Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 03 Desember 2011

Berkesenian


Orang kampung heboh, setelah acara kesenian yang dilaksanakan oleh Atah Roy 3 minggu lalu, Atah Roy menghilang tanpa tahu ujung rimbanya. Spekulasi pun bermunculan di tengah masyarakat. Ada yang mengatakan menghilangnya Atah Roy disebabkan pementasan kesenian Atah Roy terlalu ‘pedas’ mengeritik Kepala Kampung, sehingga Atah Roy diculik. Ada juga yang berpendapat bahwa Atah Roy sengaja menghilang untuk mendapat kepopuleran. Ada yang beranggapan,  kehilangan Atah Roy dari kampung karena dikontrak produser besar yang berasal dari kota. Dari sekian banyak anggapan orang kampung tentang hilangnya Atah Roy, yang paling menyakitkan hati Leman Lengkung adalah Atah Roy pergi meninggalkan kampung disebabkan melarikan uang produksi. Anggapan ini diperkuat dengan belum dibayarnya seluruh pendukung pementasan seni yang digagas Atah Roy.
Leman Lengkung bersetegang urat membela Atah Roy dari tuduhan itu. Leman Lengkung yakin betul bahwa Atah Roy tidak mungkin melakukan tindakan tidak terpuji itu. Leman Lengkung tahu betul, untuk kesenian, bapak saudaranya rela mengorbankan apa saja. 2 tahun yang lalu, Atah Roy sampai menjual sepeda motor buruknya untuk membiayai pementasan kesenian dalam rangka memperingati hari kemerdekaan republik ini. Setelah menjual sepeda motor buruknya, Atah Roy tidak pernah mengeluh, bahkan kepada Leman Lengkung, Atah Roy mencerita kepuasannya karena telah berbuat untuk kampung dengan kesenian.
“Kepuasan berkesenian itu, Man, tak dapat diukur dengan duit,” ujar Atah Roy 2 tahun yang lalu, setelah motor buruknya terjual.
“Ape sebabnya, Tah?” Leman Lengkung belum mengerti.
“Man, bagi seorang seniman, karyanya adalah suara hati nurani yang didapat berdasarkan pengamatannye terhadap keadaan hidup ini,” jelas Atah Roy.
“Maksudnye, Tah?” Leman masih belum paham.
“Karya seni itu dakwah, Man. Untuk menyampaikan kebenaran, kita tidak butuh dibayar berapa pun juga, cukup karya kita diapresiasi oleh masyarakat, itu sudah cukup,” tambah Atah Roy.
“Tapi zaman sudah berubah, Tah, ditambah lagi, pada hari ini untuk mementaskan karya seni perlu biaya. Para seniman kan butuh makan dan hidup,” Leman Lengkung mencoba membuka ruang diskusi lebih luas lagi.
“Itulah masalahnye, Man. Dulu, untuk mementaskan atau mempegelarkan karya seni, semua masyarakat bergotong royong membantu. Orang tak berduit, membantu dengan tenaga, sementara orang yang berduit, membantu membiayai, sementara seniman bekerja keras memikirkan karya apa yang harus dipegelarkan. Seniman mati-matian mencari sumber karyanya, sehingga karya yang dipegelarkan itu menjadi spirit untuk membangkitkan rasa kasih sayang antar orang kampung. Dengan demikian, karya seni menjadi wadah mengenal diri lebih dekat lagi. Menurut Aristoteles, filsuf Yunani itu, karya seni sebagai cermin kehidupan,” Atah Roy menjelaskan panjang lebar.
“Tapi hari ini, seni bukan sekadar hoby, Tah, tapi sudah menjadi lahan pekerjaan,” Leman Lengkung masih belum puas dengan pernyataan Atah Roy.
“Tidak salah. Tiap zaman itu berubah, pastilah gaya hidup juge berubah. Walaupun demikian, seharusnye seni tidak kehilangan keluhurannya sebagai corong pencerahan. Letakan seni di barisan terdepan, biarkan seni ‘bercakap’ berdasarkan hati nurani, karena hati nurani tidak akan pernah menjatuhkan orang lain. Hati nurani pasti berbicara tentang kedamaian untuk membangun negeri ini. Untuk itu, biayai pekerja seni berdasarkan kerjanya bukan berdasarkan kedekatan dengan penguasa. Seandainya pekerja seni dibayar berdasarkan pesanan, maka karya seni tidak ‘bersih’ lagi mengabarkan kebenaran,” Atah Roy semakin semangat. Leman Lengkung juga semakin bersemangat.
“Kebenaran seni sangat bersifat pribadi dan hanya pandangan senimannya saja, Tah,” Leman Lengkung tak mau kalah.
“Jangan politisasi seniman, maka ianya akan tetap bersih,” jawab Atah Roy singkat.
Percakapan 2 tahun lalu itu, menyakinkan Leman Lengkung, bahwa Atah Roy menghilang bukan disebabkan melarikan uang pementasan seni. Pasti ada hal lain yang menyebabkan Atah Roy menghilang dari kampung. Leman Lengkung mengingat-ingat kejadian sebelum Atah Roy lesap. Kabur. Leman Lengkung tidak menemukan punca masalahnya. Biasanya apabila ada masalah, Atah Roy pasti membicarakan masalah yang sedang dihadapinya. Kali ini, Leman Lengkung memang tidak dapat mendeteksi peristiwa menghilangnya Atah Roy dari kampung.
Memang sehari sebelum Atah Roy menghilang, Leman Lengkung melihat Atah Roy dan beberapa orang, pendukung pementasan seni, sedang bebual di depan rumah. Leman Lengkung tidak mendengarkan, apa yang mereka percakapkan. Waktu itu, Leman Lengkung melihat Atah Roy lebih banyak memegang kepalanya dan beberapa kali menarik nafas panjang. Kalau keadaan seperti itu diperlihatkan oleh Atah Roy, pastilah masalahnya sangat berat. Sematara orang-orang yang bercakap dengan Atah Roy, kelihatan marah dan kecewa. Leman Lengkung tidak dapat mengambil kesimpulan dari penglihatannya.
“Astagfirullahalazim…,” Leman Lengkung sadar, dia cepat-cepat berlari ke kebun getah. “Maafkan saye, Tah. Saye betul-betul lupe,” ucap Leman Lengkung dalam hati sambil terus berlari ke kebun getah.
Di tengah kebun getah, Leman Lengkung berhenti di pondok buruk. Sebelum mendorong pintu pondok itu, Leman Lengkung menatap lekat-lekat ke arah pondok. Beberapa saat kemudian, Leman Lengkung melangkah ke arah pintu pondok. Dengan hati-hati, Leman Lengkung mendorong daun pintu pondok itu. Pintu terbuka, mata Leman Lengkung mengarah ke salah satu sudut pondok. Sosok yang sangat dikenal Leman Lengkung, sedang duduk ketakutan. Badannya menggigil.
“Atah. Ngape Atah macam gini?” Leman Lengkung mendekati Atah Roy yang sedang ketakutan.
“Maafkan aku, Man. Aku terpakse lari, sebab orang menagih utang kepade aku, gara-gara pementasan seni itu,” ujar Atah Roy dengan bibir yang menggigil.   
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar