Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 19 November 2011

Rumah Sakit


“Rupenye betullah kate orang-orang, bahwe orang miskin dilarang sakit,” bisik Atah Roy dalam hati. Selama ini, Atah Roy beranggapan bahwa kalimat sinis ini hanya gurauan belaka untuk melawan kemapanan orang kaya. Atah Roy pun teringat lagu Iwan Fals, Ambulance Zigzag, yang bercerita tentang orang miskin mendapat kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit, orang miskin yang mengalami luka bakar karena pangkalan bensin ecerannya meledak, ditelantarkan karena tidak dapat membayar uang muka untuk berobat.

Lagu Iwan Fals itu pun semakin menusuk hati Atah Roy, ketika Atah Roy menjengguk saudaranya sakit dan dirawat di rumah sakit umum di daerah. Di ruang Unit Gawat Darurat (UGD), Atah Roy sudah mencium ketidakberesan rumah sakit itu. Kesimpulan ini dibuat Atah Roy, lamanya pasien dibawa ke kamar. Padahal di UGD, dokter jaga telah meng-diagnosa pasien. Hampir 3 jam, Atah Roy menunggu, namun saudaranya tidak juga dibawa ke kamar untuk istirahat. Atah Roy pun tak dapat berbuat apa-apa, cuma menunggu dan menunggu.

Di sebelah saudara Atah Roy, terbaring lelaki berusia lebih kurang 65 tahun yang sedang mengerang kesakitan. Anak-anak yang sedang menunggu lelaki itu terlihat gelisah, karena orang tuanya tidak juga dibawa ke kamar untuk istirahat. Padahal, orang tua mereka hampir tiga jam setengah terbaring. Mungkin disebabkan tidak tahan lagi menunggu, anak-anak lelaki yang sedang mengerang itu pun membawa ayah mereka keluar. Atah Roy mengintip, lelaki berusia 65 tahun itu pun dimasukkan ke dalam mobil dengan infus masih melekat di tangannya.

Atah Roy mengurut dadanya dan menggelengkan kepala. “Mungkin dibawa ke rumah sakit yang lebih baik,” Atah Roy mereka-reka. Atah Roy memandang ke arah saudaranya yang masih terbaring. Atah Roy menitikan air mata. “Seandainya aku punye duit, aku pun akan melakukan hal yang same dengan anak-anak orang tua itu; memindahkan saudaranya ke rumah sakit lain,” ujar Atah Roy dalam hati sambil menelan air liurnya.

Jarum jam telah menunju pukul 2.30 WIB. Atah Roy kembali menemui dokter jaga. Dokter jaga pun menyarankan agar Atah Roy bersabar. “Kami masuk ke ruang UGD ini dari pukul 23.30 WIB tadi, Pak. Saye kasihan melihat istri saudara saye itu, beliau butuh istrirahat juga, kalau tak istrihat, due-duenya pulak yang sakit,” Atah Roy panjang lebar menjelaskan kepada dokter jaga dengan suara agak menggigil.

Dokter jaga tersenyum, lalu menjelaskan bahwa sebagai dokter, dia juga tidak sampai hati melihat pasiennya dan keluarga yang menunggu. “Bagaimana lagi, Pak, kamar penuh dan petugas yang membawa pasien terbatas,” jawaban dokter menganggu pikiran Atah Roy.

Atah Roy tak habis pikir, rumah sakit sebesar ini, yang disubsidi juga dengan menggunakan duit rakyat, kamar dan petugas pembawa pasien kurang. Atah Roy pun terpikir, mungkin obat-obatnya pun tak cukup. Atah Roy mencoba menjernihkan hatinya dengan berpikiran positif; bahwa memang betul kamar kurang, maklum penyakit demam berdarah menyerang orang kota ini secara kolektif. Namun demikian, Atah Roy tak puas hati, dia pun menelusuri kamar rumah sakit tersebut. Atah Roy terperangah melihat ada kamar yang masih kosong. Jantung Atah Roy semakin cepat memompa darah, sehingga otak Atah Roy tak sanggup menampung darah yang singgah ke otaknya lagi.

Atah Roy berlari ke ruang UGD. Dia akan menumpahkan kekesalannya. Sampai di ruang UGD, saudaranya yang sedang sakit itu dipindahkan ke kursi roda. Atah Roy menarik nafas panjang; kekesalan yang bergelora di dalam dada, diredamnya. Atah Roy pun membantu memindahkan saudaranya yang sedang sakit tersebut. Selama diperjalanan menuju kamar, Atah Roy berulang-ulang menenangkan hatinya dengan mengucap ‘astagfirullahalzim’. Berpuluh, bahkan beratus kata itu melompat dari mulut Atah Roy. Atah Roy mulai tenang. Di kamar kelas III, saudara Atah Roy ditempatkan. Atah Roy melihat ada 3 pasien yang sedang tidur. Di lantai kamar kelas III itu, Atah Roy melihat keluarga pasien tidur di atas lantai. Air mata Atah Roy semakin dekat ke kelopak mata. Namun Atah Roy berusaha keras, agar air matanya tidak tumpah.

Setelah saudaranya ditarukan di tempat tidur kamar itu, hati Atah Roy sedikit lega. Atah Roy berharap, saudaranya dapat tidur nyenyak. Kelegaan hati Atah Roy terusik, ketika Atah Roy mau ke kamar mandi. Kamar mandi yang tergolong tak bersih itu, rupanya lampu penerangnya tak hidup. Atah Roy terpaku sesaat. “Lampunya sudah lama tak hidup,” ujar salah seorang keluarga pasien di kamar itu, menyentak lamunan Atah Roy.

“Kemarin, bapak saya jatuh di kamar mandi. Saya sudah kasi tahu sama petugas, tapi sampai sekarang, lampunya tak hidup juga,” tambah orang itu.

Atah Roy terdiam. Ia kehilangan kata-kata untuk bercakap dengan orang itu. Atah Roy tak mampu lagi menahan kesedihan. Air matanya meluncur deras. “Selame ini, aku hanye memandang ke atas, sehingge aku tak tahu lagi masih ade orang yang lebih menderita dibandingkan dengan aku,” ucap Atah Roy dalam hati.

Atah Roy menyeluk kociknya dan mengeluarkan hp dan menghidupkan hpnya kembali. Waktu masuk di UGD tadi, Atah Roy mematikan hpnya, karena Atah Roy tak mau orang lain atau pasien terganggu apabila hpnya berdering. Hp Atah Roy berbunyi, tidak terlalu keras. Atah Roy cepat-cepat keluar dari kamar kelas III itu. Di luar, Atah Roy membaca pesan dari Leman Lengkung. “Mantap Tah, Indonesia menang melawan Vietnam, 2-0. Memang hebat garuda muda kite, Tah.”

“Indonesia memang hebat, tapi kite sudah lupe arti nilai persaudaraan,” ucap Atah Roy lirih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar