atah Roy. Menenguk Atah Roy termenung di kursi goyang dengan mata berlinang, Leman jadi heran. Mau menyapa Atah Roy, Leman takut, tapi hati Leman sudah tak tahan untuk menanyakan masalah yang sedang menimpa bapak saudaranya.

“Kene marah, lantaklah, yang penting aku tahu mengape Atah Roy berdiam diri dan ditemani air mata. Pasti ini bukan air mata buaye,” kate Leman Lengkung dalam hati. Leman Lengkung pun duduk di samping Atah Roy. Leman ragu, ia namun bertanya juga.

“Ade masalah ape, Tah?” Leman Lengkung memecah kesunyian.

Atah Roy masih diam dan membiarkan air mata mengalir ke pipinya.

“Tah, saye ni anak saudare Atah, seharusnye Atah ceritekan semua ape permasalahan Atah kepade saye. Kalau dapat saye bantu, saye akan bantu dan kalau saye tak dapat membantu, saye akan berusahe tetap membantu,” Leman Lengkung berusaha membujuk Atah Roy.

Perlahan-lahan kepala Atah Roy bergerak menghadap ke Leman Lengkung. Leman Lengkung berdebar, Leman takut Atah Roy akan membentaknya. Namun apa yang dipikirkan Leman tidak terbukti, Atah Roy cuma menatap kemudian kembali termenung dan air mata mengalir ke pipi.

“Alhamdulillah,” Leman bersyukur dalam hati.

“Man,” suara Atah Roy berat. “Aku sedih kalau teringat orang-orang dulu. Mereke ikhlas berkesenian. Dan perjuangan mereke untuk kesenian luar biase. Mereke rela berkorban ape saje, termasuk harus tidak memiliki ape-ape. Aku teringat Almarhum B.M. Syamsuddin penulis handal itu, sampai akhir ayatnye, die masih mengontrak rumah. Begitu juge Almarhum Idrus Tintin, die sanggup menjual cincin istrinya untuk mementaskan karya seni. Pengorbanan mereke memang payah nak diikut zaman ini,” kate Atah Roy dengan suara beratnya menahan kesedihan.

“Dari kawan-kawan, saye dapat cerite macam ini juge, Tah. Tapi mungkin zaman dulu dengan zaman kenen ni jauh berbede, Tah,” kate Leman Lengkung mau menghibur Atah Roy.

Atah Roy menatap Leman Lengkung dalam-dalam. Wajah Atah Roy berubah memerah.

“Ape, kau pikir orang dulu tak butuh makan? Orang dulu tak butuh anak die sekolah? Kalau dikau tak mengalaminye jangan dikau nak mengajo aku! Aku ni dah lame kenal dengan seniman-seniman dulu tu. Kemane mereke pergi, yang mereke pikul karya mereke. Mereke berkelahi dalam karya; siape berkarya banyak, siape yang tidak!” suara Atah Roy meninggi, kemudian dia berdiri sambil bercekak pingang.

Leman Lengkung terdiam sambil menundukkan mukanya.

“Perlu dikau ingat, Man, karya seni itu bukan asal buat aje! Buat karya seni itu pakai otak, memeras segale kekuatan yang ade pade diri. Tak mudah nak menciptakan karya seni tu de!” suara Atah Roy semakin meninggi.

Leman Lengkung semakin menyurukkan wajahnye dengan memandang lantai lekat-lekat.

“Maaf Tah, saye cu....”

“Tak usah dikau bercakap lagi!” potong Atah Roy. “Dikau tahu tak, ape yang mereke buat dimase lalu, dan apekah mereka dikenang pade hari ini? Buku mereke yang pernah dicetak dulu, hari ini tak pernah dicetak ulang! Macam mane budak-budak sekolah di Riau tahu dengan mereke? Buat muatan lokal, tapi entah ape-ape yang diajo! Bolehkah patut? Tak patut kan?”Kalau betul-betul nak meletakkan Riau sebagai pusat kebudayaan, tiru Kerajaan Riau Lingga dulu, sangat memberi tempat kepade pekerje seni, ini tidak! Bercakap je pandai, budak kecik pun bisa bercakap!" Atah Roy semakin marah.

Leman Lengkung terdiam, dan tak bergerak sedikit pun.

“Dahlah, malas aku bercakap dengan dikau ni!” kate Atah Roy sambil pergi meninggalkan Leman seorang diri.

“Awak pulak yang kene marah. Naseb jadi orang kecik ni,” kate Leman Lengkung, air mata mengalir dari mata Leman Lengkung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar