Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Jumat, 12 Agustus 2011

Merdeka Burung Hantu

Keinginan untuk menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin, merupakan obsesi setiap orang, tidak terkecuali Atah Roy. Keinginan inilah yang melanda pikiran Atah Roy dalam beberapa hari ini, “merdeka atau mati saja,” pikir Atah Roy.

“Mengapa harus merdeka?” Atah Roy bertanya kepada dirinya sendiri, namun Atah Roy tak dapat menjawab. Walaupun kemerdekaan negara ini sudah berusia 66 tahun, tapi kata ‘merdeka’ selalu terasa asing di telinga Atah Roy. Mengucapkan ‘merdeka’ bagi Atah Roy, bukanlah susah, tapi mendengar kata ‘merdeka’ beribu bahkan berjuta masalah menikam benak Atah Roy. Ada yang belum selesai dengan kata ‘merdeka’ di negara ini rupanya.

Kegelisahan Atah Roy menyebar seperti gelombang pemancar radio atau gelombang pemancar stasiun televisi, lalu ditangkap oleh alam, tak terkecuali seekor Burung Hantu yang sedang mengelus bulunya dengan paruh. “Wah, hari gini, masih ade manusia belum merdeka,” ucap Burung Hantu.

“Belepuk,” tiba-tiba sebuah batu kecil mengenai kepala Burung Hantu. Burung Hantu kehilangan kesimbangan dan terjatuh. Leman Lengkung dengan setik atau ketapel di tangan cepat-cepat mengejar Burung Hantu tersebut.

“Lame dah aku mengidam dikau ni,” kata Leman Lengkung, sambil memegang kuat-kuat Burung Hantu tersebut. Dan Leman Lengkung dengan bangga membawa Burung Hantu itu ke rumah.

Sampai di rumah, Burung Hantu sadar. Leman Lengkung mengikat burung tersebut di salah satu tiang rumah bagian depan atau lebih tepatnya di tiang teras depan rumah panggung Atah Roy. Leman Lengkung tersenyum bangga. Sebaliknya Burung Hantu memandang Leman Lengkung dengan geram. “Celake dikau Man, hari gini masih menyetik burung hantu! Tak adekah burung yang lebih cantik lagi di atas muke bumi ini!” kutuk Burung Hantu.

“Dahlah Burung Hantu, jangan dikau memandang aku macam tu. Dikau pikir, aku ni takut dengan pandangan dikau? Sorry ye,” Leman Lengkung mencebirkan bibirnya.

“Leman, dikau tak mampu memaknai kemerdekaan rupenye, ye?” burung hantu itu mengejek Leman Lengkung.

“Tak usah dikau berbunyi lagi Burung Hantu. Bebulu telinge aku mendengo suare dikau,” Leman Lengkung pergi meninggalkan Burung Hantu sendirian.

“Kasihan manusie di negeri ini, hanye mampu menampakkan keperkasaannye pada yang lemah!” pekik Burung Hantu. Leman Lengkung tak peduli, dia terus melangkah menjauh dari Burung Hantu menuju ke dalam rumah.

Namun suara Burung Hantu itu ‘menyembar’ telinga Atah Roy yang sedang duduk di dalam kamarnya. Atah Roy terperancat. Lalu mencari asal suara itu. Sia-sia. Atah Roy tidak putus asa, Atah Roy terus mencari suara itu sampai keluar dari kamarnya. Atah Roy tidak juga menemukan asal suara itu.

“Merdeka!” Burung Hantu terpekik lagi.

Atah Roy kembali terperanjat. Kali ini terperanjat Atah Roy bertujuan. Atah Roy langsung melangkah ke arah pintu depan rumahnya. Namun Atah Roy belum menemui suara itu dari siapa.

“Hari gini, masih ade orang bingung,” suara Burung Hantu mengejek Atah Roy.

Arah pandangan mata Atah Roy menuju ke Burung Hantu.

“Engkau yang bersuare?” Atah Roy seakan tak percaya.

“Engkau belum merdeka rupenye,” ucap Burung Hantu.

“Maksud engkau?” Atah Roy penasaran dan menghampiri Burung Hantu.

“Kemerdekaan bukan berarti bebas berpikir, tapi yang paling penting bebas mewujudkan pemikiran berdasarkan hati nurani,” Burung Hantu membusungkan dadanya.

“Engkau merdeka?” Atah Roy bertanya.

“Merdekalah,” Burung Hantu mengibaskan kedua kepaknya.

“Kalau engkau merdeka, mengape engkau terikat di tiang rumah aku?” Atah Roy semakin bernapsu bertanya.

“Walaupun aku terikat di tiang ni, namun aku masih tetap burung hantu. Aku tidak menjadi burung lain. Esensi kemerdekaan adalah menjadi diri sendiri,” ujar Burung Hantu itu dengan bangga.

“Aku tak ngerti maksud engkau ni?”

“Aku harus menjelaskan seperti ape lagi, ye. Tapi baiklah aku jelaskan. Menjadi diri sendiri, pasti mengenal yang hakiki; yang hakiki adalah Sang Pencipta kite. Jadi semue yang kite lakukan di hidup kite, harus mengacu pade kehendak Sang Pencipta. Kalau dah mengacu pade kehendak Sang Pencipta, maka segale perbuatan kite tidak pernah merugikan diri sendiri maupun diri orang lain,” jelas Burung Hantu panjang lebar.

“Jadi merdeka menurut engkau harus melakukan hal-hal yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain?” Atah Roy masih belum jelas.

“Lebih jelasnye, engkau lepaskan aku dari ikatan ini, maka engkau akan menemukan kemerdekaan,” ujar Burung Hantu menyakinkan Atah Roy.

Dengan sigap, Atah Roy mengungkai tali yang mengikat kaki Burung Hantu. Setelah teli lepas dari kakinya, Burung Hantu pun terbang sdan inggap di pohon jambu di depan rumah Atah Roy.

“Terime kasih. Engkau telah merdeka dari suare aku yang tak elok ini, aku juge merdeka dari ikatan tali budak Leman Lengkung celake tu. Esensi kemerdekaan adalah semue bisa senang, tanpe kecuali. Sekali merdeka, semua bisa bahagia!” Burung Hantu pun terbang meninggalkan Atah Roy sendiri. Atah Roy menganggakan mulutnya.

“Inikah yang dinamekan merdeka? Semue bahagia? Tapi kenapa sampai 66 tahun negara ini merdeka, masih banyak yang tak bahagia?” Atah Roy bertanye dalam hati.

Leman Lengkung datang, dan terkejut melihat burung hasil buruannya tidak ada lagi. “Kemane burung hantu aku, Tah?”

“Die sudah merdeka,” kate Atah Roy pasti.

Leman Lengkung geram, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar