Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 26 November 2011

Merajuk


Atah Roy tidak peduli orang mau berkata apa pada dirinya, ketika dia mengambil sikap harus meninggalkan kampungnya tanpa sepatah pesan pun kepada orang kampung dan juga kepada Leman Lengkung. Atah Roy bukan penakut atau pun pengecut. Dengan membawa diri tanpa seorang pun tahu bagi Atah Roy adalah sikap untuk menghindar dari konflik yang lebih parah lagi. Atah Roy memang tidak mampu lagi untuk bertahan; emosi yang sudah penuh di hatinya, bahkan kini melimpah ke kepalanya, membuat Atah Roy tidak bisa berpikir secara normal lagi. Atah Roy takut, dengan emosi yang sedang memuncak, dia bisa melakukan apapun juga, termasuk mengamuk. Kalau sudah mengamuk, tak seorang pun dapat menghentikan Atah Roy.
20 tahun yang lalu, Atah Roy pernah mengamuk. Permasalahannya, tanah kuburan nenek moyang Atah Roy diserobot oleh perusahaan minyak. Bagi Atah Roy berapapun perusahaan itu mau mengganti rugi tanah kuburan nenek moyangnya, tidak akan pernah diterimanya. “Ini bukan masalah duit, tapi ini masalah marwah! Mike anggap kami tak punye duit, sehingge kami harus menggadai tanah kuburan nenek moyang kami!” suara Atah Roy melengking di depan kantor perusahaan minyak itu. Di tangan kanan Atah Roy, sebilah parang tergenggam erat. Merasa kata-katanya tidak diperhatikan, Atah Roy pun masuk ke dalam kantor dan menebas siapa saja yang menghalanginya. Semua orang yang berada di kantor itu, lari tungang langgang. Tak dapat orang, peralatan kantor seperti komputer pun dihancurkan Atah Roy.
Kejadian itu sudah 20 tahun berlalu. Atah Roy tidak mau melakukan hal seperti itu lagi. Usia merupakan salah satu faktornya, tapi yang paling terasa Atah Roy dari kejadian itu adalah tidak adanya dukungan dari orang kampung dan orang-orang dekatnya. Ketika Atah Roy mengamuk, orang kampung dan saudaranya, tidak mendukung sedikit pun. Bahkan saudara mara dan orang kampung, menyalahkan Atah Roy dalam hal ini. “Atah Roy terlalu terbawak emosi, padahal, di tanah kuburan itu banyak minyak. Kalau dijual, dapat juge membantu saudare yang tak mampu,” ujar Mat Ketot pada orang-orang kampung.
Untuk itulah, jalan yang terbaik menghilangkan kekesalan Atah Roy hari ini, Atah Roy terpaksa meninggalkan kampung tanpa memberi tahu siapapun juga. Berat memang, tapi Atah Roy harus melakukannya. Atah Roy tidak mau kejadian 20 tahun lalu, terulang kembali. Atah Roy tak ingin sikapnya yang emosional itu, akan menjadi perpecahan dia dengan orang kampung. Dalam diri Atah Roy tertanam satu pandangan, bahwa orang kampung adalah dirinya. Berkelahi dengan orang kampung, berarti dia berkelahi dengan dirinya. Membawa diri, pergi dari kampung adalah sikap yang lebih arif dan bijaksana bagi Atah Roy saat ini.
Di rumah, Leman Lengkung sibuk mencari Atah Roy. Masuk kamar, keluar kamar. Melangkah ke dapur, menuju ruang tamu, namun Leman Lengkung tidak juga menemui Atah Roy. Turun ke tanah, mencari ke belakang rumah, ke halaman depan, tetap Leman Lengkung tak bersua Atah Roy. Muka Leman Lengkung mulai pucat. Leman takut Atah Roy akan melakukan tindakan yang tidak-tidak. Cerita atahnya pernah mengamuk 20 tahun lalu, menghantui pikiran Leman Lengkung. Walau waktu itu Leman Lengkung belum lahir lagi, namun cerita tentang Atah Roy pernah mengamuk di perusahaan minyak, tak pernah hilang dari kenangan orang kampung, malahan menjadi bahan pembicaraan sampai Leman dewasa.
“Jangan melakukan hal yang tidak-tidak, Tah,” harap Leman Lengkung dalam hati. “Saye tahu, kejadian pagi tadi menyakitkan hati Atah, tapi kite tak bisa berbuat ape-ape, Tah,” Leman kembali bicara dalam hati. Leman Lengkung semakin cemas. Dia sudah tidak tahu harus mencari kemana Atah Roy. Atah Roy bukan tipe pejalan alias suka bertandang ke rumah orang atau kedai kopi. Atah Roy dalam bahasa sekarang, anak rumahan. Jadi tak ada tempat yang dapat dituju untuk mencari Atah Roy.
Leman Lengkung betul-betul putus asa. Leman Lengkung pun terduduk di kursi kayu di halaman rumah. Dalam keadaan seperti ini, rasa kasih sayang Leman Lengkung semakin dalam kepada Atah Roy. “Kenape dalam keadaan susah macam ini, orang yang kite sayang semakin dekat rasenye,” pikir Leman Lengkung. Air mata mengalir di pipi Leman Lengkung.
“Ngape engkau menangis, Man?” suara Lung Razak menyadarkan Leman Lengkung.
“Eeehhh… Lung. Atah Roy tak ade di rumah. Puas saye mencari, namun tak juge saye jumpe Atah Roy,” jelas Leman sambil mengelap air mata di pipinya.
“Ooo… aku nampak atah engkau tadi di pelabuhan. Entah ape dibuatnya di sane, aku pun tak bertanye,” ujar Lung Razak.
Mendengar penjelasan Lung Razak mengenai Atah Roy, Leman Lengkung langsung berlari meninggalkan Lung Razak sendiri. Leman Lengkung betul-betul cemas kepada Atah Roy. “Ape kesah orang due beranak ni, same-same keto,” Lung Razak menggelengkan kepalanya.
Di ujung pelabuhan, Leman Lengkung berjumpa Atah Roy yang sedang duduk sambil menjuntaikan kakinya ke laut. Leman Lengkung mengatur nafas, lalu dia pun menghampiri Atah Roy.
“Kenape Atah duduk di sini?” Leman Lengkung bertanya dengan suara datar.
Atah Roy menoleh ke Leman Lengkung, lalu dia kembali menatap ke laut lepas.
“Atah mau kemane?” tanye Leman Lengkung lagi, ketike melihat bungkusan di sebelah Atah Roy. Sementara Atah Roy masih membisu.
“Atah merajuk, ye?” Leman terus memancing Atah Roy dengan pertanyaan, agar Atah Roy mau bicara.
“Merajuk mungkin jalan terbaik untuk menenangkan diri,” Atah Roy mulai bicara.
“Tapi kite akan terus kalah, Tah,” balas Leman.
“Biarlah kalah, asalkan kite sesame kite tidak berkelahi,” kata Atah Roy singkat.
“Atah kesal dengan kejadian pagi tadi?” Leman bertanya lagi.
“Siape yang tak kesal, Man. Orang kite menjatuhkan orang kite juge. Kalau orang lain yang berkuase, kite tak berbunyi, tapi kalau ade orang kite yang berkuase, semue salah, semue tak kene. Eloknye orang kite jadi ape, Man? Jadi Penghulu disalahkan, jadi camat juge disalahkan, jadi bupati pun tak kene, jadi gubernur pun dimusuh, ape lagi jadi presiden? Tentu banyak betul kene salahnye!” ujar Atah Roy dengan suara besarnya.
Leman Lengkung pun terdiam. “Ini gara-gara demo menolak kedatangan bupati di kampung ini pagi tadilah ni,” bisik Leman Lengkung dalam hati. Leman Lengkung pun ikut menjuntaikan kakinya seperti Atah Roy. Kedua beranak itu pun menatap lautan lepas, tak tahu harus melakukan apalagi.  
  
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar