Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 29 Oktober 2011

Pajak


Sebagai warga negara yang baik, Atah Roy selalu ingin memberikan yang terbaik pula kepada negera tercinta ini. Namun demikian, keinginan Atah Roy untuk melakukan yang terbaik selalu kandas di dinding keraguan. Hal ini disebabkan, setiap kali membaca atau menonton peristiwa yang terjadi di negara ini, Atah Roy selalu dikecewakan. Kesimpulan kekecewaan Atah Roy dari membaca dan menonton berita, bahwa kepercayaan yang diberikan oleh warga negera kecil seperti Atah Roy, selalu dimanfaatkan untuk kepentingan orang tertentu saja. Berdasarkan kesimpulan inilah, dinding keraguan Atah Roy semakin menebal. Maka setiap kali Atah Roy menarik nafas, pertanyaan ‘perlukah mencintai negara ini lagi?’ seperti gelembung, membesar dan terus membesar di benak Atah Roy.

Seharusnya, pikir Atah Roy, negara bertanggung jawab atas penderitaan setiap warga kecil seperti dirinya. Bukankah Atah Roy dan warga negera kecil lainnya telah mengikhlaskan segala kekayaan yang ada di bumi dalam kawasan negera ini diserahkan kepada pengelola negera. Minyak bumi, timah, emas, batu bara, hutan dan banyak lagi kekayaan alam ini tidak dipermasalahkan oleh warga kecil ketika pengelola negara mengusai semuanya. “Hanya satu pesanku, sejahterakanlah kami,” ujar Atah Roy dalam hati.

Atah Roy teringat pada Bedul. 25 tahun yang lalu, Bedul yang tidak tamat sekolah rakyat itu, secara tidak sengaja menemukan tambang emas di kebun getahnya yang tidak luas sangat. Waktu itu, Bedul menggali tanah untuk membuat perigi agar getahnya dapat dikumpulkan satu tempat. Sedang sedapnya menggali tanah, tiba-tiba mata cangkulnya berbenturan dengan benda keras. Bedul terpana sesaat melihat benda berwarna kuning. Dengan seksama, Bedul menelek benda tersebut. Bedul ragu untuk menyimpulkan bahwa benda yang berbenturan dengan mata cangkulnya itu emas. Untuk memastikan benda itu emas, Bedul pun membawa benda tersebut ke rumah Atah Roy. Atah Roy pun ragu, maka mereka berdua sepakat membawa benda itu ke rumah Pak Kepala Desa.

Memang, benda yang berbenturan dengan mata cangkul Bedul adalah emas. Jawaban ini didapat setelah 2 bulan benda itu dibawa ke kecamatan, ke kabupaten, ke provinsi dan ke pusat. Orang kampung pun heboh, dan banyak memprediksi Bedul akan menjadi OKB (orang kaya baru) di kampung, bahkan di negera ini. Namun belum sampai 3 bulan penemuan emas itu, tanah milik Bedul telah di pagar. Jangankan orang lain, Bedul pun tidak diperbolehkan masuk ke kawasan tanahnya. Bedul hendak protes, namun dia tak punya keberanian. Akhirnya, tanah milik Bedul dikuasai oleh perusahaan dengan membayar ganti rugi kepada Bedul. Duit ganti rugi yang diterima Bedul hanya dapat beli motor satu, kursi tamu, springbed dan sepeda anaknya. Karena tidak memiliki kebun getah lagi, kehidupan sehari-hari Bedul semakin susah. Satu persatu benda yang dibeli Bedul dengan duit ganti rugi tanahnya dijual. Bedul benar-benar jatuh miskin akhirnya. Tidak tahan lagi hidup dalam kemiskinan, memaksa Bedul mencari kerja ke tanah seberang (Malaysia). Beberapa tahun di tanah seberang, Bedul pun membawa keluarganya. Berakhirlah kisah Bedul.

Atah Roy menarik nafas panjang, bersamaan dengan tarikan nafas Atah Roy, di belakang rumahnya terdengar suara minyak bumi mengalir melalui pipa. Sebenarnya Atah Roy ingin mengikuti apa yang dilakukan Bedul; meninggalkan kampung, mencari pekerjaan di tanah seberang. Rasa cinta terhadap negara inilah menyebabkan Atah Roy masih tetap bertahan. Atah Roy yakin, negara ini terlalu indah untuk dibenci, walau kebun getahnya bernasib sama dengan kebun getah milik Bedul.

Rasa cinta berlebihan, pikir Atah Roy, selalu membuat manusia kehilangan akal sehat. Atah Roy terkenang naskah drama Romeo and Juliet yang ditulis oleh sastrawan Inggris William Shekaspere. Sepasang kekasih ini rela mengakhiri hidup mereka dengan meminum racun demi memelihara cinta sejati. Cinta memang memerlukan pengorbanan, pikir Atah Roy, tetapi cinta juga butuh ruang untuk mengembangkan diri, terutama untuk mencintai negara ini. Seandainya negara ini tidak ada lagi warga mencintainya, maka segala benci menjadi ‘bom atom’ yang akan menghancurkan negara ini. “Jangan rakit lagi kebencian warga kecil ini dengan memihak kepada kepentingan dan kesejahteraan satu golongan. Kebencian warga kecil akan menjadi ‘bom atom’ yang dapat memusnahkan kalian,” desis Atah Roy seperti ular.

Atah Roy juga berpikir, bahwa mengedepankan kebencian untuk mendapatkan kesejahteraan bukanlah hal yang molek. Atah Roy pun terpikir bagaimana pasukan Sekutu dibawah komando Amerika membenci Jepang dengan menjatuhkan bom atom, dan memakan korban jutaan orang yang tidak berdosa. Kebencian yang berlebih-lebihan sama saja dengan cinta yang berlebihan akan berbuah kekacauan. Maka yang paling moleknya adalah yang sedang-sedang saja, pikir Atah Roy lagi.

Sedang asiknya Atah Roy menimbang kecintaan dan kebencian, tiba-tiba Leman Lengkung datang dengan membawa dua lembar kertas. Kertas itu tipis. Di bagian atas kertas itu tertulis “Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak”.

“Ini Tah, surat dari negara untuk Atah dan saye,” Leman Lengkung menyerahkan kertas itu kepada Atah Roy.

Dengan rasa cinta, Atah Roy menerima kertas tersebut. Atah Roy membaca tulisan yang tertera di kertas itu. Isi suratnya itu meminta Atah Roy membayar pajak. Atah Roy menarik nafas panjang. “Tak tahukah pemerintah, jangankan bayar pajak, utang aku di kedai Kasim sampai detik ini pun belum dapat aku bayar,” keluh Atah Roy sambil melentukan kepalanya.

“Macam mane, Tah. Kalau tidak, kite kene dende ni?” Leman Lengkung ketakutan.

“Entahlah Man, kalau nak bayar pajak, terpakselah kuali buruk di dapur tu kite jual. Itulah satu-satunye kekayaan yang kite punye,” Atah Roy menjawab lemas.

“Eeeee alah, nasib,” Leman Lengkung pasrah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar