Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 22 Juni 2013

Asap Oh Asap


Kembali negeri ini diselimuti asap. Orang-orang hanya bisa mengeluh dan mengutuk. Keluhan diserang penyakit, tentu ditujukan kepada kita sendiri, tapi kutukan, entah kepada siapa hendak dialamatkan. Kepada pemerintah? Pemerintah tak juga jadi ‘batu’. Pada pihak swasta, pihak swasta semakin kaya saja. 
Untuk mengatasi masalah asap ini, Atah Roy bermeditasi alias bertapa di kamarnya. Sudah dua hari, dua malam Atah Roy bertapa. Makan dan minum tak disentuhnya. Melihat keadaan seperti ini, Leman Lengkung ketakutan juga. Leman Lengkung takut sakit lain pula yang mendera Atah Roy. Hendak menyadarkan Atah Roy, Leman Lengkung ketakutan juga. Manalah tahu, Atah Roy mengamuk sebab pertapaannya terganggu.
Hari ini, sudah masuk hari yang ketiga. Seperti biasa, Leman Lengkung mengantarkan makanan dan minuman untuk Atah Roy. Walaupun makanan dan minuman semalam belum disentuh Atah Roy, namun Leman Lengkung tetap menyediakan. Mana tahu, Atah Rou lapar seketika, bisa langsung menyantap makanan yang sudah tersedia. Tanda-tanda Atah Roy akan menyantap makanan dan minuman, tidak juga muncul. Leman Lengkung bertambah khawatir. Namun beberapa saat kemudian, tangan Atah Roy bergerak. Semakin lama, semakin cepat gerakan tangan Atah Roy. Atah Roy seperti penari Olang-olang; berdiri menghentakkan kakinya sambil menggerakkan tangan semakin cepat.
Leman Lengkung terkejut. Ia ingin memegang tubuh Atah Roy, namun tangan Atah Roy menyepak alias menguak Leman Lengkung. Mata Atah Roy masih tertutu rapat, mulutnya berkomat-kamit, seperti membacakan mantra. Tapi Leman Lengkung belum dapat mengartikan gerak mulut Atah Roy.
“Akulah alam yang kalian sia-siakan. Akulah udara cemas yang kalian isap. Kalian tak menepati janji. Kalian terlalu serakah akan hidup. Kalian berkhianat kepadaku,” ujar Atah Roy dengan mata masih tertutup.
Leman Lengkung panik. Ia tidak dapat berbuat apa-apa, selain memandang bapak saudaranya dengan mulut sedikit menganga.
“Aku telah cukup sabar membiarkan kalian berbuat sesuka hati kalian. Membakar hutan, menebang hutan, mengeruk isi perut bumi, namun kalian tidak pernah bersyukur. Kalian akan binasa disebabkan perbuatan serakah kalian sendiri,” tubuh Atah Roy semakin kencang bergerak. Atah Roy seperti burung terbang mengelilingi angkasa.
“Ape masalahnye ni, Tah?” Leman Lengkung tak mampu berdiam diri.
“Akulah alam yang kalian sia-siakan!” suara Atah Roy semakin keras.
“Ape hubungannye dengan saye?” Leman Lengkung kembali bertanya.
“Halangi keserakahan itu, sebelum aku membinasakan kalian. Tidak ada bedanya, kalau kalian yang tidak berbuat menyengsarakan aku hanya diam menyaksikan akibat keserakahan orang-orang yang berbuat itu. Kalian harus melakukan perlawanan terhadap orang-orang serakah itu. Apa gunanya kalian diberikan pikiran dan kekuatan, kalau hanya diam menyaksikan aku dimusnahkan? Kalian lihatlah asap menyerang kalian setiap saat. Tak mungkin asap hadir tanpa ada api, dan tentu saja api itu datang dari hutan yang dibakar! Bertahun-tahun kalian melakukan keserakahan yang sama, tanpa ada jalan penyelesaiannya. Kalian tidak berlajar dari nenek moyang kalian yang memanfaatkan kami dahulu. Alam bagi nenek moyang kalian adalah diri mereka sendiri. Sakit alam adalah sakit mereka, musnah alam adalah kemusnahan mereka. Pada hari ini, kalian semakin tamak dan loba memanfaatkan kami!” Atah Roy semakin tidak dapat dikendalikan. Tubuhnya semakin kencang bergerak.
Leman Lengkung kembali berusaha menyadarkan Atah Roy, namun kembali tangan Atah Roy menyepak Leman Lengkung. Kali ini Leman Lengkung terduduk disepak Atah Roy. Leman Lengkung meringih kesakitan.
“Jangan halangi aku menuntut balas kepada kalian. Asap yang kalian ciptakan sendiri dengan membakar hutan akan menjadi bala bagi kalian, namun kalian diam saja. Kalian seperti tidak tahu saja. Padahal asap itu kalian hirup dan akan menjadi sumber penyakit. Kalian terlalu tidak percaya diri, selalu dikalahkan oleh pemilik modal. Kekuasaan kalian hanya diukur dengan uang. Kalian terlalu diperbudak uang. Kalian akan melihat anak-cucu kalian tidak diserang penyakit yang mematikan karena kalian kualat dengan alam!” setelah mengeluarkan kaliamat tersebut, Atah Roy jatuh terkulai tidak sadarkan diri. Leman Lengkung cepat-cepat mendekati Atah Roy.
“Tah, Atah Roy, bangket Tah,” kata Leman Lengkung sambil menggoyangkan badan Atah Roy.
Atah Roy tak bergerak. Leman Lengkung semakin khawatir. Leman Lengkung meletakkan kepala Atah Roy di atas bantal, kemudia Leman Lengkung mengambil air putih. Lalu Leman Lengkung menghusap muka Atah Roy dengan air putih tersebut. Perlahan-lahan Atah Roy siuman. Melaihat Atah Roay sadar, Leman Lengkung memberi minum kepada Atah Roy.
“Ape yang terjadi, Man?” tanya Atah Roy.
“Atah seperti kemasukan tadi. Atah bercakap panjang lebo tentang masalah asap yang melanda negeri ini,” ujar Leman Lengkung.
“Apa yang aku ucapkan tadi, Man?” tanya Atah Roy lagi.
“Banyak Tah, tak ingat saye de,” jawab Leman Lengkung.
“Intinye?”
“Kite tak berbuat ape-ape pun terhadap keserakahan di depan mate kite,” jelas Leman Lengkung.
“Betul tu, Man. Kite jadi penakut berhadapan dengan ketamakan dan kerakusan,” Atah Roy agak kesal.
“Ape yang harus kite lakukan, Tah?”
“Entahlah Man, aku pun kehilangan akal.”
“Nampaknye Tah, kite harus ngumpulkan kekuatan. Kite unjuk rase beramai-ramai,” Leman Lengkung semangat.
“Demonstrasi tak dipandang orang lagi, Man. Dah berape banyak orang yang demo, tapi tetap saje tak didengo,” ujar Atah Roy patah semangat.
“Jadi, ape yang hendak kite buat, Tah?”
“Kite jadi asap ajelah, senang kite masuk ke tubuh manusie lainnye, dan kite bebas nak kemane,” jawan Atah Roy kehilangan semangat.
“Kite bio saje negeri kite tetap diselimuti asap, Tah?”
“Kite tunggu aje kebaikan dari Sang Pencipta untuk menyelamatkan kite, Man. Orang yang punye kuasa pun tak berbuat ape-ape,” tambah Atah Roy lemas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar