Konsep
berkesenian orang Melayu adalah memberi manfaat dan berfaedah untuk orang yang
menikmati kesenian itu. Sebagai orang Melayu, Atah Roy berpegang teguh kepada
konsep tersebut. Tanpa ada pikiran lain, yang penting penikmat kesenian tanah
ini terpuaskan, Atah Roy pun rela menyediakan waktu, pikiran, tenaga dan juga
duit untuk tetap berkesenian. Atah Roy dengan semangat berapi-api mengumpulkan
beberapa pemuda-pemudi untuk menaja perhelatan kesenian.
Semangat mengebu-ngebu
Atah Roy tidak direspon Leman Lengkung. Di benak pikiran Leman Lengkung
terbayang dua tahun yang lalu, bagaimana peningnya Atah Roy setelah menaja
hajatan yang sama pada hari. Waktu itu Atah Roy juga menaja pementasan teater
alias drama alias sandiwara. Setelah perhelatan selesai Atah Roy pening untuk
membayar utang akibat perhelatan kesenian tersebut. Leman Lengkung tidak mau
kejadian itu terulang kembali pada Atah Roy saat ini.
Leman Lengkung
berusaha menghasut pemuda-pemudi di kampung tidak mendukung keinginan Atah Roy
menaja perhelatan yang sama. Hasutan Leman Lengkung akhirnya singgah juga ke
telinga Atah Roy. Atah Roy naik pitam alias geram setengah mati pad Leman
Lengkung. Dengan emosi meluap-luap, Atah Roy pun mendatangi Leman Lengkung yang
sedang sibuk mengumpulkan getah di kebun.
“Ape maksud
dikau menghalang-halang aku untuk berkesenian, Man?” pertanyaan Atah Roy
bernada geram.
“Saye tak
menghalang Atah, tapi saye takut Atah gile disebabkan berkesenian,” jawab Leman
Lengkung dengan tenang.
“Maksud dikau
ape?” Atah Roy semakin geram.
“Ape yang Atah
dapat dari berkesenian?” balik Leman Lengkung bertanya.
“Kepuasan bathin
itu melebihi segale-galenye, Man. Dan dengan berkesenian, bathin aku
terpuaskan!” Atah Roy menjawab masih dengan nada emosi.
“Kepuasan bathin
seperti ape, Tah? Setelah mengadekan pementasan drama, lepas itu Atah
dikejo-kejo orang untuk menagih utang, apekah itu yang dinamekan kepuasan
bathin, Tah?” Leman Lengkung mulai berani.
“Dikau jangan
mengaju itik berenang, Man. Aku ini dah banyak makan asam garam berkesenian. Kawan-kawan
aku kan banyak, dan perusahaan di kampung kite ini mau membantu perhelatan ini
semue!” sergah Atah Roy.
“Dulu Atah
bercakap macam itu juge, tapi nyatenye tak satu pun kawan Atah dan juge
perusahaan itu tak membantu Atah. Atah sorang yang menanggung semuenye,
sampai-sampai hasil penjualan getah kite semuenye terpakai untuk membayo utang
Atah itu,” Leman Lengkung juga meninggikan suaranya.
“Ini menyangkut
marwah kite sebagai orang Melayu, Man. Kalau tak kite yang menjage marwah kite
melalui seni, siape lagi? Kesenianlah yang masih dapat diharapkan mejage marwah
orang Melayu pade hari ini. Dikau jangan lupe Man, dengan seni identitas diri
orang Melayu dipertahankan!” ujar Atah Roy panjang lebar.
“Itu menurut
Atah, tapi tidak orang Melayu lainnye. Atah bisa tenguk, bagaimane kesenian
pade hari ini hanye untuk kepentingan politis, kalau ade pejabat atau tokoh
masyarakat nak sesuatu, baghu kesenian dijulang-julang. Begitu juge orang
berkesenian hari ini disebabkan faktor kedekatan dengan orang-orang penting.
Sementare Atah, jangankan dekat dengan orang penting, dengan Pek RT aje tak
dekat Atah menjauh. Dari mane Atah nak nutup biaya pementasan drama Atah tu? Terpakse
juge hasil getah kite ini jadi sasarannye,” jelas Leman Lengkung panjang lebar.
“Dikau jangan
menghina aku, Man. Kalau dikau tak ikhlas membantu aku, tak usah dikau bantu
aku lagi, lebih baik kite putus persaudaraan anak-beranak!” Atah Roy bertambah
emosi, dan langsung meninggalkan Leman Lengkung sendiri.
“Kalau aku
bercakap, tahu salah je. Payah jadi anak saudare ni,” Leman Lengkung besungut.
Atah Roy dengan
geram melangkahkan kakinya. Sambil melangkah, Atah Roy berpikir apa yang
dikatakan Leman Lengkung tadi. Dalam hati Atah Roy membenarkan apa yang
dikatakan Leman Lengkung. Pengalaman sudah banyak, setiap kali mengadakan
pertunjukan seni, pasti utang berkeliling pinggang.
“Kadang ade betul
juge ape yang dikatekan Leman tu, tapi kalau tak berbuat, lain pulak perasaan
ini,” bisik Atah Roy dalam hati.
Atah Roy pun
terbayang masa lampau, dimana dia pernah mau membunuh diri dengan terjun ke
laut, gara-gara utang setelah perhelatan seni. Kepuasan bathin setelah
pementasan hanya sekejap, tapi kelukaan bathin disebabkan utang pementasan
lama. Atah Roy jadi ragu untuk tetap berkesenian.
“Aku harus ambil
sikap, aku harus tetap berkesenian. Utang atau pun rugi, itu bisa diselesaikan,
tapi rugi atau utang hati, tidak bisa terganti!” Atah Roy menjawab keraguannya
sendiri. Dengan semangat tetap berapi-api, Atah Roy akan mengadakan perhelatan
atau pementasan drama dengan melibatkan lebih banyak orang lagi.
“Pantang Melayu
surut ke belakang!” ujar Atah Roy yakin.
benar lah buat ATAH ROY.,KALau bukan kita siapa lagi"...
BalasHapus