Hasan Junus, di
kalangan seniman nama beliau disingkat HJ. HJ menghembus nafas terakhirnya pada
tanggal 30 Maret 2012. Sastra adalah hidupnya, maka bicara tentang sastra Riau,
tidak dapat tidak nama HJ merupakan nama terdepan dalam kesusastraan Riau.
Hari-harinya adalah puisi, pergantian waktu adalah prosa. HJ tidak pernah
merasa jemu berhadapan dengan karya sastra dan tidak pernah pula letih
menciptakan karya sastra. Dari bacaan dan pikiran beliau, karya-karya sastra
asing dapat dinikmati di kolom Rampai
yang terbit di Riau Pos setiap hari Ahad. Namun semuanya hanya jadi kenangan
setelah beliau tiada.
Hasan Junus
merupakan ‘Biksu’ sastra Riau yang tidak pernah pelit membentangkan ilmu-ilmu
yang ia miliki kepada siapapun juga. Bagi HJ, semakin banyak orang menimba ilmu
sastra darinya, semakin membuat dia bergairah. Beliau pun selalu berpesan bahwa
untuk menjadi seorang penulis karya sastra, membaca, membaca dan membaca
merupakan modal utama. Dia juga selalu berharap bahwa karya sastra haruslah
menjadi pohon besar yang akarnya menghujam ke tanah, daunnya dapat tempat
berteduh dan bermusim di sembarang musim.
Karya-karya yang
dihasilkan Hasan Junus, selalu meletakkan kekuatan lokalitas Melayu Riau
menjadi identitas dalam karyanya. Walaupun beliau memamah bermacam karya sastra
asing, namun tetap pada karya yang ia hasilkan ‘bau’ kemelayuannya tercium.
Begitu juga dengan karya-karya asing yang beliau terjemahkan, padanan kata yang
dipilih sangat dekat dengan hati orang Melayu.
Salah satu
contoh karya HJ yang kental nuangsa Melayu, namun tidak kalah dengan pikiran
barat adalah naskah drama Burung Tiung Seri Gading. Membaca dan melihat naskah
ini dipentaskan, maka konsep-konsep teater atau drama atau sandiwara Bangsawan
sangat terasa. Apabila diteliti secara mendalam, naskah Burung Tiung Seri
Gading ini penuh makna filosofi baik Timur maupun Barat. Dalam naskah ini,
selain disuguhkan cerita yang menawan, bahasa yang digunakan juga memiliki
kedalaman makna yang luar biasa. Bahasanya ‘bersayap’ alias tidak tertuju apa
yang diucap, tetapi pada makna di balik yang diucapkan itu.
Inilah salah
satu contoh kekuatan naskah drama yang dihasilkan oleh orang Melayu, terutama
orang Melayu Riau (baik Provinsi Kepulauan Riau maupun Provinsi Riau). Hasan
Junus menyadarai benar, bahwa kesusastraan merupakan kekuatan orang Melayu,
sehingga beliau tidak pernah frustasi terus menggali karya-karya Melayu lama
dan dibancuhkan dengan karya-karya sastra Barat.
Spirit menyakini
bahwa kesusastraan merupakan jalan hidupnya, menjadi kekuatan sastra Riau. HJ
pun tidak pernah berhenti ‘mendengung-dengungkan’ karya sastra dimanapun dan kapanpun.
Dengan telaahnya yang mendalam, dan juga kehebatannya mencpitakan karya sastra,
HJ dengan lantang pada tahun 90-an mengikrarkan Mazhab Sastra Riau. Keunikkan
dan kekuatan bahasa dalam karya sastra Riau merupakan roh mazhab sastra Riau
tersebut. HJ semakin genjar membandingkan karya-karya sastra Riau dengan
karya-karya sastra asing. Perbandingan yang dilakukan HJ menjadi kekuatan baru
pula bagi sastrawan-sastrawan Riau lainnya.
Kini sudah satu
tahun HJ mendahului kita. Tiada lagi kita dapat menyaksikan gaya bicara HJ yang
penuh semangat. Bicara tentang kesusastraan, HJ tidak akan pernah kehabisan
bahan, semua yang ada pada dirinya dituangkan untuk membangkitkan semangat
penulis-penulis muda. Gaya bicara yang penuh ekspresi ditambah gerakan-gerakan
tubuh adalah ciri khas HJ. Setiap kali berjumpa dengan dia, terlambat kita
menegurnya, HJ yang terlebih dahulu mendengur, Seperti seorang prajurit, HJ
selalu mengangkat tangan kanannya dan memberi hormat kepada siapa saja yang
ditemuinya. Hasan Junus tidak membedakan antara usia, siapa saja yang berminat dengan
sastra, bagi HJ adalah kawannya, tak peduli muda atau pun tua.
Seperti burung
api, HJ telah ‘membakar’ dirinya dengan menekuni dunia sastra. Apa yang ia
dapat dari dunia sastra sudah pula menjelma di setiap penulis yang pernah
berjumpa dan bicara dengan-nya. Sudah setahun dia pergi, kita rindu gaya
bicaranya, kita rindu pemikirannya yang dituangkan dalam tulisan, namun Rampai itu telah usai, kitalah yang
harus melanjutkan. Hidup ini tidak pernah mengenal kata akhir. Patah satu,
tumbuh seribu. Mengenangmu Ayahanda HJ, kami memang terasa sunyi.
*Lirik lagu P.
Ramlee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar