Dunia politik di
negeri ini, memang sangat mengkhawatirkan. Para petinggi kelompok yang
mengatasnamakan untuk kesejahteraan, ketentraman dan kedamaian rakyat ini,
terbabet masalah. Rakyat kehilangan kepercayaan kepada figur-figur yang dibesar-besarkan
oleh partai politik. Partai politik seperti sarang untuk menetaskan para
‘penjahat’. Tokoh-tokoh muda, sebelum masuk partai politik, terkenal dengan
‘kebengisan’ ideologi tinggi, menjadi seperti seekor kerbau. Tiada bersuara
untuk kebenaran orang ramai, yang ada hanya kebenaran golongan, Maka rekayasa
menjadi senjata untuk menumbangkan, menguburkan, dan juga menjadi propaganda
membangun citra.
Sebagai seorang aktivis
drama dulunya, Atah Roy selalu tampil sebagai sutradara. Kerja seorang sutradara
‘mengakali’ peristiwa, ruang, dan waktu sehingga menghasilkan drama berkualitas
tinggi. Para aktor atau pemain drama, memang dipersiapkan menjadi tokoh-tokoh
dalam lakonan. ‘Mengakali’ dalam drama yang sesungguhnya merupakan upaya
menarik rasa simpatik penonton, sehingga penonton betah menonton drama itu
sampai selesai.
Rekayasa dalam
drama merupakan keharusan. Ianya bukan bertujuan untuk menipu penonton, tetapi
ingin penonton masuk dalam peristiwa, ruang dan waktu yang didedahkan pada
pementasan drama itu. Bukankah drama yang baik dapat mengajak penonton
merasakan apa yang terjadi di atas panggung? Bagaimana dengan drama politik?
Atah Roy
menggaru-garukan kepalanya yang tidak gatal. Dua kata ini, drama politik,
mengusik pikiran Atah Roy akhir-akhir ini. Dua kata itu menjadi perbincangan
hangat di kedai kopi Nah Me’un. Orang-orang menjadi pintar menganalisis
peristiwa di negeri ini. Mereka seperti penonton yang memang masuk dalam
peristiwa itu, dan memang ada benarnya. Sebab para ‘pelakon’ yang sedang
berperan di panggung drama politik itu adalah orang-orang yang menentukan nasib
rakyat kecil.
“Drama politik
di negeri kite ini, bertambah gawat. Semue aktor utamanya terlibat saling
menyerang, semue nak jadi protagonis,” ujar Sidik Cengkung sambil meneguk
kopinya.
“Parahnya lagi,
pengikut-pngikut atau kalau dalam drama tokoh-tokoh pigurannye, membela membabi
bute mendukung siape yang punye banyak duit dan kekuasaan,” tambah Ijal Pelo.
“Kite memang
dibuat bingung dengan permasalahan negeri kite ini, tokoh-tokoh utama sibuk
membangun konflik, sementara kebutuhan keseharian hargenye melambung tinggi.
Belum lagi duit untuk kebutuhan rakyat dipelupuh ramai-ramai. Tukang pelupuh tu
pulak dah kehilangan rasa keibaannye; baik yang macam ustazd sampai macam
preman dah tak ade bede lagi, belantak melupuh duit rakyat,” tambah Tamam
Tengkes geram.
“Yang
menyakitkan hati, mereke semue tidak pulak merase bersalah. Bahkan menganggap
diri mereke itu sang pembela kehidupan rakyat,” kata Yusup Cacing pula.
Atah Roy
menggeleng-geleng kepala. Dengan seksama Atah Roy mendengar percakapan
orang-orang di sebelah mejanya.
“Atah Roy, ape
Atah tak ade komen kedaan negeri kite sekarang ni?” tiba-tiba Tamam Tengkese
bertanya kepada Atah Roy.
Atah Roy menarik
nafas panjang, lalu Atah Roy menatap satu persatu orang-orang itu, kemudian
Atah Roy tersenyum.
“Usah
senyum-senyum je Tah, masalah negeri ini tidak selesai dengan senyum de,” ujar
Ijal Pelo.
“Aku tersenyum
mendengo mike-mike bebual ni, macam ye betul, padahal ape ke tidak aje,” jawab
Atah Roy.
“Atah, tak sedap
betul bunyi kate-kate Atah tu, bebulu telinge saye mendengonye,” sindir Yusup
Cacing.
“Makan boleh
sembaarang makan Tah, tapi cakap jangan sembarang cakap!” tambah Tamam Cengkung
geram.
“Kalau hanye
sekadar mengomentar ape yang terjadi di negeri kite ni, tak ade gunenye de.
Kalau betul kite mencintai negeri ini dengan setulus hati, mari kite bergerak
dengan melakukan perlawanan. Kalau perlu sabutase semue kebijakkan yang telah
mereka buat. Jangan bercakap aje, yang kite butuhkan sekarang ini aksi, bukan
bebual di kedai kopi. Dan aku berharap pade aksi itu tidak ade tawar-menawar
lagi,” jawab Atah Roy panjang lebar.
“ Ape maksud
Atah dengan ucapan ‘tak ade
tawar-menawar’ tu?” tanya Tamam Cengkung.
“Maksudnye,
orang atau kite nantinye melakukan perlawanan terhadap aktor-aktor utama negeri
kite ni, tak gentar dan tak melunak dengan ape pun bujukan. Selame ini para
aktor-aktor yang berteriak dengan aksi melawan kebijakan ini, lemah apebile
dikasi duit setumpuk. Mereke berpaling arah, lalu memuto luan mereke, bahkan
lebih geram lagi, mereke masuk pulak dalam sistem yang hendak mereke runtuhkan
itu. Kalau dah macam ini, jangan harap negeri ini akan berubah!” ujar Atah Roy
geram.
“Jadi, kite
harus mecam mane?” tanye Usup Cacing.
“Diam je?” Tamam
Cengkung ragu.
“Kite sehrusnye
aksi, protes terus sampai perubahan itu memang datang dari hati orang-orang
mendiami negeri kite ini,” tambah Atah Roy dengan yakin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar