Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 24 Desember 2011

Pembisik




“Kehancuran seuatu negeri, bukan hanya disebabkan satu orang, tapi banyak yang ikut andil mempercepat negeri ini hancur,” ucap Atah Roy sambil menghirup kopi panas di kedai kopi Nah Kadan. Orang-orang melihat ke Atah Roy. Mereka tidak mengerti, mengapa Atah Roy tiba-tiba berkata seperti itu. Sementara Yung Azam yang duduk tepat di depan Atah Roy, hanya tersenyum. Jang Tengkes pindah ke meja Atah Roy. Walaupun tidak tamat Sekolah Dasar, tapi masalah kecintaan terhadap negeri, Jang Tengkes tidak mau ketinggalan.
“Ini masalah marwah ni, Tah,” kata Jang Tengkes setelah duduk di samping Atah Roy dengan semangat yang mengebu-ngebu. “Kite perlu membicarekan masalah signifikan ini, Tah. Rase cinta kite terhadap negeri ini, makin hari, makin mengalami abrasi seperti tebing dilantak gelombang besar,” tambah Jang Tengkes.
Atah Roy menyedot rokoknya dalam-dalam. Seketika kemudian, asap rokok mengepul keluar dari mulut Atah Roy. Berat tampaknya masalah yang mendiami lubuk hati Atah Roy. Sebenarnya dan seharusnya, pikir Atah Roy, tidak ada lagi masalah melanda negeri ini. Semua kepala daerah di negeri ini dikuasai oleh putra-putra terbaik yang lahir dari “rahim” tanah Melayu. Atah Roy pun tak mau menyekat-nyekat tentang Melayu, yang lahir, besar dan menjaga marwah tanah ini adalah orang Melayu Riau.
“Kita juga yang salah, memilih pemimpin kita berdasarkan berapa kekayaan mereka. Seharusnya memilih pemimpin berdasarkan apa yang ia kerjakan sebelum menjadi pemimpin,” ujar Yung Azam seperti dapat membaca pikiran Atah Roy.
Jang Tengkes tergangga melihat Yung Azam berkata seperti itu. Lalu dengan wajah agak ragu berucap. “Yung, memang kite hidup di tanah yang kaye, tapi Yung bisa tenguk sendiri, bahwa banyak saudare kita yang hidup melarat. Siape yang tak butuh duit, Yung?”
Yung Azam menggelengkan kepalanya. Cangkir kopi diangkat ke bibirnya, dan air kopi pun dihirup dengan nikmat. Kemudian cangkir kopi itu ditaruk kembali ke atas meja. “Inilah masalahnya. Seharusnya kite hidup lebih sejahtera dibandingkan dengan warga dunia lainnya. Di tanah ini, apa yang tak ada? Semuanya tersedia; minyak bumi, hutan, gas, emas, batu bara, semuanya tersedia, tapi kenapa kita tak bisa membebaskan diri dari sengsara? Pasti ada yang salah pada diri kite?” tambah Yung Azam semakin serius.
“Kite tak punye pembisik yang handal,” celetuk Atah Roy.
Yung Azam dan Jang Tengkes saling pandang dan kemudian mereka memperhatikan Atah Roy. Mereka tak mengerti apa yang dikatakan oleh Atah Roy. Kedua wajah itu semakin mengerut.
“Ape maksud Atah ni?” tanye Jang Tengkes.
“Ape yang dikau cakapkan ni, Roy? Kite same-same tahukan, semua pimpinan punye bawahan dan staf berpendidikan tinggi. Paling rendah, mereka sekolah S1. Tak ade alasan engkau cakap pemimpin kite tak punye pembisik yang handal,” Yung Azam tidak puas dengan ucapan Atah Roy.
“Mereke bukan pembisik, tapi pelaksana dan pengusul kegiatan. Kuncinye ade pade tangan pemimpin. Seandainye pemimpin tak punye pembisik yang handal, make pemimpin akan memutuskan sesuatu itu tanpe pertimbangan yang masak,” ucap Atah Roy.
“Maksud Atah pembisik macam mane ni?” Jang Tengkes belum juga mengerti.
“Nabi Adam tergelincir disebabkan ade pembisik bernama setan. Sultan Mahmud dalam Hikayat Hang Tuah, terjerumus oleh pembisik bernama Patih Karmawijaya. Napaleon punya pembisik ibunya yang senantiasa membangkitkan semangat untuk mengubah Perancis. Dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa besar disebabkan ‘suara’ yang datang dari pembisik. Seharusnya, pada hari ini muncul pembisik-pembisik yang handal, yang tidak memikirkan dirinya sendiri, tepi memikirkan orang banyak,” jelas Atah Roy panjang lebar.
“Roy, zaman sudah berubah. Pada hari ini, orang berbuat bukan untuk orang banyak, tapi untuk dirinya sendiri. Keadaanlah yang membuat seperti itu. Orang yang jujur pada hari ini, bisa bersalah, dan sebaliknya, orang pembengak bisa menjadi benar,” Yung Azam menangkis kata-kata Atah Roy.
“Ini yang aku tak suai. Kejujuran tetaplah kebenaran, jangan diotak-atik lagi. Kalau semuenye dipolitisir demi kepentingan sesaat, make negeri ini akan menuju kehancuran. Kite bertanggung jawab untuk mengibarkan kebenaran pada hari ini, kalau tidak semakin sesatlah generasi mude yang hidup setelah kite,” Atah Roy mulai agak emosi.
“Ape yang harus kite lakukan, Tah?” Jang Tengkes mencoba menetralkan keadaan dengan bertanya.
“Kalau tak dapat bertemu dengan pimpinan, kite harus cepat-cepat bertemu dengan pembisik pimpinan dan kite harus sampaikan kebenaran itu benar. Itulah care satu-satunye yang dapat kite lakukan sekarang ini,” tambah Atah Roy.
“Tapi masalahnye, apekah pimpinan kite hari ini, punye pembisik?” Yung Azam ragu.
Atah Roy menggaruk kepalanya yang tak gatal. Atah Roy pun ragu, apakah hari ini para pemimpin kita punya pembisik. Seandainya para pemimpin punye pembisik, paling tidak keadaan yang tidak tentu arah ini dapat diminimalisir.
“Aku pun ragu ni,” jawab Atah Roy.
“Kalau macam ini, tak ade carelah, Tah?” Jang Tengkes masih tetap bertanya.
“Aku usul, kite bentuk tim pencari pembisik yang dapat dipercaye. Setelah name-name pembisik kite dapatkan, make kite berikan kepade para pemimpin kite. Macam mane?” ujar Yung Azam sambil mengangguk kepalanya.
“Kategori pembisik yang baik tu, seperti ape?” Jang Tengkes bertanya lagi.
“Percaye pada Allah,” kate Atah Roy singkat.
“Cume itu, Roy?” Yung Azam bertanya.
“Kalau kite dah percaye kepada Allah, make perbuatan kite semue akan mengarah kepada kebaikan untuk semue makhluk yang ade di muke bumi ini,” Atah Roy yakin seyakinnye.    
“Walaupun berat mencari orang macam ni, kite harus usahakan sekuat mungkin, agar negeri ini tidak hancur,” tambah Yung Azam dan dibenarkan oleh Jang Tengkes.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar