Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Jumat, 29 April 2011

Tanah Air Dan Karya Sastra

Atah Roy sedang serius membaca novel berjudul Dikalahkan Sang Sapurba karya almarhum Ediruslan Pe Amanriza. Sesekali Atah Roy menganggukkan atau menggelengkan kepalanya, menandakan ada sesuatu yang mengena di hatinya. Sangkin seriusnya Atah Roy membaca novel tersebut, Atah Roy tak sadar Leman Lengkung, anak saudaranye, sudah duduk tercangguk di sebelahnya. Leman Lengkung serba salah; mau menyapa, Atah Roy sedang serius betul. Terpaksalah Leman Lengkung berdiam diri, dan memandang atahnya dengan seribu kebisuan.

Atah Roy menarik nafas panjang, dan disaat itulah Atah Roy terpandang Leman Lengkung yang sedang melihat dirinya. Atah Roy sedikit terkejut, lalu menyapa Leman Lengkung.

“Ngape dikau macam hantu kelembai, tibe-tibe tercongguk sebelah aku ni?” Atah Roy bertanya.

“Tah, saye bingung nenguk Atah ni, kalau dah membace karya sastra, Atah macam tak dapat diajak berunding lagi,” kate Leman Lengkung sedikit ketakutan.

“Man, dikau harus tahu bahwe membace karya sastra tu perlu serius, kalau tidak kite tak dapat menangkap pesan yang ade dalam cerite ini,” kate Atah Roy sambil mengangkat buku yang sedang dibaca.

“Ape faedah membace karya sastra tu, Tah. Karya sastra cume rekaan pengarang aje, dan cume berfungsi sebagai hiburan bagi pembacenye, tak ade sumbangan untuk tanah air kite ni,” Leman Lengkung mulai berani bicara.

“Leman Lengkung yang terhormat, dikau dengar cakap aku ini baik-baik, ye. Memang karya sastra itu merupekan rekayasa pengarangnye, tapi rekayasa pengarang karya sastra itu datang dari keadaan negeri ini. Pengarang karya sastra semacam memotrer seuatu peristiwa yang terjadi di negeri, yang kadang peristiwa itu dilupekan orang. Dalam mengisahkan kembali peristiwa itulah, pengarang memasukan imajinasinya agar karya itu terasa indah. Kenapa harus indah? Karena manusia itu suke yang indah, dengan demikian, karya sastra tidak mengurui dalam meninali baik dan buruk. Karya sastra seperti senter ketike kite berade dalam gelap; die berfungsi sebagai penyuluh untuk melangkah,” Atah Roy bercakap panjang lebar.

“Ape faedah untuk tanah air kite ni, Tah?” tanye Leman Lengkung masih tak paham.

“Inilah yang aku takutkan, Man,” Atah Roy menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Takut ngape pulak, Tah?” Leman tambah tak paham.

“Sastrawan itu berkarya berakar dari tanah air yang die pijak.”

“Maksudnye, Tah?” tanye Leman lagi.

“Maksudnye Man, semue yang ade dalam karya sastra yang ditulis oleh sastrawan merupekan kecintaan mereke terhadap tanah ini. Contohnye, kesewenang-wenangan yang dihadapi oleh rakyat kecil, seperti kehilangan tanah mereke disebabkan pengusuran oleh pemilik kekuasaan, padahal kite tahu bahwa rakyat kecil merupekan tanggung jawan pemerintah. Sastrawan mengingatkan bahwa masih banyak rakyat kecil di tanah ini mengalami nasib buruk hanya untuk kepentingan sang pemilik modal besar,” Atah Roy agak emosi.

“Jadi sastrawan itu pemberontak ye, Tah?”

“Memberontak untuk sesuatu kebenaran, bukanlah salah!” Atah Roy berdiri. “Kalau aku lame-lame dekat dikau ni, semakin emosi aku, tangan aku juge yang melayang,” Artah Roy pergi meninggalkan Leman Lengkung sendiri.

“Emosi terus Atah ni. Awak bertanye, awak pulak nak ditempeleng. Nasib jadi orang tak tahu ni,” kata Leman Lengkung sambil termenung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar