Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Minggu, 12 Februari 2012

Malas Jadi Melayu


Dulu, Atah Roy bangga menyebut dirinya Melayu sejati. Kemana-mana, Atah Roy selalu mencaritakan peristiwa-peristiwa, cerita atau pun sejarah kebesaran Melayu kepada siapa saja. Atah Roy pun tak segan-segan berteriak keras-keras di tengah pasar “Aku Melayu”. Tingkah laku Atah Roy yang terlalu menyanjung Melayu berlebihan menyebabkan orang-orang menyebut Atah Roy ‘gila Melayu’. Atah Roy bukannya marah, malahan ia sangat senang orang-orang menyebutnya ‘gila Melayu’. Untuk mencintai sesuatu itu, pikir Atah Roy, memang harus masuk secara menyeluruh ke tubuh yang kita cintai itu. Tidak ada perbedaan lagi antara yang mencintai dan yang dicintai; ia menyatu tanpa dapat dibedakan lagi.
Bagi Atah Roy, Melayu memiliki kekuatan yang mampu menakluk dunia. Namun belum mampu diolah menjadi kekuatan. Ibarat tanah lapang, Melayu belum ditanami benih apapun. Dalam rangka ‘menanami benih’ kekuatan itulah, Atah Roy bercita tentang kehebatan Melayu kepada siapa saja yang dijumpai, baik kepada orang Melayu, maupun bukan orang Melayu. Atah Roy yakin, siapapun orangnya apabila menerapkan nilai-nilai Melayu di dalam hidupnya akan menjadi orang besar.
 Atah Roy pun sangat marah apabila ada orang mengatakan bahwa Melayu tidak akan pernah maju. Sifat-sifat yang melekat pada Melayu, seperti pemalas, perajuk, selambe (tidak peduli), pembual, pengamuk, membuat orang Melayu menjadi pengecut. Apabila ada orang yang mengatakan sifat Melayu itu, Atah Roy pun dengan bersemangat menjelaskan kepada orang tersebut.
Pertama tentang pemalas. Atah Roy menjelaskan, pemalas itu merupakan kata untuk menantang orang Melayu agar melakukan sesuatu tanpa kenal kata menyerah. Negeri orang Melayu kaya, seandainya orang Melayu terbujuk dengan kata pemalas, maka dengan leluasa orang lain menguasai kekayaan orang Melayu. Kata pemalas, menurut Atah Roy, harus dimaknai sebagai ‘cambuk’ yang membantai punggung keterlenaan agar orang Melayu sadar bahwa orang Melayu penobrak sejati.
Kedua, orang Melayu perajuk. Atah Roy menafsirkan kata perajuk sama dengan hijrah. Dengan membawa diri dari permasalahan rumit yang sedang terjadi, orang Melayu mencoba mempelajari permasalahan itu dari jauh, dengan merajuk. Kata Atah Roy, bukankah melihat dari jauh, kita dapat melihat secara keseluruhan suatu benda. Merajuk adalah suatu upaya melihat masalah dari jauh. Jauh di mata, tapi dekat di hati, merupakan konsep menanam kerinduan, dan merajuk merupakan usaha untuk menam kerinduan dari kejahuan.
Ketiga, selambe atau tidak memperdulikan. Atah Roy menjelaskan bahwa selambe merupakan upaya orang Melayu untuk tidak membebankan diri dengan masalah-masalah. Orang Melayu, menurut Atah Roy, sadar betul bahwa hidup ini merupakan masalah. Jadi dengan tidak memperdulikan masalah, orang Melayu dapat menyelesaikan kehidupan ini dengan tanpa ada beban sedikit pun. Atah Roy menjelaskan, bukankah memandang sesuatu masalah dengan beban akan memunculkan masalah lain? Kata selambe, menurut Atah Roy, adalah kebiasaan orang Melayu melapangkan hati.
Keempat, kata pembual. Menurut pandangan Atah Roy, kata pembual adalah upaya manusia menyosialisasikan keberadaan diri (eksistensialis). Dengan membual, orang Melayu dapat mengeluarkan segala gagasan yang ada di batinnya. Dengan mengeluarkan gagasan yang berada di batinnya, maka akan terbuka segala jalan dalam menentukan sikap untuk berbuat. Bebual merupakan tindakan lisan untuk memupuk untuk melakukan tindakan nayata. Selain itu membual juga menyatukan kekuatan yang datang dari analisis sesuatu peristiwa yang dibualkan.
Kelima, pengamuk, menurut Atah Roy, merupakan aplikasi dari kata pemalas, perajuk, selambe dan pembual menjadi sebuah tindakan yang tidak dapat dibendung lagi. Pengamuk adalah upaya memperlihatkan diri setelah sesuatu itu tidak dapat dikompromi lagi. Seandainya pengamuk ini telah muncul, maka orang Melayu menjelma menjadi ‘raksasa’ yang tidak pernah takut berhadapan dengan apa saja; tidak dapat ditawar-tawar lagi, semuanya akan dimusnahkan. Hanya satu, kata Atah Roy, yang dapat mengehentikan pengamuk ini, yaitu kematian. Maka setelah kata pengamuk ini muncul, tiada obat yang dapat menyembuhkannya. Inilah eksistensi paling tertinggi orang Melayu.
Namun semangat mengebu-ngebu Atah Roy terhadap Melayu, kini hilang tidak berbekas. Atah Roy tidak berdaya mempertahankan dirinya sebagai orang ‘gila Melayu’. Kekecewaannya tak mampu menopang keperkasaannya. Atah Roy seakan terjatuh dari tangga, tertepam taik kucing, dan dilindas oleh fuso, lenyik. Lenyik hati Atah Roy nak berteriak ‘Aku Melayu’ di depan orang ramai. Atah Roy pun dah malas jadi Melayu, bahkan dia terluka jadi Melayu. Ape pasal?
Kekecewaan yang melumat keperkasaan Atah Roy sebagai orang Melayu bermula ketika ia menghadiri pemilihan ketua pemuda kampung. Dalam pertemuan itu masing-masing kubu mengkliam bahwa dari kubu merekalah yang berhak menjadi ketua. Keyakinan semua kubu itu berbuah pertengkaran yang sengit. Sebagai orang tua, sekaligus sebagai ‘gila Melayu’, Atah Roy pun muncul di hadapan pemuda yang sedang bertengkar itu. Dengan yakin, Atah Roy meraih mik yang berada di depan dan mulai bicara.
“Tenang…, Tenang… Tenang!” teriak Atah Roy. Suasana hening seketika. “Sebagai orang tua, aku nak menyampaikan sesuatu,” tambah Atah Roy. “Pemuda Melayu, seharusnya memperlihat sikap Melayu yang sejati! Tidak…,” belum selesai Atah Roy menyampaikan sesuatu, Leman Lengkung, anak saudaranya berteriak.
“Orang tue, diam!” pertengkaran berlanjut.
Atah Roy terkulai, dengan langkah lemah, Atah Roy meninggalkan ruangan pertemuan itu. Atah Roy tidak menyangka, anak saudaranya berteriak seperti itu. Segala kekuatan Atah Roy lumpuh seketika.
“Dah malas aku jadi Melayu, jangankan orang lain, anak saudare aku saje dah tak mendengo petuah aku,” ujar Atah Roy duduk lesu di atas batang rambai, sambil memandang ke bawah. “Nak bunuh diri rasenye,” bisik Atah Roy dalam hati.
             

2 komentar:

  1. saya orang melayu, melayu dihina di mana mana, bahkan di depan muka saya. setiap sukupun di indonesia menghina melayu. semuanya tanpa terkecuali. mereka amat benci, dan dengki kepada melayu. pokonya kalau melayu punya nama mereka dengan senang hati menghina, mencaci tapi kalau suku jawa yang salah mereka takut menghina, sebab malam hari menghina besoknya dah mampos dibunuh ditangkap dianggap teroris. inilah kelebihan suku lain. saat sukunya dihina mereka bertindak tegas. saat suku melayu dihina melayu diam kayak t a i k

    BalasHapus
  2. dalam hidup saya sebagai suku melayu di indonesia saya terasa sendiri. saya tidak kenal pemimpin melayu di sana. tidak ada pemimpin melayu, jadi saya hidup tanpa bantuan siapapun. tapi suku lain mereka ada pemimpinnya. mereka dapatkan banyak tunjangan sekolah, beasiswa. dan tempat tempat kerja dikuasai orang non melayu. sementara petinggi melayu mereka tidak perduli dengan orang melayu sendiri. karena merekapun tidak tahu mana yang melayu mana yang tidak. karena banyak orang non melayu mengaku melayu saat ada peluang. tapi saat melayu dihina, mereka mengatakan bahwa mereka sebenarnya bukan melayu. jadi saya kehlingan pemimpin melayu yang membela melayu dimanakah kalian sukuku.

    BalasHapus