Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 21 Mei 2011

Kepedulian Atah Roy

Atah Roy tak peduli sangatlah; apa yang telah diperbuat demi kebaikan seseorang akan dibalas kebaikan juge atau sebaliknye dibalas dengan kejahatan. Bagi Atah Roy, berbuat baik merupakan hakikat manusia. “Manusie dilahirkan di dunie ini dari unsur kebaikan,” pikir Atah Roy. Untuk itulah Atah Roy tak pernah mempermasalahkan orang yang dibantu akan berbuat baik pula kepada dirinya.

Lama juga Atah Roy duduk termenung di depan pintu rumahnya. Pintu rumah dengan tangga yang lumayan tinggi untuk masuk ke rumah Atah Roy, memang sedap untuk melepaskan imajinasi. Apalagi dengan matahari pas lurus di atas kepala alias tengah hari tepat. Atah Roy tak tahu, entah mengapa imajinasinya singgah ke sosok kawan lamanya, Man Tapak. Man Tapak merupakan kawan karib Atah Roy ketika muda dahulu. Dimana ada Atah Roy, maka ada Man Tapak. Begitu juga sebaliknya, ada Man Tapak, ada Atah Roy. Tapi kini semuanya sudah berubah. Man Tapak sudah jadi orang terpandang di kampung ini, sementara Atah Roy masih seperti dulu; tak kaye, tak juge miskin, yang sedang-sedang saja, seperti lagu dangdut Vety Fera.

Renungan Atah Roy terganggu dengan kedatangan Leman Lengkung, anak saudaranya. Leman Lengkung sedap betul bernyanyi, “Kamu pilih yang mana? Atas-atas. Kamu pilih yang mana? Bawah-bawah. Kalau saya punya usul, yang tengah-tengah saja, bagaimana? Ok,” walaupun kedengaran sumbang suaranya, tapi Leman Lengkung sangat percaya diri terus bernyanyi.

“Hoi dogol, suare macam kambing nak beranak, tak sadarkan diri, nak menyanyi!” bengis Arah Roy.

Leman Lengkung mendekat dan duduk di sebelah Atah Roy. “Tah, suare tak perlu merdu-merdu sangat, yang penting punye keberanian mengeluarkan suare dan bergoyang, beres masalahnye,” Lemang Lengkung pasti.

“Kalau dikau bernyanyi untuk dikau sendiri, lantaklah. Ini engkau bernyanyi aku dengo, itu sebab aku masalahkan. Telinge aku dah nak bebulu dengo suare dikau!” suara Atah Roy sedikit meninggi.

“Atah, Atah… Atah ni terlalu sensitif dan tak mengikuti perkembangan zaman. Zaman kenen Tah, yang dicari produser rekaman, suare sumbang itulah, kalau tak sumbang alias merdu, tak ade variasi alias monoton aliran musik Indonesia, Tah,” jelas Leman Lengkung, sementara muka Atah Roy memerah.

“Loyar tekak aku dengo dikau bercakap Man, macam ahli betul!” tambah Atah Roy semakin geram.

“Tenang dulu, Tah. Hati panas jangan dipeturut, nanti hilang akal patut. Saye bernyanyi cume nak menghibur Atah yang termenung tak terarah. Dari tadi saye nenguk Atah termenung. Ape yang Atah fikirkan?” Leman Lengkung mencoba mencairkan suasana.

“Tak ade yang aku pikirkan,” kate Atah Roy menyembunyikan pikirannya yang terkenang Man Tapak, kawan dekatnya.

“Saye dah lame tinggal bersame Atah, jadi saye tahu betul sifat Atah. Pasti Atah sedang memikirkan Pak Cik Man Tapak kan?” sidik Leman Lengkung.

“Tak, aku tak memikirkan Man Tapak. Aku tahu diri,” kate Atah Roy agak pelan.

“Tah, saye tahu, keberhasilan Pak Cik Man Tapak disebabkan pengorbanan Atah. Atah menjual sebagian tanah pusake untuk mendukung Pak Cik Man duduk sebagai pimpinan di kampung ini. Setelah Pak Cik Man Tapak berhasil, Atah tak dipedulikan, datang ke rumah ini pun, Pak Cik Man Tapak tak pernah lagi. Itu yang Atah pikirkan?” Leman Lengkung yakin.

“Hoi mengkarung hitam! Jangan dikau mengaitkan persahabatan aku dengan hal yang tidak-tidak. Aku berkorban untuk Man Tapak, karena aku tahu Man Tapak memang layak jadi pimpinan di kampung ini, dan aku tak pernah berharap Man Tapak membalas pengorbanan aku. Aku peduli terhadap kesejahteraan orang kampung ini dan dengan keyakinan itu aku menjual sebagian tanah aku. Man Tapak memang orang yang layak menyejahterakan orang kampung. Bukan karena Man Tapak itu kawan dekat aku. Cam kan itu, Man!” suare Atah Roy meninggi, dan langsung meninggalkan Leman Lengkung. Leman Lengkung menggaru kepalanya yang tak gatal.

“Aku juge yang salah,” kate Leman Lengkung pasrah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar