Bagi Atah Roy, memahami Melayu adalah memahami ketertindasan
yang tak pernah usai. Begitu juga Menjadi Melayu di negeri kaya ini, menurut
Atah Roy, memang serba sulit. Melayu dihadapkan dengan permasalahan kesejatian
yang pada akhirnya hendak meletakan Melayu pada posisi teratas. Dalam proses
meletakan Melayu di posisi ‘terhormat’ inilah, Melayu terantuk dengan permasalahan
yang luncas dari keberadaan Melayu sebenarnya. Melayu hanya hebat di permukaan,
di dalamnya orang Melayu terkapar tidak berdaya.
Atah Roy pun teringat bagaimana susahnya Jang Gagak, Yusuf
Keling, Bahar Cengkung, Tapa Sulah, kalau ditulis semue, punuh koran ini
agaknya dengan nama orang Melayu yang sedang dalam masalah. Atah Roy bukan
hendak melawan arus dengan pemikiran orang Melayu yang berada di kota. Sebagai
orang kampung, rasa ke-Melayu-an Atah Roy dan orang kampung lainnya, tak perlu
diragukan. Setiap detik, darah yang mengalir ke seluruh tubuh menkristal
menjadi Melayu.
Masalah simbol itu memang penting sebagai identitas, tapi
masalah Melayu pada hari ini lebih dari masalah simbol. Atah Roy berpikir,
untuk apa punya simbol yang ‘cantik’, kalau orang yang dibungkus oleh simbol
itu bersepai. Atah Roy selalu bertanya, bukankah simbol diciptakan sebagai
perwujudan keperkasaan untuk meletakkan orang yang ‘dinaungi’ simbol itu
berwibawa? Tapi bagaimana orang Melayu mau berwibawa, sementara orang Melayu di
kampung selalu berhadapan dengan masalah, dan masalah itu pasti berujung kekalahan
orang Melayu.
Atah Roy tak mau berpanjang lebar dengan masalah yang sedang
dihadapi oleh orang Melayu di kampung. Sudah banyak media masa mengabarkan tetang
duka tersebut. Mulai dari tanah diserobot, sampai susahnya mencari kerja di
perusahaan besar yang beroperasi di tanah Melayu ini. Atah Roy teringat kata
Presiden Panyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, “Memang Melayu tak akan
pernah hilang di muka bumi ini, tapi orang Melayu mau jadi di dunia ini?”
Kembali lagi pikiran Atah Roy ke masalah simbol yang
akhir-akhir ini ramai dibicarakan di Kota Pekanbaru. Memang, pikir Atah Roy,
meletakan simbol bukan pada tempatnya kurang molek dilihat. Untuk kasus
selembayung yang dihiasi di atas tong sampah, menurut Atah Roy, tak perlulah
dihebohkan. Atah Roy yakin, yang merancang gagasan itu budak Melayu juga. Tidak
mungkin budak Melayu menyamakan keperkasaan Melayu dengan tong sampah. Kalau
dilihat bentuk tong sampahnya yang cantik itu dan bersusun rapi di jalan besar
Kota Pekanbaru, ada keinginan perancang ingin menyosialisasikan selembayung di
tengah masyarakat. Bukankah selama ini, keperkasaan Melayu hanya bermain pada
laman eksklusif saja? Melayu hanya diperbincangkan di seminar dan dijadikan
objek penelitian, sementara di khalayak ramai, terutama di Kota Pekanbaru,
Melayu terkesup alias tak bermaya. Berbahasa Melayu saja di Kota Pekanbaru,
orang Melayu tidak punya keberanian.
Maka, Atah Roy berharap, pandanglah peristiwa selembayung di
atas tong sampah secara positif. Kalau mau dipermasalahkan juga, layak tidak
layaknya sebuah simbol keperkasaan Melayu menghiasi tong sampah, apa beda
selembayung yang dipasangkan di bumbung rumah lokalisasi pelacuran? Bukankah hal ini lebih
mencorengkan muka Melayu di mata orang lain? Atah Roy bukan hendak
memperdebatkan masalah ini dan memihak kepada sesiapapun, karena perselisihan
tidak menyelesaikan masalah Melayu. Masih banyak masalah orang Melayu belum
terselesiakan di negeri ini.
Menurut Atah Roy, seandainya kita hendak juga
mempermasalahkan marwah, keperkasaan atau pun identitas Melayu, mari
bersama-sama menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi orang Melayu. Tanah
kena serobot, hutan dibantai, cari pekerjaan susah, hidup dalam kemiskinan.
Setelah semua masalah yang sedang dihadapi orang Melayu ini teratasi, maka kita
pun dengan perkasa meletak simbol itu berada di puncak. Sejalan dengan itu,
kita pun membenahi perguruan tinggi yang berlapang dada membuka jurusan budaya
dan seni, walaupun tertatih-tatih.
Sedang seriusnya Atah Roy berpikir tentang identitas Melayu
ini, Leman Lengkung datang dengan nafas teregah-engah. Di tangan kanan Leman
Lengkung, koran yang sudah komuk dipegang erat-erat. Muka Leman Lengkung merah,
dan tersimpan kegeraman yang memuncak. Menenguk anak saudaranya seperti itu,
Atah Roy pun jadi heran, hilang semua yang dipikirkannya tadi.
“Ade masalah ape, Man? Macam kene kejo penyabit je nampak
aku?”
“Ini masalah marwah Melayu, Tah. Kite tak boleh diam,” ujar
Leman Lengkung pasti.
“Marwah Melayu macam mane maksud dikau ni?” Atah Roy belum
mengerti.
“Pokonye kite harus berjuang, Tah. Dari kampung kite harus
membangun Melayu untuk orang kota,” Leman Lengkung belum mengatakan masalah
yang sedang dihadapi.
“Berjuang macam mane ni? Berita ape di koran yang dikau bace,
sehingge dikau macam singe nak menerkam orang?”
“Bukan gara-gara bace koran ini, Tah,” Leman Lengkung
menjawab.
“Habis, yang dikau pegang tu?”
“Megang koran ni gaya aje, Tah. Ade masalah yang tak tercatat
di koran, Tah,” Leman Lengkung bersemangat.
“Masalah ape?” Atah Roy penasaran, tak mungkin masalah marwah
Melayu tak diberitakan di koran yang terbit di Riau ni.
“Usu Malik Bengang ade di kampung kite ni, Tah.”
“Jadi masalahnye?”
“Bini die kan orang kampung sini juge, Tah?”
“Auk. Ngape?”
“Anak-anak die, termasuk bini die, bahkan Usu Malik juge,
bercakap tak pakai bahase Melayu lagi, Tah. Bergetar-getar die bercakap. Kite
harus tegur Usu Malik tu, Tah, kalau
tidak siape nak menjage bahase Melayu di kota itu, Tah. Usu Malik tu kan orang
terpandang di bidang budaye di kota,” Leman Lengkung panjang lebar menyampaikan
kepada Atah Roy.
“Entahlah Man, pening kepale aku, lebih baik dikau memikirkan
kambing kite di belakang tu,” Atah Roy seakan kehilangan semangat.
“Atah ni macam mane, kate pejuang Melayu sejati,” Leman
Lengkung agak emosi.
“Ngape pulak dikau emosi kepade aku? Budak ni kang, kene juge
penumbuk Arwah Wak ni kang! Itulah, kite sendiri saje malu berbahase Melayu,
macam mane kite nak menegakkan marwah Melayu. Malas aku berpikir tentang Melayu
lagi!” ujar Atah Roy geram sambil meninggalkan Leman Lengkung sendiri. Leman
Lengkung cume dapat mengangakan mulutnya.
“Heeee… Salah lagi aku. Masuk tong sampah sajelah aku."
Setiap saya berkunjung ke pekanbaru sebuah kota yang ditipkan orang oleh orang-orang di berbagai ceruk kampung Riau, bahkan diluar negeri, sakit hati dan berderai dimana perginya selaksa Yoang Yoang Dollah dan makcik sakdiah, sangat miris dan kasihan kepada jutaan ratus anak-anak yang baru lahir dan berganjak dewasa, tidak berbahasa dan tak mengenal harta karun yang ternilai di tanahn yang Melayu dimana bumi dipijaknya, terkecuali di pesisir kampung Riau yang masih memegang amanah kampung halamannya itu.
BalasHapusPekanbaru menjadi muka dari ke-Melayu-an yang bermimpi setinggi langitnya, dengan sedemikian perbendahaaan lintasan sejarahnya, berjuta simbolitas yang ada di sana ,menjulang dan membumbung tinggi denga ragam corak dan warne menjadikan kita tapak ingatan yang ranggi, namun disebelik itu tersadai roh roh yang mulai menepi tersudut di tugu-tugu.
Memang bukan senang melerai benang yang kusut, terpapar dengan batu batu masalah sejak dari dahulu lagi, semoga cara pandang dan berfikir pramodial orang-orang Riau di dalamnya, menjadi sebuah pentas yang maha besar,beisi laman bermain yang sebati dengan ke-Melayuan-anisme.
tabek.Budak Kep.Riau