Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 23 Juli 2011

Bolehkah Kami Berkisah Tentang Melayu?

Berbicara tentang Melayu tak akan pernah habisnya, tapi entah mau dimulai dari mana memperbincangkan Melayu itu. Atah Roy menyadari bahwa sebagai keturunan Melayu alias Melayu tulen alias Melayu asli, dia tak bisa berbuat banyak kepada Melayu hari ini. Melayu terasa asing di telinganya, namun begitu dekat rasanya di hati.

Bingung. Itulah kata yang menikam benak Atah Roy ketika Leman Lengkung bertanya tentang Melayu. Pernah satu kali Atah Roy membicarakan kebesaran Melayu masa lalu, tapi Lemang Lengkung dengan ketusnya memotong kalimat Atah Roy. “Mase lalu memang terlalu indah untuk diceritekan pade hari ini, Tah.” Ucapan Leman Lengkung itu memang tak bisa dihapus oleh Atah Roy dari benaknya. Mau bicarakan Melayu pada hari ini, Atah Roy tak punya keberanian, karena Melayu pada hari ini, menurut pantauan Atah Roy, Melayu tak dapat dihandalkan. Melayu pada hari ini, memang hidup setara dengan bangsa lainnya, tapi Melayu pada hari ini, selalu diperbudak oleh keinginan. “Melayu same Melayu, bercekau juge, Tah,” ucap Leman Lengkung, mematah selera Atah Roy bicara tentang Melayu.

Mengatasnamakan bangsa Melayu, namum banyak masyarakat Melayu yang tak berdaya. Mengatasnamakan pimpinan Melayu, masyarakat Melayu juga tak memiliki tawaran yang kuat. Melayu hanya menjadi tonkang lapuk yang siapa mau membawa berlayar; dihantam gelombang, dihantam musim, lalu setelah mendapat tempat berlabuh, Melayu dibiarkan berlapuk tanpa ada yang mengurus.

Melayu seperti apa yang diinginkan oleh Leman Lengkung. “Saye ingin orang Melayu hebat macam Superman. Bukan aje die membantu orang Melayu, tapi die membantu semue orang di atas dunie ini. Ade orang Melayu macam gitu, Tah?”

Atah Roy tak dapat menjawab. Atah Roy hanya menggelengkan kepalanya. “Tak usahlah Atah nak membanggakan Melayu pade hari ini. Ape yang Atah dapat sebagai orang Melayu pade hari ini? Kate Atah, ini tanah Melayu, tapi hidup kite tetap saje melarat kan, Tah?” pertanyaan Leman Lengkung kembali menikam benk Atah Roy.

“Leman, jangan kau pancing ikan paus yang sedang tenang, nanti padah akibatnye!” Atah Roy mulai emosi.

“Inilah ciri khas orang Melayu. Berani bengis hanya pade orang terdekat saje, pade orang lain, diam macam batu,” Leman Lengkung seperti tidak peduli dengan emosi Atah Roy.

“Leman, aku ni punye marwah, sekali lagi, jangan kau memompa darah aku!” suara Atah Roy bertambah berat menahan emosi.

“Atah, Atah... Saye penat jadi Melayu ni, Tah. Atah harus tahu, di tanah Melayu ini, di tanah Riau ini; yang kate orang kaye, yang kate orang penyumbang terbesar di negara ini, yang kate orang kekayaannye penutup utang negara ini; tak bisa banyak berkehendak nak memajukan tanah ini,” Leman Lengkung menguraikan kekesalannya.

Atah Roy kembali menggelengkan kepalanya, kali ini gelengan kepala Atah Roy diiringi dengan tarikan nafas dalam-dalam. Setelah menarik nafas dalam-dalam, Atah Roy mengurut dadanya.

“Tak dapat selesai dengan mengurut dade de, Tah. Kite ni orang kecik, ape yang menjadi keinginan kite, payah nak terkabulkan, sebab keinginan kite hanye dianggap keluhan belake. Sudah berape banyak profesor dari orang Melayu? Dah berape banyak politikus hebat dari orang Melayu? Melayu tetap saje macam ini, tak bergaret langsung,” Leman Lengkung semakin menjadi-jadi.

“Sebetulnye, ape yang engkau inginkan dari Melayu ini?” kini Atah Roy pula yang bertanya.

“Subsidi sekolah-sekolah, lembaga-lembaga yang menjunjung nilai-nilai Melayu. Dan jangan pernah lagi, kite same kite bercekau. Berbede memahami Melayu adalah suatu kewajaran, tapi jangan pernah menganggap kite lebih habat dari orang lain yang juge menjunjung Melayu,” Leman Lengkung pasti.

“Maksud engkau ape, Man?” Atah Roy bukan tak mengerti apa yang disampaikan Leman, tapi Atah Roy tak mengerti apa yang diinginkan Leman. Sebab selame ini, Atah Roy selalu mendapat kabar bahwa di tanah Melayu ini, orang-orang Melayu utamanya, dan orang-orang yang bukan Melayu, menjunjung Melayu seperti mengenakan mahkota.

“Tah, apekah kite perlu memperbincangkan Melayu pade hari ini?”

“Kenape engkau bertanye seperti itu?” emosi Atah Roy sedikit menurun.

“Sebab orang Melayu hari ini terlalu pandai,” ucapan Leman datar.

“Baguslah orang Melayu pandai,” Atah Roy membeliakkan matanya.

“Karene terlalu pandai itulah Melayu tergadai.”

“Maksud engkau?”

“Karene semue sudah pandai, kite pun membesar-besarkan diri kite masing-masing, sehingge kite tak pernah lagi mendengar pendapat orang lain, asik nak mengepal diri kite yang paling pandai,” kate Leman Lengkung sambil pergi dengan menundukkan kepalanya.

“Engkau hendak kemane, Man?”

“Saye Melayu, tapi saye tak pandai, make saye nak pergi menggali lubang kubur saye sendiri,” Leman Lengkung terus pergi.

Atah Roy menatap kepergian Leman. Kalimat terakhir Leman Lengkung seperti harimau yang sedang menerkam mangsanya. Kuat, tajam, menusuk, lalu darah pun menyembur.

“Betul juge yang dicakapkan Leman. Kami yang kecik ni, bolehkah berkisah tentang Melayu? Tapi, siape yang nak mendengo kami?” Atah Roy bertanya pada dirinya sendiri, lalu Atah Roy teringat cerita Robin Hood. “Sepatotnye, orang Melayu kuat, pandai, membantu orang Melayu yang lemah dan bodoh. Tapi... ah... Malas aku!” kata Atah Roy dengan geram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar