Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 18 Februari 2012

Celana Anak


“Semangat kampung selalu dikalahkan oleh semangat kota”. Kesimpulam ini dirangkai Atah Roy ketika ia dijemput menghadiri helat pernikahan anak kawannya, Yasin Cabuh, di Pekanbaru. Pada helat pernikahan itu, Yasin Cabuh, menjemput semue orang kampungnya yang sudah menetap di Kota Pekanbaru. Yasin Cabuh bukan hendak berlagak menjemput orang kampungnya yang sudah menetap di Pekanbaru; melepas rindu dan memperat persaudaraan, itulah tujuan Yasin Cabuh.
Empat hari sebelum helat pernikahan itu dilangsungkan, Atah Roy dan Leman Lengkung sudah datang di rumah Yasin Cabuh. Atah Roy berharap kedatangnya dan Leman Lengkung dapat membantu sedikit banyak Yasin Cabuh, paling tidak menegak tiga empat batang tiang bangsal, masih sanggup dilakukan Atah Roy. Namun harapan Atah Roy tidak sama dengan kenyataan yang terjadi. Di rumah Yasin Cabuh tidak kelihatan tanda-tanda akan diadakan helat pernikahan.
Biasanya di kampung, seminggu sebelum helat berlangsung, jiran dan saudara terdekat sudah sibuk membantu tuan rumah. Tapi di rumah Yasin Cabuh, sunyi saja. Tak ada orang, cuma Yasin Cabuh, istri dan ketiga anak  perempuannya berada di rumah. Atah Roy heran juge, namun keheranannya disimpan di lubuk hatinya yang paling dalam. Kalau bertanya kepada Yasin, Atah Roy takut, Yasin tersinggung. Maklum, kalau di kampung, rumah yang akan melangsungkan hajat pernikahan tidak didatangi orang, dapat disimpulkan orang tersebut tidak disukai orang kampung. Pasti ada masalah tuan rumah dengan orang kampung.
Yasin Cabuh gembira melihat Atah Roy dan Leman Lengkung datang. Yasin pun mengajak Atah Roy dan Leman, masuk ke rumah. Bukan main lagi rumah Yasin,macam istana. Macam nak matah leher Leman Lengkung menenguk sekeliling rumah Yasin Cabuh. Atah Roy malu juge nenguk Leman Lengkung seperti itu. Dengan sikunya, Atah Roy menyikut Laman Lengkung.
“Santai jelah,” ucap Atah Roy kepada Leman Lengkung.
Leman Legkung tidak peduli dengan teguran Atah Roy. Ia terus menenguk sekeliling rumah Yasin Cabuh dengan terpana yang luar biasa.
Yasin Cabuh memperkenalkan istri dan ketiga anak perempunnya kepada Atah Roy dan Leman Lengkung. Istri Yasin Cabuh dengan senyum yang merekah, meyalami Atah Roy dan Leman Lengkung, diikuti oleh ketiga anak perempuannya. Mata Leman Lengkung macam nak terjojol melihat istri dan anak Yasin Cabuh. Macam mana tidak terjojol mata Leman, istri dan ketiga anak Yasin Cabuh menggunakan celana pendek ketat, dan baju tak belengan.
Atah Roy bertambah geram meneguk tingkah laku Leman Lengkung, namun Atah Roy tak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah perbuatan Leman Lengkung. Sebelum keluarga Yasin Cabuh mengetahui tingkah laku Leman Lengkung yang memalukan itu, Atah Roy pun membuka pembicaraan.
“Kate dikau, Sin, nak menjemput orang kampung kite yang sudah menetap di Pekanbaru ni. Ngape orang-orang tu belum tampak batang idungnye?” tanye Atah Roy yang sesekali tetenguk juga istri dan ketiga anak Yasin Cabuh. Mau menutup muka depan Yasin, tak mungkin. Terpaksalah Atah Roy hanya bisa tersenyum, ketika matanya berpandangan dengan mata istri dan ketiga anak Yasin yang duduk di depannya.
“Tah, di sini kota, tak same dengan di kampung. Orang-orang sini datang pas hari acara saje,” jelas Yasin Cabuh.
“Ooo… jadi siape yang menegak bangsal?” Atah Roy menelan air liur.
“Kunci di kota ini, Tah, semuenye duit. Ade duit, semunye selesai. Untuk makan, kite tinggal pesan dari luar. Tenda kite tinggal order, satu hari nak pesta baru dipasang. Pelaminan juge macam itu. Untuk kite susah-susah ngumpul orang, kalau semuenye bisa kite lakukan dengan duit,” Yasin Cabuh tersenyum.
“Bukan macam itu, Sin. Hakikat ngumpul orang itu kan, agar persaudaraan kite bertambah kuat. Paling tidak dikau kumpul orang-orang kampung kite yang ade di sini, sebelum acara besarnye. Dapat juge kite bebual-bual nak kite ape kan kampung kite tu,” jelasAtah Roy.
“Atah…, Atah, orang kota tak same dengan orang kampung, Tah. Orang kota sibuk bekerje, siang malam. Jadi nak bebual tu, waktunye tak ade,” jelas Yasin Cabuh lagi.
“Kalau dikau bercakap macam itu, tak dapat akal aku lagi. Suailah orang kota tak pernah mempedulikan orang kampung, pas nak jadi gubernur, bupati atau anggota dewan, barulah orang kota peduli orang kampung, ye?” Atah Roy agak kesal.
“Bukan macam itu, Tah. Kite bukan tak peduli kampung, tapi keadaan kota yang membuat kite sepeti itu,” Yasin Cabuh tersinggung juga, tapi tak dilihatnye kepada Atah Roy. Bagaimanapun juga, Atah Roy ada benarnya.
“Aku pikir di rumah dikau, dah ramai orang kampung kite yang datang. Semangat betul aku dari kampung ke sini. Dapat juge aku menambah wawasan, bebual dengan orang kota. Maklum, orang kampung wawasannye terbatas,” Atah Roy menyindir.
“Tak usah Atah bercakap macam itu. Pade hari pesta nanti, pasti orang-orang tu datang,” Yasin Cabuh membujuk Atah Roy.
“Tak puas bebual pade hari pesta. Selain bising oleh organ tunggal, waktunye pun terbatas,” ujar Atah Roy.
Yasin Cabuh tak dapat berkata apa-apa lagi untuk beralasan. Dia memandang istri dan ketiga anak perempuanya minta pertolongan menjelaskan ke Atah Roy. Namun istri dan ketiga anaknya tidak beraksi sedikit pun. Mereka pun tidak dapat menjelaskan apa-apa kepada Atah Roy, walaupun istri dan anak-anak Yasin Cabuh berpendidikan tinggi.
“Pak Cik Yasin, boleh agaknye saye bertanye?” Leman Lengkung memecah kesunyian.
“Ape salahnye, Man, tak ade yang salah di kota. Apelagi setakat bertanye,” Yasin Cabuh tersenyum. Begitu juge istri dan ketiga anaknye.
“Di kota tak ade jual baju untuk orang beso?” tanye Leman Lengkung.
“Adelah,” jawab Yasin Cabuh singkat.
“Kalau ade, ngape bini dan anak-anak Pak cik pakai baju dan celana anak-anak?” Leman Lengkung polos.
Mendengar pertanyaan Leman Lengkung, wajah Yasin Cabuh, istri dan ketiga anak perempunya memerah. Mereka seperti ditampar oleh Leman Lengkung. Mereka saling berpandangan satu dengan lainnya. Istri dan ketiga anak perempuan Yasin Cabuh meninggalkan Atah Roy dan Leman Lengkung dengan wajah tetap memerah menahan malu. Atah Roy tak sedap hati, dia memandang Leman Lengkung dengan mata memerah pula, tanda marah.
“Orang kampung tu jujur, Tah, jadi tak sanggup menyembunyikan ape yang die lihat,” jelas Leman Lengkung.
Yasin Cabuh menerik nafas panjang. Sementara Atah Roy terdiam dengan menyembunyikan seribu kegeraman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar