Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Jumat, 04 November 2011

Hamba Allah


“Kalau tangan kanan memberi, tangan kiri jangan tahu,” setelah mengucapkan kalimat itu, Leman Lengkung langsung meninggalkan Atah Roy sendiri. Atah Roy betul-betul tidak paham maksud Leman Lengkung mengucapkan kalimat itu di hadapanya. Selama ini, pikir Atah Roy, apa yang diberikan kepada Leman Lengkung tidak pernah diucapkan kepada orang lain. Atah Roy tahu bahwa sebagai Pak Cik dari Leman Lengkung, sudah menjadi kewajibannya untuk memberi, dan tak mengharapkan apa pun dari pemberiannya. Tapi kenapa Leman Lengkung teganya mengucapkan kalimat itu kepada Atah Roy?

Perkataan Leman Lengkung menjadi beban bagi Atah Roy. Dengan segala sisa kekuatan pikirannya, Atah Roy mencoba mengingat kembali apa yang pernah dia ucapkan kepada orang lain mengenai tanggung jawabnya kepada Leman Lengkung. Satu per satu kenangan dalam benaknya, dipunggah Atah Roy. Namun tak satu pun lembaran kenangan itu bercerita tentang pengorbanan Atah Roy untuk Leman Lengkung terucapkan kepada orang lain. Atah Roy kecewa. “Kalau orang lain yang bercakap macam tu, dapat aku buat perhitungan, tapi ini, anak saudare aku sendiri,” umpat Atah Roy dalam hati.

Atah Roy tak kesah sangatlah, kalau ade orang bersedekah untuk pembangunan mesjid, lalu nama mereka ditulis di papan kuangan mesjid dengan menggunakan spidol warna merah. Atau tiap kali musibah menghantam masyarakat, berserak bendera partai dan poster para tokoh yang muncul ketika musibah saja, memberi bantuan. Itu urusan mereka dengan Allah, pikir Atah Roy. Tapi ucapan Leman Lengkung memang membuat telinga Atah Roy berdengung.

Atah Roy pun berpikir, bahwa pengorbanannya kepada Leman Lengkung, sudah menjadi kewajibannya. Atah Roy tak ingin segala yang dia lakukan dikaitkan dengan keinginan menguasai Leman Lengkung. Atah Roy tidak memiliki tendensi lain, selain melihat Leman Lengkung hidup berbahagia. Atah Roy tak ingin disamakan dengan orang lain yang memberi sesuatu dengan imbalan harus menghargai mereka dan memilih mereka nantinya apabila mencalonkan diri menjadi anggota dewan atau menjadi presiden, gubernur, bupati, kepala desa atau menjadi Ketua RW atau pun Ketua RT. Bagi Atah Roy, berbuat baik, menolong orang lain, adalah fitrah manusia, dan merupakan penghambaan manusia kepada Allah. Atah Roy teringat satu kalimat indah dari Rabiatul Adawiyah, “Ya Allah, kalau aku mencintaimu mengharapkan surgaMu, maka tutuplah pintu surgaMu untuk ku.” Atah Roy benar-benar yakin bahwa Allah Maha Tahu apa yang dikerjakan oleh manusia.

Kalimat yang diucapkan Leman Lengkung di hadapannya, tidak mudah didelete begitu saja oleh Atah Roy. Leman Lengkung harus bertanggung jawab menjelaskan maksud kalimatnya itu. Sesuatu yang diucapkan, harus dipertanggungjawabkan. Atah Roy tak ingin Leman Lengkung, anak saudaranya itu, hanya pandai bercakap, tanpa dapat menjelaskan maksudnya. Atah Roy selalu berpegang pendirian bahwa mulut manusia merupakan pisau yang paling tajam mengiris hati. “Alang-alang tumbuk pekasam, biar sampai ke pangkal lengan,” bisik Atah Roy dalam hati. Namun beberapa saat kemudian, Atah Roy menyadari bahwa petatah-petitih yang baru dia pikirkan, tak mengena dengan masalah yang sedang dia hadapai. “Ngape pulak sampai menumbuk pekasam?” pikir Atah Roy kembali. “Ah, lantaklah… yang penting, aku harus jumpe dengan Leman sekarang juge.”

Atah Roy pun mengeluarkan hp buruknya dari kocik celana. Hp yang diikat dengan karet agar tak berderai itu pun dipegangnya. Dengan sigap, Atah Roy menekan huruf-huruf yang ada. “Dikau di mane, Man? Kite harus segere berjumpe!” tulis Atah Roy.

Beberapa saat kemudian hp Atah Roy berbunyi. Leman Lengkung cepat membalas SMS Atah Roy.

“Saye selalu di hati Atah.”

“Jangan menyanyah, Man. Aku serius!” Atah Roy membalas.

“Tak perlu dibawak serius di negeri ini, Tah. Semuenye kepura-puraan,” Leman Lengkung menjawab SMS Atah Roy.

Atah Roy tak dapat meredam amarah dalam hatinya. Leman Lengkung betul-betul telah mengecewakannya. Tidak puas dengan SMS, Atah Roy menelpon Leman Lengkung, tapi di hpnya operator memberi tahu bahwa pulsa di kartu Atah Roy tak cukup melakukan panggilan. Atah Roy bertambah emosi. Dengan emosi tingkat tinggi, Atah Roy kembali mengirim pesan menggunakan SMS.

“Kalau dikau betul-betul jantan, jumpe aku sekarang juge!” tangan Atah Roy menggigil tersebab amarah mendesak aliran darahnya. Atah Roy betul-betul berada dalam api amarah.

“Okay,” balas Leman singkat.

Atah Roy tak tenang lagi untuk berdiam diri. Dia pun bolak-balik macam penggosok baju; jalan ke arah pintu depan rumah, kemudian melangkahkan kaki ke dapur. 4 kali melakukan hal seperti itu, Leman Lengkung pun muncul. Melihat Leman Lengkung berdiri dengan tidak merasa bersalah sedikit pun, Atah Roy menggigit bibir bawahnya, dan dari mulut Atah Roy melompat pertanyaan geram.

“Dikau mau ape, Man?!” sergah Atah Roy.

“Maksud Atah?”

“Jangan macam-macam dikau, Man!”

“Ape ni, Tah?”

“Ape maksud dikau mengucapkan kate-kate “kalau tangan kanan memberi, tangan kiri jangan tahu” di hadapan aku tadi!” suara Atah Roy masih meninggi.

“Ooo… saye tadi bace berita lewat hp, ade orang membangun mesjid tanpa menyebutkan namenye, kecuali menyebutkan ‘Hamba Allah’. Kan bagus macam tu, berbuat baik tapi tidak bercakap pade orang lain,” jelas Leman Lengkung.

Mendengar penjelasan Leman Lengkung, Atah Roy lemas, tak berdaya. Untuk menghilangkan kecurigaan Leman Lengkung kepadanya, Atah Roy memeluk Leman Lengkung.

“Ngape ni, Tah,” Leman Lengkung bingung.

“Tande kasih sayang bapak suadare kepade anak suadarenye,” ucap Atah Roy.

“Eee alah, sayang juge Atah pade saye, ye?”

“Sayang kemaru,” kate Atah Roy dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar