Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 04 Februari 2012

Nasib Puyu-puyu




Atah Roy tidak berharap banyak kepada Leman Lengkung dan juga ketiga kawannya. Bagi Atah Roy mengisahkan kembali cerita lama (sastra lama) kepada generasi muda merupakan keharusan, sehingga cerita lama itu tidak hilang ditelan waktu. Atah Roy selalu berpikir, seandainya orang kenen mau meluangkan sedikit waktu mereka ‘masuk’ ke dalam cerita lama, banyak yang dapat dijadikan amunisi (kekuatan) untuk tetap berdiri tegap menghadapi masalah.
Namun kenyataan hari ini, orang kenen lebih menyukai tingkah laku yang datang dari luar negeri yang serba instan, tidak memerlukan penafsiran yang mendalam. Maka tidak heranlah, ketika negeri Korea mengepakkan sayapnya, orang kenen secara masal meniru habis gaya orang Korea. Orang-orang diseragamkan, dan kita menyukainya. Atah Roy berharap ada budak kenen dari kampungnya mampu mempertahankan kebiasaan (tradisi), namun tidak ketinggalan zaman. Untuk itulah, setiap malam Sabtu, Atah Roy meluangkan waktu, menceritakan kembali kisah-kisah lama, mulai dari cerita Lancang Kuning, Dedap Durhaka, Si Tanggang, Hikayat Hang Tuah dan cerita-cerita yang mengandung pelajaran lainnya.
Pada malam Sabtu ini, Atah Roy menceritakan Syair Ikan Terubuk kepada Leman dan ketiga kawannya. Leman Lengkung dan ketiga kawannya merupakan pendengar setia Atah Roy, tak pernah absen pada malam Sabtu. Dengan menggunakan irama syair kapal, Atah Roy melantunkan baris demi baris, bait demi bait syair Ikan Terubuk dengan berlinang air mata. Leman Lengkung dan ketiga kawannya dengan seksama mendengar syair yang dilantunkan Atah Roy. Di hati Leman Lengkung merasakan ada sesuatu yang luar biasa yang hendak disampaikan Atah Roy dari syair ini. Namun Leman Lengkung belum berani bertanya kepada Atah Roy.
Di akhir syair, dimana Puyu-puyu harus menyelamatkan diri dari serangan pasukan Terubuk dengan bersembunyi di sebuah pohon. Semakin ujung syair yang dilantunkan, semakin deras air mata Atah Roy keluar dari matanya. Leman Lengkung dan ketiga temannya pun terbawa suasana yang mengharukan, tapi mereka hanya diam saja. Syair pun usai, Atah Roy mengelap air matanya dengan lengan bajunya. Suasana sunyi, tak ada suara, kecuali isak Atah Roy. Beberapa saat kemudian, Atah Roy masuk ke kamar. Leman Lengkung dan ketiga kawannya, hanya memperhatikan kepergian Atah Roy, tanpa bersuara sedikit pun alias terpana.
Di dalam kamar Atah Roy terduduk di atas tempat tidurnya. Atah Roy tak berharap Leman Lengkung dan ketiga kawannya, memburu pertanyaan, mengapa ia menangis ketika melantunkan syair Ikan Terubuk tadi. Atah Roy tahu bahwa pada hari ini cerita lama (sastra lama) hanya dijadikan pelarian untuk sebuah identitas, tidak lebih. Padahal sebuah identitas adalah sebuah sikap dan cerita lama banyak yang mendedahkan sikap terpuji dan perlu diterapkan pada hari ini.
“Biar sajelah aku menanggung deritenye seorang diri,” ucap Atah Roy dalam hati, sambil mengelap air matanya.
Pikiran Atah Roy meleset rupanya. Belum lama benar ia berada di dalam kamar, Leman Lengkung dan ketiga kawannya masuk. Mereka duduk di atas lantai depan Atah Roy. Mereka saling berpandangan untuk melihat respon, siapa yang dulu memulai bertanya kepada Atah Roy. Ketiga kawan Leman Lengkung mengerakkan kepala mereka serentak untuk mempersilakan Leman Lengkung bertanya terlebih dahulu. Melihat ketiga kawannya memberi laluan kepada dirinya, Leman Lengkung pun menarik nafaspanjang. Merasa siap, Leman Lengkung pun bertanya.
“Maafkan kami yang kurang paham ini, Tah. Adekah sesuatu yang tersembunyi di balik syair Ikan Terubuk itu, Tah?”
Atah Roy memandang Leman, dan kemudian mengalihkan pandangannya ke arah ketiga kawan Leman. Lalu Atah Roy mengumpulkan kekuatan dengan menarik nafas dalam-dalam. Oksigen, imajinasi serentak masuk ke otak Atah Roy.
“Lemah bukan berarti kita harus kalah. Biar putih tulang, jangan putih mate. Hak tetaplah hak, dan tak bisa ditawar-tawar dengan ape pun juge,” jelas Atah Roy yang masih belum dapat ditangkap oleh Leman Lengkung dan ketiga kawannya.
“Maksudnye, Tah?” Leman Lengkung kembali memburu dengan pertanyaan.
“Mike semue tahu Pulau Padang dan masalah yang sedang dihadapi masyarakat disane, kan?” Atah Roy balik bertanya.
“Tahu, Tah, tapi ape hubungan dengan syair Ikan Terubuk ni, Tah?” kawan Leman Lengkung yang kurus kering bertanya.
“Di tasik Pulau Padang itulah, Puyu-puyu mempertahankan haknye. Die tak mau menyerah kepade Terubuk, walaupun Terubuk menjanjikan kekayaan dan kesejahteraan kepadenye. Puyu-puyu tahu, bahwa Terubuk hanya membawa kekacauan, tersebab alam Terubuk yang hidup di air masin, tak same dengan alam Puyu-puyu yang hidup di air tawo. Mengubah alam, same saje membinasakan diri. Puyu-puyu tak mau hal itu terjadi dan die menolak, walaupun nyawe die terancam,” jelasAtah Roy panjang lebar.
“Niat Terubuk itu kan bagus, Tah, menyatukan dua alam untuk kesejahteraan kaum di tasik Pulau Padang itu, Tah,” kawan Leman Lengkung yang agak bengik berkomentar.
“Kalau kerajaan yang beso datang, itu tandenye mereke tak punye wilayah jajahan lagi. Dan ingat, kedatangan kerajaan beso hanya untuk menambah kebesaran mereke. Pade awalnye kerajaan beso memang menjanjikan kesejahteraan, tapi di sebalik semue itu, ade kepentingan nak berkuase di atas tanah kuase mereke. Tak ade kerajaan beso hendak rugi de,” kate Atah Roy agak emosi.
“Tapi karya sastra cume rekaan saje, Tah, bukan betul,” ujar kawan Leman yang juling pulak.
“Karya sastra memang rekaan, tetapi rekaannya berasal dari kehidupan nyate. Dan perlu mike ingat, bahwa seorang penulis karya sastra, seperti peramal yang bisa membace kejadian yang akan datang. Syair Ikan Terubuk membuktikan akan datang kehancuran Pulau Padang yang dibelasah hutannye. Ingat itu!” Atah Roy bertambah emosi.
Leman Lengkung dan ketiga kawannye tidak berani nak bertanya lagi, karena mereka tahu, kalau bertanya lagi, maka bukan suara besar Atah Roy saja yang keluar, tapi tinju juga bisa melayang ke wajah mereka. Untuk mengantisipasi keadaan, Leman Lengkung dan ketiga kawannya, mundur dengan cara keluar kamar Atah Roy, tanpa bersuara sedikit pun.
“Itulah, menganggap karya sastra tak penting, jadi bodoh semuenye!” teriak Atah Roy.
Leman Lengkung dan ketiga kawannya, mempercepat langkah mereka.
                   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar