Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Kamis, 07 Juli 2011

Betul…

Kalimat yang melompat dari mulut Leman Lengkung, memang meluluhlantakan kepercayaan diri Atah Roy. Atah Roy tak habis pikir, bahwa Leman Lengkung, anak saudaranya yang telah lama hidup bersamanya, mengeluarkan kalimat yang membuat Atah Roy tak berkutik. Kalimat Leman Lengkung, terus berkembang di otak Atah Roy, memakan logika-logika yang selama ini berumah di benak Atah Roy. Mungkinkah ini yang dinamakan perkembangan zaman, sehingga tiada lagi sopan santun generasi muda kepada orang tua? Atau memang generasi muda pada zaman ini sudah semakin kritis, sehingga sesuatu yang bertolak belakang dengan pemikiran mereka, mereka tolak mentah-mentah? Atau orang tua, seperti Atah Roy, yang tidak sadarkan diri ingin dianggap ‘selalu betul’ sehingga genarasi muda mengambil sikap melawan?
Atah Roy masih belum mampu menerjemahkan kalimat Leman Lengkung secara normal. Otak Atah Roy seperti diserang petir di siang bolong; hangus. “Atah selalu saje menganggap diri Atah yang paling betul!” kalimat itulah yang melompat dari mulut Leman Lengkung dan menerkam benak Atah Roy, sehingga Atah Roy tak mampu lagi berpikiran jernih. Rasa telah berbuat banyak kepada Leman Lengkung, menghantui perasaan Atah Roy. Menanam budi, namun api yang dituai; Daun selasih, bukan daun talas. Menyebar kasih, benci yang dibalas. Atah Roy memendam geram, namun sekaligus bertanya-tanya. “Apakah Leman yang betul, aku yang salah? Atau aku yang betul, Leman yang salah? Aaahhh… aku yang betul,” Atah Roy membuat kesimpulan dalam hati.
Betul alias benar versus salah, merupakan dua kata memiliki makna bertolak belakang yang jelas. Betul selalu lekat pada perbuatan yang disetujui, dan salah merupakan lawan dari disetujui alias tidak disetujui. Namun demikian, tidaklah mudah menjatuhkan mana perbuatan yang betul, dan mana perbuatan nyang salah. Apalagi perbuatan itu berada dalam wilayah politik dan perselisihan antara Atah Roy dan Leman Lengkung, bolehlah dikatakan berada dalam wilayah politik.
Al kisah, perdebatan Atah Roy dan Leman Lengkung terjadi tengah malam tadi, disaat bulan purnama mengambang di atas angkasa. Suara hewan malam, bersahut-sahutan meningkahan kesunyian. Embon mulai menghiasi daun-daun. Di dalam rumah yang sederhana, berdindingkan papan semberan, dengan wajah yang tegang, Atah Roy bercekak pinggang di depan Leman Lengkung yang duduk tertunduk di kursi tamu.
“Kau pikir, aku tidak punye alasan mengape aku menyuruh dikau memilih Kotel untuk jadi Penghulu?” suara Atah Roy meninggi.
“Saye juge punye alasan mengape tidak memilih Pak Cik Kotel jadi penghulu, Tah,” Leman Lengkung menjawab sambil menundukan wajahnya.
“Ok, aku tahu bahwe negera kite ini negara menjunjung tinggi demokrasi, tapi aku ingin tahu mengape dikau menolak Kotel jadi penghulu?” Atah Roy memburu pendapat Leman Lengkung.
“Kita punye alasan masing-masing, Tah.”
“Betul, tapi tolong jelaskan kepade aku alasan dikau!”
“Janji Atah tak marah?” ada ketakutan dalam diri Leman.
“Aku janji, aku tak marah,” Atah Roy mencoba menenangkan dirinya.
Leman Lengkung menarik nafas panjang. Ia mencoba mengumpulkan kekuatan. Udara dingin masuk ke hidung lalu bersarang di dada bersamaan tarikan nafas Leman. Keraguan berangsur-aangsur menghilang, tidak seratus persen, tapi membuat Leman agak lega untuk menyampaikan alasannya tidak memilih Kotel kepada Atah Roy. Memang diperlukan ketenangan untuk mengembalikan keberanian yang sempat hilang. Apalagi, oarang yang menghilangkan keberanian itu berada di depan kita, seperti Leman Lengkung saat ini. Atah Roy menatap tajam, tidak sabar lagi mendengarkan alasan melompat dari mulut Atah Roy.
“Nunggu ape lagi, cepatlah!” suara Atah Roy agak meninggi.
Leman sadar, bahwa untuk mengembalikan keberanian di dalam dirinya, tidak cukup dengan menundukan wajah. Leman Lengkung teringat Make Tyson, selalu menatap tajam lawan bertinjunya agar tetap berada di atas keyakinan diri untuk menang. Leman Lengkung mengangkat wajahnya, dan mata Leman Lengkung menatap wajah Atah Roy, namun tatapannya tidak setajam mata silet.
“Tah, tak cukupkah kekayaan yang dimiliki oleh Pak Cik Kotel, sehingge die mau jadi penghulu lagi di kampung ini?” suara Lemang Lengkung yakin.
“Ape maksud dikau ni, Man?” Atah Roy belum paham apa yang dikatakan Leman Lengkung.
“Tak ade yang berubah di kampung ini kan Tah, semenjak Pak Cik Kotel jadi penghulu kan? Yang berubah cuma Pak Cik Kotel bertambah kaye,” Leman Lengkung semakin percaya diri. “Wajarkan saye mendukung Pak Cik Ramlan untuk menjadi penghulu,” tambah Leman.
“Ape hebatnye Ramlan itu? Tak ade yang diperbuat Ramlan di kampung ini de! Ramlan itu orangnye tak punye pendirian, selalu menyampuk pendapat orang. Dia selalu menganggap diri die yang paling hebat,” Atah Roy bercakap panjang lebar.
“Same juge dengan Pak Cik Kotel, tak pernah mendengar cakap kami dari generasi mude. Pak Cik Kotel berjalan sendiri. Berape bantuan untuk kampung kite, sampai sekarang ini kite tak pernah tau. Jambatan di sungai Pelepah tak pernah diperbaiki. Itu yang dinamekan pimpinan yang baik?” Leman Lengkung tidak mau kalah.
“Ramlan lebih lagi, waktu die menjabat sebagai Ketue Pemuda kampung ni, banyak duit bantuan pemuda entah kemane perginye. Padahal tiap tahun, waktu Ramli jadi Ketue Pemuda, selalu ada pertandingan bola kaki antar pemuda kampung. Semenjak Ramlan menjadi ketue, satu haram kegiatan pemuda ada dilakukan. Cume gotong royong membersihkan jalan kampung. Semue orang bisa melakukan itu,” Atah Roy semakin menjadi-jadi.
“Ape ubahnye Pak Cik Kotel, Tah? Pak Cik…”
“Ah, Kotel lain. Die tu punye visi dan misi yang jelas nak membangun kampung ni!” Atah Roy memotong percakapan Leman.
“Visi dan misi bukan un….”
“Tak ade tu. Ramlan memang dari dulu tak punye niat siket pun untuk membangun kampung ini!” Atah Roy kembali memotong percakapan Leman Lengkung.
“Lantak Atah lah! Atah selalu saje menganggap diri Atah yang paling betul!” kate Leman Lengkung meninggalkan Atah Roy sendiri.
Atah Roy terdiam. Atah Roy seakan disembar petir di siang bolong, Atah Roy tak sangka Leman Lengkung berani berkata keras kepada dirinya. Tapi apekah Leman salah, atau betul? Atau Atah Roy yang salah, atau Atah Roy yang betul? Atau… ah betul… betul… betul… kate Ipin. Betul, selalu membingungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar