Atah Roy tidak berharap banyak kepada Leman Lengkung dan juga ketiga
kawannya. Bagi Atah Roy mengisahkan kembali cerita lama (sastra lama) kepada
generasi muda merupakan keharusan, sehingga cerita lama itu tidak hilang
ditelan waktu. Atah Roy selalu berpikir, seandainya orang kenen mau meluangkan
sedikit waktu mereka ‘masuk’ ke dalam cerita lama, banyak yang dapat dijadikan
amunisi (kekuatan) untuk tetap berdiri tegap menghadapi masalah.
Namun kenyataan hari ini, orang kenen lebih menyukai tingkah laku yang
datang dari luar negeri yang serba instan, tidak memerlukan penafsiran yang
mendalam. Maka tidak heranlah, ketika negeri Korea mengepakkan sayapnya, orang
kenen secara masal meniru habis gaya orang Korea. Orang-orang diseragamkan, dan
kita menyukainya. Atah Roy berharap ada budak kenen dari kampungnya mampu
mempertahankan kebiasaan (tradisi), namun tidak ketinggalan zaman. Untuk itulah,
setiap malam Sabtu, Atah Roy meluangkan waktu, menceritakan kembali kisah-kisah
lama, mulai dari cerita Lancang Kuning, Dedap Durhaka, Si Tanggang, Hikayat
Hang Tuah dan cerita-cerita yang mengandung pelajaran lainnya.
Pada malam Sabtu ini, Atah Roy menceritakan Syair Ikan Terubuk kepada
Leman dan ketiga kawannya. Leman Lengkung dan ketiga kawannya merupakan
pendengar setia Atah Roy, tak pernah absen pada malam Sabtu. Dengan menggunakan
irama syair kapal, Atah Roy melantunkan baris demi baris, bait demi bait syair
Ikan Terubuk dengan berlinang air mata. Leman Lengkung dan ketiga kawannya
dengan seksama mendengar syair yang dilantunkan Atah Roy. Di hati Leman
Lengkung merasakan ada sesuatu yang luar biasa yang hendak disampaikan Atah Roy
dari syair ini. Namun Leman Lengkung belum berani bertanya kepada Atah Roy.
Di akhir syair, dimana Puyu-puyu harus menyelamatkan diri dari serangan
pasukan Terubuk dengan bersembunyi di sebuah pohon. Semakin ujung syair yang
dilantunkan, semakin deras air mata Atah Roy keluar dari matanya. Leman
Lengkung dan ketiga temannya pun terbawa suasana yang mengharukan, tapi mereka
hanya diam saja. Syair pun usai, Atah Roy mengelap air matanya dengan lengan
bajunya. Suasana sunyi, tak ada suara, kecuali isak Atah Roy. Beberapa saat
kemudian, Atah Roy masuk ke kamar. Leman Lengkung dan ketiga kawannya, hanya
memperhatikan kepergian Atah Roy, tanpa bersuara sedikit pun alias terpana.
Di dalam kamar Atah Roy terduduk di atas tempat tidurnya. Atah Roy tak
berharap Leman Lengkung dan ketiga kawannya, memburu pertanyaan, mengapa ia
menangis ketika melantunkan syair Ikan Terubuk tadi. Atah Roy tahu bahwa pada
hari ini cerita lama (sastra lama) hanya dijadikan pelarian untuk sebuah
identitas, tidak lebih. Padahal sebuah identitas adalah sebuah sikap dan cerita
lama banyak yang mendedahkan sikap terpuji dan perlu diterapkan pada hari ini.
“Biar sajelah aku menanggung deritenye seorang diri,” ucap Atah Roy dalam
hati, sambil mengelap air matanya.
Pikiran Atah Roy meleset rupanya. Belum lama benar ia berada di dalam
kamar, Leman Lengkung dan ketiga kawannya masuk. Mereka duduk di atas lantai
depan Atah Roy. Mereka saling berpandangan untuk melihat respon, siapa yang
dulu memulai bertanya kepada Atah Roy. Ketiga kawan Leman Lengkung mengerakkan
kepala mereka serentak untuk mempersilakan Leman Lengkung bertanya terlebih
dahulu. Melihat ketiga kawannya memberi laluan kepada dirinya, Leman Lengkung
pun menarik nafaspanjang. Merasa siap, Leman Lengkung pun bertanya.
“Maafkan kami yang kurang paham ini, Tah. Adekah sesuatu yang tersembunyi
di balik syair Ikan Terubuk itu, Tah?”
Atah Roy memandang Leman, dan kemudian mengalihkan pandangannya ke arah
ketiga kawan Leman. Lalu Atah Roy mengumpulkan kekuatan dengan menarik nafas
dalam-dalam. Oksigen, imajinasi serentak masuk ke otak Atah Roy.
“Lemah bukan berarti kita harus kalah. Biar putih tulang, jangan putih
mate. Hak tetaplah hak, dan tak bisa ditawar-tawar dengan ape pun juge,” jelas
Atah Roy yang masih belum dapat ditangkap oleh Leman Lengkung dan ketiga
kawannya.
“Maksudnye, Tah?” Leman Lengkung kembali memburu dengan pertanyaan.
“Mike semue tahu Pulau Padang dan masalah yang sedang dihadapi masyarakat
disane, kan?” Atah Roy balik bertanya.
“Tahu, Tah, tapi ape hubungan dengan syair Ikan Terubuk ni, Tah?” kawan
Leman Lengkung yang kurus kering bertanya.
“Di tasik Pulau Padang itulah, Puyu-puyu mempertahankan haknye. Die tak
mau menyerah kepade Terubuk, walaupun Terubuk menjanjikan kekayaan dan
kesejahteraan kepadenye. Puyu-puyu tahu, bahwa Terubuk hanya membawa kekacauan,
tersebab alam Terubuk yang hidup di air masin, tak same dengan alam Puyu-puyu
yang hidup di air tawo. Mengubah alam, same saje membinasakan diri. Puyu-puyu
tak mau hal itu terjadi dan die menolak, walaupun nyawe die terancam,”
jelasAtah Roy panjang lebar.
“Niat Terubuk itu kan bagus, Tah, menyatukan dua alam untuk kesejahteraan
kaum di tasik Pulau Padang itu, Tah,” kawan Leman Lengkung yang agak bengik
berkomentar.
“Kalau kerajaan yang beso datang, itu tandenye mereke tak punye wilayah
jajahan lagi. Dan ingat, kedatangan kerajaan beso hanya untuk menambah kebesaran
mereke. Pade awalnye kerajaan beso memang menjanjikan kesejahteraan, tapi di
sebalik semue itu, ade kepentingan nak berkuase di atas tanah kuase mereke. Tak
ade kerajaan beso hendak rugi de,” kate Atah Roy agak emosi.
“Tapi karya sastra cume rekaan saje, Tah, bukan betul,” ujar kawan Leman
yang juling pulak.
“Karya sastra memang rekaan, tetapi rekaannya berasal dari kehidupan
nyate. Dan perlu mike ingat, bahwa seorang penulis karya sastra, seperti
peramal yang bisa membace kejadian yang akan datang. Syair Ikan Terubuk
membuktikan akan datang kehancuran Pulau Padang yang dibelasah hutannye. Ingat
itu!” Atah Roy bertambah emosi.
Leman Lengkung dan ketiga kawannye tidak berani nak bertanya lagi, karena
mereka tahu, kalau bertanya lagi, maka bukan suara besar Atah Roy saja yang
keluar, tapi tinju juga bisa melayang ke wajah mereka. Untuk mengantisipasi
keadaan, Leman Lengkung dan ketiga kawannya, mundur dengan cara keluar kamar
Atah Roy, tanpa bersuara sedikit pun.
“Itulah, menganggap karya sastra tak penting, jadi bodoh semuenye!” teriak
Atah Roy.
Leman Lengkung dan ketiga kawannya, mempercepat langkah mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar